Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Namanya, Wira
2
Suka
7,299
Dibaca

" Nay, ini udah waktunya lho. Kamu nggak lupakan??" Kata Ummi sore itu saat menghampiriku yang sedang asyik menikmati senja diteras rumah.

" Waktu buat apa, Ummi?" Tanyaku heran dengan alis bertaut.

" Beberapa bulan lalu, kamu bilang dia akan datang menemui ummi sama Abi. Tapi kenapa sampai sekarang, dia nggak datang – datang" Kata Ummi menerangkan, yang bisa menangkap dengan jelas raut wajah heranku.

" Dia? Dia siapa Ummi?"

" Anak Ummi udah pikun rupanya" Kata Ummi dengan tersenyum, dan membenahi jilbabku yang sedikit berantakan diterpa angin dengan hembusan lembutnya, yang turut menyapa sore ini.

" Wira. Kapan dia kesini?" Tanya Ummi, cukup mengagetkanku.

Sudah cukup lama rasanya, nama itu tak pernah bergaung di indra pendengaranku. Wira, nama itu ternyata masih diingat oleh Ummi. 

Butuh usaha keras dan luar biasa bagiku untuk melupakan lelaki yang pernah menciptakan pelangi dan badai dalam kehidupanku sekaligus. Ia datang dalam hidupku dan menawarkan kebahagiaan yang kuyakini untuk selamanya, tapi ternyata semu dan sementara. 

Kebahagiaan semu, yang ia balut dengan beragam janji manis yang hanya dimulut saja. Tanpa pembuktian, tanpa tindakan nyata.

Namanya, Wira. Pria yang sukses membuatku jatuh kedalam cinta semu yang berakhir tanpa adanya kejelasan. Pria yang berjanji akan tetap bersamaku hingga rambut mulai memutih, walau ternyata itu hanya omong kosong. Pria yang juga menyakitiku dengan sekali pukulan tepat didasar hati.

Senja hari ini dan percakapanku dengan Ummi, membawaku kembali kemasa dimana saat itu aku masih sangat menyayanginya. Masih mencintainya. Dan masih takut kehilangannya. 

-----

" Naya, aku janji setelah pulang nanti aku akan menemui kedua orang tuamu, untuk melamarmu" Katanya saat itu, yang membuat bibirku tak sanggup berucap. 

Speechless. Aku tak tahu, aku harus bahagia atau sedih. Disatu sisi, Aku bahagia karena ia berniat untuk melamarku, tapi disisi lain aku juga merasa sedih, karena untuk beberapa bulan kedepan kami tidak akan bisa bertemu. Tugasnya sebagai jurnalis, menuntut kami untuk merelakan hubungan ini harus dijalani dengan LDR. 

Dia tersenyum dan menyeka air mataku dengan ibu jarinya. " Jangan sedih, Cuma kamu yang akan aku pilih. Sejauh apapun aku pergi. Aku pasti akan kembali untuk kamu" Tuturnya dengan tatapan meyakinkan.

" Janji??"

" Aku janji"

-----

Aku masih ingat langit senja saat dimana janji itu ia cetuskan, tak berbeda jauh dengan langit senja yang mendampingiku sore ini. Bias jingganya masih sama – sama memberikan efek kebahagiaan dan senyuman dibibirku. 

Bedanya, senyumanku hari ini, bukan karena aku bahagia memilikinya, tapi karena aku bahagia aku tak lagi bersama laki – laki pengecut itu.

" Naya, kenapa ngelamun?" Tanya Ummi membuyarkan lamunanku saat itu juga. Lamunan tentang masa lalu yang seharusnya tak terjadi.

" Nggak Ummi. Nggak ada apa – apa" Aku berkilah berusaha menutupi apa yang sedang aku pikirkan. Aku memang belum pernah menceritakan pada Ummi peristiwa seperti apa yang aku alami setelah Wira pulang dari perjalanan panjangnya. Hal apa yang terjadi dihari pertemuan kami. Dan bagaimana luka yang telah diciptakan Wira untukku. Aku masih merahasiakan semuanya dari Ummi. 

Haruskah aku menceritakan semuanya sekarang, agar Ummi tahu bagaimana sakitnya luka yang harus aku rasakan selama setahun belakangan ini.

" Wira, nggak jadi kesini, ya?" Terka Ummi dengan tatapan teduhnya.

" Bukan nggak jadi Ummi. Tapi orang itu memang nggak akan pernah kesini" Mendadak ada cairan hangat yang mendesak ingin dikeluarkan dari kelopak mataku. 

Luka mengangak yang belum sembuh itu, kembali membuat air mataku tumpah saat itu juga dan mengalir perlahan membasahi pipiku. Aku membuang pandanganku kembali menatap langit jingga sore ini. Berusaha menyembunyikan air mata kepedihan akan luka lama ini dari Ummi.

" Jalan aku sama dia udah beda Ummi" Ucapku sambil menyeka air mataku dan menghentikan tangisku. Aku menghela nafas panjang, berharap bisa menemukan sedikit ketenangan dalam setiap helaannya.

