Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Nala
2
Suka
435
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator


           Nala figur sederhana, tak ramai kelilingnya, ’92 lahirnya. Suara merdu sang pemilik lagu mengalun indah di saat emosi hampir tak sanggup kukuasai, hanya dengan dua kata itu hatiku luluh lantah.

           Dua jam yang lalu, kursi, bangku, serta meja di garis pandangku seperti tak bermilik, kosong walaupun dedaunan kering kerap menyapa. Aku menatap malas sambil memainkan sedotan di dalam gelas yang tak berisi. Kuaduk udara yang ada di dalamnya dengan putaran searah jarum jam sambil mengharapkan Mas Andra akan tiba di putaran ke-100. Genap di putaran dua puluh menuju seratus, seorang lelaki jangkung dengan kulit eksotis mengetuk pelan meja tempatku menopang siku. Aku tidak menoleh karena kehadirannya sudah kunantikan semenjak dia melambaikan tangan dari pintu masuk.

           “Halo, dek”, sapanya dengan nada khas pria dewasa.

           “Iya, mas. Duduk aja.” Kujawab tak berirama.

Mas Andra menarik kursi di sebelahku, tapi aku angkat suara sebelum ia nyaman di kursi itu.

           “Kita duduk berhadapan saja mas, ada hal penting yang perlu dibicarakan.”

Dia di sebelahku, tapi enggan kulirik tuk mengetahui respons wajahnya. Nada bicara yang menyebalkan tak ia indahkan, Mas Andra tetap menjawab dengan lembut. Dan sebelum ia beranjak, tanganku merasakan sensasi lembut dan hangat yang diberi oleh tangannya. Tak kutepis tangan itu, tak juga kuberi balasan manis, hingga sensasinya hilang begitu saja.

“Aku sudah pikirin ribuan kali mas, gada jalan untuk masalah ini. Buntu.” Dengan keberanian tak seberapa, aku berhasil adu tatap dengannya. Bola mata hitam legam dengan alis tebal itu begitu memabukkan tanpa rayuan

“Dek,” suara yang begitu lembut makin menggoyahkan tatapanku. Karena tak sanggup lagi, maka kujadikan langit sebagai pelarian mata.

Ternyata kondisi langit tak jauh beda denganku, diberi senggolan sedikit saja akan ada yang tumpah. Hal yang pasti akan jatuh dari langit adalah air, tapi aku tidak yakin dengan apa yang akan tumpah dari tubuh ini.

Mas Andra tak melanjutkan kalimat, masih tenang menunggu jawaban dariku yang sedang termangu menahan banjiran emosi. Saat satu emosi dapat dikendalikan, muncul emosi lain yang berkecamuk, menjambak, dan meronta ingin diekspresikan.

Salah, ini sungguh salah untuk meminta Mas Andra datang ke tempat ini. Lebih tepatnya, salah karena aku berpikir akan mampu menahan lonjakan emosi di ruang terbuka. Malu, aku malu kepada Mas Andra yang telah menemaniku sejauh ini, tapi tetap saja penyakit ini lebih berkuasa dariku.

“Dek,” dengan intonasi yang tak berubah, suaranya pun tetap lembut. “Kita obrolin di rumah saja ya?”

Aku yang baru saja berhasil mengontrol tangis langsung membalas dengan tatapan tajam, “Mas ga percaya aku mampu mengatasi sakit ini kan?” Intonasi yang kubenci itu keluar lagi.

“Bukan begitu, Dek.” Balasnya.

“Mas!”, mataku kian memerah dalam adu tatap kali ini. “Aku bisa!” Lanjutku dengan suara keras.

Perang dingin antara mata kami tercetus. Aku menggigit bibir, menggertakan gigi, dan mengeraskan rahang untuk menahan diri agar bisa tenggelam ke bola mata yang gelap itu. Dengan keras kugigit bibir hingga darah menetes hanya agar tidak ada yang tumpah dari mataku. Emosi sialan ini.

