Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Ditaa!!! Dipanggil Hooligan, noh!” jeritan Sarah memekakkan gendang telingaku dengan mimik wajah yang mengesalkan.
“Eh itu tolong mukanya dikondisikan, ya. Sewot amat!” jawabku ketus sembari merapihkan sedikit penampilan yang sejatinya memang baik-baik saja, tidak terlalu buruk, bahkan terbilang cantik. Begitu kata orang-orang ketika mengomentariku. Terkadang aku juga butuh kepercayaan diri yang penuh sebelum menemui si Hooligan. Ya, itu nama kesayangan untuk bos maha angkuh di kantorku.
Setelah memoleskan wajahku dengan compact powder yang tidak terlalu tebal dan sedikit lip tint agar terlihat lebih refresh di depan brigadirku. Apa sajalah panggilannya karena lidahku terasa kelu jika harus menyebut namanya.
“Udah cantik, Neng. Buruan gih ke kantornya! Kalau lu telat, gue kena getahnya.”
Aduh! Sarah membuat kericuhanku menjadi-jadi. Belum lagi pikiranku yang sibuk menerka-nerka untuk apa aku harus menemui Satpol PP itu.
Satu menit yang seharusnya aku masih berada di depan lift kantorku, kini dengan kekuatan kilat avatar, aku sudah berada di depan kantornya. Tunggu. Aku menarik nafas sejenak, kemudian mengeluarkannya perlahan. Setelah ritual menenangkan diri selama kurang lebih setengah menit, aku memutuskan untuk mengetuk pintu agung itu. Belum sempat jariku menyentuh daun pintu, tiba-tiba pintu itu terbuka dari dalam dengan sangat mengejutkan. Jantungku maraton dua kali lebih cepat.
“Woyla, kaget gue!!!” gerutuku dalam hati.
Wajah angkuhnya menyambutku.
“Kenapa baru tiba? Kamu kira waktu saya seremeh itu hanya untuk menunggu orang yang cinta buta kepada kelalaian?”
“Cinta buta kepada kelalaian?? Apa-apaan maksud lo?”
“Maaf, Pak. Maaf. Saya berusaha untuk tidak mengulanginya lagi.” Jawabku sambil menundukkan dua puluh lima persen tubuhku di hadapannya.
“Ini kali ke tujuh belas kamu meminta maaf, Dita.”
“Dih, kuker amat ngitungin minta maaf gue.”
“Masuk!!” kata dia sambil membanting pintu.
Eh, aku sampai lupa kalau aku belum masuk ruangannya. Dan ini kenapa dia menyuruhku untuk masuk namun justru menutup pintu dengan keras. Aneh memang.
“Duduk!”
Tentu saja aku segera duduk di atas kursi yang telah di sediakan. Kalau tidak, gelar almarhumah akan melekat dengan namaku sepanjang masa.
“Saya heran...” Dia memotong kalimatnya dan berhenti sejenak sambil mengelus dagunya yang bersih tanpa jenggot sehelaipun. Dia memang senang sekali membuat mukadimah perkataan dengan memotong beberapa patah kata yang membuatku harus sabar menunggu lanjutan ucapannya.
“Heran kenapa?”
“Kamu baru dua bulan bergabung di perusahaan kami, namun pekerjaanmu tiada tanding dengan karyawan lama.”
Aku tersipu malu. Aku jadi sedikit merasa bersalah telah ber-suuzan dengannya.
“Marketingmu bagus.”
“Target pembeli meroket setelah kamu memegang divisi marketing sebagai content writer di perusahaan ini.”
Ruhku hampir terbang bersama jasad menuju langit ke tujuh. Aku tidak menyangka pekerjaanku yang tidak seberapa ini membuahkan hasil yang sangat memuaskan bagi perusahaan. Makian Thanos yang mengalir tiada henti sejak awal aku bekerja sangat berpengaruh dalam kredibilitas kerjaku. Hehe..
“Terim..”
“Kamu kira saya akan menyanjungmu seperti yang baru saja diucapkan??? Jangan berharap terlalu tinggi, kau!!” suaranya meninggi layaknya gunung Everest. Kedua bola mataku hampir menggelinding ke bawah kursi karena terkejut. Aku tidak menyangka bahwa penutup pujiannya adalah tamparan tanpa aba-aba. Penerbanganku yang baru tiba di langit lima terpaksa harus berlandas secara dadakan. Landak di depanku sangat mengerikan rupanya. Ruangan ini berubah menjadi gedung olah raga jantung bagiku. Perilakunya sulit ditebak.
“Kamu itu masih freshgraduate, harus sering tanya-tanya pengalaman senior kamu! Bukan malah seenaknya mendongeng di website perusahaan!”
“Mendongeng pala, lu!”
Tuhan! Aku ingin menelan ludah tapi kenapa sulit sekali. Bibirku terkunci rapat sekali. Bingung mau bagaimana menanggapinya. Perjuanganku untuk menjadi lebih baik kian harinya tidak bermakna sama sekali bagi makhluk di hadapanku ini.
