Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Jalan Asia-Afrika hari itu tidak seramai biasanya. Mungkin karena malam ini bukanlah malam-malam menuju waktu liburan, seperti malam sabtu, malam minggu, atau malam-malam lainnya yang ditandai dengan noda merah pada tanggal kalender. Sementara Raka masih sibuk menghampiri sejumlah pedagang kaki lima, kafe, hingga restoran. Memainkan gitar usang yang mengeluarkan suara khas senar-senar tembaga tua. Baru 23.000 yang ia kantongi setelah berjam-jam mengamen, sedangkan isi kepalanya dibuat berisik oleh ucapan pemilik kost, pemilik warung makan dekat rumah, dan guru sekolah Nada. Ia kembali berkeliling hingga waktu menjelang subuh. Namun, hari itu ia hanya mendapatkan kurang dari lima puluh ribu rupiah.
Pagi itu, ia harus bergegas pulang. Nada akan berangkat sekolah, pasti ia membutuhkan uang saku dan makanan untuk sarapan. Sebelum tiba di kost, Raka memutuskan untuk mampir sebentar ke warung makan dekat rumah. Ia menyerahkan uang recehan, kertas dan logam, total empat puluh ribu.
“Maaf bu Inge, saya baru ada segitu.” Ucapnya dengan nada yang lesu. Bu Inge mengambil dengan sopan. Menyatakan bahwa sisa hutang Raka masih sekian ratus ribu lagi.
“Nada sudah berangkat sekolah?”
“Sebentar lagi, Bu. Ia masih menunggu saya pulang.”
Ibu pemilik warung makan tersebut bergegas membungkus nasi beserta sayur tahu dan gorengan, tiga bungkus. “Untuk kamu dan Nada. Satu bungkusnya untuk makan siang kamu.”
“Tapi...”
“Sudah. Ini rezeki kamu, saya tidak akan memasukkannya ke nota. Hitung-hitung kemarin dagangan saya habis.”
Raka menerima dengan perasaan yang bercampur aduk. Ada sedikit kebahagiaan, tetapi lebih dominan dengan perasaan yang tidak enak dan memalukan. Setelahnya, ia bergegas masuk ke dalam gang, menuju kediamannya yang berada di wilayah pemukiman kumuh kota Bandung.
“Assalamualaikum, Nada.” Seseorang membukakan pintu. Rupanya Nada telah bersiap kemas untuk berangkat ke sekolah.
“Sarapan dulu ya?”
“Aku bawa saja ke sekolah, Yah. Takut terlambat.” Raka mengangguk setuju.
“Perlu Ayah antar?”
“Tidak usah. Ayah istirahat saja.”
Raka memberikan uang sisa mengamennya, delapan ribu. Usai memasukkan bungkus nasi ke dalam tas, Nada beranjak pergi. Setelah mengunci pintu kost dan mencabutnya dari rumah kunci, Raka berlalu ke dapur. Mengambil sebuah sendok makan dan segelas air. Lalu ia kembali lagi ke sekat depan, menyalakan handphone dan memutar lagu dari perangkatnya, kemudian membuka sebungkus nasi. Ia makan dengan sangat lambat, sembari memerhatikan lagu-lagu yang diputar secara acak. Di tengah-tengah makan, sebuah lagu kembali berganti, lalu berputar. Membuatnya membeku sesaat.
“Suara petikan gitar...”
“...Jiwaku sekuntum bunga kamboja. Dihempas angin, di dera hujan....”
Raka bergegas menyalakan handphone-nya, lalu memasukkan lagu tersebut ke daftar favoritnya. Seusai makan, ia kembali menuju dapur. Mencuci sendok yang kotor dan kembali ke depan dengan membawa setoples tembakau, lengkap dengan kertas dan lem. Setelah menggulung beberapa lembar tembakau, ia membakarnya. Menyetel kembali lagu yang tadi menarik perhatiannya sambil menelusuri tangga nada di internet. “Nittt....” Token listrik kostnya kembali habis. Sedikit terkejut, Raka menarik napas panjang, lalu kembali menghembuskannya dengan berat.
Masih dengan sisa rokok di tangan kanan, ia bergegas mengambil gitar usangnya. Mengikuti alunan nada yang terpatri di layar handphone-nya. Ia mencoba menghapal. Dalam beberapa saat, ia mulai terbiasa dengan tangga nada yang diputar. Handphone-nya dimatikan dan ia kembali mengulang lagu tersebut hingga dua kali. Kini ia menyalakan kamera belakang, menyandarkannya pada asbak, dan mulai merekam. Rekaman nyanyian tersebut ia unggah di akun TikTok pribadinya. Dia berselancar hanya sampai video tersebut benar-benar ter-upload. Setelahnya, Raka bergegas tidur.
...
“Cletak, cletak.” Lalu pintu kostnya terbuka. Raka tersadar dan bangun. Rupanya Nada yang sudah pulang sekolah.
“Besok Ayah bisa datang ke sekolah?”
“Soal iuran bulanan ya?” Nada mengangguk kecil. Raka menyanggupi.
Sorenya, Raka bergegas mandi dan mencuci pakaian. Setelahnya, ia kembali dengan sebungkus nasi. “Ayah mau berangkat, makan dulu ya?” Mereka berdua makan dari satu bungkus yang sama, dengan sendok yang sama, berganti-gantian.
“Sehabis ini berangkat ke masjid?”
“Iya.”
“Anakku rajin mengaji ya. Jangan lupa doakan Ayah, semoga hari ini rezekinya berlimpah.”
“Iya Ayah.”
Nada bergegas mandi, sedangkan Raka kembali mengambil empat batang rokok. Ia memasukkan tiga batang ke saku bajunya, dan membakar salah satunya. Sambil merokok di depan rumah, ia mengenang masa-masa mudanya. Saat ia kerap melakukan jamming di studio musik bersama rekan-rekan sebayanya. Sedari dahulu, cita-citanya tidak berubah. Ingin menjadi pemusik, atau sekadar menjadi gitaris lepasan. Namun, takdir berkehendak lain. Kini ia tertatih-tatih di jalan.
“Yah, Nada berangkat ya.”
“Kurang-kurangi rokoknya, Yah.” Sambungnya. Nada kembali berlalu.
Setelah batang rokok tersebut habis, Raka bergegas mengambil gitarnya. Kembali menyusuri gang-gang sempit, dan tiba di pinggir jalan besar. Ia hendak mengais rezeki sore itu....
Hari ini jalan-jalan utama kota Bandung tampak lebih ramai. “Esok sabtu,” gumamnya. Waktu semakin malam dan ia masih berkeliling, masuk ke setiap tempat yang tampak ramai pengunjung. Memang lebih ramai dari biasanya, uang yang ia dapatkan pun juga lebih, tetapi tetap belum dapat menutup hutang-hutangnya.
