Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Neraca Dunia
60
Suka
1,082
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

SELAMAT, kamu sudah menemukan neraka!

Halo, senang sekali aku menemukan dirimu—siapa pun yang menemukan surat ini. Karena aku akan berbagi sesuatu yang bakal tidak kamu duga seumur hidupmu, bahkan sampai tujuh, tujuh belas, atau tujuh puluh tujuh turunanmu.

Aku mengutukmu!

Ha ha ha! Ini serius. Baca baik-baik: Aku mengutukmu!

Begini…. Selama ini aku merasa jiwaku sangaaat menderita dan teraniaya. Tidak perlu kuceritakan bagaimana penderitaan itu. Nanti kamu tambah stres. Yang jelas, aku tidak pernah menikmati hidupku, hingga akhirnya sekarang ini aku sudah sampai pada titik putus asa. Oh, ya, sekarang umurku seumuran kamu. Aku yakinkan itu!  

Sebelum menulis surat ini, sudah terpikir di otakku untuk bunuh diri. Tapi setelah kupikir-pikir, aku tidak sudi. Enak benar orang-orang nanti menjadikan kasusku sebagai konten medsos dan santapan berita untuk media mainstream! Gak sudi!

Daripada bunuh diri dan memberikan kesedihan kepada orang-orang terdekatku atau memancing cemoohan dan hujatan dari orang-orang yang tidak mengenalku, aku berpikir untuk berbagi saja. Berbagi penderitaan kepadamu, agar kamu pun ikut merasakan sakitnya jiwaku hingga membuat hidupku menderita. Maka lahirlah surat yang sedang kamu baca ini. Bukankah berbagi itu baik? Dan bukankah doa orang teraniaya itu langsung dikabulkan?

Begini kutukanku: Aku bersumpah, demi Tuhan, setelah selesai membaca surat ini kamu akan merasakan apa yang sudah aku alami. Dan itu akan berlangsung terus hingga kamu berhasil menemukanku untuk mengembalikan surat ini. Caranya? Telusuri dosa-dosamu.

Tenang, kalau kamu tidak mau menanggung kutukanku sendirian, kamu juga bisa berbagi. Silakan salin surat ini dan letakkan secara acak di mana pun kamu mau. Tapi hanya boleh satu surat, jangan banyak-banyak. Ingat, serakah itu tidak baik!

Sudah, itu saja. Sekarang, baik kamu mau menyimpan atau membuang surat ini, kamu tidak akan lepas dari kutukanku. Kecuali kamu mengembalikan surat ini kepadaku. Nah, bersiap-siaplah menerima derita pertamamu. Setelah ini….

Salam,

Pengutuk

 

“Rese! Kurang kerjaan!” Finn mendesis sambil meremas surat itu lalu cepat-cepat melemparkannya ke tempat sampah tak jauh dari dia duduk.

Finn mencoba menyeruput kembali kopinya. Tapi belum sempat bibir cangkir dan bibirnya bersentuhan, ia turunkan cangkir itu. Bukan karena jijik membayangkan berciuman bibir dengan orang sebelumnya yang menggunakan cangkir itu, tapi karena Finn tiba-tiba menyadari sesuatu.

Ia menyapu pandangan ke segala penjuru kafe, mencari-cari sesuatu yang mencurigakan. Jangan-jangan ini adalah upaya prank dari anak-anak pemburu konten untuk media sosial mereka. Tapi ia tidak menemukan bukti atas dugaannya itu. Dan kalaupun benar prank, ia yakin tidak akan kena. Cukup bersikap biasa saja. Seruput lagi kopinya. Dan santai…. 

Kelihatannya, sih, begitu. Padahal Finn tidak bisa menghentikan gempuran what if yang memenuhsesaki kepalanya. Bagaimana jika penulis surat itu tidak main-main? Bagaimana jika kutukan itu benar? Bagaimana jika sesungguhnya itu adalah ancaman khusus untuk dirinya dari oknum-oknum yang dendam padanya? Atau, bagaimana jika Tuhan sudah mulai menjatuhkan hukuman atas dosa-dosanya? Kan di awal surat sudah disebut-sebut soal neraka!

Ah, sh*t! memikirkan semua itu saja sudah seperti dikutuk.

