Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
My Bi
1
Suka
134
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Malam itu, suara hujan tak lebih bising dari detak jantung Yamira yang kacau. Di seberang telepon, suara Arbiyan terdengar berat—seolah butuh keberanian besar untuk mengucapkan sesuatu yang sejak tadi ia tahan.

“Mi…” Suaranya parau, seperti seseorang yang memutuskan untuk menyakiti orang yang paling ingin ia lindungi. “Aku akan tunangan minggu depan…”

Hening. Bahkan detik pun terasa enggan bergerak. Yamira tak berkata apa-apa. Hanya menatap kosong dinding kamarnya yang tiba-tiba seperti runtuh ke arahnya.

"Selamat ya, Bi. Akhirnya, kamu memilih jalan yang tak pernah bisa kutempuh." Suara Yamira memecah keheningan, terdengar stabil. Terlalu tenang, bahkan untuknya sendiri. Tapi di dalam, dadanya sesak, seperti dipeluk kabut yang dingin dan berat. Kata-kata itu keluar begitu saja. Bukan karena ikhlas, tapi karena Yamira tahu... tak ada yang bisa ia lakukan selain melepaskan dengan tampang tegar. Bahkan saat hatinya hancur, ia tahu ia tetap harus terlihat 'kuat'.

“Aku nggak akan pernah berhenti sayang sama kamu, Mi,” ucap Arbiyan. “Tapi aku nggak bisa lawan semua ini…”

Yamira merasa sakit dan patah. Tapi ia tidak menangis saat mendengar kabar itu. Mungkin karena air matanya sudah lama habis untuk luka yang sama. atau mungkin karena ia sudah terlalu pandai menyembunyikan retak di balik senyum. Ia hanya tersenyum kecil, getir. Senyum yang tak pernah benar-benar sampai ke mata Arbiyan. Seseorang yang kurang lebih telah membersamainya selama dua tahun terakhir ini.

 “Nggak apa-apa, Bi. Cinta kita memang nggak pernah diberi tempat. Mungkin takdir cuma mau kita saling kenal, saling mencintai… tapi nggak pernah bisa saling memiliki.” Ucap Yamira setenang mungkin.

Meski begitu, ada luka yang terasa di setiap kalimat yang diucapkan Yamira. Arbiyan tahu, Yamira hanya sedang berpura-pura tenang. Meski kedekatan mereka baru terhitung dua tahun, tapi Arbiyan cukup mengenal seperti apa Yamira.

“Mi… kamu …”

“Aku baik-baik aja, Bi. Kamu tenang aja. Seperti yang pernah aku bilang, jemput bahagiamu. Dengan siapapun itu aku ikhlas.” Yamira segera memotong kalimat Arbiyan.

“Bohong, aku tahu kamu nggak baik-baik aja, Mi!”

Semakin lebar senyum getir terlukis di wajah Yamira. Lantas, kalau aku nggak baik-baik aja, apa itu akan menghentikan rencana pertunangan kamu? Nggak akan kan, Bi??

“Bi, aku baik-baik aja.” kalimat itu tak lebih dari sebuah kebohongan besar yang mengetuk telinga Arbiyan. Ia bisa mendengar bagaimana Yamira menghela napas berat. “Aku nggak pernah bisa menjanjikan kamu apapun. Aku nggak mau ngebiarin kamu terus hidup dalam harapan yang nggak pasti. Melangkahlah, Bi. Jemput bahagia kamu. Aku doakan, kamu bahagia selalu sama dia. Semoga dia pilihan yang tepat buat kamu, Bi.”

"Mi…," katanya pelan, hampir seperti bisikan yang ingin ia telan sendiri. "Kalau hidup bisa aku ulang, aku nggak akan minta banyak. Cuma satu… ketemu kamu lebih dulu sebelum dia, Mi”

Yamira tersenyum. Pahit.

"Kalau hidup bisa diulang, Bi… mungkin aku akan tetap memilih kamu. Tapi hidup tidak pernah memberi kita hak untuk memilih segampang itu, kan?"

“Ya …” lirih Arbiyan dengan matanya yang mulai basah tanpa Yamira tahu.

