Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
My New Addiction
2
Suka
294
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

"Kamu nggak mau karena usia kita terpaut jauh? Ten years is just a number, Yang.”

“Aku nggak mempermasalahkan umur. Ibu dan Ayahku beda 13 tahun,” kata gadis itu dingin.

“Lalu apa?”

“Mas Tobi itu orang paling ngaco sedunia. Berani deketin aku tapi enggak sadar diri kalau Mas jauh dari kata TANGGUNG JAWAB.”

Bersandar sambil melipat tangan di dada, gadis itu benar-benar mengintimidasi lawan bicaranya. Suara dan tatapannya begitu dingin menusuk hingga ke tulang sumsum. Tobi merasa hawa di sekitarnya berubah, membuat dengkulnya gemetar. Tapi masalahnya, dia harus mendapatkan gadis ini. 

Matanya begitu ... cemerlang, seakan telah membuka mataku untuk melihat cahaya, untuk menuntunku keluar dari hidupku yang gelap berantakan. Aku tidak pernah jatuh cinta pada pandangan pertama. Sebut aku gila, tapi aku benar-benar jatuh pada pesonanya saat pertama berjumpa.

Tobi grogi bersitatap lama-lama dengan bola mata cemerlang itu, sehingga yang keluar dari mulutnya justru kalimat-kalimat yang menyerangnya bagai bumerang.

“Lho! Enggak tanggung jawab bagaimana? Aku sudah mandiri secara finansial, Yang. Aku pria dewasa dan usiaku sudah matang untuk menikah. Aku bahkan bisa menafkahi keluarga kita tujuh turunan jika menikah nanti. Cek sendiri di majalah Bisnis Indonesia edisi ke-76. PT. Tiga Farma. Wawancaraku. Tiga halaman full. Kamu enggak perlu khawatir.”

Yayang melempar napasnya dengan kesal. Saking kesalnya, bibir bawahnya menjadi sasaran gigitan gigi seri atasnya dengan gemas.

“Enggak boleh takabur! Harta Mas Tobi yang enggak seberapa itu bisa diambil Tuhan detik ini juga. Tuhan enggak nilai jabatan Mas. Tuhan menilai niat dan cara beramal, bener apa enggak!”

Sial! Yayang benar.

“Lalu di mana letak aku tidak bertanggung jawab?” tuntutnya.

“Perempuan. Alkohol. Pub. Diskotek." Kepala Tobi pening ditempeleng realita. "Informasi VALID dari Dita. Kalau mau aku perjelas lagi, Dita tahu dari suaminya sendiri, Mas Ares. Sahabat Mas.”

 Jedeeeer!

Bagai disambar geledek di siang bolong, dunia Tobi hancur luluh lantak hingga ke lantai granit tempat kakinya berpijak di restoran suami Dita.

“Aku ... aku bisa berubah. Aku mau berubah. Asal sama kamu, Yang. Please?”

Baru kali ini Tobi merendahkan harkat, martabat, dan derajatnya di depan wanita, lebih-lebih wanita berhijab.

Mana pesona jantan yang dia bangga-banggakan dulu ketika mampu menggaet perempuan mana saja hingga ke ranjang dalam hitungan jam? Kini? Seorang Tobias Dharmawangsa dibuat tak berkutik. Seakan dipaksa berlutut seperti pesakit yang hendak dihukum gantung.

“Mas Tobi hidup dalam lingkaran setan. Itu yang aku bilang enggak bertanggung jawab. Terlebih untuk diri Mas sendiri. Aku enggak akan jadi hipokrit karena ibadahku masih jauh dari sempurna. Aku juga manusia yang enggak lepas dari dosa, tapi apa yang akan Mas pertanggungjawabkan pada Tuhan setelah menikahi seorang perempuan sedangkan hidup Mas masih berputar di lingkaran itu? Mas harus selesai dengan diri sendiri dulu, baru mikirin menikah.”

Kening Yayang mulai berkerut tak percaya, seakan-akan anak kecil saja mengerti perkara sederhana ini.

“Kalau aku berubah, kamu mau setidaknya mencoba denganku, Yang?” mohon Tobi. 

