Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
NENEK BERWAJAH KAKEK
Cermin. Ia memantulkan bayanganmu dan kau dapat melihat dirimu dengan baik disana. Dan pandanganku dapat melihat dengan baik banyak hal, banyak wajah, dan banyak peristiwa. Tapi disaat aku melihat seorang nenek, aku melihatnya dengan pandangan berbeda. Nenek Narti namanya. Ia tetangga baru kami. Ia tinggal sendirian. Orangnya ramah dan murah senyum. Ibuku dan nenek Narti yang baru berkenalan, dengan cepat mereka menjadi akrab dan berteman. Lalu aku?... aku belum akrab dengan nenek Narti yang sekarang selalu sibuk mengobrol dan ngeteh bareng sama ibuku, baik siang mau pun di sore hari. Mereka semakin akrab dan benar-benar mulai menjadi sahabat. Aku tahu ibuku dan nenek Narti sangat cocok. Mereka sudah tentu bisa menjadi sahabat. Lalu aku? Sebenarnya aku tidak terlalu menyukai nenek Narti, tapi aku juga tidak membencinya. Ia sosok yang cukup baik bagiku. Dan aku tidak keberatan jika ibuku berteman baik dan menjadi sahabat nenek Narti.
Aku menyisir rambutku di depan cermin. Merapikannya dan mengikatnya. Saat menatap cermin aku kembali teringat pada nenek Narti. Pada wajahnya yang tak biasa bagiku. Aku terus memikirkan wajah nenek Narti.
Ia memang seorang nenek tua. Rambutnya sudah memutih dan selalu digelung dengan rapi. Kulitnya putih bersih. Senyumannya ramah membuat wajahnya sangat manis. Tidak ada yang buruk dari nenek Narti. Ia anak yang sehat dan berbahagia. Tapi aku tetap melihat wajah nenek Narti dengan pandangan yang tak biasa.
Mulanya aku merasa itu cuma penglihatanku saja. Tapi setiap hari kulihat wajah nenek Narti selalu begitu. Selalu sama. Benar-benar tidak berubah. Tetapi sama seperti aku melihat wajahnya untuk pertama kali. Aku belum terbiasa melihat wajahnya itu. Aku merasa wajahnya aneh setiap kali aku melihatnya dan bertemu dengan nenek Narti. Apa itu karena ada yang salah dengan mataku! Aku pasti salah lihat! Tapi, tidak salah kalau salah lihatnya terus menerus dan setiap saat begini?... pasti ada yang tidak beres pada penglihatanku! Aku menduga-duga dan mengesampingkan lagi masalah penglihatanku. Lagi-lagi aku membandingkan apa yang aku lihat. Wajah nenek Irma, nenek Vina, ibu Sita, dan perempuan-perempuan tua lain. Mereka tampak normal dimataku. Dan wajah nenek Narti tetap aneh bagiku. Aku semakin bingung dengan penglihatanku. Hingga akhirnya perlahan-lahan aku takut untuk melihat wajah nenek Narti lagi. Aku tidak ingin pikiran aneh setiap kali aku melihat nenek itu mengatakan hal-hal yang membuat aku semakin takut.
"Lihat wajahnya!... wajah perempuan tidak akan seperti itu!" Hatiku berbisik dengan perkataannya. Terdengar buruk bagiku. Membicarakan orang lain adalah sisi rendah manusia yang selalu mendominasi manusia. Dan aku tidak ingin ikut menjelek-jelekkan nenek Narti. Aku menggeleng-geleng. Berusaha mengabaikan dan tidak peduli pada suara hatiku yang sedang berkata buruk tentang orang lain.