“Fokus dan bahagiakan dia, Bi. Kita tahu, kita nggak benar-benar saling meninggalkan. Dan itu cukup buat aku.”

Yamira memutuskan sambungan teleponnya. Seketika tangisnya pecah dalam diam. Apa lagi yang harus aku katakan? Aku perempuan bersuami, bukan? Perempuan yang seharusnya sudah mengubur cinta itu jauh-jauh sebelum hari ini tiba.

Tapi ternyata, tak ada pemakaman yang benar-benar bisa mematikan cinta. Ia hidup, tumbuh diam-diam di antara jarak dan waktu. Dan hari ini, aku melihatnya sekarat, karena harus merelakanmu dimiliki orang lain. Cinta yang kita kubur, nyatanya tak pernah mati. Ia hanya tidur, Bi. Menunggu waktu yang tak pernah ada. Batin Yamira berperang dengan hebatnya.

Setelah sambungan telepon terputus, Arbiyan masih menatap layar ponselnya. Layar yang gelap, tapi pikirannya lebih gelap lagi. Sunyi sekali. Bahkan detik jam di kamarnya terasa seperti palu yang memukul dadanya satu per satu.

Yamira tak menangis. Tapi Arbiyan tahu, Yamira sedang memendam air mata paling tajam di balik kata-kata tenangnya. Dan itu adalah hal yang paling menyakitkan bagi Arbiyan. Ia lebih siap mendengar Yamira menangis, memohon menahannya, atau bahkan marah memakinya dan berujung membencinya daripada ia harus menghadapi Yamira yang setenang itu.

“Kenapa harus dipertemukan dengan cara seperti ini? Kenapa harus bertemu di saat ia sudah milik orang lain?” gumamnya lirih, hampir tanpa suara.

Ia menoleh ke undangan pertunangannya yang tergeletak di meja. Nama gadis itu tercetak manis di atas kertas. Cantik, baik, sempurna menurut keluarganya. Tapi bukan Yamira. Bukan perempuan yang ia inginkan duduk di pelaminan bersamanya.

“Mi… apa kamu pikir aku nggak hancur atas keputusan ini?”

Arbiyan berbicara sendiri di dalam kamar kosong. “Aku bahkan nggak tahu gimana caranya berdamai dengan hidup tanpa kamu. Aku nggak tau gimana caranya aku mencintai dia seperti aku mencintai kamu.”

Ia mengusap wajahnya, lelah, dan jatuh terduduk di ujung ranjang.

"Aku cuma pengin kamu tahu satu hal, Mi... Kalau suatu hari nanti hidupku terlihat bahagia, percayalah... bahagia itu cuma bagian kulit yang kamu lihat. Tapi isinya selalu kamu."

Arbiyan membiarkan matanya yang semakin basah. Dadanya terasa sesak. Bukan ini yang ia harapkan. Bukan perempuan itu yang dia mau. Ia hanya ingin Yamira yang menjadi pendamping hidupnya. Tapi ia sadar, ia nggak boleh merebut fisik Yamira dari keluarga kecilnya. Dan hari itu, mereka saling melepaskan tanpa pernah benar-benar berhenti mencintai.

***

Ini sudah berjalan beberapa minggu sejak malam perpisahan itu. Tapi Yamira masih merasa seolah itu baru terjadi kemarin. Sakitnya masih terasa sangat menggigit setiap kali ia teringat tentang Arbiyan. Tak jarang Yamira bertanya dalam diam bagaimana keadaan Arbiyan, apakah pertunangannya berjalan baik-baik saja. Kapan tanggal pernikahan mereka? Apakah perempuan itu bisa memahami Arbiyan dengan cukup baik? Apakah perempuan itu bisa membahagiakan Arbiyan. Pertanyaan-pertanyaan itu sering kali muncul dalam benak Yamira.