Finn beranjak dari kursinya, berjalan melewati keranjang sampah lalu menendangnya dan pura-pura mengaduh. Sampah yang kebanyakan berupa kertas dan plastik bertebaran di lantai. Ia memunguti sampah-sampah itu dan diam-diam mengambil surat tadi dan mengantunginya, lalu berjalan ke kasir untuk memesan take away kopi satu gelas lagi. Aman, tidak ada yang memperhatikannya.

Duduk di dalam mobilnya Finn menelusuri langkahnya ke belakang sebelum akhirnya menemukan surat itu terlipat di atas bangku yang hendak ia duduki di kedai kopi Neraca Café tadi.

What?! Baru ngeh kalau nama kafenya saja sudah ‘neraka’!

Tadi, setelah memesan hot americano Finn memilih duduk di lokasi favoritnya: meja di pojokan. Mana lagi tempat pilihan manusia penyendiri seperti dirinya kalau tidak di situ. Dua meja di sekitar mejanya tidak ada pembeli. Kafe memang sedang sepi pada jam-jam itu. Jadi, jelas surat tersebut diletakkan secara acak. Atau, dia curiga, jangan-jangan ada yang memata-matai dirinya yang selalu memilih duduk di pojokan kafe itu.

Finn juga sempat diam-diam memperhatikan seluruh pembeli di dalam kafe. Ada lima anak muda seusia dirinya dan dua wanita seumuran tantenya yang datang bersama seorang pria paruh baya. Dan wajah-wajah itu tidak pernah dia jumpai sebelumnya. Tidak ada yang layak dicurigai. Selain penyendiri, Finn juga suka mengamati orang. Karena itu dia akan lebih mudah mengenali seseorang jika pernah bertemu sebelumnya.

Finn kembali membaca surat kutukan itu. Pelan-pelan, sambil menebak-nebak. Apa motif sesungguhnya si penulis. Derita apa sebenarnya yang dia alami sampai tega-teganya mengutuk orang. Kenapa dia yakin benar bahwa penemu surat ini seumuran dirinya. Dia juga memberi ‘penawar kutukan’, yaitu dengan mengembalikan surat ini kepadanya. Apa tujuannya? Semua gulita.

Kini Finn tidak tahu apa yang harus dilakukan. Melacak siapa penulisnya, atau ikut membagi kutukannya ke orang lain seperti yang disarankan si Pengutuk. Atau, menunggu dulu kutukannya menimpa dirinya? Kalau itu rasanya sekarang juga sudah terjadi—aku menderita stres akut gara-gara surat ini.

Tiba-tiba ponsel Finn berdering. Dan dia sangat kaget begitu tahu peneleponnya. Don, mantan sahabatnya yang sekarang menjadi musuhnya. Finn baru ingat, Don memiliki dua nomor hape, dan dia hanya memblokir satu nomor….

Hubungan persahabatan mereka putus sejak awal pandemi dua tahun lalu. Penyebabnya, Finn menelikung Don dengan merebut Chi, cinta mati Don, hanya dua hari setelah mereka bertunangan. Pernikahan yang sudah direncanakan akhirnya batal karena Don memilih mencampakkan Chi—dan juga Finn—dari hidupnya. Sejak saat itu status Finn berubah jadi musuh buat Don.

Diiringi degup jantung yang menggetarkan dadanya, Finn memberanikan diri menjawab panggilan telepon itu, sambil berharap ini adalah awal yang baik untuk memulai lagi hubungan mereka.

“Halo….”

Tidak ada jawaban. Hanya terdengar suara kendaraan bermotor berlalu lalang di latar belakang.  

“Halo…. Don, kamukah itu?”

Kini terdengar suara desah napas seseorang. Dari pelan dan makin lama makin cepat, lalu telepon ditutup. Menyisakan desir ketakutan yang dirasakan di perut Finn. Finn tahu betul sahabatnya itu pemuja film-film horor jenis slasher dan psychological thriller. Dan panggilan telepon barusan persis dengan salah satu adegan yang umum ditemukan di film-film jenis itu.

Rupanya dia masih mendendam padaku. Bagaimana jika dia nekat berbuat yang nggak-nggak padaku seperti di film-film itu?

Finn mencoba meredam ketakutannya lantas menjalankan mobilnya. Pulang. Kerjaannya memang begitu setiap hari. Nongkrong sendiri, ngopi sendiri, dan merokok sendiri, kadang-kadang nonton film, lalu pulang. Mau apa lagi? Skripsi tinggal menunggu jadwal sidang, yang tidak jelas kapan karena dosen pembimbingnya suka mengubah-ubah waktu seenak botaknya sendiri.