“Mas ....” Yayang menghela napas lelah dan memajukan tubuhnya bertumpu pada meja. “Mas baru ketemu aku tiga kali dengan hari ini. Kenapa Mas yakin mau denganku? Dan pertanyaan lebih penting, kenapa Mas bisa yakin aku mau dijadiin istri kalau Mas sendiri ....” Yayang melemparkan tangannya ke udara, seperti kehilangan harapan.

I don’t know.” Tobi menggerakkan bahunya samar. “I don’t know,” ulangnya lebih pelan sekali lagi. “I just feel like, you can draw me from my pitch black darkness since we first met.”

Rasanya sudah sesak hidup dalam duniaku, Yang. Dan wajahmu yang bersinar dan matamu yang cemerlang membuat aku yakin, bahwa masih ada wanita baik di dunia ini, bisik nurani Tobi.

Yayang tertegun mendengar suara rapuh pria yang membungkuk di depanya. Dia memilih memainkan kukunya, tak tahu harus berkata apa hingga kalimat berikutnya terucap.

“Mas Tobi,” panggilnya lebih lembut.

Yang dipanggil menunduk dan membisu, menatap kopi hitam yang tak lagi mengepul.

“Apa Mas bisa mengerti posisiku? Kita baru bertemu. Yang aku tahu Mas hanya sahabat dari suami temanku. Mas juga enggak kenal aku. Bagaimana bisa Mas tiba-tiba minta aku jadi istri? Terlalu aneh. Terlalu agresif. Sepengetahuanku, minta anak gadis orang itu ke orang tuanya langsung. Bukannya—,”

Tobi mendongak secepat yang dia bisa. “Jadi kamu mau aku menemui—,”

Stop apa pun yang Mas pikirkan! Aku bukannya kasih lampu hijau untuk Mas datengin orang tuaku, ya,” ancam Yayang.

Bahunya langsung turun. Secepat itu harapan Tobi bangkit, secepat itu juga harapannya tersungkur.

“Mas tuh grasak-grusuk enggak jelas yang jatohnya kayak stalking aku. Tunggu aku di kampus, minta ketemu, nge-bom DM Instagram aku. Nyeremin. Bukan begitu cara mendekati orang baru. Sependek pengetahuanku, ya.”

“Bagaimana kalau kita mulai dengan kata, teman?” Tobi masih tidak mau menyerah rupanya.

Yayang melipat bibirnya, tanpa ada lengkungan garis senyum. Tobi sudah tahu apa artinya.

What should I do, then?” tanyanya putus asa.

Yayang menggeleng pelan.

“Bilang, Yang. Apa yang harus aku lakukan?” mohon Tobi sekali lagi.

Yayang menghembuskan napas lirih. “Enggak ada, Mas Tobi.”

***

Tanggung jawab.

Dua kata itu berputar tiada henti di kepalanya bagai kaset rusak sembari menggigil dan mual, membuat semua sel di tubuhnya berteriak kesakitan.

Secara tiba-tiba pria tiga puluh lima tahun itu menghentikan kebiasaan minumnya yang sudah mengakar sejak bertahun-tahun yang lalu, membuat tubuhnya yang telah terbiasa berkawan dengan racun alkohol memberontak tidak terima. Gemetar, cemas, demam menyerangnya secara bersamaan.

Kuatnya keinginan Tobi untuk tidak lagi menyuplai tubuhnya dengan alkohol membuatnya menderita. Arisa, mami Tobi panik luar biasa.

“Nak, kita ke rumah sakit, ya? Please, Mami enggak tega lihat kamu kayak gini,” bujuk Arisa untuk kesekian kalinya. Berkali-kali perempuan paruh baya itu menyeka kening anaknya yang berkeringat.

“Aku ... di rumah aja, Mi.” Gigi geligi Tobi gemeretak beradu.

“Mi, suruh dokter Pram ke rumah. Tatiana nggak tega ngebiarin Mas sok hebat nahan sakit.” Adik bungsu Tobi naik ke ranjang Kakaknya dan mengusap punggung Tobias yang lembab oleh keringat.

“Mi, Dek, aku ... minta maaf ya, Mi. Selama ini aku udah bandel.”

Kalimat itu terlompat saja dari si anak menggigil, membuat pecah tangis Arisa dan Tatiana.

