Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Hah? Yang bener aja lo. Masak enggak ikut pindah? Kan orangnya udah 3 tahun menjabat.”
Suara seorang gadis menggema di ruangan sepuluh kali sepuluh yang dihuni oleh lima belasan orang. Seluruh pasang mata menatap ke arahnya dengan raut penuh tanda tanya. Gadis yang terkenal sering memberikan pendapat, tetapi tidak di dengar itu masih menahan kesal. Terlihat sekali dari cara dia mendengkus sebelum duduk kembali ke kursi.
Shafa Adna, meski namanya seolah mencerminkan gadis yang lemah lembut, sebenarnya semua berbanding terbalik. Meski jabatan gadis itu hanya berada di level remah-remah rengginang di perusahaan, dia tetap karyawan paling berani untuk memberikan kritikan. Shafa hanya ingin membuktikan terhadap cara kerja perusahaannya yang belum tepat.
“Ya, percuma perusahaan bermimpi untuk menjadi unggul. Tapi, sumber daya manusianya masih kayak sekarang. Enggak akan berhasil deh. Mau bertahun-tahun juga, kalo tetap kayak gini, enggak bakal maju-maju.”
Sekiranya begitulah yang sering Shafa lontarkan setiap kali diminta pendapat mengenai impian besar perusahaan. Gadis itu berpikir jika perusahaan tidak akan bisa meraih harapan jika di dalamnya saja masih banyak konflik kepentingan. Hubungan istimewa yang dibawa oleh atasan bukan lagi menjadi rahasia umum di perusahaan. Semua akan mengakui karena memang telah terbukti dengan adanya sumber daya manusia yang tidak kompeten. Katakan saja jika sumber daya manusia itu memiliki kecerdasan saat dulu dilakukan penyaringan terhadap potensi pengisi jabatan. Namun, akan percuma jika mereka yang berhasil tersaring tidak memiliki kompetensi pada jabatan tersebut.
“Gini banget ya yang punya orang dalam. Apa-apa dipermudah. Bahkan pindah aja bisa ditunda-tunda,” keluh Shafa masih tidak rela jika atasannya masih lolos dari pengumuman mutasi yang beberapa waktu lalu keluar dari pimpinan perusahaan.
Bukan tanpa alasan Shafa bersungut kesal atas berita itu. Selama ini, dia sangat paham bagaimana kondisi pada bidangnya. Anggap saja ujung tombak bidang Shafa sudah hancur lebur tidak terselamatkan. Gadis itu sudah cukup merasakan beratnya bekerja di bawah kepemimpinan seorang atasan yang tidak memiliki kompetensi. Bahkan terkadang dia berpikir untuk merasa kasihan kepada perusahaan karena telah sia-sia menggaji orang yang tidak bisa bekerja dengan maksimal.
“Kamu tau sendiri bagaimana perusahaan ini berjalan, Shaf,” timpal salah seorang rekan kerja Shafa bernama Riko.
“Hei, bukannya lo harus bersyukur? Kita ini dipimpin oleh orang kuat lho,” ujar Wahyu menambahkan.
“Kocak banget sih kalian,” tambah Gendhis, rekan kerja Shafa yang ke mana-mana sering bersama.
Empat orang yang bernasib sama itu lantas terkekeh pelan. Mereka seolah mendapat angin segar karena pagi-pagi sudah membicarakan atasan. Tidak perlu khawatir akan ketahuan, karena atasan Shafa merupakan karyawan yang suka datang siang. Mungkin jika perusahaan menerapkan sistem Work From Anywhere, atasan empat orang itu akan memilih untuk bekerja dari rumah sambil merebahkan tubuh. Namun, sayangnya, sistem perusahaan masih menuntut kehadiran di kantor sebagai tanda telah menyelesaikan kewajiban pekerjaan.
“Ya ampun, udah jam segini aja. Belum juga gue siap-siapin ruangan,” keluh Shafa saat tanpa sengaja menatap jam dinding yang tidak jauh darinya.
Gadis dengan setelan kemeja bermotif bunga itu mengusak pelan rambutnya yang tidak panjang. Shafa sejujurnya lelah harus ke sana kemari mengurusi pekerjaan yang tidak sedikit. Padahal harusnya pekerjaan itu adalah tanggung jawab atasan Shafa, bukan beralih ke gadis itu yang menyelesaikan semua. Terlebih ada pekerjaan lain yang turut memiliki skala prioritas mendesak.