Finn merasa dirinya memang tidak terampil membangun hubungan dengan siapa pun. Bahkan dengan kedua orang tuanya. Layak kalau dia tidak punya teman dan selalu bertengkar dengan mami-papinya. Pacar pertamanya, Key, menjadi pacar terakhirnya, hanya dalam waktu tiga bulan. Finn yang berulah. Di bulan ketiga masa pacarannya Key memergoki Finn sedang bermesraan bersama cewek lain. Ya, dia adalah Chi, tunangan Don—sahabatnya. Key pun benci setengah mati pada Finn dan langsung memutuskannya. “Aku tidak akan pernah puas sebelum tahu hidupmu menderita!” begitu chat terakhir Key pada Finn. 

Tiba di rumah Finn kembali memikirkan ancaman Key tersebut. Dulu dia menganggapnya angin lalu, hanya ungkapan emosional sesaat. Begitu juga respons Don yang menghilang begitu saja dari hidupnya, Finn menganggap sepele. Tapi sekarang dengan surat kutukan di tangan, kalimat Key itu bagaikan sebuah sembilu yang ujungnya sedang ditempelkan ke kulit perutnya, siap untuk ditikamkan. Finn merasakan ketidaknyamanan di dalam perutnya, serasa ada puluhan kelabang melata di sana.

“Pakeeet…!” teriakan seorang kurir di depan rumah mengagetkan Finn sekaligus menyelamatkannya dari ketegangan. Namun hanya sesaat. Karena begitu dia beranjak, parno-nya muncul lagi. Bagaimana jika ternyata itu bukan kurir, tapi orang yang dibayar untuk menyakitinya? Bagaimana jika paket yang dibawa itu berisi bom? Bagaimana jika….

“Pak Fiiiiin…. Pakeeet!”

Finn mengintip dari jendela. Dilihatnya seorang kurir berdiri membawa sebuah paket kecil seukuran buku di depan pagar. Finn memeriksa sekitar. Tidak ada yang mencurigakan. Tapi siapa tahu….

“Tolong taruh di balik pagar saja, Pak! Makasih!” Finn berteriak dari balik jendela. Dia berusaha mengingat-ingat apakah membeli sesuatu di marketplace hari-hari belakangan ini. Tapi rasanya kini memorinya juga ikut-ikutan takut. Tidak mau muncul.

Setelah berjalan mondar-mandir di ruangan, Finn akhirnya memberanikan diri keluar untuk mengambil paket itu. Tidak mungkin bom bentuknya pipih seperti buku, pikirnya. Sambil menyapu pandangan ke sekitar rumah dia berjalan menuju pintu pagar yang hanya sejauh 5,5 meter, tapi rasanya seperti 550 meter. Akhirnya Finn berhasil mengambil paket lalu cepat-cepat kembali masuk ke dalam rumah.

Jelas bukan dari marketplace mana pun, karena dia tidak melihat ada logo yang dikenalnya di sana. Pun tidak ada nama pengirimnya. Dari bentuknya, sepertinya paket itu berisi buku. Finn memastikannya dengan meraba semua sisinya dengan hati-hati. Semua rata, tidak ada tonjolan-tonjolan yang mencurigakan. Setelah memastikan aman, Finn membuka bungkusnya. Betul dugaannya, isinya adalah sebuah buku. Novel karya Agatha Christie yang judulnya membuat jantung Finn berdesir. Death Comes as the End.

F*ck! Ini ancaman atau memang kebetulan?

Finn merasa akrab dengan novel itu. Dia membuka halaman judul dan menemukan sebuah coretan tangan ‘happy heart day’ di pojok kanan bawah, lengkap dengan sketsa hati, tanggal,  dan tanda tangannya. Finn baru ngeh, itu adalah novel yang dia berikan kepada Key bertahun-tahun lalu untuk ‘tanda jadi’ mereka berdua sebagai sepasang kekasih. Sebagai pengagum berat karya Agatha Christie, judul itu satu-satunya koleksi yang Key belum punya.

Finn merasakan sesuatu mengganjal di tengah buku. Dia membukanya dan mendapati selembar kertas terlipat. Hanya ada tiga kalimat tulisan tangan yang terdapat dalam surat tersebut.