“Minggu depan ada pameran internasional di Belgia, website kita pasti akan banyak di kunjungi oleh investor dan kostumer tentunya. Selain harus meningkatkan kualitas marketingmu di website, kamu juga saya tunjuk menjadi ketua perwakilan fashion tahun ini di perusahaan kami.”
Ya kaget lagi gua! Tuhan, jagalah jantung ciptaanmu ini. Dia baru saja bilang bahwa pekerjaanku tidak becus, tapi malah membebani kepercayaan yang tidak main-main. Gila kali, ya?
“Maaf, Pak. Bukannya saya menolak, namun menurut pendapat saya, Anda lebih apik dalam bekerja dan dapat memengaruhi kepercayaan perusahaan lain untuk bekerja sama dengan perusahaan kita.”
Aduh dag dig dug aku mengutarakannya. Aku memastikan apakah taring di atas kepalanya bertambah satu atau masih dua.
“Saya sudah tiga kali ke Belgia. Kebetulan minggu depan ada acara keluarga di New York.”
“Dih! Amit-amit! Kirain gue emang dibutuhin, ternyata cuma dimanfaatin doang!” aku bersungut-sungut dalam hati.
“Kenapa diam? Kamu menolak tawaran besar ini?”
“Bu-bukan begitu, Pak.”
“Proyek ini akan menghabiskan pengeluaran yang lumayan banyak, salah satunya untuk menggaji dirimu. Seharusnya kamu bersyukur mendapat tawaran ini!!”
“Ngamuk mulu. Lu lagi mens apa gimana?”
“Iya, Pak. Saya terima tawaran ini.”
“Boleh saya izin keluar ruangan?”
Aku kehabisan oksigen di tempat jahanam ini.
***
Notifikasi grup whatssapp ramai rupanya. Sambil memakai koyo, aku menyimak percakapan rekan-rekan kerja yang kadang tidak menggunakan otak.
Sarah : Dita gimana? Udah keluar dari ruangan si Hooligan?
Jodi : Nggak tau, gue.
Toma: Udah! Pucet banget wajahnya, kayak mumi Firaun.
Sialan si Tomang. Dia ngatain aku mumi Firaun.
Romi : Pantesan, gue tanyain udah makan belum, dia nggak jawab. Tatapannya kosong kayak pengen bunuh diri gitu.
Jodi : Itu jarinya tolong dijaga, ya. Jangan seenak jidat kalau ngomong.
Terima kasih, Jod. Sudah membela.
Sarah : Terus dimana dia sekarang? Nggak ada di ruang kerjanya.
Romi : Dia izin pulang duluan. Lagi nggak enak badan katanya.
Sarah : Btw, Hooligan mau jalan-jalan ke New York? Emang bener?
Toma : Iya. Mau cari bini baru kayaknya.
Romi : Bini? Itu yang dua di kastilnya, masih kurang?
Jodi : Lu kayak nggak tau syahwat kaum kita aja, Rom.
Tomi : Tau nih, Rom. Sok suci, lu!
Romi : Lah? Gue nanya doang! Kalau masalah syahwat gue juga paham.
Sarah : Bubaarr!! Hooligan dateng, noh!!
Percakapan mereka berhenti. Sudah ku tebak, mereka pasti menyambut kedatangan Hooligan dengan hangat dan senyuman yang sengaja dibuat-buat. Mereka memang terkadang memiliki dua muka.
Aku menambah koyo di kepalaku. Memijat kening yang terasa pening sambil bergeletakan di atas kasur. Menunggu kabar baru dari mereka setelah berakting menyambut bintang tamu perusahaan.
Setengah jam kemudian.
Toma : Ditaaa!! Kaget gue lu jadi ketua proyek besar tahun ini.
Romi : Pantes aja dia nggak niat hidup pas keluar dari ruangannya.
Sarah : Sudah kuduga.
Jodi : Tapi keren lho, Dita. Baru dua bulan kerja, udah dikasih proyek besar gini.
Sarah : Lu juga keren, Jod.
Jodi : Keren apaan?
Sarah : Udah 3 tahun kerja di sini, jadi wakilnya Dita doang. Prok prok prok nggak tuh?
Toma : HAHAHAHAH
Romi : WKWK, prok prok prok..
Jodi : Sialan kalian ya!
Sarah : Sory, Jod. Kita semua disini juga nggak jauh beda dari lu nasibnya. Tenang aja!
Jodi left the group.
Kebiasaan Jodi kalau lagi kesal memang selalu keluar dari grup. Meskipun begitu, dia juga yang memohon untuk gabung kembali ke grup. Jodi, Jodi.
***
Walhasil, sepulang dari Belgia, aku tumbang. Hooligan memberikanku keringanan untuk mengambil cuti hingga aku sembuh.
Toma : Hari ini Hooligan keliatan sedih, iya nggak, sih?
Romi : Sepemikiran!!
Sarah : Sedih apaan?