Paginya, Raka kembali pulang. Di perjalanan pulang ia mampir ke sebuah toko untuk membeli token listrik, 23.000 rupiah. Dirinya juga kembali masuk ke warung makan, menyerahkan uang sebesar tiga puluh ribu. Sesampainya di kost, rupanya Nada telah berangkat sekolah. “Anak itu belum sarapan.” Raka ingat akan janjinya untuk menemui guru di sekolah. Ia bergegas berganti pakaian, lalu kembali berangkat....
Kini ia telah bertemu wali kelasnya di ruang guru. Mereka berbicara soal iuran Nada yang tertunggak lebih dari tiga bulan.
“Maaf Bu, saya baru ada segini.” Raka menyodorkan uang receh sejumlah 162.000 rupiah. Wali kelas Nada mengembalikan dua belas ribu.
“Uang 150.000 ini akan saya masukan ke iuran Nada bulan Maret ya Pak. Sisanya yaitu bulan April, Mei, dan bulan ini.”
“Tapi saya izin menyampaikan pesan dari manajemen sekolah. Jangan sampai lewat tiga bulan lagi ya Pak. Kami khawatir manajemen tidak akan menoleransi lagi.” Dengan sedikit tertunduk lesu, Raka mengangguk paham. Ia berlalu dari ruang guru, menemui Nada yang sudah menunggu di depan.
“Maaf, Ayah.” Nada membuka.
“Kenapa meminta maaf, sayang?” Raka memeluk.
“Ayah sudah makan?”
“Sudah.”
“Bohong. Pasti semua uang ayah sudah disetorkan ke bu Helen.”
Nada mengajak ayahnya ke kantin. Saat itu jam istirahat sekolah. Mereka memesan semangkuk bakso lalu memakannya berdua. “Hari ini aku yang traktir. Aku masih punya sisa uang sepuluh ribu, Yah.”
“Kamu nggak apa-apa kalau Ayah di sini?”
“Memangnya kenapa? Ayah kan tampan.” Nada bergurau.
“Kalau itu Ayah tahu. Tapi bukan yang itu....”
“Soal makan semangkok berdua?”
“Memangnya kenapa? Kan mesra, jadi seperti pacaran.”
Siang itu Raka kembali pulang ke kostnya, sedangkan Nada harus melanjutkan pelajaran. Sesampainya di kost, Raka langsung tertidur.
...
Baru dua jam Raka tertidur, seseorang kembali mengetuk pintu kostnya. Rupanya ibu kost. “Sudah ada uangnya?” Raka kembali ke ruang tengah, mengambil sedikit uang yang ia selipkan di bawah kasurnya. Setelahnya, ia menuju ke depan dan mengambil sebuah radio.
“Baru ada segini?” Ibu kost menghitung uang tersebut, 28.000 rupiah.
“Kamu itu sudah menunggak dua bulan, tetapi baru ada segini?” Tanyanya tegas.
“Maaf, Bu. Tadi saya baru membayar iuran sekolah Nada.” Raka tertunduk. Kini ia menyodorkan sebuah radio.
"Apa ini? Barang rusak?”
“Sudah saya perbaiki, Bu. Nilainya sekitar dua ratus ribu.”
“Saya nggak butuh ini. Kamu punya penanak nasi? Kebetulan penanak nasi di rumah saya sedang rusak.”
“Ada, tapi kami masih pakai, Bu.”
“Aduh, ya sudah, mana handphone kamu?”
“Jangan, Bu. Itu alat komunikasi saya satu-satunya dengan Nada.”
“Kamu ini bagaimana? Bayar nggak bisa, ini nggak bisa, itu nggak bisa.”
“Maaf, saya akan usahakan segera, Bu.”
“Pokoknya kalau sampai minggu depan belum bisa bayar juga, sebaiknya kamu bergegas pergi. Saya sudah beri kamu kelonggaran. Bukannya apa-apa, keluarga saya juga butuh uang. Sebentar lagi saya harus membayar iuran kuliah anak saya.” Raka mengangguk.
Setelah ibu kost berlalu, Raka kembali mencoba tidur, tetapi tidak bisa. Ia terpikirkan dengan kata-kata ibu kost. Bukannya sakit hati, tetapi ia mencoba mengambil perspektif lain. “Mungkin ibu kost benar-benar butuh uang juga.” Raka kembali bangkit dari kasurnya. Ia bersiap-siap untuk mengamen, tapi kali ini ia berangkat lebih cepat.
...
Selama beberapa hari ke depan, hidup Raka terus bergulir dengan persoalan hutang dan iuran sekolah Nada. Sejumlah uang yang ia kumpulkan beberapa hari pun langsung disetorkan kepada ibu kost. Belum mencukupi, tetapi setidaknya ia telah berusaha dan menunjukkan itikad baiknya kepada pemilik kost.
Waktu terus berjalan dengan begitu cepat, dan saat ini sudah kembali di hari Rabu malam. Raka masih berkeliling di jalan-jalan besar kota Bandung. Malam itu ia hanya mendapatkan tiga puluh ribu. Mungkin hanya cukup untuk makan, pikirnya. Kamis paginya, ia kembali berjalan pulang dengan langkah yang letih dan tertatih-tatih. Sepertinya ia kelelahan, kepalanya sedikit pusing. Di tengah perjalanan, seorang supir truk mengklakson kencang. “Raka!” Raka menyambut. Rupa-rupanya Budi, teman SMA-nya.
“Mau numpang tidak? Ayuk!” Ajaknya. Raka membuka pintu kiri truk, masuk, dan mengenakan sabuk pengaman.
“Masih jadi vokalis nih?”
“Vokalis apaan! Hahaha.”
“Gua lihat sekarang sukses juga lo ya, bahkan sudah punya truk!”
“Halah melantur. Truk punya bos.”
“Lo lagi bawa apaan?”
“Arang batok.... Eh, lo bisa bawa truk kan?” Raka mengangguk.
“Coba bawa nih, gua ingin melihat.” Truk menepi. Mereka bertukar posisi. Kali ini Raka berada di kursi pengemudi.
“Meskipun agak kurang lancar, tapi okelah.”
“Memangnya kenapa Bud?”
“Jadi begini Rak, syukurnya gua dapat tawaran jadi supir bus AKAP. Lo bisa gantikan gua nggak? Lumayan lah, daripada lo keliling-keliling kan?”
“Memangnya berapa?”
“150.000 sekali jalan, Lampung – Bandung.”
“Pergi pulang 300.000? Dua malam kan?”
“Tidak sampai. Bongkar muatnya hanya sebentar. Bagaimana?”