Agar tidak ada lagi yang tersisa dalam hidupku, novel ini kukembalikan padamu. Kamu sudah kuanggap mati! – K.

NB: Tidak perlu baper dengan judulnya.

Keringat dingin keluar dari pori-pori di tubuh Finn. Mau tidak mau surat Key itu memicu memori masa-masa berengseknya muncul lagi. Setelah memutuskan cintanya pada Finn, Key mengancam akan membocorkan hubungan Finn dan Chi kepada Don. Finn panik setengah mati. Tidak hanya takut pada ancaman Key itu, tapi juga takut pada kemungkinan Key memberi tahu Chi bahwa sesungguhnya status Finn saat itu adalah pacar Key—meski sejujurnya Finn sudah mulai bosan dengan Key. Finn pun segera menyambangi Chi untuk mencari solusi.

“Aku tidak kenal dengan Key. Jadi apa urusannya melaporkan hubungan kita kepada Don,” tukas Chi waktu itu. “Dia, kan, tidak tahu persoalan yang sebenarnya antara aku dan Don. Sudah sok tahu, sok jadi pahlawan pula.”

“Atau dia sebenarnya memang mengincar Don?”

“Bisa jadi. Dan itu malah kebetulan buatku. Biarlah dia jadi budak cintanya Don. Eh, atau jangan-jangan kamu ada main juga dengan Key?” Chi pura-pura memasang wajah serius.

“Astaga!”

“Kalau ya, motifnya jadi jelas. Dia ingin menghancurkanmu dan aku. Sekali tepuk dua lalat.”

“Ya Tuhan. Dia hanya teman, tidak lebih. Aku juga baru kenal dia dua bulan lalu. Itu pun karena dia yang mengenaliku lebih dulu karena kita ternyata pernah sama-sama di satu kelas. Sejarah kalau nggak salah. Sejak itu sudah jarang bertemu, paling dua-tiga kali. Kalaupun bertemu juga tidak disengaja. Lagipula….”

“Ha ha ha… jangan baperan, ah. Aku bercanda, Sayangku,” sahut Chi sambil mengubah wajahnya kembali ceria.

Finn hanya bisa tertawa kecut mendengar lontaran canda dari Chi. Dan penjelasan panjang Finn yang defensif itu justru menjadi pembuka kecurigaan Chi atas dugaannya yang pada awalnya hanya asal-asalan itu. Chi memutuskan untuk menyelidiki mereka.  

“Cintaku hanya kamu, Chi,” Finn menegaskan.

“Percaya, kok,” Chi menjawab dengan datar.

“Jadi, kapan kamu akan putuskan hubunganmu dengan Don?”

“Secepatnya. Aku harus membungkam Key dulu biar langkah kita nanti mulus.”

“Eh, tidak perlu. Itu masalah kecil,” Finn buru-buru mencegah.

“Memangnya kenapa? Ini tidak bisa dibiarkan. Harus segera diselesaikan.”

“Key biar jadi urusanku. Kamu fokus mengurus Don saja.”

“Hmm… begitu ya?”

Finn bisa membayangkan kekacauan yang bakal terjadi jika Chi bertemu Key. Finn tahu betul karakter Chi yang pantang menyerah dalam meraih sesuatu. Persis seperti karakter-karakter utama dalam setiap novel Sidney Sheldon yang sangat Chi kagumi dan menjadi obsesinya. Dan kalau hubungannya dengan Key terbongkar oleh Chi, Finn tidak tahu lagi apa yang akan dia alami. Terbayang di benaknya bagaimana tokoh-tokoh utama di novel Sidney Sheldon melancarkan balas dendam. Rapi, terukur, dan tepat sasaran.

“Sudahlah, percaya padaku. Semua akan selesai dengan smooth dan senyap,” ucap Finn mencoba meyakinkan Chi.

Chi hanya terdiam. Sebuah gelagat yang membuat Finn malah makin khawatir akan nasibnya. 

Dan, seperti kata Finn, semua benar-benar berakhir senyap. Key, Chi, dan Don menjauh dari hidup Finn tanpa meninggalkan pesan, karena mereka akhirnya tahu kebusukan hati Finn. Finn sendiri juga memblokir seluruh media komunikasi dan media sosial mereka. Dengan begitu dia merasa sedikit tenang, setidaknya mencegah agar masalahnya tidak jadi berlarut-larut seperti yang dia khawatirkan. Finn pun menikmati kembali hidupnya dan tinggal di kota yang berbeda, menjauh dari ranah jelajahan mereka. Hingga surat kutukan itu hadir mengganggu jiwanya….