Aku ingat hari itu, hari dimana ia berjanji akan kembali untukku. Hampir seharian penuh aku menunggu kedatangannya, ditaman pinggir danau tempat biasa kami bertemu. Aku sudah menandai tanggal hari kepulangannya dikalender sejak terakhir kali kami bertemu waktu itu. 

Langit mendung menghiasi cakrawala sore. Angin juga berhembus sedikit lebih kencang dari biasanya. Hembusannya terasa dingin menembus pori – pori. Walau cuaca tampak sedang tak bersahabat, aku akan tetap menanti kedatangannya disini, demi menagih janjinya waktu itu. 

Hari semakin gelap, lampu – lampu taman mulai menyala menerangi setiap sudutnya. Awan Mendung penghias cakrawala sejak sore tadipun mulai memuntahkan isi perutnya. 

Hujan deras mulai turun, dan membasahi sekujur tubuhku. Dan, Wira tak jua menampakkan batang hidungnya. Aku sudah berusaha mencoba menghubunginya berkali – kali, tapi tak satupun telepon dan pesan singkat dariku ditanggapi olehnya.

Tubuhku mulai menggigil kedinginan, tapi tidak dengan sudut mataku, terasa hangat, dan cairan bening itupun ikut mengalir bersamaan dengan derasnya hujan yang membasahi setiap jengkal wajahku. 

Tangisanku, membuatku menyadari kalau laki – laki itu tak akan pernah datang. Mungkin ia telah melupakan janjinya, entah dengan sengaja atau tidak.

" Saat aku memilih untuk terus dalam perjalanan kami, dia malah berbalik arah, Ummi. Dia ninggalin aku tanpa kejelasan. Dia pergi gitu aja, tanpa berani menatap mataku, Ummi." Ungkapku pada Ummi, dengan tangis yang mulai reda. Pikirku buat apa lagi aku sia – siakan air mata ini untuk lelaki sepertinya.

Ummi merangkul pundakku, berusaha menenangkanku. " Nay, cinta yang baik akan datang dengan cara yang baik, dan pada orang yang baik pula"

Aku mengangguk mengiyakan, " Ummi mau bantu aku?"

" Bantu apa?"

" Menjemput cinta yang baik, dengan cara yang baik. Cara yang sudah pasti di ridhoi sama Allah" Kataku dengan tersenyum.

Ummi tersenyum dan mengangguk pelan, " Ya udah kita masuk yuk, bentar lagi udah mau maghrib" Ajak Ummi.

Aku dan Ummi melangkah masuk kedalam rumah, karena hari memang sudah semakin sore. Mataharipun merangkak perlahan menuju peraduan mengakhiri tugasnya hari ini.

*** 

Hari masih terlalu pagi rasanya, saat indraku menangkap dengan sangat jelas seseorang mengetuk pintu rumahku. Aku melihat arlojiku dan waktu masih menunjukkan pukul 6 lewat 15 menit. Orang seperti apa yang bertamu kerumah orang sepagi ini. Kurang kerjaan. 

Dengan rasa malas, aku yang sedang asyik menikmati sarapanku, meninggalkan meja makan demi membukakan pintu untuk tamu menyebalkan pagi ini.

Pintuku buka, sosok yang berdiri dihadapanku membuatku gamang. Nafasku kembali terasa sesak, bukan karena menahan emosi karena dia bertamu sepagi ini. Tapi terlebih karena, kenapa ia harus muncul kembali dalam hidupku setelah semua kisah tentangnya sudah kukubur jauh - jauh hari. 

Ada perasaan tak percaya menyelinap padaku, aku kedatangan tamu. Tamu yang dulu sangat dinantikan kehadirannya. Tamu yang dulu diharap – harapkan kedatangannya. Tapi kini tidak lagi. Malah ingin rasanya aku segera menendangnya untuk pergi dari rumahku, dari hadapanku. Ya.....tamu itu, bernama Wira!!.

" Assalammualaikum....." Ucapan salamnya menyadarkanku dari lamunan.

" Waalaikumsalam" Jawabku datar, dengan mimic wajah yang datar pula. 

Aku tak mau terlalu banyak berbasa – basi dengan sosok masa lalu itu. " Ada urusan apa, kamu kesini?" Tanyaku langsung pada persoalan.

" Aku pengen bicara sama kamu"

" Naya, siapa yang datang?" Tanya Ummi sambil berjalan mendekati ambang pintu. Setibanya di ambang pintu, aku mendapati Ummi juga mengalami hal yang serupa denganku. Kaget melihat Wira ada dirumah kami sekarang.

" Kamu?" Ucap Ummi menggantung.

" Selamat pagi, Tante. Saya Wira" Wira menyalami tangan Ummi sekaligus memperkenalkan diri, karena ini adalah kali pertama keduanya bertemu.

" Langsung aja, kamu mau bicara apa?" Tanyaku kembali menegaskan tujuannya datang kesini. Agar dia segera pergi dari rumahku.

" Bisa kita bicara ditaman, tempat biasa kita ketemu?"

