Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kemajuan suatu bangsa ditandai dengan kebangkitan literasinya.
Itu adalah kalimat yang kutulis di halaman pertama buku harianku. Cetak hitam dengan posisi persis di tengah-tengah lembar kosong berwarna biru muda. Jika kamu melihat, ukuran hurufnya tampak agak kekar. Pun terdapat arsiran pensil di tiap-tiap diksinya. Kamu juga pasti akan menganggap, tulisan tersebut merupakan goresan terbaik yang bisa terbentuk dari jemariku. Karena tulisan tanganku memang jelek.
Meski demikian, aku sangat suka dunia tulis-menulis. Bagiku semacam ada afirmasi diri. Biasanya aku menulis saat sedang merasakan emosi yang menyerta. Marah, sedih, jenuh, bosan, merana, senang, bangga, atau bersyukur. Aku pasti akan menulis.
Saat ini juga sama. Gejolak emosi yang kurasakan bagaikan meledak-ledak di dalam hati.
Aku mengambil pensil dan penghapus, lalu membuka halaman kosong yang ada di pertengahan buku.
Dear, Diary ... hari ini aku sangat sedih. Mereka kembali berbuat jahat kepadaku. Bahkan kali ini bukan cuma lewat kata-kata, tapi sudah melakukan kekerasan secara fisik. Mereka lupa jika aku juga manusia. Kepada siapa lagi aku akan mengadu, kalau bukan kepadamu?
Dengan tangan gemetar, aku meletakkan pensil di atas meja rias, kemudian meringis di depan cermin. Sungguh, aku menahan rasa sakit. Jari-jari tanganku memegang pipi kiri yang terlihat lebam dan mulai menghitam. Benakku lantas menerawang, mengingat potongan kejadian yang tadi terjadi di kebun sekolah, selepas bel pulang berdering panjang. Aku pun kembali mengambil pensil, melanjutkan tulisan.
Tuhaaan ... perbuatan mereka sangat merugikanku. Padahal, tadi aku hanya menjawab pertanyaan yang tertera di papan tulis, itu pun diminta oleh ibu guru. Tapi mereka bilang, bahwa aku adalah murid yang sok pintar. Mereka jahat. Mereka benar-benar jahat.
Aku kembali meletakkan pensil, kemudian menatap pantulan diriku dari cermin meja rias. Tampak anak laki-laki berambut tipis dengan kulit yang selalu pucat. Dan sekarang mengeluarkan air mata yang mengalir di pipi dari matanya yang sudah memerah.
Supaya kamu tahu. Aku merupakan orang yang begitu lemah secara fisik. Aku menderita penyakit kardiomiopati atau lemah jantung sejak Tuhan menciptakanku dengan tangan-Nya. Hidupku hanya bisa menyusahkan mamah dari mulai bisa melihat dunia hingga sekarang. Cuma bisa bergantung pada mamah. Jangan lagi membantunya mencari uang tambahan untuk biaya sekolah, menyapu dan mengepel lantai rumah saja tubuhku sudah terhuyung, seperti orang yang mau pingsan.
Karena itu, jika sudah besar nanti, aku ingin menjadi penulis. Aku bercita-cita mengubah dunia dan orang-orang. Kiamat besar akan terjadi bilamana di masa depan aku tidak mencari cara untuk hidup yang kelak bisa aku lakukan. Aku sadar diri, aku hanya bisa meniti karir sebagai penulis. Aku ingin membuat mamah bangga, serta membuktikan kepada mereka bahwa aku mampu memberikan yang terbaik kepada dunia.
Aku lalu meletakkan pensil di tengah selipan lembar yang barusan aku tulis, hendak menutup buku harianku, tetapi kesedihan hati dan rasa sakit di wajah belum juga hilang. Di sisa-sisa tangisan, aku masih ingin menumpahkan emosi, serta masih ingin menulis tentang bagaimana perlakuan mereka tadi terhadap diriku. Namun kudengar suara ketukan di pintu kamar.