Finn menyambar gelas plastik es kopi dari Neraca Café di atas meja yang isinya tinggal satu seruputan. Baru hendak menyentuhkan sedotan di bibirnya, pandangannya tertahan pada logo yang tercetak pada gelas tersebut. Sebuah vector berbentuk neraca yang berpadu estetis dengan dua aksara NC di atasnya dan taglineBalancing Your Life” di bawahnya.

Mata Finn membelalak melihat logo tersebut, menyertai pikirannya yang mengawang liar dan menciptakan sebuah keyakinan yang meneror diri sendiri. Jelas ini bukan kebetulan. Mereka sengaja menerorku bergantian, dan kini giliran Chi.

NC adalah inisial nama asli Chi: Nawa Chiara. Dan dia adalah mahasiswi fakultas hukum yang setahu Finn simbolnya berupa gambar siluet Dewi Keadilan. Sosoknya digambarkan sebagai seorang perempuan yang menggunakan tutup mata, dengan tangan kiri memegang sebuah neraca dan tangan kanan memegang sebuah pedang. So dark! Membayangkannya saja kini membuat Finn ngeri, seperti melihat karakter psikopat dalam film-film slasher kesukaan Don. Ini Dewi Keadilan atau Dewi Kematian?

Tagline Balancing Your Life di bawah logo pun tak mau ketinggalan menambah parno Finn. “Ini adalah sindiran buatku untuk siap-siap menerima balasan atas segala perbuatanku. Biar skornya imbang,” Finn menyimpulkan sendiri.

Keyakinan Finn makin kuat bahwa semua kejadian yang dia alami seharian ini memang bukanlah kebetulan. Don, Key, dan Chi bersekongkol untuk membalas sakit hati mereka dengan menyiksa jiwa Finn. Chi-lah sutradaranya, yang merancang setiap langkah mereka dengan rapi ala Sidney Sheldon, dibantu oleh Key yang memberi sentuhan lika-liku misteri ala Agatha Christie, dan pada akhirnya akan dieksekusi dengan ‘sadis’ oleh Don yang mengacu pada film-film horor slasher kesukaannya. Perfecto!

Finn bergidik sendiri membayangkannya. Dia mencoba memastikan lagi dugaannya sudah benar. Menghilangnya Don, Key, dan Chi dengan kompak tanpa pesan mengindikasikan bahwa mereka sudah bertemu dan bersekongkol merencanakan sesuatu. Kalau tidak, pasti mereka langsung melakukan konfrontasi dengan dirinya. Si Pengutuk juga menyebutkan dalam suratnya bahwa dia seumuran dengan Finn. Jelas, ini cocok dengan umur mereka bertiga. Tentu mereka juga sudah merencanakan hal ini dengan cermat dan matang karena berhasil menemukan tempat tinggalnya dan kafe yang biasa dia kunjungi, bahkan meja favoritnya. Dan sekarang, si Pengutuk memancing Finn untuk menemuinya dengan iming-iming menghentikan kutukannya.

Finn mencibir. Dia tidak mau terpancing meski si Pengutuk memberikan clue untuk mencarinya, yaitu “telusuri dosa-dosamu”. Ini jelas mengarah pada seluruh perbuatan Finn terhadap mereka bertiga. Dan jika Finn benar-benar mengembalikan surat kutukan itu pada mereka, dia yakin Don sudah siap dengan aksi slasher-nya!

Kalau sudah begitu, bukan hanya kutukannya yang berhenti, tapi juga nyawanya.

Finn membaca lagi surat kutukan tersebut, sambil memikirkan langkah yang akan diambilnya. Mengembalikannya tidaklah mungkin. Sama saja bunuh diri. Membuangnya, Finn takut sepanjang hidupnya akan selalu diikuti penderitaan seperti yang disumpahkan di surat itu. Berbagi kutukan dengan orang lain, rasanya bukanlah ide yang bermoral. Dia akan menjerumuskan banyak orang ke dalam penderitaan hidup. 

Tidak habis pikir Finn, selembar surat berisi ocehan dan sumpah serapah saja mampu membuat jiwanya menderita begini. Ini baru satu hari. Bagaimana kalau satu minggu, satu bulan, satu tahun….

