Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Misteri
MY MUSE
0
Suka
60
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

“Dapatkah anda menyampaikan kepada kami, bagaimana anda akhirnya memutuskan untuk kembali lagi dengan membawa karya yang begitu indah ini? berbagi cerita untuk semua penggemar yang telah lama menunggu kembalinya seorang seniman jenius di abad ini.”

“Seniman jenius? itu terlalu berlebihan, Saya hanya sedang jatuh cinta, tapi, saya sangat bersyukur dan berterima kasih untuk seluruh penggemar yang telah menikmati karya saya.”

“Dengar! Kau harus segera membuat karya lagi. Kau tahu, kan, bahwa kami punya harapan besar kepadamu! Bagaimanapun kamu harus membayar kami kembali atas jasa kami membesarkanmu, Corine!”

“Baik, Ayah.”

“Kau yang memilih jalan ini dan mengabaikan saran kami untuk menikah dengan Ethan. Jadi, buktikan kepada kami dengan kesuksesanmu dan bungkam kami dengan uang hasil karyamu yang selalu kau banggakan itu. Maka kami akan membebaskanmu melakukan apapun yang kau mau.”

“Baik, Ayah. Saya mengerti.”

“Pulanglah sesekali, ibumu merindukanmu. Bantulah dia di toko saat kamu libur. Sudahi dulu, aku akan pergi bersama Derek.”

“Yaa, Ayah.”

Kelopak mataku turun dengan penuh beban. Menatap dingin layar dari benda pipih yang ku kepal begitu erat, hingga aku tak sadar bahwa kini warna kemerahan merekah indah di setiap kulit jemariku yang memucat. Aku menggertakkan gigi, menahan semua dengan wajah keras tanpa ekspresi. Hingga semua berubah saat panggilan dengan nada hangat itu terdengar.  

“Corine!”

Aku menoleh pada si pemilik mata emerald yang teduh itu. Dengan sedikit berlari, laki-laki yang akrab disapa dengan Noah itu tersenyum begitu cerah, seakan ia dapat menggeser matahari kapan saja. 

“Sedang apa?” 

Pertanyaan itu terdengar bodoh di telingaku, meski begitu, aku menyukainya. Ya, kisah romansa yang dulunya tidak pernah terpikirkan oleh diriku telah datang ke kehidupanku yang bagai neraka ini. Secara tidak langsung, dia adalah sosok penyelamatku. 

Namun, apakah kisah kami bisa disebut sebagai kisah romansa? Aku bahkan tidak tahu apakah dirinya juga memiliki perasaan yang sama denganku.

“Hey! Aku sedang bertanya, kamu sedang apa berdiri di tengah-tengah jalan seperti ini? Katamu, kamu mau menemui profesor Key.”

Aku menatap wajah agung miliknya, semua proporsinya sangat pas. Dahi yang pas untuk menjadi tempat bernaung poni-poni rambutnya yang diseret ringan oleh angin-angin kerupawanan. Seolah ingin sekali kutaruh rupa itu di jejeran pahatan-pahatan yang sudah selesai kubuat.

“Ayahku menghubungiku tadi,” jawabku sambil menatap matanya sekilas dan kemudian berjalan melewatinya. 

“Pak tua itu menelepon lagi? untuk apa? apa dia meminta uang lagi untuk berjudi?” tanya Noah dengan nada tak suka yang begitu kental didengar.

“Tidak,”

“Lalu?”

“Ibuku merindukanku. Aku disuruhnya pulang, sudah, ayo masuk.”

Aku menghela napas dengan kasar, kemudian meninggalkannya dan masuk menuju gedung dengan banyak pilar putih itu, terdengar langkahnya berlari menyusulku, senang rasanya ada yang mengkhawatirkanku. Tapi di langkah berikutnya, aku berhenti saat mendengar suara perempuan yang sangat kami kenal.

“Corine!! Noah!”

 ahh gadis ini.

Mata jernih itu menatap kami secara bergantian, senyumnya bagai musim semi yang dipenuhi aroma manis yang memabukkan. Mungkin..mungkin itulah salah satu alasan mengapa banyak laki-laki termasuk dirinya menyukai bahkan mencintai sepenuh hati mereka.

Bukankah wajar jika aku adalah seorang laki-laki, tertarik pada kecantikan yang jauh dari kata dermawan itu?

