Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Antrian menjulur panjang di pelataran kantor desa—layaknya barisan panjang dari generasi yang dikhianati.
Wajah-wajah kusut berjejer, bukan karena mereka tak mampu, tapi karena sistem membuat mereka harus terus mengemis di negeri sendiri.
Mereka berdiri bukan demi harapan, tapi demi sekadar bertahan.
Aku ikut di antara mereka. Tak beda. Tak lebih. Hanya satu angka dalam barisan manusia yang dipaksa tunduk oleh janji kosong bertanda tangan negara.
Tiga jam. Keringat. Panas. Desakan. Lalu suara lantang menyayat udara:
"Nomor antrian seratus dua belas."
Aku menoleh. Melangkah ke loket seperti terdakwa yang dipanggil ke meja pengadilan.
Di balik kaca, berdiri pria tegap—perangkat desa. Senyumnya tipis, suaranya hangat, tapi matanya menyembunyikan hitung-hitungan licik yang tak tertulis di buku anggaran.
“Pak, ini bantuan dari pemerintah. Satu juta rupiah. Gunakan baik-baik. Jangan dipakai untuk hal yang tidak perlu, ya.
Karena bisa saja nama Bapak dicoret dari daftar kalau tak sesuai pemanfaatannya.”
Ia menyampaikannya seperti nasihat, tapi ada nada ancaman tersembunyi. Nada pejabat kecil yang mabuk kuasa dari meja kayu pinjaman.
“Iya, Pak,” jawabku, sambil menerima lembaran uang.
Kuhitung. Kucermati. Tapi tetap tak sampai sejuta. Kurang. Jauh.
Ia tetap tersenyum—senyum yang sudah terlatih sejak bangku pelatihan korupsi berjamaah.
“Sudah dipotong pajak dan administrasi, Pak,” katanya ringan.
“Wajar kalau tidak genap.”
Pajak? Untuk bantuan rakyat miskin?
Pemerintah mana yang tega memungut dari perut kosong?
Negara macam apa yang tega melacurkan nuraninya demi recehan murahan?
Tapi aku tak bicara. Karena di negeri ini, kejujuran bisa dianggap makar. Dan mempertanyakan sistem dianggap penghinaan.
Aku tahu, potongan itu bukan soal aturan. Tapi soal kebiasaan. Soal kerakusan yang dilestarikan dari meja ke meja.
Soal kelicikan yang diturunkan lebih teratur daripada distribusi bansos itu sendiri.
Kakiku melangkah. Tapi pikiranku masih tertahan di balik meja loket, tempat uang rakyat dikuliti tanpa rasa malu.
Uang yang kuterima—yang katanya bantuan—sudah dikunyah sebelumnya oleh tangan-tangan tak terlihat.
Dipotong, dikikis, dan dibagikan sebagai "upah diam".
Bukan rumahku yang kutuju, tapi rumah reyot di ujung desa. Di sana, seorang nenek tua hidup sendirian. Nafasnya terseret.
Jalannya terhuyung. Tapi namanya tak pernah muncul dalam daftar penerima.
Sedangkan aku? Masih kuat kerja, masih bisa cari makan. Tapi malah aku yang dianggap "berhak".
Apa karena aku lebih dekat dengan pendata?
Apa karena mereka malas menyisir pelosok?
Atau karena nenek itu tak punya siapa-siapa untuk menyelipkan nama?
Aku tak tahu. Atau lebih tepatnya, pura-pura tak tahu.
Karena jawabannya sudah basi dan menyebalkan: sistem ini sudah terlalu biasa mengutamakan kedekatan daripada keadilan.
Ini bukan soal bansos. Tapi soal pembodohan massal yang dibungkus dengan embel-embel ‘bantuan’.
Soal pencitraan murahan yang dikompres dalam kamera dan dibagikan di media sosial.
Negeri ini bangga memberi, tapi diam-diam mencuri kembali.
Bangga disebut dermawan, tapi tak pernah merasa bersalah karena menyunat hak orang miskin.
Bagaimana bisa kita jadi bangsa besar, kalau data saja dimanipulasi demi tetangga sendiri?
Bagaimana bisa bicara kemajuan, kalau keadilan dipotong jadi dua, dan yang satu bagian masuk kantong aparat?
Negeri ini tak sekadar salah urus. Tapi sudah menjadikan korupsi sebagai budaya.
Menghalalkan pemotongan dengan stempel dinas.
Dan menjadikan rakyat hanya pajangan properti.
Bantuan sosial?
Di negeri ini, bahkan sedekah pun bisa dikorupsi.
Bukan lagi demi rakyat. Tapi demi menuhankan dompet sendiri.
Epilog
Di jalan pulang, angin mengibaskan debu di ujung sandal. Langit sore menggantung seperti tak sudi menyaksikan kenyataan.
Di punggungku, bayangan nenek tua itu berjalan pelan, seolah menuntunku menuju cermin retak bernama nurani.
Tak ada yang berubah. Esok, antrian akan tetap menjulur. Keringat akan tetap mengucur.
Janji-janji kosong akan kembali dilafalkan dengan nada seolah peduli.
Sementara di balik meja, mereka tetap menghitung untung dari setiap lembar bantuan yang semestinya penuh empati.
Aku hanya satu nama dari ribuan yang dilegalkan untuk diam. Sistem tak butuh kejujuran, ia hanya butuh keteraturan dalam kebohongan.
Dan kami, rakyat, dipaksa menjadi wayang dalam lakon amal palsu yang disutradarai oleh haus kekuasaan.
Negeri ini mungkin tak akan hancur oleh perang, tapi pasti akan lapuk oleh kelicikan yang diwariskan.
Bukan oleh musuh luar, tapi oleh pejabat dalam yang mencuri sambil tersenyum dan menyebutnya “prosedur.”
Tak akan ada suara dari pinggiran yang bisa merobek apapun. Mereka terlalu sibuk bertahan hidup.
Terlalu letih untuk marah. Terlalu sering dikhianati untuk percaya.
Karena di negeri pemurah sosial ini, bahkan bantuan pun bisa jadi alat penindasan.
Dan yang paling menyakitkan:
Kita semua, sudah terlalu terbiasa membiarkannya.