Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tak ada satu hal pun yang bisa kukatakan tentang masa laluku. Aku tak tahu siapa namaku, dari mana asalku, atau alasanku berada di tempat ini, semuanya tak bisa kuingat. Di sini, semua orang yang bernasib sama denganku memakai pakaian putih-putih. Totalnya ada sepuluh orang—lima laki-laki dan lima perempuan—dan semuanya dipanggil dengan nama kode sesuai dengan nomor kamar tidur masing-masing. Aku adalah B-5, lelaki kurus yang menempati kamar tidur nomor 5 di lorong B.
Agaknya terlalu bagus kalau aku menyebutnya sebagai kamar tidur, karena kenyataannya, kamar berukuran dua kali dua meter ini lebih cocok disebut sebagai sel tahanan; seperti yang ada di lapas. Walau lebih bersih dari sel tahanan lapas, kamar ini hanya berisi satu ranjang kecil berkasur tipis dengan bagian toiletnya—tanpa wastafel, lebarnya tak sampai seperempat ruangan—yang hanya diberi pembatas berupa dinding setinggi pinggang.
Biar kuberi tahu yang terjadi padaku saat pertama kali terbangun di tempat asing ini. Aku tak tahu kapan dan di mana tepatnya, namun kuyakin kalau tempat ini berada jauh sekali dari kota tempat tinggalku yang sudah tak dapat kuingat.
Kepalaku teramat sakit kala itu, dan yang pertama kali kusadari saat perlahan membuka mata adalah aku yang berada di kursi berjok kulit—atau bisa dibilang meja operasi, entahlah—dengan tangan dan kaki terikat di semacam borgol yang menyatu dengan kursinya.
Aku terlalu lemas saat itu, sampai-sampai mulutku tak mampu untuk sekadar berucap barang satu kata pun. Namun dapat kulihat kalau ruangan tempatku terbangun sangatlah putih dan terang, dipenuhi oleh peralatan-peralatan canggih yang asing; tak pernah kulihat sebelumnya. Tak jauh dariku, berdiri dua orang tak dikenal yang memakai pakaian terusan putih tebal lengkap dengan penutup kepala; seperti yang dipakai oleh astronot.
Meski tak terdengar jelas, kutahu kalau mereka sedang berbicara—sambil membelakangiku—dengan bahasa Indonesia, tetapi dengan pembahasan yang sama sekali tak dapat kupahami. Ada dua kata yang dapat kutangkap dari percakapan mereka, yaitu “eksperimen” dan “senjata”, namun aku tak bisa menangkap kalimat-kalimat yang berisi kedua kata itu.
Setelah dua orang itu tahu akan diriku yang sudah sadar, salah satunya mengambil sebuah suntikan dan beberapa detik kemudian, jarum suntiknya sudah tertancap di leherku. “Mulai sekarang, namamu adalah B-5,” kalimat itulah yang terdengar sebelum aku kembali pingsan.
Aku tak tahu persis letak lorong B tempat kamar tidurku berada. Yang kutahu hanyalah, lorong ini kira-kira punya lebar hampir empat meter dan panjangnya sepuluh meter. Jalan keluar-masuk lorong ini adalah pintu logam tebal nan canggih yang hanya bisa dibuka dari sisi luar dengan kartu identitas tanpa nomor sandi. Pintunya—kalau sisi depan kamarku dianggap mengarah ke selatan—berada di ujung barat, jauh dari kamarku yang terletak di ujung timur.
Di lorong B ini terdapat lima kamar berisi lima laki-laki dengan bentuk yang terlihat sama dari luar; mungkin dalamnya juga. Dinding dan pintu kamar-kamar itu juga terbuat dari logam keras berwarna perak. Terdapat ventilasi kecil yang terbentuk dari susunan lima lubang persegi panjang di sisi atas pintunya. Di tengah-atas masing-masing kamar tampak tulisan B-1 hingga B-5 berwarna merah.