Toma : Keliatan murung gitu. Nggak seganas biasanya.
Jodi : Kayaknya, gue tau penyebabnya, deh.
Toma : Apa?
Romi : Jangan sok tau, lu, Jod!!
Jodi : Dia keliatan galau banget pas Dita nggak masuk kerja.
Jangan ngadi-ngadi ya, Jod!
Sarah : Ngarang lu, Jod!
Jodi : Terserah sih. Cuma firasat gue jarang meleset.
Romi : Ya udah, kita doain aja semoga hubungan mereka berjalan lancar.
Toma : Semoga Dita bisa jadi bini ketiga yang solihah, amin
Romi : Amiin
Sarah : Amiiin
Jodi : Amin
Ini udah kelewatan sih. Aku tidak bisa terus-terusan menyimak percakapan mereka.
Dita : Najis!! Kelewatan ya kalian!
Toma : Udah selesai bertapa, Dit?
Romi : Di goa apa, Dit? Coba shareloc?
Sarah : Udah baikan, Dit?
Dita : Depresi gue bacain chat dari kalian.
***
Setelah lima hari mendekam di apartement, aku memutuskan untuk berangkat kerja dengan energi baru. Sebenarnya dari kemarin aku sudah sembuh. Hanya saja aku ingin merasakan rehat sehari untuk memulihkan semangatku.
Hari ini cuaca sangat mendukung semangatku. Aku memilih kemeja suit berwarna putih. Aku juga memilih blazer hitam senada dengan tailored trousers favoritku. Setelah menyelesaikan rangkaian skin care dan make up, aku menyemprotkan parfum tebaru yang ku dapatkan dari Belgia. Entah mengapa, I’m feeling so good today!!
“Selamat datang, Ditaa!” Seperti biasa, si pemilik suara yang melengking. Siapa lagi kalau bukan Sarah. Diikuti dengan rekan kerja lain yang turut menyambutku dengan hangat.
Aku mengucapkan terima kasih dan menebar senyuman ke seluruh penjuru ruangan. Hingga akhirnya pandanganku terpaku kepada sosok yang rupanya memerhatikanku sejak tadi dengan wajah yang tidak biasa. Sangat ramah. Ini tidak mungkin terjadi. Dia tersenyum dengan sangat lebar. Bahkan terlihat tulus. Aku memandanginya yang semakin jelas wajahnya di hadapanku. Inspektur jumawaku memanglah tampan. Lelaki beristri dua ini masih terlihat gagah dengan rahang yang tajam, bermata elang dan memiliki kulit putih langsat. Namun aku justru merasa takut. Aku tidak terbiasa dengan sikap lembutnya seperti ini. Senyumannya bagai kode kematian bagiku.
Lagi-lagi aku mengucek kelopak mata berkali-kali. Ini tidak mungkin. Ini mustahil. Aku berharap ini hanya mimpi. Tiba-tiba sosok itu mendekat ke arahku lebih dalam. Semua mata yang ada di ruangan menuju ke arah kami berdua.Aku sedikit merinding. Bulu kudukku berdiri. Langkahnya semakin mendekatiku. Aku terpaku di tempat ku berdiri.
“Selamat datang, Dita.”
“Mengapa wajahmu terlihat cemas seperti itu, Dita?”
“Apakah kamu masih sakit?”
Langkahku semakin mundur menjauhinya. Kali ini aku benar-benar takut dengan perubahan sikap Hooligan.
Sarah! Toma! Romi! Jodi! Tolongin gue!! Nggak guna amat punya temen kayak kalian. Woylah!!
Dia semakin dekat dengan berjarak satu meter di hadapanku. Tidak disangka, ternyata dinding di belakangku menjadi tempat terakhirku melangkah. Gawat.
“Dita?? Kamu masih kuat kan bekerja dengan kami?”
“Kamu adalah karyawan yang luar biasa,”
Wajahnya semakin mendekatiku. Aku sudah tidak bisa lagi mundur untuk menjauhinya.
Sarah!! Lu kok malah diem aja, sih?”
“Dita? Dita?” Dia menyebut namaku berkali-kali dengan bibir yang menyeringai. Kali ini jarak kita hanya setengah meter. Bayangkan! Setengah meter!
Satu hal yang bisa aku lakukan, yaitu menjerit. Menutup mata, menarik napas yang dalam kemudian,
Tidaaaaak!!!
“Dita!! Bangun! Katanya mau berangkat ke kantor bareng?” Suara Sarah membangunkanku. Aku terkejap bukan main. Ternyata hanya mimpi.
“Kita udah telat ini. Bos pasti kesurupan lagi.”
Aku segera meloncat dari kasur menuju lantai untuk bersujud syukur. Bersyukur bahwa sikap baiknya hanya nightmare belaka.
Tidak apa-apa, Pak. Berbuatlah semaumu. Berbuatlah seperti biasanya. Karena karaktermu terkadang dapat membunuhmu, dan itu yang kamu pilih.