"Kenapa wajah nenek itu misterius sekali Maya?... cari tahu lah apa yang membuatnya begitu?" Suara hatiku melontarkan keinginannya yang bernada meminta sekaligus menyuruhku, sehingga aku berpikir keras sekali, dan pikiranku sampai kemana-mana hingga terpikirkan olehku kalau nenek Narti berwajah seperti iti karena oplas alias bedah plastik. Ada-ada saja! Aku memalingkan seluruh perhatianku dari suara-suara hatiku yang mencari-cari tahu tentang masalah wajah nenek Narti yang dilihatnya. Aku tidak boleh terus menerus mendengarkannya dan mengikutinya. Apalagi kalau sampai itu harus mencari-cari tahu tentang orang lain. Aku paling tidak suka hal seperti itu. Biar lah wajah nenek Narti terlihat aneh bagi penglihata ku. Yang penting ia orang baik! Wajah itu bukan jaminan orang itu baiik atau tidak. Semua kebaikan itu berasal dari wajah. Jadi, kenapa aku harus menjadi sibuk memikirkan wajah nenek Narti terus? Toh ia nenek yang baik hati. Ibuku saja sangat menyukainya dan sayang padanya. Semua tetanggaku juga sama seperti ibuku, mereka sangat menyukai nenek Narti yang supel, ramah, dan baik kepada semua orang. Ia dikenal sebagai pribadi yang menyenangkan.
"Kau tidak main ke rumah nenek Narti, hari ini kan libur?" Ibuku bertanya dan memastikan ia harus membuatku akrab dengan nenek Narti, karena hanya aku satu-satunya orang yang masih berjarak dengan nenek Narti dibandingkan dengan tetangga-tetangga kami yang lain. Aku belum berteman baik dengannya. Aku menjaga jarak dengan nenek Narti bukan karena aku ingin menjauh atau tidak menyukainya. Tapi aku takut pada wajahnya.
"Aku masih merasa sungkan bu sama beliau!" Jawabku beralasan tidak datang ke rumah nenek Narti dulu hari ini.
"Bukannya kalian sudah berkenalan?" Tanya ibuku heran mendengar jawabanku seolah-olah ia sedang menghadapi masalah baru dariku.
"Iya bu, tapi aku masih merasa sungkan! Aku tidak bisa langsung datang dan billang kalau aku ingin cepat akrab dengannya! Itu akan membuatku malu bu!" Aku pun kembali memberikan sebuah alasan yang mungkin akan terdengar aneh bagi ibuku, tapi aku tidak peduli.
"Setahu ibu kau itu suka sekali berteman!... kau penyayang orang tua! Semua ibu-ibu dan nenek-nenek mengidolakanmu!... kau tidak ingin nenek Narti menjadi salah satu fans mu?" Gurau ibuku dengan wajah lucu yang nakal.
"Ibu... jangan menggodaku terus!... ibu tahu kan aku masih bayi waktu nenek meninggal?... jadi, aku menganggap semua orang tua adalah nenek!" Seruku dengan tingkah polos bocah yang hampir merajuk. Mengingatkan ibuku pada apa yang menjadikanku penyayang para nenek.
"Nenek Narti juga kan?" Lagi-lagi aku kaget. Ibu mengucapkan nama nenek Narti. Setiap kali ibuku menyebut nama nenek Narti, maka setiap kali pula aku kembali merasa tidak nyaman. Aku akan ingat lagi pada wajahnya yang membuatku takut. Aku hanya tersenyum merespon perkataan ibuku itu. Tidak ada komentar apapun untuk ibuku. Ibu menatapku dengan penasaran. Seolah-olah aku tidak terlihat seperti biasanya.
"Seorang Maya tidak mungkin tidak suka pada nenek Narti!" Gumam ibuku padaku. Aku tahu ia sedang penuh selidik padaku sekarang. Ia penasaran sekali. Ia mencari tahu dengan melihat wajahku, ekspresiku, dan mataku. Ia menggali informasi dari sana sedalam-dalamnya dan sebanyak-banyaknya.
"Entah lah!" Tanpa sadar aku bergumam lemas.
"Maya? Serius?" Ibuku berseru kaget. Ia terkaget-kaget dan matanya pun terbelalak karenanya. Cepat-cepat aku menggeleng.
"Aku rasa tidak begitu!" Kataku cepat-cepat pula.