Hawa yang semakin dingin dan gelap makin mendukung suasana. Sepersekian detik Mas Andra mengalihkan tatapan untuk mengelap darah di bibirku. Tapi itu tak membuatku hilang fokus. Semakin tenggelam mataku menyelami matanya, makin aku berharap agar emosiku mereda. Mas Andra adalah penawar bagiku.

Suasana yang tak kunjung mereda membuatku semakin lelah. Diiringi suara gemericik air di atas genteng yang semakin memacu adrenalin.

Tentang Nala.

Dan hati yang sedang berbunga.

Dengan jelas aku bisa mendengar lantunan lagu itu bersamaan dengan rintikan gerimis di atas. Mata yang sedari tadi berperang, sekarang mengendurkan serangannya. Mataku melirik ke segala penjuru, tanpa tahu sedang mencari apa. Dan akhirnya kian memanas. Gagal, gagal lagi kutaklukkan emosi sialan ini. Deraian air mata mengucur deras bersamaan dengan suara tangis.

Mas Andra segera bangkit dari kursi dan kembali ke tempat awal. Tanpa bertanya, dicomotnya tisu dengan kasar. Tisu itu sekarang sedang menampung air di pipiku, begitu cepat penuh hingga harus diganti dengan yang baru. Meski berkali-kali diganti, air yang jatuh tak kunjung selesai, bahkan semakin deras ketika mendengar,

Nala figur sederhana.

Tak ramai kelilingnya.

Bersamaan dengan selesainya lagu itu, tisu yang disediakan juga sudah habis. Meja penuh dengan air mataku yang tertampung oleh kertas lembek. Kini mataku bengkak, merah, dan kepalaku sedang bermanja di lengan Mas Andra. Dia diam membisu, menunggu obrolan dimulai.

“Mas, Mas ingat gadis yang selalu bersamaku waktu kuliah dulu?”

Mas Andra mengangguk, tanpa melihat aku merasakan dari gerakan tubuhnya. Lanjut kuceritakan tentang gadis bernama Nala, yang terpaut 2 tahun dariku. Walau begitu, Nala enggan memanggilku kak, aku pun tidak masalah.

Diingat-ingat, sudah 10 tahun berlalu sejak masa kuliah. Rasanya momen-momen itu baru saja kemarin. Dan di antara rentetan 10 tahun itu, banyak pahit dan manis yang kulalui, lebih banyaknya bersama Nala. Nala yang kukenal, dengan Nala yang ada di lagu hanya berbeda tahun kelahiran saja. Dia lebih muda 2 tahun. Tapi tentang Nala yang selalu gagal dalam hubungan percintaan, kurang lebih sama.

Aku rasa bukan hubungan percintaan saja Nala gagal, tapi di segala hal juga. Meski dia selalu positif menanggapi semuanya, hal-hal merugikan selalu datang bertubi-tubi. Dunia menunjukkan tanda-tanda suram dan memaksanya untuk tunduk, menyerah. Tapi Nala enggan berlutut.

“Walaupun aku dan Nala beda fakultas, dia selalu siap sedia kapan pun dibutuhkan. Hebatnya, itu tidak mengganggu pelajarannya.”

Di keheningan senja yang tertutupi oleh awan kelabu, Mas Andra menyimak dengan tenang sambil terus mengelus kepala yang bertengger di lengannya. Emosi yang sedari tadi hanyut dalam ketenangan semakin mabuk dalam belaiannya.

“Adek kangen Nala?” Pertanyaan yang kembali membangkitkan kenangan itu kembali membuatku menetaskan air mata, tapi kali ini lebih tenang.

Kotak tisu pengganti sudah siap untuk dicomot kembali oleh Mas Andra. Kini ia tidak perlu bersusah payah untuk mengelap pipiku, aku mampu.

“Tentu saja.” Jawabku dengan suara gemetar karena memaksakan seutas senyum.