Ia tahu, ia tak boleh melakukan itu. Memelihara cinta, serta memikirkan lelaki lain sedangkan ada seorang lelaki yang sudah berani mengambil tanggung jawab dan berkomitmen atas dirinya. Tapi Yamira pun sulit untuk benar-benar mengubur perasaan itu. Meski sudah sekuat tenaga dan pikiran, sekali waktu bayangan tentang Arbiyan muncul di benaknya.seperti layar pertunjukan yang tiba-tiba berputar di hadapannya. Sering kali Yamira merasa sangat lelah dengan perasaannya sendiri. Merutuki diri. Beberapa waktu menyalahkan bahkan mempertanyakan takdir mengapa mempertemukannya dengan Arbiyan di saat suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja dengan suaminya.

Minggu berganti bulan, seeperti dedaunan yang luruh dari dahan dan berganti dengan yang baru. Setiap pagi, Yamira belajar mencintai hidupnya yang sekarang. Bukan karena ia melupakan Arbiyan, tapi karena ia sadar, tidak semua cinta bisa diselamatkan.perlahan. Yamira mulai menguasai perasaannya. Dengan tidak ada lagi komunikasi dengan Arbiyan sejak malam itu, Yamira menjadi lebih fokus terhadap kehidupan dan menjalani perannya dengan baik. Perlahan, ia mencoba membangun kembali rasa cinta yang utuh untuk suaminya. Nama Arbiyan masih ada, tapi ia simpan di paling sudut hatinya. Di setiap detak waktu, Yamira berusaha menekan rasa cinta dan rindu untuk Arbiyan untuk tidak menyentuh permukaan hatinya. Ia memang belom benar-benar berhasil, tapi setidaknya ia bisa lebih mengendalikan perasaannya.

Sedangkan Arbiyan, ia masih tergulung oleh perasaan bimbang. Antara melanjutkan pertunangannya ke jenjang pernikahan, atau mengakhirinya. Arbiyan sadar, sesempurna apapun calon istrinya, ia tidak bisa benar-benar mencintainya. Karena cintanya sudah berhenti di satu nama, Yamira.

Berkali-kali Arbiyan membuka kontak Yamira. Berkali-kali itu juga banyak pesan yang diketik lalu dihapusnya kembali. Tapi satu hal belum ia hapus—rasa cinta dan ingin bertemu. Walau hanya sekali lagi. Yamira, gimana kabar dia sekarang? Lirih Arbiyan dalam diam yang paling sunyi di tengah malam.

Memori Arbiyan kembali membawanya ke hari-hari dimana sering kali Arbiyan menyapa Yamira di tengah malam saat ia terjaga. Sekedar memastikan Yamira sudah tidur, atau melepas kerinduannya. Tapi semenjak hari pertunangannya, berkali-kali Arbiyan menahan jari-jarinya untuk tidak mengetik apapun dan mengirimkannya kepada Yamira. Hanya nama Yamira dan beberapa potret yang ia miliki yang di tatapnya berulang kali.

Aku nggak yakin, Mi, apa aku bisa menjalani pernikahan sedangkan kamu masih terlalu utuh untuk aku simpan. Gumam hati Arbiyan sambil memandang bergantian potret Yamira dan juga cincin pertunangan yang melingkar di jarinya.

***

Ini sudah setahun berlalu sejak kepulangan mendiang suami Yamira. Ia merasakan separuh nyawanya hilang. Hampa. Ya. Kali ini itu yang di rasakan Yamira. Ketika ia dulu berpikir kepergian Arbiyan membuatnya sakit dan kesepian, nyatanya, kepulangan sang suami kepada sang pencipta semakin menghadirkan sepi yang menjelma menjadi kehampaan luar biasa di hari-hari Yamira.

Setahun Yamira berjalan sendiri, tapi rasanya belum benar-benar melangkah. Hidupnya seperti jeda panjang yang tak kunjung usai. Ada saat-saat di mana ia merasa hanya bertahan, bukan benar-benar hidup. Ia tak lagi menangis. Bukan karena luka itu telah sembuh, tapi karena air mata pun akhirnya letih.

Yamira seolah kehilangan dua cinta dalam hidupnya—satu pergi karena takdir, satu lagi karena keadaan. Jika kepergian Arbiyan hanya membuatnya rapuh, maka kepergian suaminya menghancurkannya hingga tak bersisa. Ia mencoba bertahan. Untuk hidup. Untuk tetap waras demi sang buah hati yang harus ia bersamai perjalanan hidupnya. Dan itu sungguh tak mudah bagi Yamira.