"Semoga kau dan nenek Narti segera bersahabat baik!" Harap ibuku dengan manis. Sepertinya ia sangat mengharapkan aku dan nenek Narti menjadi dekat dan bersahabat secepatnya. Namun di dalam hatiku, aku semakin merasakan takut pada wajah nenek Narti. Lalu hari ini aku tiba-tiba berpapasan dengannya di halaman rumahku, untuk menyapanya saja lidahku terasa kelu bahkan untuk tersenyum menyapanya saja, aku tidak bisa. Sehingga melihat reaksiku itu nenek Narti cemberut dan ibuku menjadi geram. Aku pasti akan menghadapi omelan ibuku sepanjang waktu. Hari ini aku harus menghindar. Tapi aku bukan saja tidak ingin mendapatkan omelan dari ibu saja. Tapi wajah nenek Narti semakin menakutkan saja. Aku nyaris tidak bisa bergerak saat ia berjalan melewatiku tadi dengan wajah yang tidak bersahabat. Akhirnya aku tahu. Ternyata nenek Narti tidak menyukaiku. Di hari perkenalan kami, ia sempat ketus dan bersikap dingin padaku karena aku terus menatap wajahnya dengan ketegangan dan kekakuan dari rasa takutku yang tertahan.
"Aku sudah tua! Makanya terlihat jelek!" Omelnya padaku sebelum berlalu di hari perkenalan itu.
Wajah-wajah tua, betapa sering aku melihatnya dan menikmati wajah-wajah itu dengan penuh cinta. Wajah-wajah yang pernah dipenuhi garam-garam kehidupan itu. Aku bisa menghirup sisa-sisa aroma perjuangan dari begitu banyaknya pengorbanan-pengorbanan hidup. Tapi wajah nenek Narti yang kulihat disana, hanya lah ketakutanku saja. Hingga hari ini setelah aku kembali bertatap muka dengannya, aku menyadari ketakutan sejati telah terjadi padaku.
Aku pikir setelah sepekan lolos dari omelan ibu, masalah kemarin akan menguap. Tapi nyatanya hari ini ibu meledak. Ia marah-marah.
"Ibu tidak pernah menyangka kalau kau akan bersikap seperti itu pada nenek Narti!" Omelnya setengah marah-marah. Ia kesal. Ia menatapku kecewa.
"Maafkan aku!... aku tidak bisa baik padanya seperti yang ibu harapkan!" Aku hanya bisa meminta maaf padanya.
"Kenapa kau tidak menyukainya?" Seru ibu dengan pertanyaan yang amat mendesak.
"Aku tidak tahu!" Jawabku lagi. Wajahku tertunduk. Aku takut.
"Itu bukan jawabannya Maya!" Desak ibu memaksaku jujur.
"Aku takut padanya!" Aku tidak punya pilihan. Aku mengakui rasa takutku di hadapan ibuku.
"Kau takut pada seorang nenek?" Ibu menjadi geli meski pun kesal sekali padaku.
"Aku takut pada wajahnya!" Terpaksa aku mengatakannya. Namun tidak juga membuat ibu memahamiku. Ia justru semakin kaget dan heran.
"Wajahnya baik-baik saja Maya! Ia hanya seorang nenek!... ia tua!" Kata ibuku agak gusar dan menjadi geram. Tapi ia mulai bingung. Tatapan kebingungannya terus bertanya-tanya.
"Beritahu ibu, apa yang membuatmu takut pada wajahnya?" Ibu bertanya lagi. Ibu percaya padaku. Karena selama ini aku tidak pernah membohonginya dan baginya rasa takutku pada wajah nenek Narti menjadi misteri besar. Aku menggeleng lemah.
"Aku tidak tahu bu! Tapi aku takut melihat wajahnya!" Aku sebenarnya ingin mengatakan sesuatu yang aku pendam. Tapi aku takut ibu akan marah. Jadi, lebih baik bilang tidak tahu saja.
