Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Narasi Perempuan
Oleh Meilisa Dwi Ervinda
Duduklah, akan saya ceritakan bagaimana saya secara tidak langsung membunuh anak dan suami saya secara bersamaan. Ya, anak saya usianya tujuh belas tahun saat itu dan suami saya masih bekerja keras, berangkat pagi, pulang malam, bahkan bisa saja pulang pagi lagi. Semuanya berjalan begitu cepat hingga saya tidak bisa mengontrol apapun. Mungkin itulah yang menyebabkan kedua orang yang saya sayangi lenyap.
"Saya juga tidak akan melupakannya!. Siapapun, tidak, tidak akan saya lupakan. Tidak akan. Saya akan membalaskan dendam kejahanaman orang-orang biadab. Saya, akan menuntut. Dengarkan! Saya akan melaporkan mereka ke pengadilan. Dengarkan itu.. Saya akan membalas, menuntut, mereka. Mereka semua"
***
Pagi itu seperti pagi biasanya, kami bertiga sarapan nasi liwet hasil masakan saya. Kami mengobrol banyak hal, tapi putri saya memang sangat mendominasi, bapaknya pun tidak kalah mengisi percakapan-percakapan di atas piring yang hampir kosong. Saya sesekali menimpali candaan mereka dan berakhir dengan ritual pamit ke rutinitas masing-masing. Suami saya bersikap sangat manis waktu itu, dia mencium pipi saya, mengelus rambut saya, dan membisikkan kalimat sayang yang sudah jarang diucapkan. Saya tak menaruh curiga, seperti kembali ke masa ranum awal-awal pacaran. Suami saya memang seromantis itu. Tapi tidak dengan akhir-akhir ini.
***
Anak saya, permata hati saya satu-satunya, harus meninggalkan dunia ini karena sekelompok orang yang tiba-tiba hadir di hidup saya. Mereka yang tidak tau malu, tidak punya belas kasihan, kalau saja rasa kasihan dibeli mungkin mereka tidak mampu membelinya, sehingga bisa berbuat sekeji itu. Ya, seandainya saya membiarkan putri saya pergi berkemah malam itu, mungkin dia tidak akan mati, mungkin, saya masih bisa menyambut kepulangannya, membuatkan teh hangat, memeluk tubuh menggigilnya, mencium keningnya kala berangkat sekolah.
***
Apakah ini ada sebabnya dengan kemolekan dan kecantikan anak saya? Mereka iri dengan matanya, wajahnya, tubuhnya bahkan hidupnya mungkin. Jangankan mereka, saya juga iri dengan kemulusan kulitnya, matanya, bibirnya, bahunya, dan semua tubuhnya, menggoda. Ingin sekali saya terkam, tapi saya tidak akan melenyapkannya seperti mereka.
Ya, ya, ya. Anak saya memang cantik, sangat cantik, bahkan dulu waktu dia masih kecil, di siang yang terik tiba-tiba ada tamu tak diundang datang, ternyata Pak Lurah. Saat saya tanya perihal tujuannya datang kemari, beliau hanya senyam senyum sambil mencuri pandang sesekali ke dalam rumah. Saya tidak mengerti apa maksudnya, lantas masih dengan senyum penuh makna itu ia menyampaikan ingin anak saya. Pak Lurah sudah kepincut sama kecantikannya, ia ingin menjadikan si kecil sebagai putrinya, oh atau menantunya, oh bahkan jadi istrinya.
“Jadi mertua saya aja, gakpapa lah, sawah saya masih banyak kok buat bekal si kecil nanti” ujar Pak Lurah..
Ia tak segan-segan ajak si kecil ke rumahnya saat umur 13 tahun, katanya biar akrab nanti kalau udah jadi istrinya. Saya gak setuju tapi bapaknya yang merayu-rayu biar lancar urusannya. Toh saya juga gak rugi. Jadi ya yaweslah. Siapa suruh jadi wadon ayu.
***
Sebentar, saya pikir-pikir, ada yang salah dengan akhir-akhir ini. Keromantisan itu perlahan memudar dan tiba-tiba kembali, saya pernah berpikir apakah anak saya dan suami saya main di belakang. Bisa saja, kan keduanya berangkat bersama saat kerja dan sekolah, bisa juga saat saya keluar rumah dan keduanya saling bersantai. Apa saya salah berpikir demikian? Salah anak saya juga, kenapa dia harus cantik, lebih cantik dari saya, lebih menggoda dari saya. Saat umur 9 tahun dadanya sudah mecungul, bokongnya sudah bahenol, dan sudah pintar melirik lelaki. Perasaan saya tak pernah mengajarinya seperti itu. Apa saya mengajarinya? Tidak. Apa iya? Tidak tidak. Apa iya ya? Saya mengajarinya? Saya tidak mengajarinya? Tapi mengajarnya.
***
Tiba-tiba bayangan muncul. Putih. Darah. Gelap. Lenyap.
"Siapa itu? Siapa di sana? apakah itu kau? Anakku? Oh anakku. Ibu sangat merindukanmu. Anakku."
Ini semua salah saya. Saya gagal menyelamatkannya. Ibu macam apa saya ini.