Aku bersaksi, aku sedang memasuki neraka dunia.

Terlintas di benak Finn untuk mengembalikan surat itu dan minta maaf kepada mereka. Bagaimanapun dia memang sudah melakukan perbuatan yang membuat mereka sakit hati. Dia sudah mendewakan ego di kepalanya sehingga tidak melihat cinta di hati teman-temannya. Namun tetap saja dia merasa takut untuk bertemu mereka. Dan malu.

Tapi aku harus menyudahi semua ini.

Sambil berbaring di atas ranjangnya, Finn memejamkan mata dan menata napasnya. Kata orang, mengatur napas akan membuat hati tenang, dan ketenangan hati akan memunculkan jawaban dan solusi. Tiga menit melakukan itu Finn mulai merasa mengantuk. Tapi tepat sebelum kesadarannya menghilang, tiba-tiba dia terbangun. Sebuah gagasan mengetuk otaknya.

Finn bergegas menuju meja, mengambil selembar kertas HVS, dan mulai menulis. Sesekali berhenti sebentar untuk memilih kata-kata yang harus dia gunakan, tersenyum, menggelengkan kepala, mengernyitkan dahi, mencoret-coret lalu membuang kertasnya dan mengganti dengan yang baru, hingga akhirnya mengakhiri tulisannya 15 menit kemudian dengan mengetuk keras ujung pulpennya—membuat tanda baca titik.

Di luar, cahaya matahari sudah mulai menguning redup. Finn melirik arlojinya. Pukul 16.45. Waktu yang tepat untuk menjalankan rencananya. Tidak panas di luar sana. 

Mengendarai sepeda motor, Finn menuju kios fotokopi, menyalin suratnya sebanyak 100 lembar, lalu membagikannya kepada setiap orang yang dia temui sambil merekam aksinya itu ke dalam video.

Di perempatan lampu merah.

Di halte-halte.

Di tempat-tempat kuliner.

Dan terakhir, Finn menyisakan 10 lembar untuk dibagikan di tempat nongkrong favoritnya, Neraca Café.

Di sini dimulai, di sini pula akan diakhiri. Biar imbang, seperti neraca.

Hanya ada sembilan pengunjung di sana. Dengan satu tangan mengarahkan kamera ponselnya, Finn meminta izin kepada salah satu pengunjung, seorang pria usia 40-an yang terlihat tengah bekerja dengan laptopnya. Pria tersebut mengangguk sambil tersenyum. Finn memberikan surat itu dan meminta si pria untuk membacanya. Tak lama kemudian si pria tersenyum simpatik kepada Finn dan menyambut ajakannya berjabatan tangan. Bahkan, pria tersebut kemudian memeluknya.

Finn melakukan hal yang sama kepada seluruh pengunjung. Dan rerata mereka merespons sama seperti pria pertama. Finn mengakhiri videonya dengan merekam dirinya melakukan monolog. “Begitulah akhirnya. Terbukti pada dasarnya semua orang sama. Sama-sama menyimpan rasa welas asih di dalam hatinya, yang jika itu muncul maka akan menenggelamkan ego-ego yang sering kali mengotori jiwa. Sekarang aku merasa tenang. Terima kasih semuanya. I love you.”

Kini tinggal langkah pamungkas. Finn mengambil salinan surat terakhir, melipatnya menjadi empat, lalu meletakkan di atas meja pojok tempat dia biasa duduk. Dia berjalan menuju kasir, memesan satu cangkir hot tea, lalu berbalik menuju ke meja favoritnya. Finn berlagak terkejut menemukan surat di atas meja, membukanya, lalu membacanya.

Selamat! Akhirnya kamu menemukan surga.

Dengan membaca suratku ini, jiwa kita sekarang menjadi saling terhubung, dari yang sebelumnya tidak pernah bertemu, bahkan tidak saling kenal. Kalaupun sudah kenal—atau mungkin kita bermusuhan—aku berdoa semoga sejak detik ini hubungan kita menjadi makin selaras.

Maka, untuk membekali perjalanan kita sebagai saudara sejiwa, terimalah ungkapan luhur dariku ini: Maaf, terima kasih, dan salam welas asih.

