Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Nada yang Tersisa di Jalan Melati
0
Suka
32
Dibaca

Toko itu selalu wangi kayu dan kenangan. Setiap kali Rafi membuka pintunya pagi-pagi, lonceng kecil di atasnya berdenting, dan udara lembab dari Jalan Melati ikut masuk, membawa aroma tanah dan roti panggang dari kios seberang.

Ia sudah hafal setiap bunyi di ruang itu. Desis piringan yang berputar, dengung amplifier tua, hingga suara halus jarum yang menyentuh vinil. Namun di antara ratusan lagu yang ia simpan, hanya satu yang tak pernah ia jual, tak pernah ia putar untuk pelanggan: rekaman lama berlabel tulisan tangan - "Nada yang Tersisa.”

Itu lagu terakhir yang ia rekam bersama Laras, seseorang dari masa lalu yang kini hanya tinggal di ingatan. Mereka dulu sering main di kafe kecil, menulis lagu sederhana untuk membayar sewa dan makan malam. Sampai suatu malam, Laras pergi — tanpa pesan, tanpa alasan. Yang tersisa hanya rekaman itu, dan keheningan.

Sejak saat itu, Rafi menjadikan toko piringan hitamnya tempat untuk bersembunyi. Ia lebih suka bicara dengan musik ketimbang dengan orang. Kadang, hanya dengan memutar piringan lawas, ia merasa seolah waktu berhenti. Dan penyesalan pun punya irama yang bisa diatur volumenya.

Sore itu, ketika sedang menata rak bagian belakang, Rafi mendengar sesuatu dari luar. Sebuah suara.

Lembut, tapi penuh tenaga. Gitar akustik, diiringi suara perempuan yang menyanyikan melodi yang membuat langkahnya terhenti.

“Dan bila semua telah pergi, biarlah nada tersisa di sini…”

Darahnya seketika berdesir. Ia kenal lagu itu. Setiap nada, setiap jeda. Itu lagunya.

Ia berjalan ke depan, membuka pintu toko. Di trotoar seberang, di bawah sinar matahari sore yang menembus sela daun, seorang perempuan berdiri dengan gitar di pelukannya. Suara itu datang darinya.

Laras.

Tapi tidak — wajahnya berbeda. Lebih muda, rambutnya lebih pendek. Namun, suaranya membawa rasa yang sama: kehangatan yang pernah menenangkan sekaligus melukai.

Rafi berdiri lama di depan pintu, mendengarkan sampai lagu itu selesai. Perempuan itu tersenyum kecil pada beberapa orang yang lewat, lalu menunduk sopan saat kotak gitarnya diisi uang receh. Sebelum pergi, ia berbalik sebentar, dan pandangan mereka bertemu.

Ada sejenis pengakuan tanpa kata, bukan karena mereka saling kenal, tapi karena lagu itu telah memperkenalkan mereka lebih dulu.

Rafi tidak memanggilnya. Ia hanya berdiri di sana, dengan dada yang terasa penuh oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

Malamnya, setelah toko tutup, ia memutar kembali rekaman lama itu. Jarum menyentuh vinil, dan lagu yang sama kembali hidup. Tapi kini terasa berbeda. Entah karena waktu, atau karena suara di luar tadi, Rafi merasa seperti baru saja diberi izin untuk mendengarnya kembali tanpa luka.

Hari berikutnya, Rafi datang ke tokonya lebih awal dari biasanya. Langit masih kelabu; udara mengandung aroma sisa hujan malam tadi. Ia menata rak, tapi pikirannya tidak pada piringan hitam di depannya, melainkan pada suara perempuan yang kemarin bernyanyi di depan tokonya.

Ketika jarum jam menunjukkan pukul empat sore, suara itu kembali. Pelan, lembut, tapi cukup untuk membuat semua di sekitarnya melambat. Rafi keluar, kali ini tanpa ragu.

Perempuan itu sedang memainkan gitar, duduk di kursi kayu kecil di trotoar, menatap lalu-lalng orang yang jarang benar-benar memperhatikan. Ia berhenti sebentar saat melihat Rafi mendekat, tapi Rafi hanya tersenyum.

"Lagu yang kamu nyanyikan kemarin... dari mana kamu dapat?"

Laras, ya, nama itu terasa pas untuknya. Menatapnya heran.

"Dari kaset lama. Aku nemu di pasar loak minggu lalu. Nggak ada kabel, cuma tulisan tangan: 'Nada yang Tersisa.'. Aku suka melodinya. Jadi, kupelajari."