Hidup bagai tahanan di tempat ini bisa dibilang berbeda jauh dengan yang ada di penjara. Kami mendapat jatah makan tiga kali sehari dengan menu yang tak begitu mewah, tetapi bernutrisi cukup. Sedangkan untuk menjaga kebersihan, kami dijadwalkan mandi di ruang mandi yang luasnya setengah dari lorong—di dalamnya berisi lima bilik kecil, kalau di lorong B lokasinya berada di sisi timur—sebanyak satu kali sehari setiap pagi.
Waktu makan kami diatur sedemikian rupa dan ketika waktunya, kami dituntun sambil dijaga ketat ke sebuah ruang seperti kafetaria untuk makan bersama; dari situlah kutahu kalau jumlah orang yang bernasib sama denganku berjumlah sepuluh orang. Dari kunjunganku keluar untuk makan itu juga, kutahu kalau lima perempuan sisanya menghuni lorong A yang letaknya persis di depan lorong tempatku dan empat orang lain berada.
Terlihat di area yang telah kulewati dijaga ketat oleh orang-orang bersenapan otomatis dan berseragam hitam lengkap layaknya militer. Ada juga kamera-kamera pengawas yang terlihat di setiap sudut ruangan. Dan beberapa orang berpakaian jas putih-panjang layaknya dokter atau mungkin ilmuan yang berlalu-lalang di sekitaran.
Dari situ aku menyimpulkan kalau, mungkin, tempat ini adalah laboratorium atau sejenisnya. Namun aku masih tak tahu apa sebenarnya tujuan mereka terhadapku dan sembilan orang lainnya.
Yang kami lakukan di hari pertama hanyalah tidur, mandi, dan makan saja; tidak ada bekerja, disiksa, atau hal-hal lain seperti yang dialami seorang tahanan pada umumnya. Kemudahan hidup yang kami jalani ini direspons suka cita oleh teman sepenanggunganku yang lain, tetapi tidak denganku.
Aku selalu berpikir kalau kehidupan yang terlalu mudah dan menyenangkan adalah sesuatu yang paling menakutkan. Pemikiran itu didukung dengan kecurigaanku terhadap air putih di tempat ini yang rasanya aneh—sedikit pahit. Namun pemikiran itu tidaklah diketahui orang-orang yang lain karena, selama ini, aku tak pernah berbaur dengan mereka.
Hidup berkelompok itu sangat tidak cocok untukku. Daripada banyak omong, aku lebih suka menyendiri sambil memikirkan rencana untuk kabur dari sini dengan mendengarkan segala bentuk percakapan di sekitarku. Aku percaya kalau pasti ada semacam informasi yang berguna dari semua percakapan yang ada.
Satu hari berlalu tanpa terjadi apa-apa, juga tanpa kutemukannya informasi yang berguna. Namun, tak ada satu pun yang menyadari kalau ini adalah awal dari sebuah bencana. Malamnya, sekelabat aku terjaga lantaran samar-samar mendengar suara seperti erangan kecil. Aku tak mengacuhkan suara itu hingga sesaat kemudian aku pun tertidur kembali.
Esok paginya, saat sarapan, aku menyadari kalau ada sesuatu yang ganjil; A-1 tidak ada di sini. Awalnya kukira kalau perempuan itu hanya sedang tak ingin makan pagi. Namun di jam-jam makan berikutnya dia tak juga kunjung terlihat. Aku mulai penasaran. Setelah tak mendengar ada satu orang pun yang curiga, kucarilah informasi dari para penghuni lorong A dan berakhir dengan tak menemukan apa-apa hingga waktu makan malam berakhir.
Di dalam kamar, aku mempercayakan diri menganggap A-1 sedang sakit atau semacamnya. Aku pun tertidur begitu pulas tanpa bisa mendengar suara yang kuanggap tidak akan terulang lagi.
Waktu sarapan tiba. Duduklah aku di meja paling ujung kafetaria sambil mengamati sekitar, sama sekali belum menyentuh menu sarapan yang ada. Di meja sebelahku duduk dua orang perempuan; seingatku A-3 dan A-5. Mereka berbicara dengan suara pelan seperti berbisik. Pembicaraan yang tak penting awalnya, tetapi semakin lama, pembicaraan mereka berhasil menarik perhatianku.