“Menarik sih. Tapi gua izin dahulu ke Nada ya?” Budi mengangguk.
“Oh iya, Nada. Bagaimana kabarnya? Masih sekolah kan?”
“Masih dong, sekolah itu nomor satu.”
“Hebat lo. Benar-benar bapak yang baik.” Tanpa terasa truk telah tiba di depan gang rumah Raka. Raka bergegas turun.
“Kalau deal kontak-kontak ya? Butuh cepat nih.” Raka mengangguk menyanggupi. Ia kembali berjalan menyusuri gang-gang sempit hingga tiba di kostnya. Nada sedang bersiap berangkat sekolah. “Nada, punya waktu sebentar?” Nada menghampiri Raka. Ia menceritakan tawaran Budi kepadanya untuk menjadi supir truk. Nada setuju.
“Kamu nggak apa-apa Ayah sering tinggal?” Nada mengangguk.
“Nggak sama ibu kamu saja?”
“Nggak ah. Mereka sudah punya keluarga baru. Aku di sini saja.”
“Ya sudah. Segera berangkat, nanti telat loh!”
“Iya Ayah.”
Pagi itu Raka kembali menelpon Budi. Menyatakan kesiapannya untuk menggantikan menjadi supir truk. “Senin depan ya, nanti gua jemput.”
Hari terus bergulir hingga Minggu malam. Malam itu Raka tidak berangkat mengamen. Ia memilih merapikan sejumlah pakaian dan mengemasnya.
“Besok pagi Ayah berangkat ke Lampung. Ayah usahakan untuk pulang dua hari sekali ya.” Raka menyodorkan uang sejumlah dua ratus ribu.
“Kalau ibu kost datang, berikan saja seratus ribunya. Bilang kalau sisanya akan Ayah bayar minggu depan.” Nada mengangguk.
...
Raka diterima untuk menggantikan Budi menjadi supir truk. Pemiliknya cukup ramah. Ia dibekali dengan gaji dan uang jalan tambahan setiap kali akan memuat arang batok di Lampung. Sesuai janjinya, Raka pulang ke kostnya setiap dua hari, tetapi ia tidak pernah bermalam. Sekadar mampir dan menengok perkembangan Nada. Dengan uang gajinya, ia mampu melunasi biaya kost, iuran sekolah, dan hutang makan. Kendatipun demikian, hutang-hutangnya di masa lalu masih ia upayakan dengan cara mencicil.
Dua bulan berlalu begitu saja. Tidak banyak kendala yang berarti. Ia masih disibukkan dengan kegiatannya menjadi supir truk arang batok. Namun, di salah satu malam kejadian nahas menimpanya. Laut yang beriak di Selat Sunda membuat kapal yang ditumpanginya dan truknya bergoyang tidak tenang. Kendatipun demikian, ia harus segera menurunkan truk tersebut dari kapal. Kalau tidak, ia akan menimbulkan kemacetan bagi pengendara lain yang hendak keluar kapal.
“Trak!” Suara patahan terdengar dengan keras. As roda truk bagian belakangnya patah saat menuruni kapal. Para petugas Pelabuhan Merak bergegas mengevakuasi truknya ke titik yang aman. Rekan-rekan supir truk menenangkannya. Katanya, ia bisa mengajukan asuransi ke pihak pelabuhan. Sore itu juga ia memproses pengajuan asuransi, tetapi ditolak. Alasannya karena tonase yang berlebihan dan usia truk yang sudah tidak lagi berada dalam kondisi prima.
Truk yang ia kendarai benar-benar tidak bisa digerakkan. Di sisi lain, ia harus sampai ke Bandung dengan tepat waktu agar arang batok dapat segera didistribusikan ke para konsumen. Salah satu petugas datang menghampirinya, menawarkan diri untuk memanggil jasa perbaikan kenalannya. Raka menyetujui. Petugas tersebut segera menelepon kenalannya. Tak berselang lama, dua orang montir, lengkap dengan alat-alat bengkel tiba di pelabuhan. Mereka bergegas memeriksa kondisi truk Raka.
“Waduh, gardannya kena ini!”
“Benar kena, Bang? Berapa biayanya?” Raka bertanya dengan nada gugup.
“Kalau soal harga saya belum berani jawab. Harus diperiksa menyeluruh di bengkel.”
“Berarti truknya harus dibawa ke bengkel?”
“Iya, nanti bisa diderek, tapi muatannya bagaimana?”
Di tengah-tengah kekalutan, seorang pria yang tampak cukup berumur datang menghampirinya. Ia datang dengan pakaian yang cukup rapih, menawarkan diri untuk membantu Raka.
“Patah as ya?”
“Iya pak.”
“Mau pakai truk saya saja?” Pria tersebut menawarkan. Raka menolak halus, tetapi pergulatan di pikirannya menyatakan bahwa ia butuh truk pengganti.
“Nggak apa-apa, saya ada truk menganggur di parkiran pelabuhan. Kebetulan supirnya sedang sakit.”
“Nggak apa-apa, Pak? Biayanya bagaimana, Pak?”
“Sudah, pakai saja dulu, sambil menunggu truk milikmu diperbaiki. Soal biaya, urusan nanti.”
Raka yang tidak enakkan memutuskan untuk menyerahkan KTP-nya kepada pria berumur tersebut. Mereka menyegerakan untuk bongkar muatan dan memindahkannya ke truk pinjaman. Sementara Raka kembali berangkat menuju Bandung, truknya dievakuasi ke bengkel menggunakan mobil derek.
Di sepanjang perjalanan ia diresahkan oleh kejadian yang menimpanya sore tadi. “Terkena gardan, pasti biayanya besar. Apa aku harus menelpon pemilik truk?” Ia berpikir dua kali. Rasanya tidak enak jika pemilik truk harus tahu kecelakaan itu. Toh hal tersebut juga terjadi karena Raka merasa lalai, terlalu terburu-buru dalam mengeluarkan truk dari kapal. Ia memutuskan untuk tidak memberitahu siapa pun, termasuk Budi. “Aku akan usahakan uang pergantian tersebut kepada pemilik bengkel. Semoga saja dapat dicicil.”
Pagi hari berikutnya ia telah selesai mengirimkan arang batok kepada salah satu dinstributor di Kota Bandung. Ia memutuskan untuk pulang ke kostnya sejenak. Setelah memarkirkan truknya di sebuah ruko yang terletak tidak jauh dari gang kediamannya. Ia kembali ke kostnya. Nada menyambut. Hari ini hari Minggu, Nada tidak berangkat sekolah.
“Ayah tidak lama ya sayang. Harus segera bergegas ke Lampung. Ini ada uang, tapi tidak sebanyak biasanya.” Ia memberikan selembar uang pecahan lima puluh ribu kepada Nada.