Sentuhan hangat kembali terasa di atas kepala. Lama-kelamaan memunculkan rasa kantuk. Di tengah gemericik yang lama-lama menjadi tumpahan air, pertanyaan Mas Andra membuatku merasa lebih segar.

“Sudah lama kita tidak membicarakan Nala. Adek mau cerita?”

Aku memberi anggukan. Sepertinya ini kisah yang tepat untuk mengalihkan topik.

Kembali ke waktu kuliah dulu, Nala selalu menyempatkan diri untuk datang ke kos. Dia tak pernah datang dengan tangan kosong. Seringnya yang dibawa adalah makanan ringan sebagai pengganjal perut atau makanan berat yang mampu membuat kenyang hingga dua hari. Pernah suatu waktu Nala dengan gembiranya membawa satu keranjang buah yang masih berwarna cerah. Dengan bangga Nala menceritakan bahwa itu adalah pemberian dari seseorang.

“Keranjang buah sebesar ini diberikan cuma-cuma? Na, kebajikan apa sih yang kamu buat?” Aku yang kala itu hanya gadis dalam masa transisi, belum mampu mengelola nada dalam berbahasa. Tapi untungnya Nala tidak tersinggung, atau bisa jadi dia tidak peka dengan nadaku.

“Hmmm, cuma melakukan kewajiban sebagai manusia. Tadi Aku bantu nenek-nenek yang jualan buah, terus dapat ini.” Seyumnya begitu sumringah sambil mengangkat keranjang buah, seolah-olah itu piala yang dia dapat dari sebuah pertandingan.

Dengan keberadaan sekeranjang buah itu, aku tidak perlu khawatir lagi akan kekurangan berbagai vitamin untuk beberapa hari ke depan. Dengan sekeranjang buah itu juga, kami akhirnya bisa membuat es buah di tengah teriknya siang itu. Ditemani dengan sebaskom es buah, Nala dan Aku sibuk di hadapan buku masing-masing.

Ketika seseorang senyum-senyum sendiri ketika membaca buku, dapat dipastikan ia sedang membaca buku romansa. Dia adalah aku, aku adalah dia. Dari dulu hingga sekarang aku masih suka membaca buku romansa. Berbeda dengan Nala yang menatap bukunya dengan penuh tatapan yang tak bisa ditafsirkan. Nala lebih banyak membaca buku yang terkait dengan kuliahnya, namun tidak jarang ia juga membaca buku fiksi. Tapi buku fiksi yang dia baca bukan percintaan atau komedi sepertiku, melainkan novel rumit yang penuh teka-teki seperti Sherlock Holmes.

Begitu lama sibuk dengan buku masing-masing, Nala beranjak ke dapur. Dia meninggalkan buku yang sedari tadi membuatnya pusing. Diambilnya segelas air lalu diminum sekali teguk. Sepertinya Nala tidak mengingat keberadaan es buah itu. Setelah itu dia duduk kembali, tapi tidak bergelut dengan buku.

Aku yang sedari tadi terhanyut dalam novel, sesekali melirik Nala sambil mengubah posisi ke yang lebih nyaman. Nala tidak banyak bicara, lebih banyak termenung. Sering kali ia keluar dan duduk di teras kos. Ditatapnya langit nan biru yang kadang menjadi abu. Tatapan Nala bukan tatapan penuh takjub, melainkan tatapan kosong. Tidak ada kebencian di sorot mata itu. Tidak juga ada kekaguman.

Karena Nala rutin ke kos tiap minggu, aku jadi hafal jadwalnya. Kalau tidak akhir pekan, maka hari rabu. Atau bisa jadi dua hari itu dalam seminggu. Bahkan walaupun aku tidak ada di kos karena ada pekerjaan, Nala tetap berkunjung. Tidak perlu ada yang dicurigai. Aku membiarkan ia seorang diri di kos. Dan dalam satu bulan pasti ada satu hari ia akan menginap.