 Malam-malam panjang selalu mempertemukannya dengan bayang-bayang mendiang suaminya, juga dengan seorang lelaki yang dulu sengaja ia hentikan perasaannya- Arbiyan, senyumnya, tatapannya—walau pada kenyataan segala perasaannya tak pernah benar-benar berhenti. Yamira seolah hidup di antara kenangan dan kehilangan. Antara doa-doa yang tak lagi bernama, dan perasaan yang tak bisa ia bunuh meski telah ia kubur dalam-dalam.

Yamira merasa butuh udara segar kali ini. Kerinduan kepada mediang suaminya, juga rasa ingin tahu tentang kabar Arbiyan membuatnya cukup lelah. Yamaira tau, bagaimanapun, ia tidak akan terlepas dari kenangan bersama mediang suaminya, ataupun dari bayang-bayang Arbiyan. Pikiran dan bayangan tentang Arbiyan yang sudah bahagia bersama keluarga kecilnya membuat Yamira harus semakin berjuang keluar dari kubangan masa lalu. Dan itu sungguh menguras energy dan emosinya.

Yamira butuh waktu untuk kembali menenangkan pikirannya. Yamira memutuskan untuk mengambil me time di weekend kali ini. Yamira sengaja menitipkan anak-anak di rumah ibunya. Agar ia bisa lebih leluasa. Ia hanya ingin sedikit tenang hari ini.

“Maaf ya, Bu. Mira harus ngerpotin, Ibu.” Ucap Mira sebelum pamit kepada Ibunya.

“Nggak apa-apa. Ibu ngerti. Kamu masih butuh waktu untuk tenang. Biar hari ini anak-anak di sini. Kamu, nikmati waktumu. Jangan khawatir. Mereka aman di sini.”

Yamira tersenyum haru mendapati perlakuan ibunya yang sangat mengerti perasaannya. Matanya berkaca-kaca ketika mendaratkan sebuah pelukan kepada ibunya.

“Sekali lagi, terimakasih ya, Bu.” Bisik Yamira dalam pelukan. Ia segera pergi setelah melepaskan pelukan dan mendaratkan kecupan di kening anak-anaknya.

Sedangkan di tempat yang jauh dari Yamira, Arbiyan menatap langit-langit kamarnya dengan perasaan yang sulit diterjemahkan. Ada rindu, ada sepi, ada rasa ingin berjumpa kembali dengan Yamira. Ia telah mengkahiri pertunangannya. Dengan berani, Arbiyan menceritakan isi hati yang sebenarnya kepada sang ibunda. Satu-satunya orang yang akan selalu ada di segala kondisi tanpa menghakimi Arbiyan.

“Arbi… ko bengong lagi? Mikirin siapa? Mira?” tanya Ibu sambil duduk di tepi ranjang Arbi.

‘Eh Ibu. Dari kapan Ibu masuk kamar Arbi?” tanya Arbiyan yang segera duduk di samping Ibu,

“Baru ko, dari tadi ibu ketuk pintunya kamu nggak jawab. Mikirin siapa, sih?”

“Ya… siapa lagi, Bu.” Jawab Arbi tak bersemangat.

“Kamu nggak ada agenda keluar hari ini? Mendingan kamu jalan-jalan gih! Biar gak banyak bengong di rumah. Ibu ngeri, ayam tetangga kemaren kebanyakan bengong tau-tau mati.”

Kalimat ibu justru mengundang tawa Arbiyan.

“Emang Ibu nggak ada agenda mau kemana gitu, biar Arbi anter.”

“Nggak ada. Kamu lah sana cari kegiatan apa kek gitu. Biar Ibu nggak keseringan melihat kamu begini. Sedih tau!”

Arbiyan tersenyum tipis, dan meletakkan kepalanya di pundak ibu.

“Maafin Arbi ya, Bu. Arbi belum bisa bahagiain Ibu.”

“Udah, ibu ngerti. Nggak usah dipikirin lagi. Sekarang mending kamu mandi, terus makan. Ibu udah masak sambel kentang kesukaan kamu.”