Tidak, bahkan jika kecantikannya lebih dari ini, aku tidak benar-benar bisa menanggungnya. Rasa sukaku tidak dirancang hanya untuk mengagumi keindahan. Apalagi sosok sepertinya. Meski begitu, nyatanya dia benar-benar seorang Dewi Kampus.

“Haii, Lau. Kamu juga datang?” tanya laki-laki itu dengan wajah cerahnya.

“Ya, aku mendengar kalian datang, jadi aku menyempatkan diri untuk datang juga, meski pelajaranku sudah selesai. Aku menantikan karya selanjutnya dari salah satu seniman favoritku.”

Hari ini, mata permatanya lebih bersinar dari biasanya, softlens natural dengan warna biru yang menyelimuti retinanya bergetar kagum. Memancarkan ekspresi yang jauh lebih hidup.. 

“Siapa? apakah ada seniman yang kau kagumi selain dirimu sendiri?” gurau Noah dengan nada bercandanya yang menggelegar.

Claudia tertawa. Tapi tidak dengan matanya.

Aku hanya terkekeh pelan. Enggan menanggapinya dengan serius. Karena aku tahu, gadis yang dijuluki dengan ‘Malaikat Musim Semi’ itu menyembunyikan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan oleh siapapun. 

“Aku pergi.” Ucapku sambil melenggang meninggalkan dua orang yang masih sibuk dengan perdebatan tak berguna itu.

Langkah kakiku membawa diriku ke sebuah lorong yang menghubungkan satu ruangan ke ruangan lainnya. Di mana kamu akan diantarkan ke sebuah ruangan yang penuh dengan karya yang telah kuciptakan. 

Sebuah ruangan yang diberikan oleh pemilik kampus kepadaku atas semua prestasi yang diraih selama mengikuti pameran-pameran seni terkenal. Meski salah satu karyanya tidak tertulis langsung atas namaku.

Hey bung! kalian harus tahu, aku ini termasuk donatur yang berpengaruh di sini, tentu saja hanya sedikit orang yang tahu. Jadi, fasilitas ini bukanlah apa-apa.

“Aku datang profesor.”

“Apa kamu sudah siap untuk melakukan karya selanjutnya?” tanya laki-laki setengah abad itu dengan nada tenang. 

Kakiku berhenti melangkah, menarik garis di wajahku membentuk senyum yang minimalis.

“Tidak. Tapi, apa yang bisa saya perbuat?” jawabku yang kini menyambar smock bersejarahku.

“Corine, apa arti karya yang selama ini kamu buat?”

Mendengar pertanyaan profesor, aku kembali mengingat-ngingat, alasan apa aku melakukan semua ini dengan begitu gigih dan tanpa rasa takut.

“Entahlah, tapi setidaknya saya merasa senang, lantaran, tidak akan ada lagi orang yang menderita karenanya.

Profesor Key tampak menatap diriku dengan setengah bingung, aku tahu dia mengetahui sedikit banyak apa yang kulakukan di belakangnya. Meski begitu, usahaku tidak pernah sia-sia. 

Dengan semua penghargaan bagi diri sendiri juga pihak Universitas, lalu disertai kedamaian hati banyak orang. Bukankah itu membantu?

“Dasar .. sudah aku katakan.. untuk hanya berbicara hal-hal menyenangkan dengan mulut cantikmu itu! siapa kau berani menilaiku?”

Plakk plakk plakk 

Suara tamparan yang begitu nyaring menggema di sebuah ruang hampa yang penuh dengan corak merah di dinding. Tak ada yang tahu pasti terbuat dari apa cat warna itu, pekatnya yang seperti siap menenggelamkan apapun yang berada di dalamnya. Membuat siapa saja yang melihat terusik tak nyaman. 

Begitu juga dengan sosok yang kini tengah memeluk lantai yang dingin bercampur lengket karena cairan kental pekat itu terus keluar dari permukaan kulitnya yang tergores–lebih tepatnya digores– ke benda-benda tumpul di sekitarnya. 

“Dengarkan aku, Lau–”

“DIAM!! Dengar! jika bukan karena wajahmu yang begitu memikatku. Aku pasti sudah membuat perhiasan dengan mata cantikmu itu.”

