Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hujan baru saja reda di Desa Wuwuk, Minahasa. Udara masih beraroma tanah basah, namun keheningan malam seperti menahan napas. Di kejauhan, suara kentongan terdengar tiga kali: duk… duk… duk…—pukul sebelas lewat lima belas.
Rani, siswi SMA kelas XI, berhenti di depan jendela kamarnya. “Kentongan lagi…” gumamnya. “Padahal nggak ada ronda.”
Ibunya menyusul dari dapur. “Jangan buka jendela, Ran. Udah malam. Tutup tirai.”
“Kenapa, Ma?” Rani memaksa mengintip. Di ujung jalan setapak, terlihat bayangan samar seorang nenek tua berjalan tertatih, rambutnya putih, bajunya lusuh seperti kain jarit tua. Tangannya menggenggam kentongan kayu.
Keesokan paginya, Rani menceritakan itu pada dua sahabatnya di sekolah: Dewa dan Siska. Mereka sedang duduk di bawah pohon pinus dekat lapangan.
“Lo yakin nggak lagi halu?” tanya Dewa sambil mengunyah permen karet. “Katanya nenek-nenek yang jalan malam itu… udah meninggal tiga puluh tahun lalu.”
Siska mengangguk pelan. “Iya, gue juga pernah denger cerita itu. Namanya Nenek Teling, dukun kampung yang katanya kebal karena tubuhnya dipakuin sendiri.”
Rani mengernyit. “Pakuin?”
“Dia dulu pasang paku ke kulitnya, tiap malam Jumat Pahing. Buat ilmu kebal, katanya. Pas mati, mayatnya nggak bisa dikubur normal. Tanah nolak.”
Cerita itu membuat bulu kuduk Rani berdiri. Tapi rasa penasarannya justru makin besar. Terlebih, minggu depan mereka ada tugas kelompok untuk mata pelajaran Sejarah Lokal: membuat liputan tentang tempat angker di Minahasa.
“Gimana kalo kita pilih rumah sakit tua di ujung hutan pinus itu?” usul Dewa. “Kan katanya Nen...