“Oke! Makasih ibuku yang cantik!” ucap Arbiyan yang langsung mendaratkan kecupan di wajah sang ibunda. Ia pun segera beranjak, dan menuruti titah sang ibu.

***

Toko buku favorit Yamira menjadi salah satu tujuan Yamira hari ini. Toko itu tidak terlalu ramai meski hari sudah siang. Hujan baru saja turun—tidak deras, hanya gerimis yang seperti bisikan. Yamira masuk dengan langkah pelan, aroma kopi dari coffe shop yang berada di samping toko buku menyambutnya bersama bau buku-buku lama yang khas. Tangannya menyusuri deretan novel di rak bagian tengah, berhenti pada satu buku dengan sampul cokelat kusam. Buku yang pernah ia bicarakan bersama Arbiyan lewat telepon, bertahun lalu.

Saat Yamira ingin beralih ke lorong rak buku di belakangnya, tak sengaja ia menabrak seseorang yang sedang berjalan sedikit terburu-buru dari arah yang berlawanan dengannya.

“Maaf, aku nggak ….” Kalimat Yamira seketika menggantung ketika ia melihat seseorang berdiri di depannya.

“Arbiyan?” tanya Yamira nyaris tak percaya dengan penglihatannya. Suaranya lirih nyaris hanya dirinya yang mampu mendengar suaranya dengan jelas.

Arbiyan tak mengenakan apa-apa yang mencolok—hanya jaket abu-abu dan sneakers yang sedikit basah karena gerimis. Tapi sorot matanya... itu yang membuat waktu seakan berhenti.

Keduanya tak langsung bicara. Tak ada sapaan. Hanya diam yang panjang. Seperti mereka berdua sedang menyesuaikan napas. Atau mungkin, menyusun ulang seluruh perasaan yang pernah diacak-acak waktu.

“Mi...” suara itu akhirnya terdengar. Pelan. Tak lebih keras dari desiran hujan di luar kaca.

Yamira semakin membeku. Ia pikir, ia sudah cukup kuat. Tapi kenyataan kadang menampar tanpa peringatan.

“Buku yang sama…” ucap Arbiyan, menunjuk buku di tangan Yamira. “Masih jadi favoritmu?”

Yamira tersenyum kecil. “Masih.” Lalu menatapnya. “Kamu masih suka baca bagian akhir duluan?”

Arbiyan tertawa pendek. “Masih. Kebiasaan buruk yang nggak pernah bisa hilang.”

Mereka terdiam lagi. Tapi kali ini, lebih hangat. Tidak sesakit dulu. Hanya ada dua orang yang pernah saling mencintai dengan cara paling diam-diam, kini berdiri di antara rak buku, membawa masa lalu masing-masing.

“Aku… datang ke sini tanpa rencana,” kata Arbiyan. “Aku lagi butuh tempat yang tenang. Tapi ternyata malah ketemu kamu di sini.”

Yamira tersenyum pahit. “Aku juga nggak nyangka. Kenapa semesta harus mempertemukan kita lagi, dan di sini? Yang jelas ini jauh dari tempat kamu, Bi.”

“Aku nggak tau, tiba-tiba aja aku rindu tempat ini, dan aku rindu kamu.”

Kata terakhir membuat desiran darah Yamira terasa menghangat menyentuh sisi hatinya yang sudah lama terasa kosong. Yamira tersenyum simpul menjawab perkataan Arbiyan. Yamira seolah tak bisa lagi berpikir jernih untuk menanggapi pernyataan Arbiyan. Ia masih ckup heran dengan kenyataan yang mempertemukannya kembali dengan Arbiyan setelah lama mereka tidak saling komunikasi.

“Ngopi di samping sebentar yuk, Mi?” ajak Arbiyan.

“Boleh, aku bayar ini dulu.” jawab Yamira yang segera berjalan ke kasir membawa dua novel yang sudah ia ambil.

“Aku tunggu di samping ya.”