Nala memang pendiam tapi tidak ada yang perlu kukhawatirkan karena dia juga banyak bercanda dan tertawa di beberapa situasi. Seringnya ia menjadikanku sebagai sindiran.

“Dew, makan di luar yuk. Aku gamau makan makanan keasinan.” Nala mengucapkannya dengan sangat serius padahal sedang mengejek masakanku yang hasilnya selalu asin, di lidahnya.

“Itu mah tergantung selera.” Kujawab dengan nada jengkel.

“Kalau asin, ya terima saja, memang asin.”

Tak perlu kuladeni Nala dalam mode itu, bisa-bisa terjadi debat kusir tanpa akhir. Dan karena kami akan makan di luar Nala langsung mengemas barang-barangnya untuk sekalian pulang ke kosnya.

“Na, kenapa ga menginap?” Tanyaku.

Nala hanya bergumam dan menjawab lain kali. Tapi tidak ada lagi lain kali. Minggu-minggu setelahnya, dengan alasan yang entah apa, Nala tidak berkabar. Dua minggu dia tidak pernah ke kos. Aku menghubungi teleponnya tapi tidak tersambung.

Dua minggu terakhir itu aku sibuk sekali dengan pekerjaan hingga tidak mengingat akan kunjungan terjadwal Nala. Dan sekarang aku sudah bisa bersantai, tapi Nala menghilang. Aku sangat bingung dan khawatir karena selama dua tahun berkuliah, dia tidak pernah absen mengunjungiku.

Aku takut. Hanya itu yang memenuhi kepalaku. Oleh karena ketakutan itu aku memutuskan pergi ke kos Nala. Kuminta Mas Andra menemaniku, yang kala itu masih menjadi pacarku. Nasib baik dia mau menemani.

Sesampainya di kos Nala, aku mengetuk pelan dan terus memanggil. Tapi tidak ada respons. Maka semakin kukeraskan suara dan ketukanku. Masih juga tidak ada respons. Entah karena terganggu atau karena kasihan melihatku, tetangga kos Nala yang sedang bersantai di terasnya menghampiri. Tadi kulihat dia tengah menggunakan earphone, sepertinya benda itu sudah dilepaskan ketika dia datang menghampiri.

“Permisi Mbak, Mas. Kos ini sudah kosong.”

“Kosong?” Tanyaku panik.

“Iya, Mbak. Penghuni yang kemarin sudah meninggal dunia.”

Kata-kata mustahil itu muncul di kehidupan yang begitu belia ini. Aku membeku, menatap kosong segala hal yang entah apa ada di depan. Dunia seakan berhenti berputar, angin berhenti berhembus, dan aku berhenti bernafas. Mas Andra memegang pundakku, tapi aku tak sanggup merespons.

“Penghuninya atas nama Nala kan?” Mas Andra mengambil alih obrolan.

“Saya belum pernah kenalan, Mas. Tapi kemarin ada yang angkut semua barang-barangnya. Saya sekilas mendengar nama itu.”

Semilir angin membuat bulu kudukku merinding, seperti angin yang membawa kabar. Angin yang tidak pernah kuinginkan kedatangannya. Ini pasti hanya candaan. Tidak mungkin Nala sudah tidak ada di dunia ini. Aku baru saja bisa meluangkan waktu untuknya. Nala tidak mungkin pergi meninggalkanku tanpa kabar.

Aku masih membeku ketika Mas Andra berterima kasih kepada tetangga kos itu. Tidak ada tanah yang kurasakan untuk bisa dipijak, kakiku lemas. Mataku yang sedari tadi menahan diri langsung terjatuh, bersamaan dengan tersungkurnya aku ke tanah. Aku menangis, menangis dengan sangat tanpa mengeluarkan suara. Tangis yang sangat hebat. Tak pernah kubayangkan menangis akan membuatku sakit kepala begitu hebatnya.