“Gue ke atas dulu buat siapin ruangan,” ucap Shafa dengan jemari meraih tablet di meja untuk sedikit mengerjakan pekerjaan lain meski sedang mengawasi penyelesaian penyaringan pengisian jabatan.
“Enggak nunggu si Ibu aja?” Ucapan Gendhis membuat Shafa menghentikan langkahnya.
Mata bulat milik Shafa mengedar untuk mencari keberadaan dari sosok yang mengaku sebagai atasan.
“Males. Mending gue kerjain sendiri daripada si Ibu juga enggak bakal ngerti,” jawab Shafa lalu melangkah meninggalkan ruangan untuk menuju ke lantai 3.
Sebenarnya Shafa melakukan semua itu lantaran selama ini tidak pernah ada rasa peduli dari atasannya. Wanita paruh baya yang dipanggil Bu Lia itu seolah tidak memiliki rasa tanggung jawab untuk kelancaran kegiatan. Semua karyawan yang berada di bawah wanita itu sudah merasakan segala tindak-tanduk tidak mengenakan. Sudah banyak sekali Riko, Wahyu, Gendhis, dan Shafa menelan kekecewaan dari kinerja buruk sang atasan.
“Percuma dapat gaji besar, tapi kerjaan enggak pernah ada beresnya,” keluh Shafa sepanjang perjalanan menuju lantai 3.
Gadis dengan tablet di tangan itu ingin sekali tidak mengambil pusing semua tingkah dari atasannya. Namun, ada rasa tidak rela jika sang atasan terlalu enak bersantai, sedangkan dia harus ke sana kemari mengurusi kegiatan lain. Padahal pekerjaan Shafa tidak hanya itu. Masih ada hal yang perlu dia kerjakan, terutama permasalahan aplikasi baru di perusahaan.
“Duh, ini pesertanya belum datang juga?” Shafa melirik jam di pergelangan tangan.
Seharusnya dua menit lagi kegiatan wawancara untuk pengisian jabatan di perusahaan akan dimulai. Namun, belum ada tanda-tanda peserta datang seperti yang telah Shafa informasikan.
“Shaf, sorry, gue kelupaan. Kirain tesnya lusa,” ujar seorang wanita dengan setelan rapi yang terlihat terburu-buru datang.
Sudah bisa dipastikan jika informasi yang Shafa berikan tidak terbaca dengan baik.
“Lha, padahal kemarin lo iya-iya aja di WA. Kirain udah paham,” sanggah Shafa.
Jemari milik Shafa dengan cekatan mulai menyiapkan keperluan ujian. Setelah dirasa semua siap, gadis itu berjalan keluar ruangan. Duduk di depan tempat ujian sambil menunggu kedatangan sang atasan selaku pengawas tes.
Sesekali Shafa menguap. Dia sejujurnya masih mengantuk karena kemarin harus lembur menyelesaikan permasalahan perihal aplikasi baru. Padahal tanggung jawab itu juga harusnya diemban oleh sang atasan, tetapi selain tidak berkompeten di jabatan, dia juga minim kemampuan di bidang teknologi.
“Kok bisa sih ya dulu bisa ke saring sebagai jabatan atasan? Minat belajarnya aja minim. Apalagi enggak punya jiwa seorang pemimpin,” keluh Shafa sambil meletakkan kepalanya di meja.
Mata bulat Shafa menatap ke arah lift dengan harapan semoga sang atasan segera datang. Namun, sampai lima belas menit kemudian, masih belum ada tanda-tanda kedatangan dari wanita yang menjabat sebagai atasan.
Jika boleh memilih, Shafa ingin menyelesaikan semua sendiri daripada menunggu sang atasan yang terkadang suka mangkir dari tugas. Bukan hanya itu, sang atasan juga memiliki tingkat kepekaan yang sangat rendah atau memang sengaja dilakukan agar tidak ikut campur dengan tugas di bidangnya.