“Ini sulit. Mengapa dia begitu cantik hingga aku merasa bahwa karyaku tidak akan mampu menandinginya?!”

“Corine, lakukanlah seperti biasanya. Jangan terobsesi dengan kesempurnaan. Bukankah kamu sudah cukup puas dengan semua pencapaianmu saat ini? Tidak ada yang lebih jenius dibandingkan dengan dirimu dalam dunia pematung. Jangan terlalu keras dengan dirimu sendiri, Corine.”

“Terima kasih atas nasihatnya Profesor.”

“Ada apa denganmu?”

Hari yang cukup melelahkan mempertemukanku dengan Noah yang duduk sendirian di sebuah bangku taman. Wajahnya tertunduk, rambutnya yang menggantung sesekali mengikuti alunan angin yang tanpa permisi menerbangkan helaian-helaiannya. 

Aku sangat suka wanginya, itu adalah aroma shampo yang diracik dengan sangat hati-hati. Tapi, aku meragukan penciumanku kali ini, lantaran bukan aroma shampo yang ku kenal, melainan bau amis yang menguar samar. 

“Ah, kamu sudah selesai? apa profesor menerima usulanmu?” 

Aku tersentak sejenak, saat melihat wajah Noah yang menatapku dengan tatapan bergetar. Tanganku mengepal erat. Langkahku menghampirinya dan berjongkok di hadapannya dengan satu kaki ku yang ditekuk. 

Tak bisa dibayangkan, sosok yang banyak dikagumi oleh semua orang karena prestasi dan ketampanannya itu sedang meringkuk penuh dengan hal-hal mengenaskan. 

“Ada apa denganmu?” tanyaku meraih tangannya yang dipenuhi oleh lebam. 

Sebelum tanganku berhasil meraih pergelangan tangannya, ia sudah menarik dan menyembunyikannya di balik hoodie besarnya. Aku hanya menghela nafas dengan kasar, menatap wajahnya yang masih terlihat bekas luka di pelipis dan beberapa bagian lainnya. 

“Katakan padaku Noah!” sentakku yang tanpa sadar ikut mencengkram kedua bahunya.

Noah yang dikenal banyak orang bagaikan Dewa Yunani yang sempurna dari semua sisi. Keramahan dan ketulusannya menambah daya tarik bagi siapa saja yang ada di sekelilingnya. Tapi, aku juga tahu sisi lainnya, Noah itu lemah. Dia bahkan tidak akan berani melawan jika lawannya itu adalah perempuan. Meski hal itu adalah hal yang merugikan untuknya. 

“Apa dia menyiksamu lagi?” tanyaku yang kini mengendurkan cengkraman tanganku.

Noah tidak membalas. Ia tak berani menatapku bahkan hanya sekedar melirik pun tidak. 

“Untuk apa kau jauh-jauh datang ke sini jika mulutmu tidak terbuka untukku?” ucapku yang kesal kemudian bangkit hendak meninggalkan dirinya. 

“C-corine!”

Aku merasa ujung jaketku tertarik, menghentikan langkahku yang hendak beranjak tanpa menoleh.

“Apa?” tanyaku dengan nada ketus. 

“Apa aku salah?”

Aku mengerutkan kening tanda tidak mengerti, memejamkan mataku sejenak dan menjatuhkan bokongku tepat di sebelahnya. Aku bersandar penuh ke sandaran kursi dengan wajahku yang menghadap langit kemerahan itu. 

Memikirkannya saja sudah membuatku merasa muak, mengapa dunia ini begitu tidak selaras dengan kebaikan-kebaikan yang ada?! 

“aku harus apa, Corine?” tanya pemuda itu sambil memilin ujung kemejaku.

“Pergi dari neraka itu. Tinggalkan saja dia. Kau bisa melakukannya.”

“Tidak bisa. Itu hanya akan memperburuk keadaan. Kamu tahu, kan, bahwa ibuku bekerja di rumahnya.”

“Kontrak budak sialan.” gumamku pelan.

Banyak hal yang berputar di kepalaku. Hingga aku menatap gagak yang tengah mematuk daging di tanah aspal bekas hujan siang tadi. 

“Aku akan membalas budi padamu sekarang. Tapi, aku perlu kau menjawab jujur.”

Mata emerald itu bergerak dengan penuh binar, mengedip beberapa kali seolah memastikan apa yang ia lihat dari diriku. 