"Tidak mungkin Maya! Pasti ada sesuatu yang membuatmu takut pada wajahnya!" Kata ibu lagi dengan nada penasaran yang tinggi. Ia butuh alasan dan aku tidak mungkin takut pada kerutan-kerutan tua di wajah nenek Narti. Semua nenek di dunia ini memilikinya. Lalu apa yang membuatku takut pada wajah nenek Narti. Ibu benar. Karena itulah ia sangat ingin tahu. Namun aku tidak akan bisa memberikannya jawaban.
"Ibu, aku benar-benar tidak tahu! Yang aku rasakan aku merasa takut jika melihat wajahnya!" Jawabku agak tertekan.
"Baik lah Maya!... ibu tahu kau tidak bisa memberitahu ibu sekarang!... tapi segera beritahu ibu apa yang membuatmu takut melihat wajah nenek Narti!" Pintanya tegas. Ibu benar-benar membuat sulit diriku sehingga aku menjadi serba salah. Ia begitu peka dan tahu ada masalah yang sedang aku sembunyikan. Penyebab ketakutanku pada wajah nenek Narti. Aku melangkah pergi meninggalkan ibu dengan lemas. Aku seperti di bebani beban berat dari keingintahuan ibu. Aku tidak ingin ada yang tersakiti. Aku tidak ingin menyakiti siapa pun, apalagi nenek Narti. Ia tidak jahat! Masalahnya aku lah yang takut pada wajahnya. Dan masalah barunya saat ini adalah keingintahuan ibuku yang besar. Masalah baru lainnya yang diam-diam kucoba untuk ku abaikan adalah sikap nenek Narti padaku. Ia semakin tidak suka padaku. Aku khawatir akhirnya tumbuh kebencian darinya padaku. Aku takut nenek Narti membenciku. Dan jika sampai itu terjadi, apa aku diam saja dan malah membiarkannya membenciku? Entah lah? Aku rasa aku tidak bisa berbuat apa-apa meski pun nenek Narti membenciku. Aku sudah pasrah. Aku tidak bisa menghadapinya. Aku tidak bisa menghadapi wajah nenek Narti. Di sepanjang jalan menuju taman aku melangkah dengan gelisah. Aku ingin sekali jujur pada ibu. Tapi disisi lain aku tidak sanggup mengungkapkannya pada ibu. Aku harus bagaimana? Wajah nenek Narti berhasil mengacaukanku!
Rintik hujan yang tipis tidak membuatku basah kuyub. Aku tidak berteduh dan menikmati kesejukkannya menyiramiku. Sedikit menghiburku memang. Tapi disaat waktunya tiba nanti aku harus berkata apa pada ibu?... ibu pasti akan tetap mencari tahu dan akan kembali menanyakannya padaku di hari yang telah beliau tentukan itu. Aku tidak akan bisa menghindar. Ibuku seorang yang ahli dalam mendeteksi perasaan anaknya sendiri. Ia tahu betul waktu yang tepat untuk mendapatkan kejujuran dariku. Ia adalah seorang ibu yang super istimewa. Ia banyak sekali mengajarkan hal-hal yang baik terutama untuk menyayangi orang lain tanpa melihat siapa dia, apalagi wajahnya. Aku takut sekali mengecewakan ibuku dengan kejujuranku tentang wajah nenek Narti. Ia pasti sedih!... aku benar-benar berada dalam dilema. Tidak mungkin aku jujur pada ibu soal ini!
Hari minggu yang sangat cerah. Aku memberanikan diri untuk datang menemui nenek Narti. Aku berjuang keras melawan ketakutanku, walau pun ternyata aku hanya sanggup menahannya.
"Maafkan aku nek atas sikapku yang kurang menyenangkan tempo hari!" Aku bersungguh-sungguh meminta maaf. Nenek Narti tampak lunak. Ia terlihat lebih bersahabat dan kelihatannya bisa memaafkanku.
"Iya. Aku sudah memaafkanmu!" Katanya bersahabat.
"Tapi kenapa kau selalu terlihat takut melihat wajahku?" Tanya nenek Narti tiba-tiba spontan bertanya padaku. Ia penasaran sekali dan lagi-lagi ia bingung melihat wajahku yang tertangkap basah olehnya sedang menahan takutku pada wajahnya.