“Kalo enggak ingat pesen Bang Riko, mana mungkin gue nungguin orangnya kayak gini. Mending gue sat set terus beres. Masalahnya kan ini yang ditunjuk pengawas si Ibu. Ya, harusnya bisa datang tepat waktu dong.” Shafa kembali menggerutu karena sang atasan memang belum hadir di lokasi tes.
Penantian Shafa seperti tidak ada ujungnya. Hingga suara pemberitahuan pesan masuk mengalihkan atensi gadis itu dari rasa kantuk. Dengan sedikit malas, dia membuka ponsel dan membulatkan mata saat membaca satu pesan yang membuatnya semakin kesal. Shafa segera mendengkus sebal. Dia menatap ke arah dalam ruangan yang masih tenang tanpa masalah. Lalu menutup ponselnya dan tidak menyentuh sama sekali.
Shafa melipat kedua tangan di depan dada. Sangat tercetak jelas di raut wajahnya kekesalan terhadap sang atasan. Baru saja pesan dari Bu Lia—atasan Shafa—memberitahukan jika wanita itu berhalangan hadir untuk mengawasi. Yang membuat Shafa kesal bukan perihal itu saja, melainkan sikap Bu Lia seolah tidak memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaannya. Terlebih yang memilihnya menjadi pengawas adalah pemilik perusahaan.
“Memang percuma, kan?” keluh Shafa.
Gadis yang masih menyimpan rasa kesal itu terpaksa mengawasi sendiri jalannya tes penyaringan. Shafa juga berakhir mengerjakan tugas lainnya di lokasi tes. Tidak mungkin bagi dia untuk kembali ke ruangan di saat kegiatan penyaringan belum selesai.
“Bener kata Mas Wahyu. Harusnya penyaringan untuk pengisian jabatan lebih diperketat lagi. Enggak hanya uji kompetensi biasa. Tapi, perlu juga pengukuran terhadap kompeten atau seenggaknya sebagai seorang pemimpin. Bukan malah karena hubungan istimewa yang akhirnya membuat jalan karyawan kurang kompeten mulus untuk ngisi jabatan lebih tinggi,” ujar Shafa.
Tidak banyak yang bisa Shafa lakukan. Dia bahkan sering kali menghela napas untuk sedikit meredakan kekesalan dalam hati. Gadis itu memang bukan karyawan baru di perusahaan. Shafa sudah merasakan bagaimana jatuh bangunnya bekerja dengan berbagai macam permasalahan. Sebenarnya melelahkan, tetapi dia masih membutuhkan penghasilan untuk bertahan hidup di ibu kota. Shafa hanya remah-remah rengginang. Berbeda dengan sang atasan yang tinggal berleha-leha sudah mendapatkan gaji besar.
“Shaf,” sapa seorang gadis yang menghampiri tempat Shafa mengawasi tes.
Kepala Shafa segera menoleh dan menemukan Gendhis yang berjalan ke arahnya. Gadis yang sedikit lebih tinggi dari Shafa itu terlihat membawa makanan ringan dan air minum.
“Buat kamu. Biar enggak bosen,” ujar Gendhis sambil meletakkan makanan ringan di hadapan Shafa.
Sungguh kepalang senang Shafa mendapatkan teman seperti Gendhis. Meski mereka sama-sama berjuang untuk terus bersabar menghadapi atasan yang sifatnya seperti Bu Lia, tetapi kekompakan tetap menjadi hal utama. Empat orang serangkai dengan tugas di bidang yang sama selalu memberikan dukungan lewat cara masing-masing.
“Thank you, Ndhis.” Shafa segera membuka satu bungkus makanan.
Dia memang cukup lapar karena tadi pagi belum sempat sarapan. Suara air yang terteguk menjadi pengiring suasana. Gendhis yang masih berdiri di dekat Shafa hanya tersenyum tipis saat melihat rekan kerjanya mengantuk. Gadis itu mengerti bagaimana perasaan Shafa saat ini. Empat serangkai yang berada di bidang sama itu sudah merasakan bagaimana lelahnya berada di bawah kepemimpinan Bu Lia.
“Nasib kita gini amat ya, Ndhis? Punya atasan enggak ada yang bener. Yang satu enggak mau gerak, semua serba terserah anak buah. Bu Lia enggak kompeten sekali jadi atasan, sukanya ngilang dan enggak tanggung jawab sama kerjaan. Satunya lagi suka ngilang dan paling pelit,” keluh Shafa sambil sesekali melirik ke dalam ruangan tes untuk memastikan jika peserta tidak melambaikan tangan kepada kamera.