“Apa kau mencintainya?”

“Tidak. Tidak pernah sekalipun aku mencintainya. Jika bukan karena semua ancaman yang ia lakukan, aku tidak akan mau menurutinya.”

Aku meraih pergelangan tangannya dari balik hoodie kebesarannya, menyingkapnya ke atas dan saat itulah terlihat jelas lebam biru keunguan hampir memenuhi seluruh kulit putihnya yang pucat.

“Dia akan mendapatkan balasannya dan aku yang akan melakukannya.” ucapku sambil mengecup nadinya pelan.

“Tidak!”

“Kenapa?”

“Aku–”

“Cukup. dan lihat saja.”

“Corine!!!”

“Ya, Claudia. Kamu sudah datang?”

Gadis itu datang lalu menggandengku penuh aroma jeruk. Ia berceloteh yang kebanyakan adalah hal-hal yang menyebalkan baginya. 

“Corine, kamu tahu? mahasiswa dari kelas sebelah itu sangat menyebalkan. Aku kan hanya menggantikan posisinya saat mengantri, apa masalahnya ia mengalah? lagipula, siapa suruh dia meninggalkan tempatnya saat sedang mengantri?! huh bikin kesal saja.”

“Baik..baik.. aku dengar kamu menyiram seseorang lagi hari ini?”

“H-huh? kamu mendengarnya? iya aku menyiramnya karena ia menghalangi jalanku untuk ke kantin. Wanita itu juga mengganggu Noah! tidak ada yang boleh melirik milikku. Kamu tahu itu kan?!”

“Baik, aku tahu itu. sudahlah, aku kesini karena aku mau memberimu kejutan.”

“APA?!”

Aku tersenyum saat melihat binar di matanya. Membawanya ke ruanganku yang berisi penuh dengan karya-karya yang kubuat. 

“Tempat apa in– tidak mungkin?! inikan karya dari Pematung NOUS!! Darimana kamu mendapatkan patung-patung yang bahkan sulit dan langka untuk didapatkan?”

Claudia berlari kecil menghampiri setiap patung yang ada. Ia tampak senang bahkan begitu terlihat bahagia. Matanya menunjukkan lebih dari sekedar ketertarikan. Itu adalah obsesi yang penuh dengan lumpur. 

“Katakan padaku bagaimana kamu mendapatkan semua ini!”

Suara yang kudengar ini lebih menyeramkan dari biasanya saat ia sedang menggeluti hobinya sebagai pecandu. 

“Tenanglah. Kuku-mu menancap sempurna di tanganku, tahu tidak?” ucapku dengan nada yang tenang, mengelus surai legamnya demi menenangkan deru nafasnya yang masih tak beraturan.

“Ahh maaf.”

Pandanganku jatuh tepat pada matanya yang masih cantik berkilau seperti biasanya, “Menurutmu siapa Nous itu?” 

Keningnya menggambarkan ketidakpuasan. Wajahnya keruh seolah tak ingin menerka apalagi mempercayai tebakan diantara kita. Tapi aku hanya terkekeh pelan, memejamkan mata sejenak lalu menatapnya penuh percaya diri. 

“Akulah sang Nous itu, Claudia.” 

Bibirnya sedikit terbuka, ada raut tak mengerti dan seperti mempertanyakan kalimatku lebih lanjut. 

“Tidak… mungkin!?. Bagaimana mungkin perempuan rakyat jelata sepertimu mengerti sebuah kemewahan? semua yang dibuat oleh Nous adalah karya yang hanya kelas atas yang tahu. Bahkan barang yang dibuatnya masuk ke sebuah lelang yang hanya bisa dimasuki oleh seseorang seperti diriku. Kaya Raya bahkan tak cukup untuk masuk ke sana.”

“Tapi itulah faktanya. Dan kamulah alasanku bisa masuk ke sana, Claudia. tidak peduli bagaimana caranya, aku berusaha untuk bisa mencapai level kehidupanmu dengan karyaku. Kamu adalah salah satu inspirasiku, percaya tidak? Salah satu Muse yang aku kagumi. Apa kamu kecewa?”

“TIDAK! ak-aku bahkan tidak lagi peduli siapa Nous itu. Gadis miskin atau buruk rupa. aku tidak peduli lagi.”