"Ngger ... kamu lagi apa, Nak?"
Ah, itu suara mamah. Aku harus pasang wajah bahagia, dan seolah tidak terjadi apa-apa. Aku jelas tidak ingin membuat mamah sedih. Perlahan-lahan aku berdiri, bersegera ke luar kamar.
Oh, Tuhan, aku sungguh kesulitan.
Tampang-tampang sinis mereka masih terbayang. Tawa meremehkan mereka juga masih terngiang. Permukaan hatiku sungguh tergores. Aku tak mengerti, mereka tahu tentang penyakitku, tetapi mengapa mereka tetap melakukan perundungan terhadapku?
***
Selain menulis, aku juga suka membaca. Rupanya mamah mewariskan hobinya yang satu ini kepadaku, anak satu-satunya. Rumah kami memang sempit, tetapi ada begitu banyak buku yang mamah miliki, baik itu fiksi ataupun non-fiksi, dari mulai kitab sejarah sampai resep masakan. Aku sangat-sangat bersyukur.
Bagiku kegiatan menulis dan membaca bagaikan tangan dan kaki yang berbeda bentuk maupun fungsi. Menulis adalah kegiatan ekspresi, sementara membaca adalah kegiatan refleksi. Dua-duanya haruslah seimbang dan tidak dapat dipisahkan. Namun keduanya masih berada pada satu tubuh, yakni literasi.
Suara azan Isya mulai terdengar berkumandang. Aku tengah bersandar santai di tempat tidur.
Seperti biasa, teriakan anak-anak seusiaku terasa menyentak-nyentak merasuk gendang telinga, baik anak laki-laki ataupun perempuan. Mereka suka bermain di jalanan, di depan rumah. Terkadang mereka berteriak dengan kata-kata kasar, terkadang memukul-mukul pagar rumah, terkadang berlarian sampai ke halaman. Mereka tak henti bermain sampai jam sembilan malam, apalagi jika hari Sabtu dan Minggu, kesannya seperti hanya menjadikan rumah sebagai tempat persinggahan.
Beberapa kali aku menuliskan perihal ini ke dalam buku harianku. Tentang lingkungan yang tidak sehat, tentang sistem sosial yang rusak, tentang prilaku mereka yang kurang bermoral, juga tentang buruknya parenting yang mereka terima.
Jadi, selain menulis karena adanya emosi yang menyerta, aku juga sering menulis untuk menuangkan apa-apa yang ada di dalam pikiran.
Maaf, bukan berarti aku denial. Aku yakin, jikalau kondisi kesehatanku pun seperti mereka, mamah tidak akan pernah memperbolehkanku main di luar rumah hingga jam sembilan malam. Aku tahu itu. Mamah memang tidak bersekolah di luar negeri, tapi beliau tergolong orang yang cukup berpendidikan.
Bahkan suara azan Isya kalah nyaring sama suara-suara teriakan mereka. Bahkan ketika aku sedang berada di kamar yang tertutup.
Saat ini pun kedengaran suara mereka yang sedang bermain sepak bola. Ya. Hal ini terjadi setiap hari, terkecuali ketika hujan lebat. Kami biasa melupakan, karena memang tidak dapat berbuat apa-apa.
Baiklah ... aku ingin menulis. Sesuatu yang terjadi dengan diriku pada hari ini.
Aku pun beranjak dari kasur, kemudian duduk di depan meja rias —sekaligus mejaku belajar, karena aku merasa nyaman ketika melihat diriku sendiri yang sedang berpikir.
Aku lantas membuka halaman kosong dalam buku harianku, mengambil pensil.