Yamira mengangguk kecil menanggapi ucapan Arbiyan. Setelah selesai urusan membayar novelnya, Yamira segera menyusul Arbiyan yang sudah menunggunya di coffe shop samping toko buku. Arbiyan memilih duduk di kursi yang tak jauh dari pintu masuk. Yamira menghampiri Arbiyan setelah ia memesan memesan hazelnut coffe with wipe cream favoritnya, dan langsung duduk di hadapan Arbiyan.

“Kamu sendirian?” tanya Arbiyan membuka obrolan.

“Ya. Anak-anak lagi di rumah neneknya.”

“Ayahnya anak-anak?” tanya Arbiyan sedikit ragu. Tapi ia ingin memastikan bahwa keadaannya aman dengan mengajak Yamira sedikit bersantai di tempat kopi favorit Yamira itu.

Yamira menghela napas. “Aku sendiri sekarang, Bi. Suami meninggal setahun yang lalu. Serangan jantung.”

Arbiyan menatapnya, matanya terbelalak pelan. “Mi… aku—”

“Jangan ucapkan belasungkawa,” potong Yamira. “Aku udah cukup mendengarnya. Kadang diam lebih bisa mengobati daripada simpati.”

Arbiyan mengangguk. Ia tak tahu harus berkata apa. Tapi tatapannya, menyimpan sesuatu yang hanya bisa dibaca Yamira. Sesuatu yang tak pernah benar-benar hilang.

“Permikahanmu gimana?” tanya Yamira pelan.

Arbiyan menunduk, lalu menjawab, “Batal. Aku nggak bisa bohong lebih lama. Perasaanku gak bisa lebih dari sekedar peduli sama dia. Aku nggak bisa benar-benar sayang ke dia. Dan aku nggak bisa cinta sama dia, Mi.”

“Jadi kamu …”

“Aku belum menikah sama dia. empat bulan menjelang pernikahan, aku batalkan pertunangannya.” Jelas Arbiyan tanpa di minta. Seolah ia tahu apa yang igin ditanyakan Yamira.

Sunyi lagi. Tapi bukan sunyi yang canggung. Melainkan sunyi yang terasa seperti pelukan diam dari semesta, seolah dunia sedang berkata, Akhirnya… kalian kembali ke titik yang sama.

“Aku nggak tahu ini apa, Bi…” ujar Yamira pelan. “Tapi kalau ini caranya semesta mempertemukan kita lagi… aku nggak akan lari.”

Arbiyan tersenyum tipis. Menatap Yamira semakin lekat.

“Aku nggak minta kamu langsung percaya,” katanya. “Tapi kalau kamu masih mau, kita bisa mulai lagi… pelan-pelan. Bukan sebagai sepasang kekasih. Tapi dua orang yang pernah saling mencintai, dan mungkin… belum benar-benar selesai.”

Yamira memainkan sedotan yang berada dalam gelas minumannya. Hatinya hangat, tapi juga takut. Namun di balik itu semua, ada sebersit tenang—karena akhirnya, cinta yang sempat tertidur, kini membuka mata.

“Bi, tapi status aku…”

“Kita pernah membahas soal ini, Mi. Dan kamu udah tau jawabannya. Aku cuma minta, tolong jangan pergi lagi, Mi.”

Arbiyan mengulurkan tangannya, meraih jemari Yamira. Menggenggamnya erat namun lembut. Seolah ia ingin benar-benar meyakinkan Yamira bahwa ia tak ingin lagi kehilangan Yamira.

Hati Yamira semakin terasa hangat. Kehampaan yang ia rasakan beberapa bulan terakhir, perlahan tersingkirkan.

“Hari ini, aku temenin kamu, ya? Aku juga yang akan anter kamu pulang.”

“Bi, aku nggak mau bikin kamu repot.”

“Dan aku nggak mau mendengar penolakan dari kamu, Mi.”

Yamira menghela napas sedikit berat. Ia tahu Arbiyan seperti apa. Mendebatnya adalah hal yang mustahil.

“Setelah ini, kamu mau kemana?” tanya Arbiyan.

“Rencana aku hari ini tuh banyak banget, Bi. Aku bener-bener mau me time.”

“Oke, kalau gitu me time nya diganti jadi we time. Gimana?”

“Dari sini aku mau ke salon rencananya. Mau cari tempat pijet refleksi juga.”

