Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
NAMA BAYIKU CORDELIA
4
Suka
273
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Wajahnya pucat. Bulir-bulir air bermunculan melalui pori-pori dahi, walaupun seluruh ruangan seakan beku karena pendingin ruangan. 

Helai rambutnya tidak tertata rapi seperti biasa. Sorot matanya hanya tertuju mengarah ke satu arah.

Suaranya yang pada awalnya keras penuh tenaga kini mulai hampir tak terdengar lagi, setelah berkali-kali dan terus menerus mengeluarkan kalimat yang berulang kali selalu saja sama. 

“Bangunlah, Nak.” 

Suaranya berdesir, terdengar lirih. Bisikan sarat dengan keletihan.

***


Sore itu pukul lima sore. Suasana kantor sedang cukup ramai. Kebetulan sedang ada acara makan-makan merayakan birthday salah satu rekan kerja. 

Ada banyak balon bulat warna-warni yang dipasang di pojok-pojok ruangan sebagai dekor. Begitu juga dengan balon-balon berwarna gold yang bergantungan di tembok disusun bertuliskan Happy Birthday Tania.

“Jadi sekarang udah umur tiga puluh enam nih,” Frans, salah satu dari team panitia event mengomentari tambah umur sambil mengambil cake ulang tahun di meja, lalu langsung membawa ke dalam mulutnya. “Enak banget kuenya!”

“Iya dong pastinya enak dong kuenya, hehe,” sahut Tania si wanita yang sedang berulang tahun. “Ngomong-ngomong umur gue udah lumayan lho, lumayan banyak,” sambungnya.

“Ah, masih banyakan juga gue,” Frans merespon kalimat Tania.

“Emang umur lo udah berapa, Frans?” Cordelia tiba-tiba datang menghampiri, bergabung dengan dua rekan kerjanya.

“Gue udah empat puluh lima, Del,” jawab Frans.

“Haha, iya sih, lumayan banyak tuh umur lo,” Cordelia tertawa. 

“Lo berapa, Cordel?” Tanya Frans.

“Gue tiga puluh.”

Frans menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Masih lebih sedikit umur lo, Del, dibandingin Tania. Tapi kecil-kecil udah bisa bikin anak kecil ya?” Ledek Frans sambil melirik ke arah perut Cordelia.

Cordelia tertawa terbahak sambil kemudian memegangi perutnya yang buncit. 

“Tinggal dua bulan lagi nih, kak Frans, hehe. Tolong doain yaa supaya dilancarin semuanya,” sahut Cordelia. 

Frans mengangguk sambil tertawa nyengir dan berkata, “Aamiin... Semoga lancar jaya sampai hari H.”

Namun sesaat tiba-tiba saja Cordelia merasakan ketidak nyaman. 

Ia merasakan cairan hangat menembus celana yang dipakainya. 

Segera memasukkan potongan terakhir cake ulang tahun ke dalam mulutnya, ia lalu berjalan menuju toilet. 

Air ketubannya pecah. 

***


Matanya masih saja terus memandang ke arah bayi yang diapitnya dengan dua lengan di dadanya. 

“Mari, Bu.” Dengan tatapan ikut bersedih dokter yang membantunya selama proses dalam ruang berwarna serba putih mengulurkan tangan untuk menyudahi adegan di hadapannya. 

Cordelia merapatkan tangannya, menolak uluran tangan sang dokter. Ia terus berusaha melindungi bayi yang berada di dalam pelukannya. 

“Bangunlah, Nak,” bisiknya lagi dengan suara parau bercampur rasa takut yang mulai mendesir di hatinya.

***


Seketika suasana kantor yang sedang ramai penuh gelak tawa suka ria, berubah menjadi suasana kepanikan. 

Cordelia segera dilarikan ke rumah sakit. 

***


Cordelia tak mau melepaskan bayinya. Ia tidak mau bayinya diambil oleh siapapun. 

Dokter lalu merayu, berusaha membujuk Cordelia bak sedang berhadapan dengan anak kecil. 

Seakan-akan ibu muda yang sedang ada di hadapannya, adalah anak kecil yang merajuk karena masih juga belum puas bermain. Seorang balita yang menolak menyimpan mainannya, meskipun sudah tiba waktu untuk tidur beristirahat. 