Dear, Diary ... Hari ini aku merasa senang. Ibu Lussy tadi memanggilku. Beliau adalah Guru Bimbingan Konseling, merangkap Wakil Kepala Sekolah. Aku sempat terkejut, tapi kemudian senang. Ternyata beliau tahu jika aku suka membaca dan menulis. Tadi, sebelum jam istirahat, kami berbincang banyak tentang literasi. Beliau sangat mendukungku menjadi seorang penulis. Aku begitu hormat kepadanya. Padahal, wali kelasku sendiri, Ibu Siska di kelas 5A, tiada sedikit pun berlaku seperti itu. Ibu Lussy seperti mamah, yang pintar dan perhatian pada diriku.
Tuhan. Aku sayang sama ibu Lussy.
Masih tervisual dalam benakku sosok anggun dan keramahan Ibu Lussy. Terlintas pula kata-kata yang tadi beliau ucapkan padaku; Jangan pernah berhenti belajar, suatu saat nanti kamu pasti akan jadi penulis terkenal. Ibu Lussy memang pribadi yang baik. Beliau dan mamah adalah dua orang dewasa yang sangat aku banggakan.
Benar. Mungkin saja ketika sedang berada di luar rumah mamah juga seperti itu. Aku yakin. Orang-orang yang kuat literasinya pasti memiliki karakter seperti Mamah atau Ibu Lussy. Karena dengan literasi yang kuat, seseorang akan mempunyai akal sehat, serta memiliki pola pikir yang baik. Dan langkah pertama untuk hal itu tentu saja dimulai dengan budaya membaca yang baik.
Bilamana ditilik lebih jauh, semua hal memang dimulai dari membaca. Bisakah kamu membayangkan, bagaimana orang yang buta huruf hidup di zaman sekarang? Maksudku, mungkin tidak ada masalah apabila hanya satu-dua individu, atau hanya sekelompok kecil saja. Namun bagaimana jika dalam skala yang lebih luas? Skala global dalam satu negara?
Jelas bisa dipastikan, negara yang dihuni oleh orang-orang yang tak suka membaca akan disebut sebagai 'negara berkembang yang tidak mekar'. Atau menjadi kawasan terbelakang, bukan? Atau, dihuni oleh orang-orang yang tidak berpendidikan, bukan? Ya, itu pasti.
Tetapi, coba bandingkan dengan negara yang masyarakatnya memiliki literasi yang kuat. Negara tersebut tidak akan bisa dibodohi oleh negara lain, atau oleh oknum-oknum yang ada dalam pemerintahan mereka sendiri.
Ah, sudahlah. Itu perkara di luar jangkauanku. Jangan lagi berpikir tentang perihal besar seperti itu. Bahkan untuk menanggulangi masalahku sendiri saja aku tiada mampu. Masalah di sekolah tentang perlakuan mereka kepadaku.
Hari ini pun mereka sempat menggangguku, akan tetapi kadarnya tidak seberapa buruk, hanya secara verbal mereka mengata-ngatai diriku, berbicara buruk terhadap keluargaku, juga merundung kondisi sakitku. Namun, tidak mengapa. Aku adalah seorang yang suka membaca kitab suci dari agamaku.
Sebuah ayat yang berhubungan dengan apa-apa yang terjadi di dalam ruang lingkupku.
Kamu telah mendengar firman :
Kasihilah sesama manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu; Kasihilah musuhmu, dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.
Ayat ini benar-benar aku amalkan dalam kehidupan nyata. Sementara, mereka? Mereka sama sekali tidak suka membaca. Karena itulah mereka sedikit pun tidak mengerti, bahwa moralitas merupakan sesuatu yang terus melingkupi sejarah umat manusia semenjak zaman Adam dan Eva turun ke bumi.
Tapi, ya, sudahlah. Aku tetap akan memaafkan mereka karena perintah dalam kitab suci harus 'mengasihi musuhmu'. Juga mendoakan mereka yang menganiaya dirimu.
Aku pun melihat jam dinding. Sekarang pukul 19.35. Aku ingin menulis, tapi sebentar lagi mamah datang. Aku tidak punya cukup waktu untuk menulis. Tidak apa-apa, besok saja.