“Yaudah, aku anter ke salon, setelah itu kita juga cari tempat pijetnya bareng-bareng.”

“Terus?”

“Ya nggak ada terus-terus. Pokonya hari ini aku mau temenin kamu. Full!”

“Bi…” wajah Yamira terlihat keberatan dengan keputusan sepihak dari Arbiyan.

“Mi, please.” Tatapan Arbiyan sedikit memohon.

Yamira menghela napas berat. “Ya udah terserah kamu. Mendebat juga ujung-ujung berantem kita.”

“Seru dong! Udah lama kan, nggak berantem?” ledek Arbiyan yang langsung dibalas dengan tatapan sinis serta bibir menahan tawa dari Yamira.

Arbiyan memandangi wajah Yamira. Ia masih sulit percaya, bahwa perempuan yang dulu sempat ia langitkan dalam doa dan sesal itu kini ada di hadapannya, duduk santai dengan tatapan mata yang tak lagi setajam dulu, tapi justru membuatnya ingin tinggal lebih lama.

Dengan senyum yang belum benar-benar reda, Yamira memalingkan wajah ke jendela coffee shop. Gerimis masih turun, seolah langit pun ikut larut dalam pertemuan dua hati yang dulu pernah retak. Di dalam ruang kecil itu, waktu seolah berjalan lebih lambat. Hening, namun tidak hampa.

 “Aku senang kamu nggak berubah,” gumam Arbiyan pelan.

Yamira menoleh, keningnya berkerut. “Nggak berubah apanya?”

“Kamu masih sama. Suka menolak perhatian tapi diam-diam butuh. Masih ngedumel tiap dideketin, tapi nggak pernah benar-benar marah. Masih Yamira yang dulu.”

Yamira tertawa kecil. “Dan kamu masih sama. Sok tahu dan sok peka.”

“Tapi kali ini aku tahu, aku nggak akan mundur,” ucap Arbiyan, kini dengan suara yang lebih serius.

Yamira kembali diam. Matanya menatap lurus ke gelas kopi yang isinya mulai habis setengah gelas. Ada sesuatu dalam nada bicara Arbiyan yang membuat hatinya bergetar. Pelan, tapi dalam.

“Bi…” suara Yamira hampir tak terdengar. “Aku udah bukan perempuan yang sama kayak dulu. Banyak hal yang berubah dalam hidupku. Termasuk cara aku mencintai dan membenci. Sejak kamu nggak ada, sejak dia pergi, banyak hal yang aku pelajari dalam hidup ini. Banyak hal yang harus aku hadapi sendirian.”

“Aku tahu,” balas Arbiyan cepat. “Dan aku nggak minta kamu jadi seperti yang dulu. Aku cuma pengin… kenal kamu yang sekarang. Dengan luka, dengan segala ketakutan dan kekuatanmu. Aku pengin ada di sana.”

Yamira menatapnya dalam. Untuk pertama kalinya sejak pertemuan mereka tadi, ia tidak menahan dirinya untuk benar-benar menatap wajah itu. Wajah yang pernah ia ingat tiap malam, yang pernah ia tangisi saat tak ada lagi yang bisa dipeluk selain sunyi.

“Mungkin kita butuh waktu, Bi.”

“Aku punya waktu seumur hidup, kalau itu artinya bisa bersamamu lagi.”

Mata Yamira memanas. Tapi ia menahannya. Ia tidak ingin menangis. Tidak sekarang. Tidak saat dunia baru saja mengizinkannya merasa utuh lagi.

“Oke, kita ke salon dulu yuk?” Yamira berdiri, menyembunyikan guncangan kecil di dadanya dengan senyum canggung.

“Siap, Bu Yamira,” jawab Arbiyan cepat, ikut berdiri. “Kamu nggak bawa kendaran, kan?” Arbiyan ingin memastikan.

“Nggak. Karena hari ini aku bener-bener pengin santai.”

“Oke, cocok kalau gitu. Aku bawa mobil. Yuk kita berangkat Bu Yamira.”

“Siap Pak Arbiyan.” Jawab Yamira yang justru mengundang tawa diantara mereka.