Mas Andra berjongkok ketika melihatku tersungkur. Dengan damai ia memberikan sentuhan ke punggungku. Seolah mengatakan untuk tetap tenang. Tapi itu tidak mempan ketika aku sebegitu hancurnya. Namun secara perlahan aku bisa menenangkan diri dan mengontrol tangisku.

“Mas. Tolong antar aku pulang ke kampung.”

Mas Andra mengangguk. Dan pada hari itu juga aku pulang kampung untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kejadian ini begitu cepat hingga tak mampu ditangkap otakku.

Cukup dengan perjalanan dua jam, kami sudah sampai. Aku memutuskan untuk pulang ke rumah, sebelum ke rumah Nala. Perlu ada yang dipastikan dengan orang rumah. Untung saja kala itu orang rumahku sedang lengkap, tak perlu kutunggu waktu untuk mengumpulkan kepingan-kepingan cerita.

“Buuuu, Mbak Dewi sudah pulang.” Teriak adik perempuanku sambil berlarian menuju dapur.

Ibuku langsung muncul dan hendak menyapa, namun kusela begitu ia membuka mulut.

“Nala sudah meninggal, tapi kenapa Ibu ga kasih tahu Dewi?” Tanpa sadar air mataku langsung tumpah.

“Ibu sudah telpon berkali-kali waktu itu.” Ibu menjawab lembut seolah bisa menenangkanku.

“Kenapa Ibu ga telpon setiap hari?!” Suaraku meninggi. Mas Andra yang di sampingku langsung menegur.

“Ibu kira juga Dewi sudah tahu, tapi belum sempat ke sini karena sibuk.”

Aku tidak tahu harus berkata apa. Ini bukan lagi kos Nala dan aku kembali bersimpuh ke tanah. Setidaknya di tempat ini aku bisa menangis sepuasnya.

Mas Andra kembali mengelus punggungku dan berusaha menenangkan. Ibu dan adikku hanya terdiam. Entah seberapa keras kumenangis hingga membuat kakak laki-lakiku yang mencintai kamarnya ikut berkumpul. Ayah yang sibuk mengurus burung warna warninya juga turut bergabung.

Sakit kepalaku makin menjadi-jadi hingga akhirnya aku tertidur. Entah siapa yang membopongku ke kamar. Kamarku yang begitu kosong tanpa sedikit pun pernak pernik. Hanya ada kasur dan lemari. Seperti aroma rumput yang baru saja disiram, aku merasa tenang menghirupnya.

Merasa sudah lebih baik, aku keluar kamar dan mendapati Mas Andra sedang dihujani bermacam-macam pertanyaan. Begitu aku terlihat, mereka terdiam. Aku ikut duduk di sofa, dekat ibu.

Di tengah keheningan itu, ibu bercerita bahwa Nala sudah meninggal satu minggu yang lalu. Dia bunuh diri tanpa meninggalkan satu pun cerita. Tidak ada catatan, tidak ada keluhan, Nala ditemukan di kamar mandi dengan bak berwarna merah, air keran mengalir deras. Ternyata Nala menyayat nadi di pergelangan tangannya. Aku tidak pernah memikirkan kemungkinan seperti itu akan terjadi, ini terlalu di luar dugaan.

Tidak ada yang bisa kulakukan. Mau menangis sekuat tenaga pun tidak akan mengembalikan Nala ke dunia ini. Ayahku yang sedari tadi memperhatikan, akhirnya buka suara.

“Dewi berziarah dulu ke makam Nala ya.”

Setelah itu aku pergi ke makam bersama ayah dan Mas Andra. Dan lagi-lagi air mataku tumpah tak kalah deras seperti tadi, baik di kos Nala maupun di rumah. Aku berjongkok, menatapi batu nisan bertuliskan 1994 – 2014. Ternyata Nala tak mampu menghadapi hidup di usia kepala duanya.