"Tidak nek!... aku tidak apa-apa! Ini aku bawakan nenek bubur sum sum kesukaan nenek!" Kataku dengan manis dan memberikan bubur sum sum yang kubawa untuk beliau lalu pamit pulang.
"Maya... tunggu!" Nenek Narti mencegahku pergi.
"Aku ingin menceritakan sesuatu padamu yang tidak bisa kuberitahukan pada ibumu!" Kata nenek Narti mendadak gelisah. Sepertinya ia merasa bersalah pada ibuku. Ada apa dengan nenek Narti? Apakah ia telah mengatakan sesuatu yang kurang berkenan pada ibuku gara-gara sikapku kemarin? Yang jelas aku mengangguk dan dengan sopan siap mendengarkan ceritanya.
"Maya, aku ini memang hanya lah seorang nenek tua yang sebatang kara!.. semua orang juga tahu itu!... aku juga tidak punya keluarga apalagi anak... dan semua itu terjadi bukan tanpa sebab!" Nenek Narti berhenti dan menarik napas dalam-dalam. Ia menjadi sedih karena memiliki luka dari masa lalu. Aku jadi kasihan melihan kesedihan nenek Narti.
"Nek... jika yang nenek ceritakan membuat nenek sedih dan kembali terluka, lebih baik nenek tidak usah menceritakannya! Tidak apa-apa nek!... tidak semua orang harus tahu tentang nenek!" Aku mencegah nenek Narti bercerita lebih lanjut. Aku tidak ingin ia kembali terluka karena menceritakan masa lalunya. Apalagi padaku yang belum menjadi sahabat baiknya ini. Karena aku juga merasa tidak pantas mengetahui tentang nenek Narti. Apalagi rahasianya.
"Justru jika tidak kuceritakan padamu dan ibumu tidak mengetahuinya aku pasti akan lebih sedih... aku belum pernah bertemu dan berteman dengan orang sebaik dia!" Kata nenek Narti lagi. Ia serius dan bersikeras untuk menceritakan semua tentang dirinya padaku. Apakah itu tentang rahasianya? Sepertinya begitu. Dan aku pun siap untuk mendengarkannya lagi.
"Dulu waktu kecil... aku suka sekali pada anak perempuan! Melihat anak-anak sebayaku, dan mereka semua perempuan, aku benar-benar senang melihat mereka semua!... anak-anak perempuan... mereka sangat manis!" Cerita nenek Narti dengan manis pula tentang teman-teman perempuannya di masa kecilnya.
"Tapi saat itu aku berbeda! Aku adalah anak kesayangan ayahku, dan aku anak laki-laki tunggal yang begitu ia banggakan!... sampai pada suatu haru aku tidak tahan lagi dan memutuskan untuk berubah... aku lalu kabur dari rumah dan menjadi seorang perempuan seperti yang selama ini aku impikan!" Kata nenek Narti menyudahi ceritanya dengan perihnya dan penyesalannya.
"Apa nenek menyesal?" Aku benar-benar menanyakannya tanpa meragukan apapun dan menjadi ragu oleh apapun. Aku tahu sejak lama rahasia nenek Narti. Rahasia itulah yang membuat aku takut.
"Terlambat sekali untuk menyesal! Aku menghancurkan hati ayahku!... hatinya sangat hancur... ia tidak bisa menerimaku lagi sebagai perempuan!... kau tau, meski pun aku bisa menjadi perempuan dengan operasi, tapi laki-laki tidak pernah bisa menjadi seorang ibu! Aku tidak bisa mempunyai anak meski aku menikah dan memiliki seorang suami yang sangat mencintaiku!... aku tetap tidak bisa menjadi perempuan sejati!... sampai akhirnya suamiku yang baik hati meninggal dan ia tidak pernah tahu apa yang menyebabkan aku tidak bisa memberikannya anak!" Nenek Narti menangis. Kesedihan yang dalam menjadi basah oleh air mata diwajahnya yang dipenuhi kerutan itu,
"Ya Tuhan!... aku selama ini benar! Setiap kali aku melihat nenek Narti aku selalu melihatnya dengan perasaan yang sangat aneh. Wajah miliknya itulah yang terlihat jelas dimataku saat itu, bukan lah wajah seorang wanita! Di saat pertama kali melihat wajahnya, aku telah melihat wajah seorang laki-laki. Ya. Nenek berwajah kakek! Itulah yang selalu kulihat pada wajah nenek Narti dan menjadi misteri besar serta ketakutan terbesarku. Sekketika aku menjadi lega. Ternyata apa yang kulihat benar!... aku tidak akan membuat ibu sedih kalau aku jujur pada ibu nanti.