“Tobi, kamu enggak boleh ngomong begitu, Nak!”

“Mas Tobiii!!!”

“Tobias!!!”

Dan setelah dua perempuan beda generasi itu berteriak, Tobi tak lagi mendengar apa-apa.

***

“Iya, Mas. Nanti aku kabari kalau udah selesai makan. Love you too,” tutup Dita mengakhiri telepon dari suaminya.

Diam-diam Yayang mengulum senyum mendengar sahabatnya bicara mesra dengan suaminya sambil memutar pipet dalam minuman Blue Ocean Soda.

Sahabat sejak kuliahnya telah melepas masa lajang dengan orang yang tepat. Dia sendiri? Lulus S2, jadi dosen di kampus almamater, bertemu banyak orang sukses. Namun, tidak ada lelaki yang mampu membuat hatinya terbuka untuk menikah. Dan tidak ada laki-laki yang mendekatinya untuk hubungan serius. Oh, ada. Sejenis lelaki aneh yang tiba-tiba memintanya untuk menikah padahal percakapan terlama mereka hanya berlangsung 20 menit dalam tiga kali pertemuan.

Dasar om-om aneh!

“Ngelamun!”

Yayang tersentak. “Gue? Enggak.”

“Tebak, gue ngomong apa sepuluh detik yang lalu?”

Love you ... too?” jawab Yayang tidak yakin.

“Tet tot. Salah. Gue manggil-manggil elo.”

Really?” Yayang terlihat malu. “Sori. Ada apa?”

Dita berubah antusias. “Tahu enggak, Mas Ares sampai ninggalin kerjaannya gara-gara temennya yang sakit enggak mau ke dokter.”

“Segitunya? Emang teman Mas Ares masih TK, takut dokter?”

Dita tergelak manis.

“Bukan anak TK, sih, tapi bayi besar yang terjebak di dalam tubuh pria dewasa yang membuat semua sahabatnya khawatir. Habisnya, udah tahu sakit, tapi keras kepala enggak mau berobat."

"Yang mana orangnya? Bang Mike?"

"Bukan. Mas Tobi.”

Dita diam-diam mengamati perubahan wajah sahabatnya yang tiba-tiba terlihat ... zoned-out sepersekian detik.

Kenapa lagi dengan om-om itu? pikir Yayang.

Nama Tobi sukses memancing penasaran Yayang. Sudah sebulan lebih akun @tobias.dharmawangsa tidak pernah lagi nangkring di posisi teratas direct message alias DM Instagramnya. 

Aneh. Ketika dia berhenti kirim pesan, perasaanku jadi ... aneh.

 Tidak ada lagi pesan Tobi yang suka bertanya, ‘Sudah makan apa belum? Mau aku kirimkan makan siang ke kampus?’, ‘Ngopi, yuk?’, ‘Kamu sedang apa?’, ‘Kamu lagi sibuk?’, ‘Hi, Yayang.’, atau sekedar ‘Morning.’. Mereka hanya berbalas percakapan di DM karena Yayang tidak mengizinkan Tobi menyimpan nomor pribadinya. Walaupun kecewa, Tobi menghormati keputusan Yayang. 

“Mas Tobi ... kenapa?”

Yayang tersentak dengan suaranya barusan. Entah kenapa suaranya terdengar ... sedih, bahkan bagi pendengarannya sendiri.

“Dia sakit gara-gara berhenti minum alkohol! Berita bagus, kan? Maksud gue berita bagusnya CUMA di berhenti minum aja, berita sakitnya enggak, kok.”

Mas Tobi berhenti minum alkohol?

“Mas Ares seneeeng banget, akhirnya sahabatnya berhenti minum.”

“Sebentar, sebentar. Kenapa bisa sakit setelah berhenti minum?” Yayang tidak peduli dengan kegembiraan Ares. “Bukannya bagus bagi tubuh kalau berhenti minum?”

Dita menggeleng. “Kata Mas Ares, kalo udah kecanduan minuman beralkohol, tubuh yang sudah terbiasa dengan alkohol akan kaget karena pasokan alkohol berkurang drastis. Bikin tubuh pecandu menderita. Mereka sakau.”