Kembali ke tahun 2025, ketika aku hendak mendiskusikan perihal anak, aku malah mengenang Nala yang sudah lama tertidur lelap di bawah sana. Sekarang aku masih menempelkan kepala di lengan Mas Andra. Melanjutkan cerita Nala yang seakan-akan dongeng pilu pengantar tidur.

“Setelah itu Mas juga tahu kan. Tenyata Nala datang ke kosku tiap minggu untuk menghibur diri. Dia gamau memikirkan tentang mati terus-terusan.”

“Untung kita datang ke rumah Nala waktu itu, kalau nggak kita ga akan pernah tahu cerita Nala.” Mas Andra melanjutkan.

Benar sekali. Waktu itu kami ke rumah Nala setelah ziarah dari kuburnya. Aku hendak menyampaikan belasungkawa ketika melihat ibu Nala sedang membakar berbagai hal. Ternyata itu benda-benda peninggalan Nala. Dan aku berhasil mencegahnya. Berbagai buku catatan hingga novel-novel Sherlock Holmes milik Nala kumintai darinya.

“Dari buku-buku itu aku tahu bagaimana kerasnya hidup Nala. Padahal dia anak semata wayang, tapi orangtuanya enggan menafkahi. Dia harus banting tulang demi kuliah dan keberlangsungan hidupnya.”

“Kukira berbagai makanan yang ia bawa itu hanya sekedar ingin berbagi. Tapi ternyata itu bentuk cintanya. Walaupun ia kerja dengan gaji tak seberapa, ia tetap memberikanku berbagai makanan karena dia sangat berterima kasih.” Lanjutku.

“Mas juga salut karena Nala sanggup menampung segala masalah. Bahkan sampai akhir tidak ada yang tahu apa masalah sebenarnya yang dia hadapi.”

Kata Mas Andra tidak salah, tapi karena kesanggupan Nala untuk menampung itu semua juga membuat Nala memilih untuk mengakhiri segalanya. Dan aku benci fakta bahwa aku adalah sahabat Nala, tapi tidak tahu tentang apa yang dialaminya.

Hujan yang sedari tadi mengguyur bumi kini sudah sedikit mereda, bersamaan dengan perasaan yang berat sedikit terangkat. Walau pada akhirnya topik inti hari ini tergantikan.

“Nanti kita lanjutkan obrolan tadi di rumah ya, Dek”.

“Iya, Mas.” Jawabku agak riang.

Pada akhirnya kami memilih untuk berdiam di tempat itu hingga langit kembali cerah. Dengan menautkan lengan ke lengan Mas Andra, aku memejamkan mata tuk menikmati kehangatannya. Hingga lagu tadi terputar kembali, mataku membuka perlahan.

Tentang Nala.

Dan hati yang sedang berbunga.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Nala
Shofi
Cerpen
Bronze
Sakit Kiriman
Intan Andaru
Cerpen
Lost In Translation (Karena kamus saja tidak cukup)
Lada Ungu
Cerpen
Barang Biasa, Cerita Luar Biasa
Tresnaning Diah
Cerpen
Bronze
SAVITRI
Sri Wintala Achmad
Cerpen
Jomblo ini Belum Berakhir
mahfudz siddiq kr
Cerpen
(Serasa) Ngga Punya Tetangga
Amalia Puspita Utami
Cerpen
Bronze
Iri sama Tetangga
Selvi Rain
Cerpen
Bronze
Pertemuan dengan Takdir
Titin Widyawati
Cerpen
Tuan Oh Tuan
Jie Jian
Cerpen
Bronze
Mar dan Selaksa Dendam
saharbanu Mulahela
Cerpen
Membisukan Kata di ujung Patah
Nurhidayah
Cerpen
FINE
eSHa
Cerpen
Bronze
Pita Hitam
Imajinasiku
Cerpen
Bronze
Setelah Malin Menjadi Batu: Hasnah dan Debur Ombak
Jasma Ryadi
Rekomendasi
Cerpen
Nala
Shofi