“Eh, tahu enggak?” bisik A-3, “Si A-2 juga sakit, lho. Katanya penyakit yang sama dengan A-1.”
“Serius?” A-5 penasaran. “Sakit apa memangnya?”
“Entahlah, aku juga enggak tahu. Tapi wajar, sih. A-2 itu soalnya dekat banget sama A-1.”
“Terus, terus, mereka di mana sekarang?”
Aku takkan pernah tahu jawaban dari A-3 lantaran seseorang tiba-tiba duduk di depanku sambil membawa nampan makanannya. Aku berdecak kesal. “Mau apa kau, A-4?”
“Sut, pelankan suaramu.” A-4 menempelkan telunjuknya di depan bibir. “B-5, aku sudah memperhatikanmu selama ini.” Dia mencondongkan setengah tubuhnya, lalu berbicara pelan, “Dengar, ada yang enggak beres dari hilangnya A-1 dan A-2. Sekarang aku sedang menyelidikinya.”
“Hilang? Bukannya mereka cuma sakit?”
“Enggak. Yang kaudengar dari A-3 itu cuma bualan para penjaga saja.”
Aku menampakkan ekspresi paham. “Jadi, apa maumu?”
“Kurasa, kejadian ini ada hubungannya dengan alasan kita ditahan di sini. Dan untuk itu aku butuh bantuanmu.”
“Bagaimana kalau aku menolak?”
“Kau mau keluar dari tempat ini, kan?”
Aku mengangguk.
“Berarti tujuan kita sama. Kalau kita berhasil menemukan jawabannya, kemungkinan besar kita bisa kabur dari sini.”
“Enggak ada yang namanya kemungkinan besar di sini.” Aku menyuap makananku. “Jelaskan, apa rencanamu?”
“Pertama, aku akan mengecek klinik tempat ini. Dan kumau kau mencari informasi dari orang-orang kita.” Tanpa mendengar dahulu responsku, A-4 berlalu meninggalkan kafetaria.
Klinik yang A-4 maksud berada tepat di depan kafetaria dan dijaga dengan ketat. Aku tak yakin perempuan itu bisa masuk dengan mudah ke sana. Namun apa yang dilakukannya itu bukanlah urusanku, karena aku sama sekali tak mempercayainya.
Akhirnya waktu sarapan pun berakhir tanpa sama sekali aku mencari informasi seperti yang dia pinta. Saat waktu makan siang dan malam, batang hidung A-4 sama sekali tak terlihat, dan aku bersyukur karena tak percaya dengan ucapannya yang berkesan penuh jebakan itu.
Hari keempat. Kafetaria dihebohkan dengan hilangnya A-3 yang katanya juga karena sakit. Aku mendengar banyak sekali spekulasi ini-itu dari orang-orang lainnya. Aku memilih duduk di sebelah meja A-5 dan dua lelaki lainnya berada; seingatku kedua lelaki itu adalah B-1 dan B-3.
Dengan wajah ketakutan, A-5 bercerita kepada dua lelaki itu, katanya, “Semalam aku mendengar A-3 berteriak kesakitan!”
Air muka B-3 tampak terkejut, sebelum menanggapi, “Kau yakin itu suara A-3?”
“Aku yakin banget kalau itu suaranya.”
“Jangan mengada-ada, kau pasti salah dengar,” tukas B-1.
“Aku berani sumpah kalau itu benar-benar dia! Dia enggak sakit. Aku yakin, aku yakin kalau dia sudah enggak ada lagi di sini!” A-5 berusaha menahan tangis yang hendak keluar, membuat kedua matanya berkaca-kaca.
“Sudahlah, jangan mengotori kehidupan indahku di sini dengan omong kosong macam itu!” B-1 berlalu dengan wajah kesal.