“Lo merasa enggak sih, bagian kita tuh kayak sarangnya orang-orang bermasalah?” lanjut Shafa.
Gendhis yang mendengar hal itu lantas menerawang jauh. Mengingat bagaimana suasana kerja di bagiannya terbangun dengan tidak seimbang. Hal itu yang membuat bawahan menjadi lebih banyak mengeluh daripada memuji kinerja atasannya.
“Ya namanya kerja itu ada enak dan tidak enaknya, Shaf. Kalo mikirin atasan yang kayak gitu, pasti tidak akan ada habisnya. Ujung-ujungnya pasti capek sendiri,” ujar Gendhis.
Di bidang Shafa memang hanya Gendhis, karyawan baik yang tidak terlalu banyak mengeluh. Berbeda dengan Shafa. Dia pasti akan langsung menghadap ke pemilik perusahaan jika dirasa ada yang tidak beres di bidangnya. Shafa bisa dibilang gadis pemberani yang tidak takut dengan ancaman mutasi. Selama dia berada di jalan kebenaran, jadi tidak mungkin baginya untuk menyerah.
“Tetep aja annoying, Ndhis. Masak tiap hari kerjaannya enggak ada yang beres. Itu kalo duduk di ruangannya ngapain aja coba? Percuma jabatan tinggi, tapi enggak bisa ngemban amanah tugas.” Shafa berucap dengan nada menggebu.
Kesal, kecewa, dan marah seperti menjadi satu pada hati Shafa. Setiap hari memang melelahkan untuknya. Harus menahan diri dan memperbesar kesabaran yang terkadang membuat Shafa lepas kendali. Bukan berarti gadis itu adalah sumber kekacauan, justru Shafa berhasil menggerakkan remah-remah rengginang lainnya untuk beranjak agar perusahaan tidak berhenti di satu titik.
“Memang mengecewakan, tapi emangnya selama ini suaramu didengar sama pemilik perusahaan? Enggak, kan? Mereka memandang sebelah mata jabatan seperti kita, Shaf. Kita seperti dibungkam dan enggak boleh ngasih saran atau ide lainnya,” jelas Gendhis yang membuat Shafa mengangguk.
Benar apa yang dikatakan oleh Gendhis. Perusahaan besar di tengah ibu kota itu seperti menutup mata terhadap pegawai tidak kompeten. Namun, malah suka memindahkan pegawai ke tempat jauh padahal memiliki prestasi yang cukup baik. Ingin menyela dan protes atas setiap kebijakan, semua tidak semudah itu. Apalagi posisi jabatan hanya remah-remah di tengah organisasi besar perusahaan. Suara kecil Shafa dan teman-temannya tidak akan terdengar lantang.
“Capek enggak sih, Ndhis? Gue yang tiap hari harus nahan emosi, rasanya enggak nyaman banget,” keluh Shafa.
“Semua ya capek, Shaf. Enggak cuma kamu. Aku, Mas Riko, Bang Wahyu juga sama-sama capek. Kerjaan tiap hari banyak, tapi kita seperti kerja sendiri tanpa arahan,” sahut Gendhis.
Dua gadis itu menghela napas secara bersamaan lalu melemparkan senyuman tipis seakan saling menguatkan. Shafa dan Gendhis terlarut dalam obrolan mereka. Membahas banyak hal hingga suara pemberitahuan membuat atensi mereka beralih. Di dalam grup percakapan yang hanya berisi para remah-remah rengginang, sebuah peran terusan tersalin di sana. Kedua gadis itu membaca sekilas sebelum tersenyum remeh.
“Ini kenapa enggak diambil langsung keputusan, sih? Pakai acara minta pertimbangan. Emangnya Bu Lia enggak bisa gitu langsung nentuin mau bawain materi apa? Kok kayak sulit banget buat sekadar nentuin jawaban pasti,” ujar Shafa dengan nada emosi setelah membaca pesan.