Cordelia semakin erat memeluk bayi yang makin tampak putih itu ke dalam pelukannya.

“Bangunlah, Nak,” bisiknya kembali.

***


Seperti biasa sore hari jam pulang kantor lalu lintas Jakarta padat merayap. Jam sibuk. Tidak mengherankan.

Mobil dikendarai dengan tangkas agar bisa cepat sampai di rumah sakit bersalin. 

“Masih lama ya, Frans? Cordel udah gawat!” Tania berkata dari bangku belakang sambil menggenggam tangan kawannya, mencoba mengalirkan kekuatan agar kawannya bertahan.

Frans tampak terus menyetir tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan terhadap dirinya. Ia berusaha tidak panik, sembari memusatkan konsentrasi mengendarai mobil agar cepat sampai.

“Frans!!!” Tania memanggil rekannya lagi, kali ini dengan setengah berteriak. “Masih lama gak sih nyampenya??” Tanyanya lagi, mulai panik. 

Klakson lalu terus menerus dibunyikan. Dua lampu sein juga dinyalakan agar pengemudi mobil lain minggir dan berkenan memberikan jalan.

“Dikit lagi. Lo jagain Cordel!” Perintah Frans.

Lelaki paruh baya tersebut juga tidak henti-hentinya menyalakan dan mematikan lampu besar mobil agar kendaraan yang dikendarainya bisa terus melaju cepat. Cordelia harus cepat tiba di rumah sakit supaya dapat segera ditangani dokter.

***


Cordelia meraba pipi halus dan mengelus rambut si bayi yang tebal dan hitam. 

“Bangunlah, Nak,” suaranya terdengar parau dan pelan.

***


Kendaraan yang membawa Cordelia akhirnya sampai. Mobil langsung mengarah dan berhenti di depan pintu UGD. 

Dengan gesit, dua lelaki dan satu perempuan berseragam putih rumah sakit langsung menyambut dengan sebuah bed rumah sakit. 

Dua orang lelaki berseragam security juga dengan sigap turut membantu.

Waktu berjalan sangat cepat. Tali pusar keluar. Menghambat pasokan oksigen dan makanan janin di dalam perut Cordelia.

Tempat tidur didorong semakin tergesa melewati lorong. Perawat berjalan cepat setengah berlari. Menuju ruang operasi. Waktu yang diperlukan untuk mencapai ruang operasi tinggal lima setengah menit lagi. 

***


Bayinya perempuan. Sangat cantik dan memukau. 

“Bangunlah, Nak,” suara Cordelia terdengar parau dan pelan.

***


Di atas meja operasi, Cordelia mulai bernafas lewat masker. Menghitung mundur dari angka sepuluh, sembilan, delapan. Lalu mulai melemah ketika masuk hitungan ketujuh, keenam. Selanjutnya semakin melemah pada hitungan kelima. Obat bius mulai mengalir merasuki setiap pembuluh darah, menguasai tubuhnya.

Kemudian perlahan ia mulai tertidur.

***


Panjangnya tiga puluh lima sentimeter dari kepala sampai jari kaki. 

“Bangunlah, Nak,” suara Cordelia terdengar parau dan pelan.

***


Di bawah pengaruh obat bius, dalam tidurnya Cordelia bermimpi sedang bermain di pinggir pantai bersama anaknya.

Cordelia mengajarkan sang anak membuat sebuah istana pasir.

Namun ombak kemudian datang, lalu menghancurkan istana yang sedang mereka berdua bangun. 

Namun bukannya menangis karena istananya rusak, anaknya malah tersenyum sambil menatap wajah Cordelia. 

***


Jari tangan dan kakinya sempurna. Kakinya langsing seperti kaki Cordelia.

“Bangunlah, Nak,” suara Cordelia terdengar parau dan pelan.

***


Kemudian sayup-sayup dari kejauhan, Cordelia bisa mendengar suara seorang perempuan yang sedang melahirkan, serta tangisan bayi yang baru dilahirkan.

“Suara bayi milikku kah itu?” Ia bertanya dalam hati.

Perlahan ia mulai bangun dan membuka matanya.

Mulai berangsur sadar lalu mulai mempertanyakan, “Tapi mengapa suara bayi itu begitu jauh?”

***


Bayinya tampak begitu nyenyak dalam tidur. 