Sambil berjalan keluar dari coffee shop, mereka melewati toko buku tempat pertama mereka bertemu kembali. Keduanya sempat berhenti sejenak.

Yamira melirik Arbiyan. “Tahu nggak, Bi… kalau saja tadi aku nggak nekat keluar rumah meski hujan, mungkin kita nggak akan ketemu.”

Arbiyan mengangguk, lalu menatap langit. “Dan mungkin, kalau aku nggak menuruti kata hati aku, aku juga nggak akan tiba-tiba datang ke sini, dan ketemu kamu.”

Mereka saling pandang. Saling menangkap getar cinta yang kembali menyala pada tatap mata mereka.

“Pada akhirnya, you are My Bi...” Ucap Yamira sambil mengusap lembut wajah Arbiyan. “Setelah ini, aku nggak harus takut lagi kehilangan kamu, Bi.” Lanjut Yamira dengan matanya yang mulai berkaca.

“Ya. I`m yours.” Arbiyan tersenyum dan mengambil jemari Yamira yang berada di wajahnya, menggenggamnya lembut.

“Udah, nggak boleh nangis, yuk kita jalan. Setelah kamu dari salon, kita cari teempat pijet yang bisa cewek cowok tapi ruangnya terpisah, ya. Bi juga kayanya perlu nih pijet refleksi juga.”

“Oke. Let`s go!”

Keduanya melangkah bersama diiringi rintik gerimis yang tak kunjung selesai. Mungkin untuk mulai dari awal. Mungkin hanya untuk hari ini. Tapi yang pasti, mereka tahu… semesta sedang memberi mereka kesempatan kedua.

Dan kali ini, tak ada yang ingin menyia-nyiakannya. Karena mereka pernah saling terjebak rasa, lalu harus kembali melepaskan kepada semestinya, merasa asing, dan kemudian merasa kehilangan. Namun kini semesta kembali mempertemukan. Jika doa mampu mengubah takdir, mungkin ini adalah bagian Arbiyan merasakan keajaiban doa itu. Ia ingin bersama Yamira, tanpa harus merebutnya dari siapapun. Dan sekarang di sinilah Yamira. Di sampingnya. Sebagai cinta terakhir yang akan selalu ia jaga dan pertahankan hingga kelak semesta yang kembali memisahkan mereka.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Skrip Film
Matrikulasi Rasa
Lovaerina
Flash
Hari Pernikahan
Elisabet Erlias Purba
Cerpen
My Bi
Rahmi Azzura
Skrip Film
melancholic traces of ghost
Rahmat Gunawan
Skrip Film
Bukan Waktu yang Tepat
Alfian N. Budiarto
Skrip Film
Bukan Cerita Tokoh Utama
mahes.varaa
Flash
Kalau Langit Bisa Tersenyum untukmu..
Shabrina Farha Nisa
Komik
Travel Till Married
Olivia Rossa
Skrip Film
Sri, tok!
Selvi Nofitasari
Skrip Film
Bright Your Future and Love Script
Sweet September
Novel
Bronze
GRAHANA
Kagura Lian
Komik
Ulsya
Rian Fahreza
Flash
Nice Little Twists
Fann Ardian
Novel
Couple 1970
Sylveon
Skrip Film
Cinta dalam Doa
Leni Juliany
Rekomendasi
Cerpen
My Bi
Rahmi Azzura
Flash
Bronze
Titik Kesia-Siaan
Rahmi Azzura
Cerpen
Pertemuan Terakhir
Rahmi Azzura
Flash
Di Antara Altar dan Mimbar
Rahmi Azzura
Flash
Sejak Kau Tak Ada
Rahmi Azzura
Flash
Rumah Tanpa Pelukan
Rahmi Azzura
Flash
Bronze
Labirin Kerinduan
Rahmi Azzura
Flash
Ombak Luka yang Tak Surut
Rahmi Azzura
Cerpen
Bronze
After 1550 days
Rahmi Azzura
Flash
Pamit
Rahmi Azzura
Flash
Rumah Ilusi
Rahmi Azzura
Novel
Deep Love; Sekali Lagi Aku Mencintaimu
Rahmi Azzura