Bukan rahasia umum lagi jika atasan di bidang Shafa sangat buruk dalam bekerja. Mungkin di depan pada pimpinan tertinggi, Bu Lia senantiasa menjaga citranya. Senantiasa meningkatkan nilai diri agar tidak disingkirkan dengan mudah. Namun, wanita paruh baya itu seperti lupa jika masih memiliki bawahan yang bisa melakukan aksi protes. Terlebih dengan kinerja Bu Lia selama ini yang tidak bisa dikatakan baik. Bahkan untuk sekadar mengambil keputusan pasti saja, wanita itu tidak mampu.
“Parah banget enggak, sih?” Shafa menatap Gendhis yang mengangguk menyetujui.
Shafa mendengkus kesal. Dia seperti terlempar ke satu waktu yang harus menguras rasa sabarnya. Saat itu masih pagi hari di Senin yang cerah. Shafa datang seperti biasa lantas duduk di meja untuk memulai mengerjakan pekerjaan. Cukup banyak berkas yang harus Shafa selesaikan mengingat dia baru saja mengambil cuti.
“Lho? Kok ini surat-surat pada diserahkan ke tempat gue, ya?” tanya Shafa saat memeriksa berkas di meja.
Tumpukan kertas yang memuat susunan kalimat laporan itu seharusnya bukan berada di bagian Shafa. Gadis itu mengelola pendataan lainnya, seperti tingkat pendidikan dari sumber daya manusia di perusahaan. Fokus Shafa adalah pendidikan dan pelatihan bagi karyawan. Namun, surat-surat di meja gadis itu jauh berbeda dengan tugas-tugasnya.
“Selamat pagi, gaes,” sapa Riko saat baru saja memasuki ruangan.
“Nah! Pas banget. Bang, ini berkas punya lo. Enggak tahu nih tiba-tiba nyasar di meja gue,” ujar Shafa sambil menyerahkan beberapa tumpuk berkas kepada Riko.
Mata pemuda itu meneliti sebelum mengambil berkas tersebut dari Shafa.
“Muesssti banget, deh. Padahal udah bertahun-tahun kerja, kok ya enggak hafal-hafal.” Riko menggeleng pelan.
Tidak ada yang menyahuti keluhan Riko. Semua karyawan yang telah datang memilih untuk fokus pada pekerjaan. Tidak terkecuali Shafa yang tengah sibuk berkutat dengan surat permintaan data. Surat itu seharusnya sudah bisa ditindaklanjuti minggu lalu. Namun, sepertinya atasan yang memiliki wewenang memutuskan harus bagaimana menjawab surat itu, terlalu mengulur waktu hingga kini. Belum ada tindak lanjut pasti terhadap surat tersebut.
Sementara itu, Shafa tidak ingin melakukan apa pun. Dia ingin lepas tangan dan menyerahkan seluruhnya kepada sang atasan. Gadis itu sengaja agar seluruh tanggung jawab yang mengemban berada pada pihak pimpinan.
“Salah sendiri. Minggu lalu gue udah nanya. Terus katanya mau ditanyakan ke pimpinan lain. Tapi, sampai sekarang belum ada hasilnya juga,” keluh Shafa.
Seperti yang telah terjadi sebelum-sebelumnya. Bu Lia memang seperti hanya manis di kata, tetapi tidak pernah ada tindakan nyata yang dilakukan. Mengatakan ini, belum tentu akan ditindaklanjuti dengan baik.
Shafa menghela napas lirih. Ingatan itu membawa beban hati yang berat untuknya. Perusahaan tempat dia bekerja memang sangat strategis untuk perihal penghasilan. Gaji yang diberikan cukup tinggi bagi Shafa. Namun, semua harus disertai dengan rintangan yang tidak mudah. Belum lagi jika harus dihadapkan pada pimpinan tidak kompeten seperti Bu Lia.
“Resign aja kali, ya?” Shafa menerawang jauh, tetapi belum sampai ke ujung khayalan, sebuah telapak tangan mendapat di belakang kepalanya.
Pelakunya adalah Gendhis. Gadis itu tersenyum manis tanpa merasa bersalah setelah memukul pelan kepala rekan kerjanya.
“Buat nyadarin kamu aja,” ujar Gendhis santai.