Senyum sangat cantik dan sangat damai menghias wajah kecilnya.

“Mimpi apa, Bayiku? Apakah mimpi sedang membuat istana di pinggir pantai? Hati-hati dengan ombaknya. Mari Ibu bantu. Kita akan membuat istana lagi bersama-sama yang jauh dari bibir pinggir pantai, agar kali ini tidak rusak.”

Ia memberikannya nama Cordelia. Sama seperti namanya.

***


Ia masih tidak mengerti mengapa takdir memberikan hadiah bayi yang harus lahir tidak bernafas. 

Dengan mata bengkak yang sudah kehabisan air mata, Cordelia menyaksikan Cordelia Bayi yang sudah dibungkus kain putih, dibopong masuk ke dalam tanah. 

Kemudian perlahan sedikit demi sedikit ditimbun oleh tanah merah diiringi lantunan doa.

Dari atas bangku kecil yang didudukinya, Cordelia menyaksikan orang-orang mulai menaburkan bunga dan menyiramkan air, sembari masih terus membacakan doa. 

Beberapa papan bunga duka berdiri tegak di sekitar timbunan tanah yang kini di bawahnya berisi Cordelia Bayi. 

Cordelia tidak ingin beranjak pergi. Ia hanya ingin terus bersama bayinya. Tidak mau meninggalkannya sendirian kedinginan. 

Langit perlahan lalu berubah menjadi abu-abu gelap. Cuaca menjadi mendung. Angin bertiup mulai menyapukan rasa dingin pada kulit tubuh. 

Sebentar lagi hujan akan turun.

Suaminya kemudian memeluknya, membantunya agar berdiri, menggenggam tangannya, lalu menuntunnya untuk pulang ke rumah. Kakinya sulit digerakkan, seakan mati rasa.

***


Bangunlah, Nak.” Cordelia masih terus berkata dan memohon lirih di dalam batinnya. 

*Tamat*

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@Shinta tentu. 🤗🙏
Hai @EgiDavidPerdana Terima kasih banyak untuk apresiasinya🙏 Senang sekali bacanya🤗 Mari sama-sama saling menyemangati dan saling meninggalkan jejak. Best regards, 💕
karya terbaik yang pernah saya baca semenjak jadi user Kwikku. 👶👶👶👶👶/👶👶👶👶👶 alias 5/5 dari saya. 🤗 mampir dan tinggalin jejak juga di karya saya, ya. 😁☺️🙏
@shintalarasati sama2. Salam kenal juga. 😄
Scene indah di masa depan itu pasti terjadi. Aamiin..
Thanks a lot sudah mampir @DMRamadhan Salam kenal ✨
Dan bayangkan di masa depan, si ibu ditakdirkan masuk surga, dan ketika melangkah memasuki gerbangnya, mendekat sosok indah nan sempurna sambil berkata, "Ma, ingat aku, nggak?"
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
NAMA BAYIKU CORDELIA
Shinta Larasati
Cerpen
Rindu Suara Azan
aksara_g.rain
Cerpen
Buruk Cermin Muka Dibelah
hyu
Cerpen
Kontrakan Sakinah
Tini
Cerpen
Bronze
Submerge
Faisal Susandi
Cerpen
Ucup Si Programmer
Saputra
Cerpen
Bronze
Maghdiraghar Nyurathala
JWT Kingdom
Cerpen
Bronze
Salah Jalan
Fitri Yeni Musollini
Cerpen
Bronze
Duwa Nyawa
Silvarani
Cerpen
Hanya Sebatas Kerikil Kecil
Rein Senja
Cerpen
Tetangga Depan Rumah
ken fauzy
Cerpen
Raenna
Hilda Pratiwi
Cerpen
LOVE FROM BROKEN ROLLER COASTER
NUR C
Cerpen
Hal Yang Lucu
Cassandra Reina
Cerpen
CALON MANTU
Ani Hamida
Rekomendasi
Cerpen
NAMA BAYIKU CORDELIA
Shinta Larasati
Cerpen
Pendar
Shinta Larasati
Cerpen
Bintang Mariska Bulan Dua Belas
Shinta Larasati
Cerpen
Batagor, 98, Dan Langit Kembang
Shinta Larasati
Cerpen
Bronze
Tukang Tipu
Shinta Larasati