“Tidak apa-apa, Ayah. Ayah ada masalah ya?”
“Nggak, hehehe. Semalam para supir mengajak Ayah mampir ke restoran. Kata mereka, sesekali harus makan enak.”
“Nah begitu dong! Lain kali ajak Aku juga ya.” Raka mengangguk. Ia pun segera berpamitan dengan Nada untuk kembali ke Lampung.
Di perjalanan antara Bandung dan Merak ia mendapatkan telepon dari montir bengkel tempat truknya diperbaiki, rupanya sudah selesai. Ia mendengarnya dengan perasaan yang lega, tetapi sebuah pertanyaan baru muncul dibenaknya. “Bagaimana cara membayarnya?” Pertanyaan itu terus menghantuinya hingga tiba di bengkel. Di bengkel, rupa-rupanya terdapat supir truk yang bertanggung jawab terhadap truk yang digunakan Raka. Tampaknya sudah baikan.
“Kemarin katanya sakit, sudah sembuh, Bang?”
“Sudah.”
Mereka bercakap-cakap sedikit soal kejadian yang menimpa truk Raka di pelabuhan. Dari percakapan tersebut, Raka juga mengenal bahwa si supir truk bernama Tengkleng. Tengkleng juga memberikan kembali KTP Raka. Setelah memeriksa kondisi truk, Raka menanyakan soal biaya perbaikannya dengan sedikit kikuk.
“Berapa biayanya, Bang?”
“Bos, bagaimana biayanya!?” Panggil montir tersebut kepada pemilik bengkel. Pemilik bengkel bergegas menghampiri.
“Sudah dibayar oleh bosnya dia.” Pemilik tersebut menunjuk Tengkleng.
“Jangan bercanda bang, berapa?”
Tengkleng menyahut, “Serius sudah dibayar, tenang saja. Bos memang suka begitu. Dia juga pernah jadi supir truk, jadi pasti paham keadaannya.”
“Ga bisa bang, gua nggak enak kalau dihutangin. Lo punya nomornya, bang?”
“Sudah dibilang, santai saja.”
Raka memaksanya untuk memberikan nomor tersebut. Tengkleng menyerah, ia memberikan nomor bosnya kepada Raka. Setelah berterima kasih kepada montir dan pemiliknya, Raka bergegas pamit pergi. Di Pelabuhan Merak, ia kembali berupaya mencari pria berumur tersebut. Menurut salah satu supir truk bawahannya, bos sedang pergi ke Aceh, mengurus bahan baku. Raka pun kembali melanjutkan perjalanan hingga ke gudang arang batoknya di Lampung. Di perjalanan, ia menelepon pria berumur tersebut.
“Halo.”
“Halo, benar dengan nomornya pak Bagus?”
“Iya, siapa ya?”
“Saya Raka, yang truknya patah as di pelabuhan.”
“Oh iya, ada apa, Raka?”
“Total biayanya berapa, pak?”
“Sudah saya lunaskan, tenang saja.”
“Aduh Pak, jangan seperti itu. Saya sudah meminjam truk Bapak, sekarang Bapak juga membayar lunas biaya truk saya....”
“Untuk truk, kebetulan juga sedang menganggur beberapa hari, sehingga memang perlu dipanaskan. Kamu sudah isi kembali bahan bakarnya?”
“Sudah, Pak.”
“Ya sudah itu cukup. Soal biaya perbaikan tidak usah dihiraukan, anggap saja itu rezeki kamu. Toh saya baru tanda tangan proyek yang lumayan, harus dibagi-bagi juga. Sudah ya.” Pria berumur tersebut menutup teleponnya.
Raka masih sedikit gusar dengan apa yang dilakukan pak Bagus kepadanya. “Padahal baru kenal, tapi kok ada orang sebaik beliau?” Ia bergumam. Tidak ingin ambil pusing, Raka menganggap bahwa pertolongan tersebut merupakan karunia dari Tuhan. Ia kembali melanjutkan kesehariannya sebagai supir truk arang batok.
...
Waktu terus berlalu, tak terasa sudah hampir delapan bulan ia bekerja sebagai supir truk. Di sisi lain, dua bulan lagi Nada akan segera masuk SMA. Diam-diam Raka telah menabung cukup untuk biayanya sekolah. Selain itu, mereka berdua telah berpindah kost ke sebuah kontrakan yang lingkungannya tampak lebih baik. “Nada sudah tumbuh semakin dewasa dan semakin cantik. Aku takut terjadi apa-apa jika ia tinggal di lingkungan yang tidak cukup aman. Aku pun kerap meninggalkannya sendirian.”
Pada suatu waktu, Raka kembali masuk ke Pelabuhan Merak untuk menuju Lampung. Tampaknya hari itu pelabuhan sedang dipadati oleh banyak pengendara, sehingga antrean yang panjang tidak terhindarkan. Begitu hendak masuk dermaga, ia melihat sebuah truk terparkir dengan kepulan asap. Ia berhenti. Rupanya di sana ada pak Bagus, orang yang dahulu sempat menolongnya.
“Pak Bagus, apa kabar, Pak?”
“Sehat. Oh kamu, hmm siapa ya namanya?” Pria tersebut mencoba mengingat.
“Raka, Pak.”
“Oh iya, nak Raka. Kamu bagaimana, sehat?”
“Alhamdulilah. Truknya kenapa, Pak?”
“Overheat karena terjebak macet sedari malam.”
“Sedang bawa muatan, Pak?” Pak Bagus mengangguk.
“Barang apa, Pak? Di bawa ke mana?”
“Micin, mau di bawa ke Palembang.”
Raka berniat membantu. Truknya juga kosong tanpa muatan. Akan tetapi, ia menyatakan bahwa truknya hanya lewat sampai Lampung. Mengetahui hal tersebut pak Bagus kembali bertanya.
“Kalau Bandar Lampung kamu lewat?”
“Lewat Pak.”
“Kebetulan saya ada truk cadangan di sana. Tadinya ingin menyusul kemari.”
“Bagaimana kalau saya antarkan ke Bandar Lampung, Pak? Nanti tinggal memindahkan muatan saja ke truk cadangannya.”
“Tidak apa-apa?”
“Nggak apa-apa, Pak. Dulu juga Bapak pernah menolong saya. Hitung-hitung sekalian lewat, jadi hemat pengeluaran bahan bakar.”
Mereka berdua bersepakat. Puluhan kantong besar yang berisikan micin kemasan kecil dipindahkan dari truk yang rusak ke truk Raka. Setelah proses pemindahan barang selesai, Raka bergegas melanjutkan perjalanan. Di Bandar Lampung, setelah membongkar muat barang milik pak Bagus, supir truk bawahannya mengeluarkan segulung uang dan memasukkannya ke saku celana Raka.