“Sakau?! Kayak sakaunya pecandu narkoba?”

“Kurang lebih. Atau lo bisa sebut Mas Tobi lagi kena sindrom putus alkohol. Dan masalahnya adalah, Mas Tobi langsung berhenti tanpa melalui proses pengurangan dosis alkohol secara bertahap. Itu yang bikin dia sakau. Makanya Mas Ares dan sahabat-sahabatnya langsung kasih support ke rumahnya.”

“Tapi, kalau bikin tubuhnya sakit, kenapa Mas Tobi rela berhenti dengan ekstrem?” Yayang masih belum habis pikir. 

Dita mengangkat bahu. “Mungkin karena elo?”

Nggak mungkin deh, Dit. Kayaknya dia udah berhenti ngejar aku.

***

Pucat dan lemas seperti mayat hidup. Begitulah kondisi Tobi sekarang. Badannya beradaptasi amat keras karena tidak mendapat pasokan alkohol lagi. Padahal keinginan untuk minum begitu kuat hingga membuat tubuhnya gemetar dan insomnia berhari-hari.

Tobi benar-benar tersiksa. Untuk beraktifitas ringan saja dia tidak bertenaga. Bagaimana caranya mengalihkan pikirannya?

Tapi tidak mengapa. Mungkin dengan begini aku bisa melepas kebiasaan laknat itu dan mulai menggapai si Mata Cemerlang.

Tobi tergelak sendiri dengan pemikirannya barusan.

Di tengah makan siangnya di atas tempat tidur, Tobi kembali mengingat wajah perempuan berhijab yang tidak mau menerima ajakan menikah darinya.

Tentu saja Yayang tidak akan mau!

Perempuan waras mana yang akan menerima pria macam dirinya? Tobi sudah gila karena tanpa pikir panjang melamar anak gadis orang yang belum dia kenal. Tapi masalahnya, dadanya diserang desiran mendebarkan ketika matanya pertama kali menangkap citra seorang perempuan anggun dibalut gamis dan hijab. Entah sejak kapan perempuan berhijab menjadi sangat menarik di mata ‘jelalatan’ Tobi. Dan desiran itu tidak pernah hilang sampai detik ini.

Dia telah menjadi candu baruku.

Sebuah senyum bodoh menghias bibirnya. Lagi.

“Yaaah, ada yang senyum-senyum sendiri.”

Celetukan Mike dan dua lelaki tampan yang menginvasi kamarnya menginterupsi lamunannya.

“Enggak minum bikin otak lo halu, Tobias?” ledek Indra.

“Sialan, kalian. Pulang sono kalau lo-lo pada cuma ngerecokin istirahat gue.” Tobi menyingkirkan nampan makan siang. Ingin menunjukkan protes, pria sakit itu menenggelamkan dirinya dalam selimut dan memejam mata.

Enggak ada bagus-bagusnya didatangi sahabat sendiri, dumelnya dalam hati.

“Lo kesambet jin apa, sampai enggak mau ke pub lagi bareng gue?” Mike mengernyitkan keningnya karena kamar Tobi ‘terlalu bersih’. Mata coklat terangnya menyapu kamar Tobi. “Botol wine, kotak rokok, kaleng bir? You get rid all of ‘em?” Karena biasanya, benda-benda yang disebut Mike tadi sangat mudah ditemukan di kamar ini. 

“Hm,” jawabnya enggan.

Are you sure? I mean, enggak minum sama sekali bikin lo kayak gini. You hurting yourself, Man.” Mike berubah khawatir.

Not in a million way gue bakal minum lagi. Please, jangan ajak lagi gue ke pub. Gue enggak tertarik,” tegas Tobias.

“Tapi lo kan bisa mengurangi minum sedikit-sedikit.”

“Mike, gue enggak mau sedikit pun meyentuh alkohol. Biar sakit gue jabanin.”

Aku ingin berubah. Aku ingin bertanggung jawab pada diriku sendiri, seperti kata Yayang.

Ares diam-diam tersenyum. Lega membuncah dalam dadanya sekarang. Akhirnya seorang Tobias mulai menyadari sesuatu.