Shafa mendengkus. Dia tidak benar-benar memiliki pemikiran untuk berhenti dari pekerjaan. Jika diminta untuk memilih pun, lebih baik sang atasan saja yang berhenti daripada dirinya. Bukankah selama ini yang tidak kompeten dalam bekerja adalah sang atasan?
“Ish, gue enggak lupa kok kalo hidup di ibu kota itu penuh tantangan. Ya kali gue nyerah gitu aja,” ujar Shafa yang langsung mendapatkan acungan jempol dari Gendhis.
Kedua gadis itu terkekeh pelan. Memang sangat menyenangkan saling berbincang bersama sambil mengawasi peserta yang sedang menjalani tes. Seolah waktu tidak terasa terlewati begitu saja.
Saat mereka masih terus membahas perihal pekerjaan dan suasana kantor, tiba-tiba seorang wanita paruh baya berjalan anggun ke arah ruangan tes. Bu Lia, atasan langsung Shafa itu menyapa ramah seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal setelah berjam-jam menghilang dengan dalih izin, wanita itu tampak biasa saja dan asyik berperan seakan dia telah bertugas seharian.
“Gimana, Mbak? Lancar?” tanya Bu Lia tanpa melupakan senyuman manis dan nada bicara yang lemah lembut.
Gendhis tidak menjawab, karena memang bukan dirinya yang mendapat tugas pengawasan. Sementara itu, Shafa bahkan enggan untuk menatap. Dia terlalu malas menanggapi pertanyaan sang atasan yang seakan-akan tidak memiliki rasa bersalah karena telah mangkir dari tugas.
“Ini selesai jam berapa?” tanya Bu Lia lagi.
“Kan udah ada jadwalnya, Bu,” jawab Shafa dengan nada malas.
Bu Lia tidak menanggapi lagi. Wanita itu memilih untuk memasuki ruangan tes dan meninggalkan Shafa yang memandangnya dengan kesal.
“Balik aja yuk ke ruangan. Kan udah ada Bu Lia,” ajak Gendhis yang segera diangguki oleh Shafa.
Tidak perlu waktu lama bagi kedua gadis itu beranjak dari tempat duduk semula. Mereka melangkah melewati koridor-koridor untuk menuju ke ruangan. Tidak ada kata yang keluar, karena Gendhis tahu jika Shafa sedang merasa kesal.
Jika ditarik ke belakang, selama dua tahun Shafa bekerja di perusahaan sekarang, tidak ada yang bisa dikatakan menyenangkan. Dulu ketika gadis itu bekerja di bidang lain sebelum saat ini, tantangan dalam hal atasan juga dirasakan. Mungkin dulu masih sedikit lebih baik karena atasan Shafa mau belajar hal baru. Berbeda dengan yang sekarang. Bu Lia sangat sulit untuk mempelajari informasi baru. Belum lagi dengan sikap wanita itu yang sering mangkir dari tanggung jawab.
“Gue emang bersyukur bisa kerja sama kalian, tapi rasanya selalu berat kalo udah berhadapan sama Bu Lia. Kenapa sih enggak keluar saja? Bukannya suami Bu Lia udah bergaji besar? Kasihan gue sama perusahaan yang sia-sia kasih gaji ke Bu Lia, tapi kerjaannya enggak pernah beres,” keluh Shafa sepanjang perjalanan menuju ke ruangannya.
Gendhis paham apa yang dirasakan oleh Shafa. Meski dia lebih sering diam di ruangan dan tidak terlalu peduli dengan sikap Bu Lia, tetapi Gendhis tahu bagaimana rasanya di posisi Shafa. Setiap hari memang tidak pernah terlepas dari ulah Bu Lia yang tidak bisa bekerja. Bukan hanya itu, jiwa kepemimpinan yang harusnya terbentuk juga sama sekali tidak ada pada diri Bu Lia.
“Doain aja semoga Bu Lia ikut pindah kali ini,” ujar Gendhis dengan senyuman.
Gadis yang sedikit lebih tinggi dari Shafa itu mencoba memberikan ketenangan untuk rekan kerjanya. Dia tidak berusaha membantah apa yang dikeluhkan oleh Shafa. Karena memang itulah yang terjadi selama Gendhis bekerja.
“Ya, semoga saja, Ndhis. Biar ganti suasana jadi lebih kondusif,” sahut Shafa yang mendapatkan anggukan dari Gendhis.