“Eh, apa ini, Bang?”
“Titipan dari bos. Untuk jajan di jalan, katanya.”
“Seriusan ini, Bang?” Raka berupaya untuk mengembalikan uang tersebut, tetapi tetap ditolak oleh sang supir.
“Sudah, terima saja. Bos memang suka begitu. Hitung-hitung risiko di jalan.”
Sementara supir tersebut berlalu dengan truknya, Raka kembali mengendarai truk hingga gudang arang batok yang terletak tak jauh dari Bandar Lampung. Di sepanjang jalan, ia terus berpikir mengenai pernyataan supir truk, “Bos memang suka begitu. Hitung-hitung risiko di jalan.” Dia mencoba mencerna pernyataan tersebut, “Micin.” Kehidupannya sebagai pengamen di jalan-jalan Kota Bandung secara tidak langsung membawanya ke pergaulan buruk dengan obat-obatan terlarang. Meskipun tidak pernah menggunakan narkotika jenis apapun, ia mengetahui bentuk sabu-sabu. “Apa iya itu sabu? Rasa-rasanya tidak ada yang janggal. Mereka pun berani bongkar muat di pelabuhan. Sepertinya hanya pikiran liarku saja. Mungkin maksudnya risiko di jalan adalah risiko waktu dan kecelakaan lalu lintas.”
...
Masuk ke bulan delapan Raka bekerja. Terkadang, ia mengenang masa-masanya mengais rezeki di jalan-jalan besar kota Bandung. Sesekali, ia masih bernyanyi dan membuat konten nyanyian di akun TikTok pribadinya. Ia juga selalu membawa gitar usangnya dan meletakkannya di dalam kabin truk. Di sisi lain, ia terus memikirkan Nada yang sebentar lagi akan naik jenjang pendidikan. Nada adalah anak yang pintar di sekolahnya. Ia juga ingin masuk sekolah SMA negeri favorit di Bandung. Dikarenakan letaknya yang cukup jauh dari kediaman mereka saat ini. Raka membujuk Nada untuk masuk sekolah swasta saja.
“Sekolah swasta itu fasilitasnya lebih lengkap. Kualitasnya juga nggak kalah jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah negeri favorit.”
“Tapi aku nggak mau terus menerus membebani Ayah.”
“Nggak beban, Nada sayang. Ayah justru senang. Kamu jadi dapat pendidikan yang maksimal. Kamu juga bisa terus diawasi oleh bi Lilis. Kalau kamu sekolah di SMA negeri itu, letaknya akan jauh dari kediaman kita. Kalau kita nggak pindah, akan kejauhan untuk kamu. Kalau kita pindah, kasihan bi Lilis jadi harus bekerja jauh.” Setelah melalui bujukan yang cukup panjang, Nada menuruti keinginan ayahnya. Raka pun telah membayar sejumlah uang muka kepada sekolah swasta. “Sisanya bisa aku cari dalam beberapa minggu, atau maksimal satu bulan,” gumamnya.
...
Dua minggu sebelum Nada masuk sekolah baru, Raka telah mengumpulkan sejumlah uang. Setelah mengantarkan bahan baku, ia hendak pulang untuk menemui Nada dan mengajaknya untuk melunasi biaya masuk SMA ke sekolah. Sore itu, diperjalanan menuju Bandung, Raka melihat berita bahwa Tol Cikampek - Bandung mengalami macet total. Tampaknya ada kecelakaan beruntun, sehingga memperlambat proses evakuasi. Raka memilih jalur alternatif, yaitu melalui Puncak Bogor. “Sesekali menenangkan pikiran melewati jalur pegunungan,” pikirnya.
Truk yang ia kendarai tampak baik-baik saja hingga masuk perbatasan Bogor dan Cianjur. Namun, setelah melalui beberapa jalanan menurun, remnya mulai dalam. Ia mencoba mengontrol kecepatan truk dengan memainkan tuas gigi, rem, dan hidrolik, tetapi gagal. Truk tersebut tidak juga terhenti. Raka memutuskan untuk membanting setirnya ke sisi kiri jalan, menabrak pembatas jalan dan terus meluncur sampai akhirnya terhenti setelah menabrak sebuah rumah makan.
Truknya rusak parah, arang batok bawaannya berceceran di sepanjang jalan. Sementara itu, Raka dilarikan ke rumah sakit sekitar. Ia dirawat intensif selama hampir satu minggu. Syukurnya ia baik-baik saja. Hanya beberapa bagian yang mengalami luka terbuka dan persendian yang sedikit bergeser. Beritanya pun tersebar luas hingga ke media berita. Nada yang masih berada dalam waktu liburan memilih bermalam di rumah sakit, menemani Raka.
“Kenapa jadi begini sih, Ayah?” Nada menangis melihat kondisi Raka.
“Ayah nggak apa-apa kok, hanya lecet sedikit.”
“Lecet bagaimananya!? Aku lihat di berita truk Ayah hancur. Aku pikir....” Lidahnya tercekat oleh tangisan.
“Sudah, sudah ya sayang. Ayah nggak apa-apa kok. Maaf ya karena Ayah membuat kamu khawatir.” Raka mencoba memeluk anaknya.
Setelah membayar biaya perawatan, Raka dan Nada bergegas pulang ke Bandung. Ia mengabari kondisinya kepada pemilik truk. Syukurnya pemilik truk tersebut memaklumi. Dia siap memperbaiki truknya, juga dengan isi muatan yang menyertai Raka sewaktu kecelakaan. Namun, tidak dengan pemilik restoran. Raka harus bergegas menggantinya.
“Pokoknya saya nggak mau tahu. Ganti uangnya minggu ini atau saya polisikan! Kejadian ini membuat saya merugi. Saya jadi tidak bisa berjualan, harus merenovasi bangunan, belum lagi beberapa karyawan saya diliburkan karena luka-luka.” Ucapnya tegas dalam telepon.
Kerugian yang ditaksir mencapai empat puluh juta, sedangkan Raka hanya memegang sisa uang sebesar lima jutaan setelah membayar biaya rumah sakit. Itu pun masih kurang sedikit untuk melunasi biaya Nada masuk SMA.
“Sekolahnya ditunda tahun depan saja, Yah. Tidak apa-apa kok.” Raka menolak. Baginya, pendidikan Nada adalah nomor satu. Toh ia juga telah membayar uang muka, akan hangus jika Nada tidak jadi bersekolah. Raka memutuskan untuk menyetor seluruh sisa uangnya kepada sekolah. “Masih kurang lima ratus ribu. Belum lagi biaya bulan depan, sedangkan aku harus membayar pemilik restoran.” Raka tampak gusar. Ia tidak bisa berlama-lama istirahat di rumah. Setelah dua hari, ia memutuskan untuk kembali menyupir truk arang batok. Nada sempat mencegahnya, tetapi Raka bersikukuh untuk tetap bekerja.