“Hei!” B-3 berseru marah. Kemudian saat seruannya itu tak diacuhkan B-1, dia pun mengelus pundak A-5 untuk menenangkannya.
Duduklah aku di depan mereka berdua. “A-5,” kataku, “aku percaya dengan ucapanmu. Karena aku juga pernah mendengar erangan kecil di malam sebelum A-1 menghilang.”
“Menghilang apanya?” tanya B-3, “Mereka itu cuma—”
“Enggak. Mereka enggak sakit.” Aku beralih pandang pada A-5. “Kulihat kau sering bersama A-3. Apa ada yang aneh dengannya kemarin?”
“Enggak ada,” A-5 menjawab pelan, lalu terdiam beberapa saat sebelum matanya tampak seperti mengingat sesuatu. “Ada,” sambungnya kemudian. “Waktu itu dia bilang kalau rasa air putihnya aneh.”
“Mau aneh bagaimana lagi?” B-3 menyela. “Rasa air itu memang—”
“Oi,” sanggahku, “bisa enggak kau diam dulu?” Tatapan tajamku membuat B-3 diam menekuk muka. Aku berkata lagi pada A-5, “Aneh? Maksudmu rasanya bukan pahit?”
“Benar. Dia bilang kalau rasa airnya sedikit manis.”
“Kapan dia bilang begitu?”
“Saat makan malam.”
Informasi yang mungkin berguna, pikirku. “Baiklah, makasih atas jawabannya.”
“Memangnya, kenapa dengan air putih itu?” A-5 ingin tahu.
“Ah, enggak, enggak ada apa-apa, kok,” jawabku sambil berusaha tersenyum senatural mungkin.
Aku sengaja mengelak lantaran memerlukan cukup bukti sebelum mengungkapkan pemikiranku pada mereka. Saat ini aku mulai sedikit percaya dengan A-4, dan memutuskan untuk bertemu dia secepatnya. Aku berpamitan pada dua orang itu sebelum berdiri dan pergi mencari keberadaan A-4 yang, sampai selesai makan malam pun, sosoknya tak kunjung terlihat. Ke mana perginya perempuan itu?
Malamnya, aku berniat untuk tetap terjaga sampai bisa mendengar teriakan atau erangan seperti sebelumnya. Namun, entah kenapa niatku itu tak berjalan dengan baik. Aku tiba-tiba tertidur begitu pulasnya hingga pagi merangkak naik.
Saat tengah mandi, aku mendengar obrolan dua orang—aku tak tahu siapa saja—yang isinya mengejutkan. Fakta bahwa semua perempuan lorong A yang dinyatakan sakit oleh penjaga tempat ini menimbulkan sedikit kekacauan.
Saat makan siang, B-2 dan B-4 secara mengejutkan berhasil merobohkan salah satu penjaga kafetaria dan mengambil senapan otomatisnya. Namun sebelum mereka sempat melakukan tindakan bodoh dengan senjata api itu, keduanya berhasil dibekuk dan diamankan ke tempat yang tak diketahui.
Kebenaran tentang alasan B-2 dan B-4 melakukan itu berhasil kuketahui dari B-3. Katanya, tadi malam B-2 mendengar rintihan dari arah lorong A, dan saat waktu mandi, dengan bodohnya B-3 menceritakan semua perkataanku dan A-5.
Ternyata yang tadi kudengar adalah suara B-3 dan B-2. Hampir saja kutinju wajah mengesalkan B-3 di depanku itu, tetapi segera urung lantaran tak ingin menimbulkan kekacauan lagi. Sebagai gantinya, aku mendapatkan informasi yang berguna darinya; ternyata air putih yang diminum A-5 saat makan malam kemarin juga punya rasa yang sedikit manis.
Sedikit penyesalan sekelabat menghantuiku, kalau saja aku mengutarakan pemikiranku pada perempuan itu kemarin, dia mungkin akan baik-baik saja sekarang. Namun yang sudah berlalu biarlah berlalu. Keselamatan diri sendirilah yang paling penting.