Rafi terdiam. Begitulah, dunia kadang berputar dengan cara yang tak masuk akal. Kaset itu, mungkin satu-satunya salinan selain rekaman di tokonya, kini hidup lagi di tangan seseorang yang bahkan tak mengenalnya.

“Kamu yang nulis?” tanya Laras pelan.

Rafi mengangguk.

“Dulu. Lama sekali.”

Laras tersenyum samar, seolah takut membuat kenangan itu retak.

“Lagunya indah. Tapi waktu aku denger pertama kali, rasanya… kayak seseorang yang nggak pengin diingat, tapi juga nggak siap dilupakan.”

Rafi menatapnya. Kalimat itu sederhana, tapi menembus sesuatu yang sudah lama ia kubur.

“Mungkin memang begitu,” katanya. “Aku nulis lagu itu bukan untuk mengingat seseorang. Tapi untuk melepasnya.”

Laras menunduk, jemarinya menyentuh senar gitar.“Melepas kadang terdengar mudah di lagu, tapi susah di hati, ya?”

Rafi tertawa pelan.

“Kamu terlalu muda buat tahu rasanya.”

“Mungkin,” jawab Laras. “Tapi aku nyanyi di jalan tiap hari, Mas. Setiap orang yang lewat pasti bawa sesuatu yang belum selesai. Aku cuma bantu mereka mendengar ulang.”

Angin sore lewat di antara mereka, membawa suara daun dan aroma kopi dari warung ujung jalan. Rafi menatap gadis itu lama, lalu berkata pelan,

“Kamu tahu, lagu itu dulu nggak pernah selesai direkam. Bagian akhirnya hilang.”“Mungkin karena nggak perlu diselesaikan,” kata Laras sambil tersenyum. “Beberapa lagu lebih jujur kalau berhenti di tengah.”

Hening sesaat. Rafi mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Selembar kertas kusut, penuh coretan nada dan kata.“Ini lirik aslinya. Kalau kamu mau, teruskan. Nyanyikan sesukamu.”

Laras menerimanya hati-hati, seolah memegang sesuatu yang hidup. Ia membaca baris terakhir di kertas itu:

“Bila suara ini berhenti, biarlah ia menjadi gema di hati yang tepat.”

Mata Laras terangkat.

“Aku rasa aku tahu harus nyanyiin ini di mana.”

Rafi tersenyum, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa ringan. Bukan karena melupakan, tapi karena akhirnya ada seseorang lain yang mau melanjutkan cerita yang dulu ia tinggalkan setengah jalan.

Beberapa hari setelah pertemuan itu, Jalan Melati terasa berbeda. Mungkin karena udara yang lebih jernih setelah hujan semalam, atau karena musik baru yang mengalun dari depan toko Rafi. Suara Laras kini menjadi bagian dari suasana sore. Sesuatu yang Rafi tunggu diam-diam, tapi tak pernah akui.

Ia menatap dari balik jendela tokonya. Laras duduk di tempat yang sama, memainkan gitar dengan tenang, menyanyikan lagu itu - Nada yang Tersisa - namun dengan aransemen yang berbeda. Lebih hangat, lebih lapang. Bukan lagu kehilangan lagi, tapi lagu pulang.

Rafi menutup matanya sejenak, mendengarkan dengan hati terbuka. Liriknya kini berubah sedikit di bagian akhir. Laras menambahkan bait yang ia tulis sendiri:

“Jika kau temukan nadaku di udara, biarkan ia menetap di dada, bukan di telinga.”

Kata-kata itu sederhana, tapi terasa seperti kunci yang membuka pintu lama dalam dirinya. Malamnya, setelah toko tutup, Rafi duduk di meja kasir, menulis di atas kertas berkop nota toko. Tulisannya perlahan, seperti seseorang yang sedang berbicara dengan masa lalu dengan suara lembut:

Untuk siapa pun yang mendengar

Aku pernah menulis lagu untuk seseorang yang pergi. Lama sekali aku kira lagu itu tentang kehilangan, tapi ternyata, lagu ini tentang keberanian untuk tetap mencintai sesuatu yang tak akan kembali.

Musik tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya berpindah tempat — dari ruang, ke ingatan, lalu ke hati orang lain.

Jadi kalau suatu hari kamu mendengar “Nada yang Tersisa,” ketahuilah: mungkin lagu itu dulu milikku, tapi sekarang… ia sudah menjadi milikmu.

— R.