Benar saja. Aku mendengar suara ketukan pintu. Mamah sudah datang. Mamah selalu datang ke kamarku sekitaran jam setengah delapan malam. Kami pasti akan berbincang-bincang sebentar, mengenai hal apa saja, dan terkadang sampai aku terlelap.
Aku pun beranjak dari kursi belajar untuk menyambut kedatangan mamah.
***
Waktu terus berlalu, menggasak pekan dan bulan.
Kamu pasti tahu, bagaimana rasanya dirundung. Jika belum, maka aku akan menceritakan kepadamu lewat buku harianku.
Tetapi, sebelum menulis, aku akan membaca dahulu tiga lembar terakhir dari buku kecil yang sudah aku pegang ini.
Lembar ketiga sebelum halaman kosong yang terakhir itu pun aku baca.
"Dear, Diary ... hari ini, entah ke berapa kalinya aku mengalami peristiwa pahit. Mereka berbuat usil lagi sama aku. Mereka membawaku ke ruangan gudang, terus mengunci pintunya selama dua jam, saat guru mata pelajaran matematika berhalangan hadir. Aku terkunci sendirian di gudang, sedangkan mereka hanya tertawa dari luar. Menertawakanku, pastinya. Teman sekelas semuanya diam. Tidak ada satu pun yang menghentikan ulah mereka, apalagi membantuku. Ah, siapa pula juga yang sudi berteman denganku?"
Aku lalu membalik lembar berikutnya.
"Dear, Diary ... kamu tahu ... sekalipun aku tidak pernah meremehkan atau merugikan orang lain, tapi hampir semua orang meremehkan dan merugikan aku. Apalagi mereka! Mungkin jika kamu berbentuk manusia, kamu tentu tidak sama dengan mereka. Kamu pasti akan menjadi teman yang belum pernah aku temukan, yang tidak akan bosan mendengarkan semua keluh kesahku. Hari ini aku melihat Mamah dimarahin lagi sama bos-nya. Aku baru saja mendengar percakapan mereka dari telepon. Jika saja ayah tidak pergi dengan perempuan lain, tentu mamah tidak harus bekerja keras untuk biaya pengobatanku. Aku kasihan sama Mamah. Aku sayang Mamah sampai kapan pun."
Aku membalik lagi lembar buku harianku, dan mulai membaca.
"Dear, Diary ... kemarin mereka kembali berbuat usil kepadaku. Kali ini mereka lebih serius, bahkan sangat jahat. Saat ini aku masih berbaring di ranjang rumah sakit. Aku tidak tahu, kenapa setelah makan siang kemarin perutku rasanya sakit sekali. Kepalaku sangat pusing dan terasa sulit untuk bernapas. Aku tahu, mereka mencampuri makananku dengan sesuatu. Tapi aku tidak tahu kapan mereka melakukannya. Mereka tidak tahu kalau aku banyak alergi terhadap sesuatu. Mereka jahat. Sungguh, mereka sangat jahat."
Aku kemudian membalik lagi lembaran berikutnya. Lembar yang masih kosong.
Sekarang, aku akan mulai menulis.
Dear, Diary ... hmmm ... sepertinya ini adalah hari bersejarah dalam hidupku. Aku melihat mereka kembali datang menemuiku. Namun kali ini rasanya berbeda. Aku paham betul, bagaimana sikap mereka saat hendak berbuat usil kepadaku. Kali ini tidak. Aku melihat tatapan mereka tidak sama seperti kemarin. Tatapan yang tidak diliputi niat buruk. Bahkan kulihat, mata mereka merah dan basah bekas tangis.
Kini mereka sudah duduk dihadapanku.
Mereka mungkin akan memberikan hadiah yang mereka bawa.
Mungkin memanjatkan doa.
Mungkin juga akan menaburkan air dan bunga.
*****