Silakan simpan surat ini, sebagai pengingat bahwa kita adalah saudara sejiwa. Silakan salin dan sebarkan surat ini, untuk menemukan saudara-saudara sejiwa kita yang lain. Tidak perlu terhubung secara fisik, karena lebih penting jiwa kita yang selalu terhubung. Semoga ini akan berlangsung selamanya, sehingga hidup kita menjadi seindah surga—yang di dalamnya berlimpahan maaf, terima kasih, dan welas asih.

Salam,

Saudara barumu.

Finn tersenyum dan melipat kembali surat itu. “Wahai diriku, mari kita mulai dari nol,” katanya mantap. Dia pun mulai mengedit videonya lalu mengunggahnya di semua akun media sosialnya.

 

RATUSAN kilometer dari lokasi Finn berada, Chi dan Key tengah ngobrol santai di teras depan rumah Chi.

“Kamu benar-benar tidak tahu di mana Finn sekarang, Key?”

“Tidak. Sekitar dua minggu lalu aku mendatangi rumahnya, mengembalikan ‘novel bersejarah’ kami berdua. Papinya yang menerima. Kata papinya Finn sekarang tinggal di Semarang, tapi dia tidak tahu alamat tepatnya.”

“Dasar Finn. Jangankan teman-temannya, orang tuanya saja dijauhi.”

“Ya, kadang aku merasa kasihan juga padanya. Hidupnya terpenjara di kepalanya sendiri.”

We are what we think, right?”

Tiba-tiba datang Don yang berjalan cepat-cepat mendekati mereka berdua setelah memarkirkan mobilnya di halaman rumah. Don membanting sebuah kertas terlipat di meja depan mereka sambil tertawa mencibir. “Baca, deh! Ada-ada saja ide anak-anak sekarang ngerjain orang….”

Chi menyambar kertas itu dan membaca isinya. Key merapat ikut membaca.

Selamat, kamu sudah menemukan neraka!

Halo, senang sekali aku menemukan dirimu—siapa pun yang menemukan surat ini. Karena aku akan berbagi sesuatu….

Sontak keduanya terbahak-bahak begitu selesai membaca seluruh isinya.

“Kau sempat percaya kutukannya, Don?” tanya Key.

“Tadinya begitu. Sial! Tapi setelah aku pikir-pikir, ngapain juga menyiksa diri dengan mempercayai hal-hal begituan.”

Sekali lagi Chi dan Key tertawa. Chi merobek-robek surat itu dan membuangnya di tempat sampah.

“Yuk, ah, kita berangkat,” katanya. “Malam Minggu haram di rumah!”

 

 

***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
hyu
@mahmud96 : 🥂
Mantap,@hyu
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Neraca Dunia
hyu
Cerpen
Bronze
Kakek dan Bisma
Anggrek Handayani
Cerpen
JANGAN REBUT SENJA TERAKHIRKU
Rian Widagdo
Cerpen
Bronze
Soup
kimchiroll
Cerpen
Catatan Harian Pak Treng
Rafael Yanuar
Cerpen
Bronze
Hope
Brilijae(⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧
Cerpen
Selembar Dunia
Rafael Yanuar
Cerpen
Kisah Aksara
Alda Kusmono
Cerpen
DIVISI
Terry Tiovaldo
Cerpen
Rindu Suara Azan
aksara_g.rain
Cerpen
Bronze
SAATNYA KEMBALI
Citra Rahayu Bening
Cerpen
Bronze
SECRET, The Silent World
Brilijae(⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧
Cerpen
Titik Jenuh
Rifa Asyifa
Cerpen
Bronze
Pagar Depan Rumah
spacekantor
Cerpen
Indahnya Surga di Telapak Kaki Ibu
LISANDA
Rekomendasi
Cerpen
Neraca Dunia
hyu
Cerpen
Bronze
Kiamat
hyu
Cerpen
Ada Apa dengan Cinta(ku)
hyu
Cerpen
Pulang
hyu
Cerpen
Raksasa dan Si Tua
hyu
Novel
Bronze
Dua Sejiwa
hyu
Novel
Bronze
Garda Jiwa
hyu
Flash
Jalan, Yuk!
hyu
Cerpen
Semar Mendem
hyu
Cerpen
Buruk Cermin Muka Dibelah
hyu
Cerpen
(Pintu) Surga Ada di Bawah Pohon Bambu
hyu
Novel
Bronze
Dalam Semesta Jiwa
hyu
Cerpen
Bronze
Sahabat Tak Terlihat
hyu
Cerpen
Lepidoptera
hyu
Cerpen
Bronze
Berhitung
hyu