Ketika waktu makan malam, setelah mengetahui rasa air putih B-3 yang pahit, sekaranglah saatnya menemui B-1.
“Apa yang kau mau, Bajingan?” B-1 menukas saat aku baru saja duduk di depannya. “Berkat orang macam kau, kenyamananku di tempat ini jadi terganggu.” Dia berdecak. “Menyedihkan. Kau lihat dua orang bodoh tadi siang? Buat apa mereka melakukan hal yang enggak berguna macam itu? Kuharap mereka mati saat itu juga.”
Akan lebih baik kalau kau yang mati duluan, sialan. Aku meneguk air putihku hingga habis; masih terasa agak pahit, kemudian berkata, “Tumben banget rasa air putihnya agak manis begini.”
“Manis, katamu? Omong kosong!” Dia meneguk juga air putihnya. “Tukang masak sialan itu mana pernah memberi makanan yang rasanya enak, bahkan airnya pun masih saja terasa pahit!”
Aku tersenyum kecil, kemudian berlalu tanpa berucap lagi. Sudah dapat dipastikan kalau untuk sementara tidak akan ada lagi yang menghilang. Dan karenanya, aku pun dapat tidur nyenyak malam ini.
Seperti mimpi buruk, tetapi ini nyata, aku terperangah bukan main saat tahu kalau B-1 juga menghilang. Kebenaran lain yang tak bisa dipercaya dan bertolak belakang dengan informasi sebelumnya pun diketahui; air putih yang rasanya manis itu ternyata tidak ada hubungan sama sekali dengan menghilangnya mereka. Semakin jelaslah sekarang kalau orang-orang itu bukan hanya sekadar menghilang, melainkan sudah tak lagi bernyawa.
Sekarang tinggal kami berdua di tempat ini. Aku merasakan kegundahan yang teramat dalam, sedangkan teman sepenanggunganku B-3, wajahnya tampak begitu pucat layaknya mayat hidup. Dia sangat ketakutan hingga tangannya bergetar bukan main lantaran besok adalah gilirannya, dan bisa jadi juga giliranku.
Semenjak pagi ini, nafsu makanku seakan lenyap entah ke mana. Aku dan B-3 pun tak ada yang berbicara barang satu kata pun. Namun sialnya, saat makan malam, B-3 dengan bodohnya melakukan tindakan yang jauh lebih bodoh; meniru kelakuan B-2 dan B-4.
Tanpa sepengetahuanku, rupanya dia mengendap-endap mendekati satu-satunya penjaga kafetaria di samping pintu. Aku menyadari kelakuannya saat dia sudah dekat dengan si penjaga, kemudian dengan tak begitu gesit dia mencoba untuk mencekik leher penjaga itu dengan dua lengannya. Namun, tubuh B-3 yang kurus itu terlalu ringan untuk si penjaga berbadan tegap. Dengan mudahnya tubuh B-3 dapat dibanting si penjaga. Lelaki malang itu seketika pingsan.
Dengan sumpah serapah yang kuteriakkan dalam hati, berlarilah aku sekencang yang kubisa untuk menerjang si penjaga yang teralihkan pada tubuh pingsan B-3. Penjaga itu pun tersungkur. Yang kupikirkan saat ini hanyalah berusaha untuk menyadarkan B-3, tetapi kenaifanku itu malah berakibat fatal. Tanpa diduga, sekelabat tengkukku seperti dihantam dengan keras dari belakang, membuat pandanganku berkunang dan perlahan-lahan menghitam.
Aku terbangun di tempat yang, setelah cukup lama, kuperkirakan adalah kamar tidurku sendiri. Rasa nyeri di tengkukku masih sedikit menyengat, membuatku susah duduk. Setelah memaksa bangkit, aku pun berjalan mengitari ruang sempit yang remang ini untuk sekadar memastikan perkiraanku. Benar, tempat ini adalah ruang tidurku selama beberapa hari ini.