***

Ia melipat kertas itu perlahan, memasukkannya ke dalam amplop kecil tanpa nama, tanpa alamat. Keesokan paginya, sebelum Laras datang, ia meletakkannya di sela senar gitar yang tergantung di dinding toko. Gitar tua yang dulu ia gunakan bersama Laras yang pertama.

Ketika siang datang, Laras tiba. Ia menemukan surat itu, membacanya di depan toko, sementara Rafi hanya berpura-pura sibuk di dalam. Setelah membaca, Laras menatap ke arahnya — mata mereka bertemu sebentar, tanpa kata. Lalu ia tersenyum, dan mulai menyanyikan lagu itu sekali lagi.

Kali ini, Rafi tidak bersembunyi di balik kaca. Ia berdiri di depan pintu toko, membiarkan suara itu memenuhi udara sore.

Dari radio kecil yang tergantung di dinding, suara Rani terdengar pelan di sela lagu:

“Beberapa cerita tidak perlu penutup.Kadang, cukup tahu bahwa seseorang di luar sana masih mendengarkan.”

Rafi menatap langit yang perlahan berubah warna — jingga, lalu ungu. Ia tahu, di antara nada dan angin sore itu, ada sesuatu yang akhirnya selesai. Dan sesuatu yang lain, baru saja dimulai.

***

Ada lagu-lagu yang kita putar bukan karena ingin mengingat, tapi karena ingin melepaskan dengan cara yang lembut.

Rafi mewakili sisi manusia yang diam-diam masih berbicara dengan masa lalu. Bukan dengan kata-kata, tapi dengan kebiasaan kecil... memutar piringan yang sama, membuka toko yang sama, menunggu suara yang sama dari masa yang sudah berlalu. Ia bukan tidak mau bergerak, ia hanya belum menemukan nada yang bisa menggantikan yang hilang.

Laras datang bukan untuk menggantikan, melainkan untuk menghidupkan kembali sesuatu yang sudah lama membisu. Ia membawa kejujuran yang polos, ketulusan yang tanpa beban sejarah. Melalui dirinya, Rafi menyadari bahwa musik (seperti kenangan) tidak dimiliki. Ia hanya lewat dari satu hati ke hati lainnya, meninggalkan sedikit gema di tiap persinggahan.

Surat tanpa alamat yang ia tulis adalah bentuk terakhir dari penerimaan: ia tidak tahu kepada siapa lagu itu akan tiba, tapi ia tahu, selama ada yang mendengarkan, lagu itu belum berakhir.

Cerita ini bukan tentang cinta yang kembali, melainkan tentang cinta yang akhirnya punya tempat untuk pulang, bukan ke orang lain, tapi ke dalam diri sendiri.

Dan saat Laras menyanyikan lagu itu di bawah langit senja, ia tidak sekadar meneruskan melodi Rafi. Ia sedang menulis awal bagi kisahnya sendiri, yang akan kita dengar bergema di cerita kelima:

“Di Antara Kita, Kota Diam.”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
KONFESI
Afra Ulfatihah N.E
Flash
Serial Killer? : Hai, ini aku!
Rumpang Tanya
Cerpen
Nada yang Tersisa di Jalan Melati
A. R. Tawira
Cerpen
Di Antara Kita, Kota Diam
A. R. Tawira
Novel
A Piece of Puzzle
Yovi Eviani Chandra
Novel
Hasrat Abu
Tiara Khapsari Puspa Negara
Novel
Sanggupkah untuk berbagi?
Halimah
Flash
Love Yourself
Rahma Pangestuti
Flash
Forgetting
Fani Fujisaki
Skrip Film
It's Not Easy to be A Single Dad
Amalina septiani
Flash
The Secret Box
Gadhinia Devi Widiyanti
Flash
Bronze
Orderan Terakhir Ardiansyah
Nuel Lubis
Novel
End to Start
Flaminstalized
Novel
NODA PERNIKAHAN
Roslina
Flash
Bronze
VESPA UNTUK AYAH
Emma Kulzum
Rekomendasi
Cerpen
Di Antara Kita, Kota Diam
A. R. Tawira
Cerpen
Nada yang Tersisa di Jalan Melati
A. R. Tawira
Flash
Amarah
A. R. Tawira
Flash
Sunyi
A. R. Tawira
Flash
Bising
A. R. Tawira
Cerpen
Di Balik Jendela yang Tak Pernah Dibuka
A. R. Tawira
Cerpen
Sisa Kopi di Meja Tengah
A. R. Tawira
Cerpen
Suara di Kamar 304
A. R. Tawira
Flash
Abu
A. R. Tawira