...
Minggu itu Nada kembali bersekolah, sedangkan Raka memutuskan pergi ke Lampung untuk mengambil truk. Ia berangkat dengan bus. Sesampainya di Pelabuhan Merak, ia turun dari busnya. Rupanya sejumlah supir truk dan petugas yang biasa ia temui datang menyambutnya. Begitu pun dengan pak Bagus. Alih-alih Raka berupaya tampil ceria di hadapan rekan-rekannya, ia tetap tidak dapat menutup keresahannya soal ganti rugi akibat kecelakaan. Setelahnya, Raka kembali beranjak masuk ke dalam kapal.
Rupa-rupanya, Raka dan pak Bagus berada dalam satu kapal yang sama. Pak Bagus sendiri hendak pergi dengan supir pribadinya menuju Palembang. Mereka melanjutkan pembicaraan di dek terbuka.
“Sepertinya kamu ada masalah ya, Nak?”
“Nggak ada apa-apa kok, Pak.” Raka berupaya tegar.
“Cerita saja. Mungkin saya bisa bantu. Tidak baik jika dipendam sendirian.” Tapi Raka masih enggan bercerita.
“Trukmu sudah diperbaiki?”
“Sudah, Pak.”
“Bagaimana dengan muatannya?”
“Semuanya ditanggung oleh perusahaan, Pak.”
“Syukurlah kalau begitu. Lalu, bagaimana dengan bangunan yang rusak?” Raka tersenyum getir.
“Sedang diupayakan, Pak.”
“Memangnya berapa biayanya?”
“Empat puluh juta.” Pak Bagus merespon dengan tenang.
“Saya bisa bantu. Tapi saya juga sedang butuh bantuan.”
“Kenapa pak?”
“Salah satu supir saya pensiun. Sementara itu, barang pasokan ke arah Sumatera semakin bertambah. Kamu bisa jadi supir saya?”
“Waduh Pak. Maaf sekali, tapi saya belum bisa membantu. Saya masih bekerja untuk perusahaan saya.”
“Itu urusan gampang. Nanti saya bisa bicarakan baik-baik dengan atasan kamu. Kalau kamu kerja dengan saya, semuanya terjamin. Saya bisa memberikan truk yang bagus, uang gaji lebih, juga... hmm, kamu punya anak yang masih sekolah, kan?” Raka mengangguk, tapi dirinya masih menolak tawaran tersebut dengan halus.
“Saya tahu kamu butuh uang, Raka. Empat puluh juta itu tidak sedikit. Nanti saya juga yang akan melunasinya, yang penting kamu kerja di tempat saya. Kamu butuh bantuan, saya juga butuh bantuan. Jika saya belum menemukan supir truk pengganti, bisa-bisa saya rugi besar.”
Raka masih sempat berpikir berkali-kali. Ancaman dari pemilik restoran yang akan memproses kasusnya jika tidak segera mengganti rugi terus menghantuinya. Juga tawaran menarik dari pak Bagus....
“Bagaimana Raka? Mumpung kita sedang searah. Saya bisa mampir dahulu ke tempat atasan kamu untuk membantu kamu pamit dengan baik-baik.” Ia menyodorkan tangannya, tanda kesepakatan. Raka akhirnya memutuskan untuk setuju. Ia membalas sodoran tangan tersebut. “Menyepakati tawaran tersebut merupakan solusi yang tepat, toh pak Bagus juga butuh bantuan,” gumamnya.
Raka memilih berpisah kendaraan sejak turun di Bakauheni. Ia berpamitan dengan supir dan kenek bus yang mengantarnya. Kini, ia mendapatkan tumpangan dari pak Bagus. Sebuah mobil sedan yang akan membawa mereka berdua menuju gudang arang batok di Lampung.
...
Benar soal apa yang dijanjikan pak Bagus. Ia membantu Raka untuk berpamitan dengan atasan sebelumnya. Ia juga memberikan seamplop uang kepada saudagar arang batok tersebut, sebagai ganti rugi atas kecelakaan yang menimpa Raka, katanya. Pak Bagus juga melunasi hutang Raka terhadap pemilik restoran. Begitu pun dengan sekolah Nada, ia bahkan telah melunasi biayanya hingga lulus dan kerap mengirimkan Nada uang.
“Ini nggak kebanyakan, Yah?”
“Uang itu dilebihkan oleh atasan ayah. Katanya, untuk uang saku kamu. Kalau masih sisa di tabung ya.” Nada mengangguk paham.
Nada sendiri sempat menaruh curiga kepada atasan Raka. Namun, ia masih mencoba berpikir positif. “Ayah masih butuh pekerjaan tersebut. Seharusnya aku besyukur karena ayah memiliki atasan yang baik.”
Selain itu, pak Bagus memberikan Raka sebuah truk dengan dimensi lebih besar dari sebelumnya. Truk yang secara kondisi juga tampak lebih baik dan terawat. Hari-harinya dilalui dengan membawa micin kemasan dari arah Jawa Barat menuju Palembang. Dia juga masih rutin mengunjungi Nada di Bandung, meskipun tidak sesering sebelum-sebelumnya. Baginya, pak Bagus adalah sosok malaikat yang dikirim untuk menyelamatkan hidup Raka dan anaknya, Nada.
Dua bulan pertamanya berlalu dengan baik-baik saja. Hingga pada suatu waktu, Pelabuhan Merak digeledah karena ditemukan obat-obatan terlarang di kolong kontainer sebuah truk. Sementara itu, truk Raka yang sudah terlanjur masuk ke antrean penumpang kapal tidak bisa terhindar dari pemeriksaan. Raka mencoba untuk tetap tenang. Ia berpikir positif, bahwasannya barang yang dibawa hanyalah micin kemasan.
Kenyataan berkata lain, ternyata petugas yang memeriksa truknya menemukan beberapa bungkus sabu-sabu berukuran 10 gram di antara micin-micin kemasan. Total terdapat 250 bungkus sabu di antara ribuan bungkus micin lainnya. Dengan bukti tersebut, Raka ditahan oleh pihak berwajib. Sementara itu, pak Bagus menghilang tanpa jejak.
...