Dua gadis itu mulai memasuki ruangan yang hanya berisi Riko dan Wahyu. Raut wajah dua pemuda itu tenang dan fokus. Sepertinya sedang banyak pekerjaan yang mereka kerjakan.
“Shaf, kamu ketemu Bu Lia enggak tadi di jalan menuju ke sini?” tanya Riko.
“Ada tuh. Di ruangan tes,” jawab Shafa.
“Lho! Kok langsung ke sana? Ini ada laporan harus segera ditandatangani,” balas Riko dengan wajah mulai kesal.
Suara bantingan berkas segera terdengar dari arah Riko. Pemuda itu langsung meletakkan begitu saja berkas belum selesai ke meja Bu Lia.
“Dahlah. Capek aku. Mau ke pantry dulu,” pamit Riko meninggalkan Shafa dan yang lainnya dalam mode diam.
Mereka tidak bisa menyahuti ketika Riko sudah dalam mode kesal. Pemuda yang jauh lebih senior dari Shafa itu memang menakutkan jika sudah kelewat emosi terhadap atasan. Jadi, daripada terkena omelan juga, Shafa dan yang lainnya memilih untuk diam.
Selepas Riko pergi, Shafa menghela napas lirih. Dia mendudukkan tubuhnya lalu meletakkan kepala di meja. Gadis itu lelah. Shafa rasanya sudah menguras seluruh energinya untuk bekerja hari ini. Dia ingin segera pulang dan sedikit melupakan lelahnya bekerja di suasana yang tidak kondusif. Belum lagi dengan atasan yang begitu mengecewakan.
“Gue pulang dulu deh,” ucap Shafa pelan.
“Mau ke mana?” tanya Gendhis saat melihat Shafa yang akan beranjak dari tempatnya.
“Pulang. Capek.” Shafa menjawab dengan singkat.
Shafa langsung melangkah keluar ruangan tanpa memedulikan yang lain. Dia hanya ingin pulang karena tubuhnya telah lelah. Sebenarnya bukan lelah karena pekerjaan, tetapi lebih disebabkan oleh kekecewaan terhadap atasan. Dalam setiap langkah Shafa, pikirannya terbang jauh memikirkan tentang perusahaannya yang masih menggantungkan jabatan dari orang dalam. Senyuman tipis gadis itu menggambarkan bagaimana mirisnya organisasi perusahaannya berjalan.
“Mau keluar, tapi masih mikir hidup di ibu kota,” ujar Shafa lirih.
Langkah Shafa terus menapaki jalanan. Mata bulat gadis itu memindai sekitar yang terlihat ramai oleh lalu lalang kendaraan dan para pejalan kaki.
“Harusnya gue bersyukur kerja di tempat besar.” Shafa merenung memikirkan seluruh nasibnya ke depan.
Selama ini, Shafa sudah berusaha untuk menerima keadaan bidangnya yang memang jauh dari kata sempurna. Meski yang lain saling bekerja sama, tetapi pimpinan Shafa tidak dapat memimpin dengan benar. Hal itu yang menyebabkan Shafa menyimpan banyak kekecewaan.
“Semoga segera pindah deh itu Bu Lia,” ucap Shafa dengan penuh harap.
Senyuman tipis kembali terukir di wajah cantik Shafa. Dia masih menyusuri jalanan untuk menuju halte terdekat. Sampai sebuah pemberitahuan membuyarkan lamunan gadis itu. Jemari lentik Shafa segera membuka pesan yang tertera pada ponselnya. Mata bulat gadis itu melotot dengan perasaan terkejut yang membuncah dalam hati. Bahkan dia segera membuka dokumen lampiran yang tertera pada pesan. Kemudian, senyuman cerah terbit begitu saja setelah membaca rangkaian kata pada dokumen tersebut.
“Yes! Bu Lia pindah. Yuhuuu, akhirnya!” pekik Shafa sambil mengepalkan tangannya.
Tidak hanya Shafa yang senang, ketiga rekan kerjanya juga turut saling berpelukan karena pesan membahagiakan tersebut.
Pengumuman nomor PENG-01/2022 tentang pemindahan para pejabat kepala seksi perusahaan....
~ Selesai ~