“Yaaah, gue enggak ada temen lagi. Lo tahu Indra sama Ares udah sibuk sama keluarga mereka.”

Indra terkekeh. “Kasihan yang jomlo. Makanya nikah. Start to settle down, Mike.”

“Jangan yang itu. Gue lagi enggak mood ngomongin pernikahan.”

Yeah, you should start thinking about marrying someone,” sambung Tobias tiba-tiba.

Mike membelalak. “What the heck?

Terang saja Mike kaget. Tidak ada ceritanya pria metroseksual dan anti komitmen seperti Tobi tiba-tiba membicarakan pernikahan.

“Gue bakal dukung lo, Tobi,” ucap Ares.

Tobias membuka matanya yang memerah. “Thanks, Man. Cuma itu yang gue butuh. This sakau thing is killing me slowly by the way.”

“Maksud gue, tentang menikah,” ralat Ares. “Kejar dia kalau memang pantas untuk diperjuangkan.”

Otomatis Tobi tersenyum.

Yep, setuju sama Ares. Udah terlalu lama lo berduka dan terluka karena masa lalu. Sudah cukup lima tahun, Tobi. Lo harus keluar dari tempurung kelapa untuk menantang cahaya matahari.” Indra ikut menimpali.

“Emang gue katak.” 

Semua tertawa. Khusus Tobias, dia sedang menertawakan kebodohannya sendiri.

Tobi kembali mengingat dirinya yang dulu yang telah lama ia kubur dalam kotak bernama kenangan. Di dalam kotak itu, ada kisah pengkhiatan oleh wanita tercinta dan tersayang, yang membuat dirinya melampiaskan kecewa pada alkohol dan banyak wanita hingga ia buta dan menempuh jalan dosa.

Lalu Yayang hadir.

Walaupun hanya sebatas cerita dari Dita betapa gadis itu pecicilan tapi taat menjalankan perintah agama, mampu membuat dirinya tergugah dan ingin berubah. Ia ingin ada Yayang dalam perjalanan hidupnya yang baru. Ia ingin menjadikan Yayang wanita yang pantas untuk dimiliki dan diperjuangkan, dan hanya dia wanita yang pantas bersanding dengannya.

Dulu cinta membuatnya bodoh hingga lupa diri. Kini cinta pula yang membuatnya ingin melepaskan diri dari jeratan kebodohan masa lalu dan menjadi manusia yang lebih baik.

Tobias terkekeh sendiri. Membuat tiga pasang mata menyipit, heran, dan mulai berpikir yang tidak-tidak akan Tobi.

Sejak kapan aku mulai gila? Gila karena Yayang, gadis pecicilan yang membuatku tak mampu mengedipkan mata. Mau bagaimana? Gadis itu begitu ... cemerlang seperti berlian dengan tingkat clarity: Flawless.

Tapi sayang, Yayang sepertinya bahkan tidak beminat berteman dengan kamu, Tobi.

***

Tenaganya terkuras.

Yayang melewati hari ini dengan mengajar tiga kelas sampai siang, ikut rapat senat yang tak berkesudahan hingga langit menjingga, lalu sebelum pulang, ia menyempatkan diri memeriksa quiz mahasiswanya yang digelar tadi pagi.

“Capek. Ngadem otak di book fair aja kali, ya?” gumam Yayang. Lalu Bu Dosen meninggalkan ruangannya dan menuju parkiran.

“Allahu Akbar!”

Yayang terjongkok menatap ban motornya kempes. Dia menepuk jidatnya karena memang seharusnya ban motor malang itu diisi angin sejak jam istirahat tadi.

“Yah, kayaknya kempes, Yang. Kena paku apa gimana?”

“Astagfirullah!” Pantat Yayang harus mencium beton dingin malam hari.

“Kenapa kamu minta ampun sama Tuhan? Kamu enggak buat dosa.”

“Mas Tobi! Kemunculan Mas bikin aku kaget, tahu nggak!”

“Jangan Astagfirullah. Aku bukan kesalahan.”

Yayang mendengkus saat uluran tangan Tobi melayang di depan matanya. Namun, Yayang tidak mau terlena dengan bantuan kecil itu. Cepat-cepat Yayang bangkit dengan usahanya sendiri.