Raka menjalani berbagai pemeriksaan dan persidangan. Tentunya, ia menyampaikan bahwa truk dan seisinya merupakan milik pak Bagus, tetapi pak Bagus dan koloninya belum ditangkap, kini mereka buron. Raka juga sempat mengelak karena tidak mengetahui bahwa logistik bawaannya diselundupkan narkoba. Namun, bukti-bukti yang ditemukan dianggap lebih kuat. 2,5 kg sabu-sabu, kenyataan bahwa Raka ikut mengawasi proses bongkar muat barang, hingga sejumlah uang yang diberikan kepadanya, berhasil mematahkan realitas bahwa dirinya tidak mengetahui apa-apa. Raka dijatuhi hukuman mati oleh majelis hakim. Dirinya juga sempat mengajukan banding, kasasi, hingga grasi, tetapi putusan tersebut tidak berubah.
Bulan dan tahun bergulir tanpa terasa, kini Raka dipindahkan ke sebuah penjara khusus, Lapas Nusakambangan. Tempat bagi para penjahat kelas kakap, juga tempat eksekusi bagi terpidana hukuman mati. Semenjak putusan keluar dari pengadilan negeri, Nada sudah tidak lagi berkunjung. Sudah hampir dua tahun mereka tidak bertemu. Pada beberapa kunjungan terakhir pun, yang terjadi hanyalah pertengkaran antara Nada dan Raka. Nada sudah terlanjur kecewa. Ia berpikir bahwa ayahnya memang sengaja masuk ke dunia barang haram tersebut, meskipun pada kenyataannya tidak sama sekali. Terlebih, sekarang Raka telah berpindah lapas, jarak yang jauh antara Bandung dan Pulau Nusakambangan. Tentu saja, alasan jarak jadi faktor pendukung tambahan bagi Nada untuk tidak datang dan membesuk ayahnya.
...
Sudah dua bulan Raka menetap di Lapas Nusakambangan. Tidak sendiri, di sana terdapat beberapa terpidana mati lainnya, dengan berbagai kasus berat yang berbeda-beda. Belum ada tanda bahwa Nada akan mengunjungi Raka. Namun, sore itu seorang petugas datang dari luar pulau, memberikan selembar amplop kepada Raka dan lima tahanan lainnya. Raka sempat berpikir bahwa amplop tersebut adalah surat dari anaknya, tapi sayangnya bukan. Amplop tersebut berisikan surat pemberitahuan jadwal eksekusi mati, sekitar satu minggu lagi. Beberapa terpidana yang mendapatkan surat tersebut menangis histeris, tetapi ada juga yang tidak merespon apapun. Sementara itu, Raka terkejut hingga pingsan. Ia baru sadarkan diri saat tengah malam.
Di sel, Raka masih mencoba menelaah apa yang sedang terjadi. Ia membaca surat tersebut berulang-ulang. Satu yang ada di pikirannya, “Bagaimana dengan kehidupan Nada nantinya? Sebentar lagi dia akan lulus SMA.” Ia menuju ke pinggir sel, mengetuk-ngetuk jeruji penjara dengan tangannya, lalu melambai dengan maksud memanggil sipir yang sedang bertugas.
“Kenapa?” Tanya sipir tersebut tegas.
“Bisa panggilkan Roni?”
“Roni sedang tidak di lapas. Tadi sore ia keluar pulau, mungkin besok kembali lagi.” Sipir tersebut berlalu begitu saja. Sementara itu, Raka tidak tidur hingga pagi hari. Ia harus bertemu Roni, sipir lapas yang cukup dekat dengannya. Ada hal yang ingin ia tanyakan.
Benar saja, rupanya Roni telah kembali ke lapas. Pagi itu para petugas hendak membagikan makanan. Roni mengantarkan sepiring makanan dan segelas air kepada Raka.
“Nggak tidur?” Raka bergegas mendekati Roni dengan tergesa-gesa. Namun, jarak mereka masih dibatasi oleh jeruji besi.
“Ini surat apa, Ron?” Roni tidak menjawab, ia hanya tertunduk lesu.
“Benar Jum’at depan?” Roni mengangguk.
“Nada tahu kan? Nada dapat suratnya kan?”
“Harusnya dapat, Pak. Semoga Nada segera datang.”
Dua hari telah berlalu, dan sekarang hari Minggu. Beberapa narapidana yang telah mendapatkan jadwal eksekusi mati memilih untuk mogok makan. Beberapa yang lainnya telah mengubah penampilannya dengan pakaian yang lebih agamis. Sementara itu, beberapa orang jurnalis juga sempat datang ke lapas untuk meliput. Siang harinya, salah seorang pemuka agama masuk ke sel Raka. Mereka hanya berbicara mengenai penguatan iman. Di malam itu juga, seorang sipir lainnya berkeliling untuk menanyakan beberapa hal kepada para terpidana yang akan dieksekusi mati.
“Untuk Kamis malam, Bapak mau makan dan minum apa?” Tanya sipir tersebut kepada Raka.
“Mie tektek dengan teh tawar hangat, itu saja.”
“Ada permintaan lain?”
“Boleh minta rokok, satu bungkus?”
“Rokok apa?”
“Sehat Tentrem, yang Merah Putih.” Sipir tersebut mengangguk dan hendak beranjak. Raka menarik tangannya. “Boleh menitipkan surat ke anak saya?”
“Coba saya tanyakan dahulu.” Setelah berlalu beberapa saat, sipir tersebut kembali datang dengan selembar kertas dan pulpen. Ia menyerahkannya kepada Raka.
“Kalau sudah selesai menulis, panggil saja.”
Raka menulis sebuah pesan untuk anaknya, Nada:
Nada, ini surat dari ayah. Bagaimana kabarmu nak?
Ayah tahu bahwa ayah telah mengecewakan kamu. Maafkan ayahmu yang buruk ini. Kau tahu, Nak? Sebentar lagi ayah akan segera dieksekusi.
Tolong percaya sama ayah, sekali ini saja. Kamu boleh marah kembali setelah ayah pergi, tapi ayah mohon, datanglah. Ayah ingin melihat anak ayah yang sudah bertumbuh sebagai wanita yang cantik. Ayah juga berharap kamu tetap baik-baik saja seterusnya.
Ayah mencitaimu, lebih dari apapun.
Raka menulis surat tersebut dengan menitikkan air mata. Setelah selesai menulis, ia memberikan surat itu kepada sipir yang sedang bertugas.
...
Nada masih tinggal di Bandung. Ia memilih untuk tetap menempati kost tempatnya dan ayahnya tinggal. Rupanya, kost tersebut juga telah dibayar ayahnya untuk beberapa tahun ke depan, tapi Nada sadar, tabungan uangnya juga akan habis, begitu pun dengan masa mengontraknya di kost tersebut. Sepulang sekolah, Nada menghabiskan waktu dengan bekerja paruh waktu di sebuah kafe, di Jalan Braga, Bandung. Setiap berangkat kerja, ia selalu mengingat kenangan indah bersama ayahnya, Raka. Nada juga sering mengkhayal, bahwa ayahnya pernah datang ke kafenya, untuk mengamen. Dia menangis.