"Nenek!... semuanya sudah berlalu! Nenek masih bisa melanjutkan kebahagiaan nenek!" Aku memeluk nenek yang menangis dan berusaha keras menghiburnya.
"Selamanya aku bukan perempuan sejati! Kesedihanku ini akan selalu menghantuiku!" Kata nenek Narti tersedu-sedu. Ia hancur lagi oleh kenyataan pahit tentang dirinya sendiri. Ia bukan perempuan sejati. Itulah kenyataan pahit seorang nenek Narti. Aku bisa memahami perasaannya yang hancur itu.
"Nek... saat nenek menyesal tidak bisa menjadi perempuan sejati?... apa nenek tidak ingin menjadi laki-laki lagi, laki-laki sejati?" Aku bertanya lagi. Bukan sekedar bertanya. Aku berharap ia kembali menjadi dirinya yang sejati.
"Sudah terlambat Maya! Semuanya tidak bisa kembali seperti dulu!.. sama seperti penyesalanku. Penyesalan ini akan terus menghantuiku!" Jawabnya dengan penuh rasa sakit dari seluruh rasa sakit dari luka masa lalu dan penyesalannya.
"Tidak terlambat!... kau hanya perlu menjadi laki-laki lagi! Laki-laki sejati!" Aku tidak tahu apa yang membuatku begitu yakin mengatakan ini dengan semangat dan keberanian yang luar biasa. Aku ingin nenek berwajah kakek itu bisa menghapus kesedihan dan penyesalannya. Ia harus kembali menjadi laki-laki sejati lagi. Itu kuncinya untuk kembali pada kebahagiaannya.
Hari yang ibuku tentukan itu telah tiba. Ia pun bertanya lagi. Dengan tenang aku menjawab pertanyaan ibuku kemarin.
"Aku tidak takut lagi pada wajah nenek Narti bu!" Kataku memberitahu ibuku. Lalu aku pun menceritakan semuanya pada ibuku. Meski sulit untuk percaya dan menjadi sangat syok, ibuku akhirnya memahami apa yang terjadi pada nenek Narti di masa lalunya.
"Ya,, Tuhan Maya!... jadi nenek Narti adalah seorang laki-laki..." pekik ibu lemas dan tidak mudah baginya menyembunyikan keterkejutan dan ketidakpercayaannya pada kenyataan yang ia dengar sendiri dariku. Ibuku terus syok. Namun ia memaklumi masa lalu seorang nenek Narti.
"Tidak apa-apa Maya!... kami akan tetap berteman! Itu hanya masa lalunya!" Kata ibuku tiba-tiba mengucapkannya, seakan-akan ibuku tahu pertanyaan yang ada di dalam hatiku. Aku tersenyum bangga pada ibuku.
"Aku punya kejutan besar buat ibu!... aku dan nenek... maksudku dia, sudah menjadi sahabat!" Aku hampir saja keceplosan karena nyaris mengatakan kejutan yang akan ibu dapatkan dari kami.
"Syukur lah!" Ucap ibu sangat lega dan senang sekali mendengarnya. Lalu ketika kami bertemu dengannya, dia bukan lagi nenek Narti. Ia sudah menjadi kakek Nardi. Kami menjadi cucu dan kakek setelah dia memaafkan dirinya sendiri lalu kembali menjadi laki-laki sejati. Ibuku terpaku dan tampak lemas karena begitu syok saat melihat kakek Nardiku.