Diam-diam, Yayang mencuri pandang pada sosok yang sudah tak dia jumpai selama lima bulan lebih.

Sudut mata Yayang memindai penampakan Tobi di bawah lampu parkiran. Keningnya berkerut. Dia, beneran Mas Tobi? Dia ... terlihat berbeda. Lebih fresh.

“Aku bantu dorong ke bengkel terdekat, ya?”

“Kenapa?”

“Soalnya, masa kamu yang dorong? Lagian aku udah di sini, sengaja nunggu kamu dari tadi sore. Rencananya, sih, mau ajak kamu hunting buku ke book fair.”

“Maksudku, kenapa Mas yang dorong motorku? Kita enggak temenan sedekat itu sampai Mas bantu aku dorong motor ini.”

“Aaah. Kalau aku bantu, kamu mau temenan sama aku dan ke book fair bareng setelah ini?” Tobi menunjuk ban motor yang kempes. Seakan teringat sesuatu, buru-buru Tobi menyambung. "Aku dengan mobilku, kamu dengan motormu."

Yayang membisu sejenak, lalu tiba-tiba pertanyaan ini meluncur dari mulutnya.

“Mas ke mana aja selama ini? Kenapa sekarang baru muncul?”

Dia menungguku selama ini? Tidak, tidak, aku enggak boleh ge-er, bersit Tobi.

Tobi menepis kuat-kuat gagasan menyenangkan tadi. Takut kecewa sekali lagi.

“Aku ikut program rehab. I was an alcoholic. Remember?

“Hasil rehabnya?”

“Aku sudah bebas alkohol lima bulan, rajin nge-gym, mulai aktif di perusahaan, dan ikut klub buku,” Tobi menertawakan hobi barunya. “Oh, satu lagi. Tidak pernah ke pub dan diskotek. I’m clean. Kamu bisa konfirmasi informasi barusan pada Dita dan Ares. Dan surat keterangan dari dokter. Bolehkah aku tambahkan kalau aku enggak berhubungan dengan wanita manapun selama ini?” Tobi menggosok lehernya dan tersenyum malu-malu dengan tambahan informasi terakhir yang tidak penting.

Karena Yayang diam saja, Tobi jadi meragu. Meski demikian, ia masih ingin mengetahui isi kepala Yayang.

“Jadi gimana? Mau ... jadi temanku?”

Yayang tertawa kecil pada langit segelap jelaga, membuat Tobi terpesona, tak mampu mengalihkan mata.

 Teman. Kata itu Yayang ulang sampai lima kali dalam bisunya.

“Baiklah. Sepertinya aku butuh bantuan seorang teman mendorong motor ini sampai ke bengkel di seberang kampus.”

-Tamat-

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
My New Addiction
Steffi Adelin
Novel
Gold
Listen to My Heartbeat
Bentang Pustaka
Novel
Gold
Mansfield Park
Mizan Publishing
Novel
Good Girl Problems
Donquixote
Novel
All the Way to You
judea
Novel
Bronze
DUNIAKU DUNIAMU
Ika_muntadzirotul
Novel
Bronze
Jejak Bintang
Ramayoga
Novel
Black Turtle
Puji Utami
Flash
UNDANGAN
Nadya Wijanarko
Novel
Tak Ada Cinta, Kecuali Jakarta
E. N. Mahera
Novel
Bronze
Mission Brought Me To You
Roormniax
Novel
Cinta Tanpa Syarat
Eka
Novel
Tawa di Antara Sejuta Lara
Evika Dewi Susana
Flash
Tak Terbiasa
Snow Write
Novel
Bronze
Cinta Sepotong Pensil
Aizawa
Rekomendasi
Cerpen
My New Addiction
Steffi Adelin
Novel
Bayangan Matahari
Steffi Adelin
Flash
Kejarlah Daku Kau Kutangkap
Steffi Adelin
Cerpen
Benang (yang Hampir) Putus
Steffi Adelin
Cerpen
Ebony & Ivory
Steffi Adelin
Cerpen
Jaenudin
Steffi Adelin
Novel
Ben & Cori
Steffi Adelin
Cerpen
Jangan Takut
Steffi Adelin
Flash
Setan Jahanam
Steffi Adelin