Yaa, begitulah seharusnya, aku tahu betapa kamu mengagumi karyaku, Claudia.

“Mengapa kamu tidak mengatakannya lebih awal?” tanyanya dengan nada yang dipenuhi oleh kejengkelan.

“Karena aku perlu persiapan. Bukankah itu akan sia-sia jika mengatakannya dengan sembarang?”

Melihat matanya yang sudah tertutupi oleh kabut obsesi, aku merasa ini akan jauh lebih mudah. 

“Jadi, maukah kamu menjadi karyaku selanjutnya, Claudia?” ucapku sambil mengulurkan tanganku padanya. 

Raih itu, Claudia. Maka akan kujadikan dirimu yang paling bersinar diantara karya-karyaku.

“TENTU SAJA AKU MAU!!! KAU ORANG GILA JIKA MENOLAK KARYA PEMATUNG TERKENAL SEPERTIMU!!!”

“Apa ini perlu dilakukan?” 

“Kau tidak mau?”

“BUKAN BEGITU, TENTU SAJA AKU AKAN MELAKUKAN APAPUN UNTUKMU!”

“Baiklah”

Ini adalah hari ke sepuluh Claudia membantuku membuat karyaku selanjutnya. Karyaku yang cantik… yang sebentar lagi akan abadi. 

Kuminta ia duduk dengan pose yang kuinginkan. Dimulai membalut kakinya yang dilapisi oleh cetakan semen dan tepung putih. 

“Kau percaya pada pematungmu, kan, Claudia?”

“Ya, Tentu saja! Kau yang terbaik diantara pematung di dunia ini saat ini.”

“Terima kasih.”

“Berikutnya, kita akan kerjakan bagian leher.”

“Saya jatuh cinta. Perasaan universal yang dapat kita berikan kepada apapun yang kita lihat. Saya jatuh cinta pada langit sore, jatuh cinta pada semangat dari penggemarku yang setia menunggu karya-karyaku selanjutnya, meski mereka tidak tahu siapa sebenarnya pembuat patung yang selalu mereka nanti. Dan, saya juga jatuh cinta pada sosok yang menjadi Muse-ku selama ini, yang kini telah menjadi kekasihku–

–Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih banyak. Meski sampai saat ini saya masih belum bisa menunjukkan wajah ini di hadapan kalian. Tapi, saya tetap akan menunjukkan karya-karya indah lainnya. Dan karya saat ini adalah karya yang begitu berharga nan mempesona, melambangkan sosok dewi keadilan serta keindahan yang tiada tara.”

“Kau sudah dengar beritanya?”

“Apa?”

“Di forum kampus telah ramai diperbincangkan. Sosok Pembully yang angkuh dan berkuasa itu telah meninggal dalam insiden kebakaran di apartemennya dua hari yang lalu. Katanya, Jasadnya sampai tidak bisa diidentifikasi karena sudah separah itu hancurnya. “

“Itu karmanya. Dia yang suka membully dan semena-mena kepada orang lain akan mendapat ganjarannya.”

“Bukankah menyedihkan?”

“Aku merasa sedikit kasihan untuknya..tapi aku juga lebih kasihan pada korban yang sampai saat ini masih merasakan trauma akibat pembullyan yang dilakukan oleh pelaku. Meski pelaku telah tiada, itu tidak bisa menghapus dengan mudah rasa sakitnya.”

“Setidaknya sumbernya sudah tenang di alam baka.”

“Jangan harap. Bahkan ada diantara mereka yang mengirimkan hal-hal busuk sampai ke pemakamannya.”

“Shutt.. jangan bergunjing tentang orang yang sudah mati. Jika tidak, dia akan bangkit lagi saat kau banyak merutukinya.”

“Dongeng yang konyol!”

Hari ini, kampus begitu panas dengan berita yang mengejutkan, namun di sisi lain, kedamaian yang menyertainya membuat banyak dari mereka merasa bebas dan tentram. 

“Bukankah dunia itu akan indah jika penuh dengan keadilan?” gumamku dengan senyum yang merekah.

Tanganku terulur pada wajah yang tersenyum itu, dengan hati-hati, kuusap tetesan air yang keluar dari kelopak matanya yang sudah berwarna pasi—karena telah mengeras lebih dari dua pekan setelah hari itu. 