Aku memandangi wajah Ummi, berusaha meminta pendapatnya. Ummi menggangguk pelan dan kemudian memelukku. " Kamu harus tegas pada diri kamu sendiri. Ummi yakin kamu tahu apa yang harus kamu lakukan" Bisik Ummi menasehatiku dan melepaskan pelukannya.

Langit terlihat sendu hari ini, entah itu hanya perasaanku saja, atau semua orang – orang ditaman ini juga ikut merasakan hal yang sama. Entahlah. Yang jelas sudah hampir 30 menit aku dan Wira berada ditaman ini, dan tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Wira. Tingkahnya membuatku jengah.

" Kurang lebih dua tahun yang lalu, harusnya aku menemuimu disini" Akhirnya dia mulai buka suara, setelah cukup lama hanya diam seperti patung tak bernyawa. "Tapi nyatanya aku malah membiarkan kamu menunggu tanpa kejelasan. Aku......."

" Kalau kamu hanya ingin membicarakan masa lalu, lebih baik aku pulang. Dan silakan mengenang sendiri masa lalu itu, masa lalu yang sudah lama aku tinggalkan" Terangku sembari beranjak dari tempat dudukku. Tapi niatku untuk pergi tertahan, karena Wira menggenggam erat pergelangan tanganku. 

Dengan cepat aku menepisnya. Tak seharusnya ia bertindak seperti itu. Ia sudah tak punya hak lagi untuk itu.

" Maafin aku, Nay. Aku terlalu bodoh. Aku lebih memilih kembali pada masa laluku dan meninggalkan kamu. Harusnya aku sadar, aku sudah tak dapat tempat lagi dihatinya. Aku mohon beri aku kesempatan untuk memperbaiki hubungan kita"

" Apa lagi yang perlu diperbaiki, hubungan itu udah nggak ada. Dan saat ini kamu juga kembali mengalami hal yang sama"

" Maksud kamu?"

Aku hanya diam dan mengambil sesuatu didalam tasku. Sebuah kertas cukup tebal berwarna Putih dengan nuansa biru yang dihalaman depannya bertuliskan namaku dan nama seorang lelaki pilihanku. 

Ya, aku memberikan padanya undangan pernikahanku yang akan berlangsung minggu depan.

" Kamu akan menikah? Secepat ini?"

" Iya. Aku akan menikah" Sahutku dengan penuh keyakinan. " Dia pria yang baik, santun, dan pantas menjadi imamku. Walau aku hanya mengenalnya baru tiga bulan belakangan ini, aku yakin dia adalah pilihan terbaik"

" Tiga bulan? Bagaimana bisa kamu mengambil keputusan untuk menikah dengannya dalam waktu sesingkat itu, sementara kalian baru berpacaran selama tiga bulan"

" Ta'arruf. Proses itu yang membuat kami mengenal dengan lebih baik" Ungkapku untuk menghentikan segala macam argument tak berguna Wira.

" Tapi, aku masih mencintaimu, Nay"

" Terlambat

" ..........."

" Seperti yang aku bilang tadi, kamu sudah tak punya ruang lagi dihati aku." Ujarku lagi kembali menyadarkannya, penyesalannya hari ini sudah tidak ada gunanya lagi. 

" Aku permisi. Selamat tinggal, Wira"

Aku beranjak pergi meninggalkan taman. Meninggalkan Wira. Meninggalkan semua mimpi yang pernah kami rajut. Dan meninggalkan semua kenangan tentang kami. 

Aku semakin menjauh dari Wira, tanpa menoleh kebelakang sedikitpun. Karena buat apa aku menghidupkan kembali masa lalu itu. Sementara masa depanku jauh lebih indah dari apa yang pernah aku bayangkan.

Namanya, Wira. Lelaki yang menciptakan pelangi dan badai secara bersamaan dihidupku, yang mengharapkan kesempatan untuk kembali, tapi sayang kesempatan itu telah terkikis habis hingga kedasarnya. 

( END )

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
sedih endingnya hiks ;(,
Rekomendasi dari Drama
Novel
Rawan
Eko Hartono
Skrip Film
Burjo Borju
Hardian
Cerpen
Namanya, Wira
drizzle
Flash
Bronze
Melahirkan Di Motor Bandung
Yovinus
Flash
Titik Jenuh
gustiana
Cerpen
Bronze
CINTA KWOK MATI DI LUMBUNG PADI
Ranang Aji SP
Skrip Film
LITERATUR BERNYAWA ( SCRIPT FILM )
Rainzanov
Flash
Bacot!
Atsuka D
Flash
Bronze
Penjiplak Skripsi
Sulistiyo Suparno
Novel
Bronze
LdR
Lindania
Flash
Bronze
Di Sebuah Showroom Mobil
Nuel Lubis
Flash
Bronze
Janji Setelah Nikah
syafetri syam
Flash
Bronze
Haji tanpa Gelar
Sulistiyo Suparno
Flash
Di Warung
Chairil Anwar Batubara
Novel
Bronze
JAMAIS VU
Hanif IM
Rekomendasi
Cerpen
Namanya, Wira
drizzle
Cerpen
Just 1 Hour
drizzle
Flash
Bronze
Aku Bisa Apa?
drizzle