Tidak dapat dipungkiri, Nada marah dan kecewa terhadap peristiwa yang menimpa ayahnya. Sebuah emosi yang tidak akan hilang dalam satu dan dua hari saja. Setiap ayahnya mengirimkan surat, Nada selalu menerima, membaca, dan menyimpannya. Namun, perasaan marah dan kecewa tersebut belum hilang. Nada belum siap untuk bertemu dengan ayahnya.
Surat dari kejaksaan tiba di kostnya. Ia memilih untuk tidak langsung membukanya. Nada perlu mengumpulkan waktu beberapa saat sebelum membukanya. Malamnya, ia baru berani membuka surat berstampel resmi tersebut. Sebuah berita yang benar-benar melukainya. Nada menangis sejadi-jadinya. Namun, ia masih mencerna semua yang sedang terjadi. Perasaan marah dan kecewanya pupus, sedikit demi sedikit. Tapi Nada belum bergegas....
Hari Selasa, Nada kembali menerima surat, kali ini dari ayahnya. Sebuah tulisan tangan dengan noda tinta yang rusak di beberapa titik, karena air mata Raka. Surat tersebut semakin dipenuhi noda, kali ini disebabkan oleh air mata Nada. Kerinduannya memuncak. Nada memutuskan untuk izin dari sekolah dan kafe tempatnya bekerja untuk beberapa hari. Alasannya lain, dia tidak ingin perasaan itu diketahui oleh orang lain.
...
Kamis, pukul delapan malam, Raka dipindahkan dari kurungannya ke kurungan lain yang tampak lebih besar. Di sana, terdapat sebuah meja dan beberapa kursi. Beberapa terpidana mati juga sudah duduk, disusul oleh terpidana-terpidana lainnya yang turut memenuhi kursi. Makan malam dibagikan, Roni mengantarkan semangkok mie tektek dan segelas teh tawar hangat kepada Raka. Suasana tenang, tidak ada kegaduhan. Hanya ada suara gesekan piring dan sendok, suara kunyahan, serta suara sendawa.
Seusai makan malam, beberapa dari mereka diberikan rokok, sesuai permintaan. Raka menyegerakan untuk membakar batang pertama. Asap menari di udara bersama para terpidana yang merokok, sementara yang lainnya memilih masuk kembali ke dalam sel. Malam semakin larut, satu per satu terpidana mulai masuk ke dalam sel masing-masing. Akan tetapi, beberapa kunjungan masih menghiasi lapas. Bahkan, di salah satu sel ada yang dipenuhi oleh keluarga terpidana. Kini hanya sisa Raka sendiri, membakar batang rokok yang ke sepuluh.
“Apakah Nada akan datang?” Pertanyaan itu terus menghantui pikiran Raka. Roni tidak melakukan apapun, selain menemani sekaligus mengawasi Raka. Dia juga merokok.
Jam tiga pagi, sejumlah dokter dan ahli agama mulai datang ke dalam lapas. Raka turut diperiksa. Setelah para dokter berlalu, salah seorang ahli agama datang menghampiri Raka. Raka menolak dengan halus, ia tidak merasa membutuhkan itu.
“Ron, boleh pinjam gitar?” Roni mengangguk, masih dengan sebatang rokok yang menempel di bibirnya. Setelah pergi beberapa saat, Roni kembali datang dengan membawa sebuah gitar.
“Ada apa ramai-ramai di luar?”
“Para polisi, mereka sudah datang.” Raka mengangguk tenang. Ia kembali membakar batang ke sebelas. Dengan tangan kanan yang masih memegang rokok, Raka mulai memetik gitar. Tangannya sibuk memainkan gitar, sedangkan kepalanya sibuk memikirkan Nada.
“Suara gitar dimainkan, Raka mulai menyanyi....”
“....Jiwaku sekuntum bunga kamboja. Dihempas angin, didera hujan, disengat matahari, dicekam cerita, dan aku kan mengingatnya....”
Waktu bergulir menuju pukul empat pagi. Hanya lagu itu yang Raka mainkan. Kini segerombolan polisi telah masuk. Mereka mulai bersiap-siap. Sejumlah terpidana mati telah keluar dari sel, dan Raka hampir selesai menyanyikan lagu tersebut.
Nada terakhir berhenti. Dua orang anggota polisi datang menghampiri Raka. Ia bergegas bangun, keluar dari sel ruang makan tempatnya duduk sedari tadi malam. Dia keluar dengan langkah siap. Mereka bergerak menuju luar lapas untuk segera naik ke truk tronton berwarna hitam.
...
Iring-iringan truk tronton tiba di sebuah bangunan kecil. Di sana, tampak enam ambulans berjejer rapih. Para terpidana masuk ke bangunan tersebut. Terpidana pertama dan kedua berlalu, disusul oleh suara lantang dari beberapa senapan laras panjang. Kini giliran Raka. Sebelum tangannya diborgol dan matanya ditutup kain, ia menyegerakan untuk membakar batang terakhir, batang ke dua belas. Raka berjalan bersama beberapa iringan polisi menuju pintu pelakang bangunan yang langsung terhubung ke lapangan eksekusi. Pintu belakang dibuka, Raka hendak melangkah....
Sebuah pelukan menyambutnya dari belakang, Nada. Dia datang di saat yang tepat. Tidak banyak kata yang disampaikan. Hanya, “Terima kasih, Ayah.” Nada mengucapkan dengan kikuk, disambut suara napas yang berat karena lelah berlari, juga suara tangisan yang tertahan. Raka tahu itu nada yang datang dari lisan Nada. Pintu ditutup, memisahkan Nada dan Raka. Kini Raka telah diikat pada sebuah tiang. Samar-samar ia mendengar suara para eksekutor yang bergegas mengambil senjata. Kali ini dua belas orang telah mengarahkan senapannya kepada Raka. Seseorang datang, menempelkan stetoskop, lalu menempelkan kembali selembar kertas bergambar target tepat di jantungnya. Orang tersebut kembali beranjak meninggalkan Raka.
“Siapkan senjata!”
“Bidik!”
“Api!”
Kini, tiga buah peluru telah bersarang di jantungnya. Dengan rokok yang masih menempel di bibir, Raka meringis kesakitan yang disambut dengan senyuman tipis. Tidak ada suara langkah kaki, tidak ada suara tembakan, yang ia ingat hanya suara Nada. “Terima kasih, ayah,”—nada terakhir yang takkan pernah padam, meskipun subuh telah benar-benar dilahap pagi, meskipun hidup telah benar-benar dilahap mati.