Aku sangat menyukai karyaku yang satu ini, dengan tambahan sayap di belakangnya, bukankah itu terlihat sempurna?

Tanpa sadar, aku pun mengambil langkah mundur untuk melihat secara keseluruhan karyaku, yang kudedikasikan demi kebebasan serta kedamaian banyak orang itu.

Diantara karya-karyaku yang sudah kubuat dengan nyentrik. Bukankah ini yang paling bersih, cantik dan juga mempesona(?). 

Tak ada hal merepotkan yang harus dibersihkan seperti noda merah yang sudah terlanjur mengeras, atau sesuatu yang terlepas dan tidak bisa dipasang kembali.

Atau di karya sebelumnya karena sudah terlanjur membusuk di beberapa bagian, aku harus lebih bekerja keras untuk memolesnya agar baunya tidak lagi ada.  

Dunia ini akan benar-benar indah jika mereka juga ikut menjadi indah bukan? mereka bahkan tidak akan lagi melakukan hal-hal yang tidak indah karena mereka sudah menjadi indah. 

Tidak akan ada yang berani menyalahkan mereka lagi karena sebuah tindak kejahatan yang pernah mereka lakukan, karena mereka telah mempersembahkan diri mereka untuk kedamaian dan keindahan mereka pada dunia hingga ke dalam jiwa mereka.

Dan bagi siapa saja, jika mereka tidak tahu caranya menjadi indah, aku akan membantu mereka menjadi indah. Aku senang bisa membantu dunia menjadi damai dalam balutan keindahan.

“Sayang, berapa lama lagi kamu mau memandangnya?”

Suara yang hangat itu menghampiri telingaku, ia memelukku dari belakang dan ikut memandangi karyaku yang beberapa waktu lalu mendapat berbagai penghargaan. Aku sangat senang semua berakhir bahagia. Tidak akan ada lagi yang tersiksa olehnya.

“Ayo pergi makan, Noah-mu ini sudah sangat lapar.”

Aku meliriknya sebentar. Bukankah yang seperti itu juga termasuk indah? 

Senyum Ku kembali merekah, saat aku sejenak melupa, bahwa dulu maupun kini, ia adalah inspirasiku, sang Muse yang menjadi alasan aku menyukai hal-hal indah juga kedamaian.

Maka, tidak ada yang boleh mengganggu inti karyaku dan mengusik kedamaian yang paling diinginkannya. Apapun itu, akan kubuat semuanya sesuai dengan standar keindahannya. 

Sejenak, kembali ku menoleh ke arah pahatan yang terakhir kali telah selesai, begitu terlihat anggun tanpa celah yang terlihat. Seperti patung ‘sungguhan’ dengan daya tarik yang begitu menawan. Sungguh, jika dewi dengan sayapnya datang ke bumi, bukankah ia akan merasa terkejut dengan keberadaan kembarannya yang tersegel di sini?

 Tak heran karyaku yang terakhir kali ini mendapat pengakuan di bidangnya dengan predikat tertinggi. Serta memenangkan penghargaan bergengsi lainnya.

“Ayo, sayang. Aku sudah sangat lapar! Gak kuat lagi!”

“Baiklah, ayo pergi.”

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Misteri
Cerpen
MY MUSE
KIN DOUTZEN
Cerpen
PENGAKUANKU
Arthur William R
Cerpen
Bronze
LUKA LAMA YANG TAK MENGERING
Rian feb rino
Flash
Salsabila
Wuri
Flash
Cermin di Rumah Lian
Arsualas
Cerpen
Menerka Dibalik Kisah Kehidupan
dreaminghand
Flash
Bronze
Hei bro!
Bungaran gabriel
Novel
Gold
Dark Memories
Noura Publishing
Flash
Terperangkap di Masa Lalu
Ika nurpitasari
Cerpen
Pencuri Waktu (IV)
Penulis N
Cerpen
ARKAIS
Fianaaa
Cerpen
Bronze
ALBEERCHT VAN WALLESTEIN
Ranang Aji SP
Cerpen
Bronze
Sepucuk Surat dari Masa Lalu
Fahri Nurul A'la
Novel
Rembulan di Kaki Gunung Ceremai
R Fauzia
Novel
Pasar Malam Terkutuk
Yaraa
Rekomendasi
Cerpen
MY MUSE
KIN DOUTZEN