Lalu, aku duduk kembali di sisi ranjang untuk sekadar merenung. Tidak ada lagi yang dapat kulakukan untuk keluar dari sini, dan sekonyong-konyong ventilasi di pintu kamar ini mendadak tertutup dengan cepat. Aku terperanjat mendapati kegelapan absolut yang mengelilingiku. Tak sampai semenit setelah itu, terciumlah bau yang begitu menusuk hidung disertai pedihnya kedua mataku karena asap yang muncul entah dari mana.
Apa-apaan ini? Dengan lengan menutup hidung aku bergerak cepat menuju yang perkiraanku adalah pintu kamar. Logamnya hanya bergeming tanpa menimbulkan suara yang berarti saat kugedor berkali-kali. Sehabis gedoranku yang terakhir, sekelabat kamar ini menjadi terang dan menyilaukan.
Refleks aku menengadah, dan setelah pandanganku agak jernih, dapat kulihat kalau asap itu keluar dari lubang kecil di bagian tengah langit-langit. Aku tak pernah menyadari keberadaan lubang kecil itu lantaran selama berada di sini tak pernah sekali pun lampunya dinyalakan.
Suka tidak suka, aku pun pasrah. Tak ada gunanya aku menutup hidungku. Gumulan asap yang semakin lama kian tebal ini mungkin sudah hampir memenuhi paru-paruku sekarang, dan akibatnya, sekujur tubuhku terasa sangat panas sekali. Kurasakan seperti ada kobaran api yang berkecamuk dalam dadaku. Aku jatuh berlutut, seraya melihat kedua tangan yang kini memerah dengan kulit yang mengelupas dari ujung jemari, lalu menjalar perlahan sampai ke lengan.
Bukan main sakit dan menderita aku dibuatnya, sampai-sampai salivaku mengalir deras dari mulut yang berteriak, menganga selebar-lebarnya. Bukannya aku sedang menangis, tetapi air dari kedua mata ini tak kunjung bisa berhenti menetes.
Aku mengerang sendu, lalu menggeliat sejadi-jadinya. Semakin kuatlah aku mengerang, lalu lama kelamaan eranganku itu menjadi sebuah auman yang begitu menggema. Tak sengaja pandanganku mengarah pada kedua tangan yang kini berubah lebih besar dan penuh akan bulu-bulu putih bercorak hitam. Kuku-kuku di jemariku juga berubah lebih besar, keras, dan tajam.
Mengikuti perubahan pada kedua tangan, badanku pun perlahan membesar hingga baju putih yang kupakai pun terkoyak lenyap. Mataku beralih ke sekitar dadaku yang juga penuh akan bulu-bulu putih, lalu perhatian ini menuju ke kaki yang juga sama berubahnya.
Aku tak tahu bagaimana wajahku saat ini, tetapi kuyakin kalau bentuknya mungkin menyerupai sosok monster mengerikan. Ya, Tuhan, apa yang sudah mereka lakukan padaku?!
Sesaat kemudian, perhatianku teralihkan pada pintu yang tiba-tiba terbuka. Pandanganku entah kenapa diselimuti warna merah. Biar begitu, masihlah tampak olehku tiga orang yang berdiri di ambang pintu. Dua lelaki yang berdiri di sisi kiri dan kanan perempuan itu berseragam hitam seperti penjaga tempat ini; lengkap dengan senapan laras panjang. Namun yang membuatku terkejut setengah mati adalah sosok perempuan berpakaian jas putih-panjang itu. Tidak salah lagi, itu A-4. Dia masih hidup!Tapi, apa-apaan pakaian dan tampang angkuh itu?
Aku hendak merutuk perempuan keparat yang sudah pasti adalah antek mereka. Namun mendadak aku tak bisa lagi berbicara layaknya manusia. Hanya auman keras yang bisa terlontar dari mulutku. Auman yang bahkan tidak bisa membuat gentar mereka.
“Selamat, B-5,” kata perempuan itu, “kau berhasil lolos ke tahap selanjutnya.”
Sebuah panah tidur kini tertancap di dadaku.[]