"Dia.." ucap ibu terbata serta terputus dengan sendirinya. Ibuku mendadak terdiam hingga membisu. Sepertinya ibu yang sekarang melihat sosok kakek Nardi dengan pandangan yang berbeda. Ibu menjadi kaku, segan, dan aneh.
"Nenek berwajah kakek!... ternyata ia menjadi laki-laki lagi!" Bisik ibuku karena melihat pakaian laki-laki yang dipakai kakek Nardi yang membuatnya tampak gagah dan berwibawa. Aku tersenyum bangga melihat kakek Nardi.
"Bu Kanaya, apa kabar?" Sapa kakek Nardi hangat pada ibuku.
"Cucuku Maya!" Serunya pula memanggilku dengan penuh keriangan seorang kakek yang begitu senang menerima kedatangan cucunya. Sedangkan ibuku terus terdiam. Ia tidak bisa berkata-kata. Walau pun aku dan kakek Nardi kini tengah aysik bercanda tawa dan sibuk mengobrol, ibuku tetap membisu. Perlahan-lahan aku bisa melihat ketakutan dimatanya. Aku terkejut. Kenapa ibu harus takut melihat kakek Nardi? Dan kenapa ia harus membisu terus seperti ini? Saat aku melihat matanya dan tatapannya untuk kakek Nardi, ia merasa begitu asing pada kakek Nardi. Kasihan ibuku! Mungkin sulit sekali baginya melihat perbedaan yang sangat jauh yang kini dimiliki kakek Nardi setelah ia berubah dan kembali menjadi diri sendiri. Namun aku membiarkan ibuku dan tidak memaksanya untuk kembali bersikap manis seperti sebelum ia menemukan kakek Nardiku. Ibu pasti butuh waktu untuk kembali menjadi seperti itu lagi. Aku tahu ibu belum siap menerima perubahan dari seorang kakek Nardi. Dan tentu saja aku tahu keadaannya akan berbeda. Ibu tidak akan bisa berteman seperti sebelumnya dengan kakek Nardi. Bukan karena ibu yang berubah atau karena perubahan kakek Nardi. Semua akan seperti ini. Akan seperti ini pada tempatnya. Akan seperti ini pada waktunya. Dan juga akan seperti pada yang seharusnya. Tidak apa-apa!... ibuku mau pun kakek Nardi akan baik-baik saja. Mereka akan tetap seperti diri mereka yang seharusnya. Mereka sejatinya selalu ingin bahagia! Itu lah yang kuyakini. Namun tiba-tiba ibuku berkata setelah ia tersentak dari lamunannya.
"Maya... ibu takut!" Ucapnya cemas serta gelisah namun membuatku merasa geli.
"Jangan takut bu! Dia hanya seorang kakek!" Ucapku tenang menenangkan ibuku dengan senyumanku yang paling riang dan manis.
"Ibu serius! Ibu takut!" Kata ibu lagi dengan wajah lebih dari serius. Ibuku teggang sekali.
""Kenapa ibu harus merasa takut padanya?... dia baik-baik saja dan ibu juga akan baik-baik saja!" Kataku lagi kembali berusaha menenangkannya.
"Tentu saja ibu harus takut!... ia bukan lagi nenek Narti!" Ibu tidak suka padanya! Pada wajahnya!... pada semuanya!" Ibu mulai histeris. Suasana jadi tegang sekarang. Aku pun sampai terbelalak kaget. Bukan hanya karena terkejut. Tapi teringat sesuatu yang telah aku lupakan tentang ibuku sendiri. Aku lupa kalau ibuku selama ini tidak pernah dekat apalagi menyukai laki-laki, selain ayah dan kakekku. Dan mereka kini telah tiada. Aku benar-benar melupakan hal itu. Pantas saja ibuku terus saja syok, membisu, dan tidak bicara sedikit pun dengan kakek Nardi.
"Ibu... maafkan aku!" Sesalku dan hanya terucap kata maaf dariku. Aku menghadapi masalah baru lagi sekarang. Kakek Nardi, aku harus bagaimana?