***
Kala itu, rumah mendadak sepi. Saya ingat. Putri saya izin berangkat kemah dengan teman-temannya, acara sekolah katanya, bapaknya belum pulang. Jadi, saya tak mengizinkan, saya berpikir bahwa biarkan nanti saja menunggu bapaknya kalau sudah pulang. Mengingat apa yang terjadi nantinya kalau ada apa-apa saya yang disalahkan. Toh, harusnya izin kalau masih ada bapaknya. Dari kemarin-kemarin kenapa dia tidak izin, apa memang strateginya dibuat demikian, pergi sama teman lelakinya tapi mengakunya kemah. Ya, saya dengan tegas menolaknya. Nanti kalau terjadi sesuatu saya juga yang kena imbasnya, “Anak perawan pergi malam-malam, apa kata tetangga”. Begitu biasanya.
Pertengkaran pun terjadi, dia bilang saya jahat, saya pelit, saya ibu yang tidak mengerti perasaan. Ibu yang suka ngatur, fa fi fu. Akhirnya dia menggebrak pintu dan mengunci diri di kamar. Ya sudahlah. Saya anggap wajar, toh semua keinginannya tidak harus selalu dituruti. Tapi barangkali itulah keinginan terakhirnya yang gagal saya soroti.
***
Kekhawatiran saya memuncak, kala suami saya belum pulang hingga dini hari.
Jelang beberapa waktu, ada yang menggedor pintu. Tak ada orang, saya tutup kembali. Gedoran itu makin kuat, saya bergegas, tidak ada siapa-siapa. Hanya bungkusan kresek hitam. Apa ini?
Saya lempar bungkusan itu jauh-jauh.
Anak saya sudah tidur. Suami saya belum pulang, ada bungkusan hitam di depan pintu. Bagaimana ini? Mustika apalagi. Saya jadi teringat suami saya, Apa yang terjadi padanya? Tidak tidak, itu hanya ilusi saya.
Bicara soal suami saya, dia kulitnya putih, tinggi, ganteng, tapi kurus dan tidak bisa bahasa Jawa meskipun ngakunya keturunan Jawa. Suami saya juga suka pergi mendadak. Waktu kondangan, saya baru mau makan dia sudah ngilang, waktu kumpul keluarga, dia sudah pergi tak tau kemana, parahnya, saat kami bulan madu, saya ditinggal sendirian di kamar seharian sama buku “seni menjadi istri yang hotlekah”, bayangkan. Mendidik dan mendadak.
Oh iya, pagi tadi Ia masih mencium kening saya, bilang saya sangat cantik hari ini. Ya. Sembari menenteng lusinan minyak ke truk. Saya bilang ini hari peringatan pernikahan kita ke tujuh belas, jangan pulang telat. Tapi sampai sekarang belum ada wujudnya. Kemana dia, gak pulang-pulang.
***
Jangan-jangan mereka, mereka yang datang ke rumah saya malam itu. Saat bungkusan hitam yang saya biarkan di luar tiba-tiba melayang masuk ke ruang tamu. Mereka kan yang mendobrak pintu saya, masuk tanpa aba-aba. Datang dengan wajah terbungkus topeng. Menjambak rambut saya, menampar, menggeret, dan mengikat tubuh saya di kursi. Tak seorangpun mendengar kenestapaan saya, mereka kembali menjambak saya, menindih tubuh saya, bahkan salah satu di antara mereka malah mencium paksa bibir saya. Sekuat tenaga saya melawan, tapi mereka ber satu-dua-tiga-empat ah
Mereka keroyokan. Saya memberontak, berteriak, menendang, tapi mereka lebih banyak.
Telinga saya berdengung, saya dilecehkan. Bersamaan dengan bungkusan hitam yang dirobek, mereka mengeluarkan baju suami saya yang basah penuh dengan minyak. Saya hafal betul aroma itu.
Minyak goreng yang saat ini menjadi incaran semua orang, dengan harga melambung, mereka berdemo dan mengolok-olok pemerintah, mereka menuduh suami saya pengepul yang menyembunyikan barang langka itu hingga harganya begitu mahal. Mereka berasumsi, karena suami sayalah minyak di kabupaten ini menipis. Tidak, mereka tidak tau, mereka tidak paham, orang-orang di ataslah yang membuat suami saya dituduh macam itu.
***
Tiba-tiba anak perempuan saya keluar, terperanjat dengan apa yang terjadi. Orang-orang bertopeng ini menampar saya, tidak membiarkan putri saya berpikir, mereka juga menyeretnya, lebih jahanam, mereka memperkosa anak saya di depan mata kepala saya diri. Anakku, lepaskan. Lepaskan putriku… brengsek kalian semua, lepaskan putriku. Jeritannya menggema di telinga saya. Tak sanggup saya melihatnya. Dada saya teriris.
Ini semua salah saya.
Dalam keterkutukan ini mereka mengakhiri penderitaan putri saya dengan kematian. (
***
Saya ingat betul kejadian itu, tidak akan saya lupakan. Suami saya tidak pernah kembali. Anak saya juga pergi. Padahal sebelumnya, saya sudah peringatkan suami saya, lepaskan minyak-minyak itu sebelum membuat gaduh, barangkali bukan suami saya yang membuat gaduh, tapi pengepul lain yang tidak mendapat stok lagi, atau suami saya yang membuat kejanggalan itu makin menjadi, tidak tidak.
Kenyataannya
Saya kehilangan keduanya
.