Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Religi
Muslimah Punya Cerita (A journey off surrender to Allah)
6
Suka
96
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

PMS

Pemilik Kisah: Indah Ummu Haifa

Penulis: Larasati

Apa yang terbesit dalam benakmu tentang judul tulisanku ini tidak sejorok itu. Maka berpositif thinkinglah dalam kehidupan agar hidup sejahtera, aman, sentosa, minim dosa. PMS di sini adalah singkatan dari “Proses Menuju Sah”. Di mana liku-liku menjelang menikah amat meresahkan. Perdebatan perkara adat dan syariat membuat prosesnya tersendat. Bak PMS yang menyiksa kaum wanita sebelum hari H.


Aku Indah, bukan Kalalo. Usia dua puluh lima tahun. Alhamdulillah, di usia ini aku sudah menikah dan punya anak. Semoga yang jomlo termotivasi. PMS ini akan aku jadikan sebuah tulisan yang semoga membuka kewarasanmu sebelum hari bahagia tiba.


Padang, Oktober 2018

Bagaimana kondisi jantungmu tatkala seorang pria nekat menjumpaimu dengan niat ingin nadzor? Jantungku, ya standar aja sih. Nggak berdegup kencang kayak disinetron atau difilm begitu. Yang membuatku salut adalah dia yang langsung menemui orang tuaku tatkala berminat. Apalagi jika tujuannya untuk melengkapi separuh agama. Dijamin ini hati meleleh kayak es krim kena PHP.


Mau tahu ikhwan saleh itu aku dapatkan dari mana? Aku memintanya pada Sang Pemilik Hati manusia. Dijamin, Lee Min Ho pun enggak bakal dikasih sama Allah buat kamu. Ya, jan ngadi-ngadi lah! Ingat, ini bukan drama! Sabar ya, Lee Min Ho bukan jodoh yang baik buat kamu. Mungkin baik buat orang lain. Yang baik menurut Allah itu lebih indah daripada apa yang hati kita inginkan. Apa pun itu, yang saleh lebih menawan. 


Ia tidaklah setampan Le Min Ho. Dia tak butuh ketenaran untuk jadi tampan dimataku. Hanya modal kesalehannya aku sudah dibuat terpesona. Tapi begitulah kehidupan. Selalu dihantui dengan wajah pria tampan yang menggelisahkan kaum perempuan. Jadilah wanita berkelas agar hidupmu tidak seperti drama Indosiar. Ya, lirik lagu dramanya, pasti sudah terngiang bukan? 


Satu minggu setelah nadzor, selalu kulaksanakan salat istikharah. Berharap Allah tunjukkan kebenaran melalui doaku. “Ya Allah, Al Hadi. Jika engkau takdirkan aku berjodoh dengannya, maka mudahkanlah jalan kami menuju halal. Dan putuskanlah kontrakku di tempatku bekerja saat ini, agar aku tak bingung bagaimana meminta izin resign nantinya. Namun jika dia bukan yang terbaik, maka berikan aku pekerjaan yang lebih besar penghasilannya agar aku bisa menabung untuk modal menikah. Amiin. 


Ponselku bergetar. Pesan masuk dari kontak bernama Bang Saad. “Assalamualaikum. Afwan Indah. Sepertinya kontrak Indah bulan ini selesai. Terima kasih telah bekerja dengan baik di Aprodental. Dan ini ada sedikit pesangon untuk Indah. Silakan diambil di Toko, ya. Terima kasih.” Gemetar tanganku mengetahui info tersebut. Allah kabulkan doaku begitu cepat. 


Terdengar derap langkah dari luar kamar.

“NDAAAHH!” Tante memanggilku dengan suara toanya, “calonmu ngajak khitbah!” Kutatap tante dengan mulut menganga.


Alhamdulillah syukurku atas doa yang telah Allah kabulkan. Bahagiaku bukan karena dipinang sebentar lagi. Melainkan Allah memuluskan semua prosesnya setelah aku meminta dan mengadu hanya pada-Nya. 


“SI INDAH MAU KAWIN!!!” Suara toa tanteku menggema ke seluruh ruangan. Kuharap para tetangga budek sementara kala itu. Namun qaddarallah, esok hari berita tersebut sampai ke telinga warga sekampung. Dan, Ibuku tersangkanya. Terima kasih Ibu, yang telah membeberkan berita bahagiaku sebelum jelas kepastiannya. Kau selalu punya cara dalam meninggikan martabat anakmu di depan para tetangga. Dan kini, anakmu malu untuk keluar rumah.


Alhamdulillah, esok proses khitbah. Semoga Allah mudahkan. Yang namanya niat baik selalu diiringi ujian. Kutepuk jidatku tatkala keluarga besar memintaku untuk menunda hari pernikahan kami. Alasannya mereka tak ada biaya buat bikin resepsi. Memang ini salahku karena tidak menabung sedari dulu. Namun, aku tak tahu bahwa takdirku akan menikah secepat ini. Keluarga besar menakutkan adanya fitnah dalam hubunganku dengannya. Ya cukup tahulah, kan adatnya begitu kalau enggak pesta dibilang ehem duluan. 


Marah tentu saja, namun aku kontrol dengan menarik napas panjang dan melaksanakan salat istikharah kembali pada Allah.

“Ya Allah, Al-Ghaffar. Ampuni hamba yang selama ini tidak mempersiapkan segalanya untuk perkara mulia ini ya Allah. Sekarang hamba malah dirundung masalah finansial. Hamba ingin menikah tahun depan ya Allah. Tapi hamba tidak ada dana sepersen pun. Ya Allah Al-Hadi. Selalu aku meminta petunjukmu. Jika dia adalah jodoh yang terbaik untukku, maka mudahkanlah jalan kami untuk bersatu dalam ikatan yang engkau halalkan. Dan berikan hamba pekerjaan agar hamba bisa menabung dalam waktu dekat ini ya Allah. Jika ada jalan yang engkau ridhoi dan lebih mudah dari itu maka berikanlah petunjuk-Mu. Amiin.” 


Maa syaa Allah, setelah doa tersebut kupanjatkan, malam itu kuberitahu kendalaku pada calonku. Allahu Akbar, Allah melembutkan hati beliau dalam membantuku perihal dana resepsi pernikahan. Allah mengabulkan doaku dengan jalan yang lebih mudah dari yang kuminta.


Qaddarallah, dalam proses menuju sah ini Allah memberikanku ujian berupa asam lambungku yang kambuh selama satu minggu. Semoga ini menjadi pengguguran dosaku yang belakangan susah mengontrol amarah. Setelah melalui sederet ujian baik dalam segi finansial, perkara adat berganti kemurnian syariat, musik berganti kajian, nenek yang tiba-tiba menyuruh berhutang di Bank karena kekurangan dana—lalu Allah bantu selesaikan melalui calonku. Bahkan perkara khurafat yang kental di kampungku yakni kepercayaan bahwa melempar pakaian dalam ke atas genteng rumah dapat menunda hujan.


Saat itu kukatakan pada Ibu,

“Bu, sebagaimana doa-doaku dikabulkan, aku akan berdoa pada Allah agar hujan tidak Allah turunkan. Lagian, sehelai celana dalam yang kulempar ke genteng rumah tidak akan mampu menyerap air hujan yang deras.”


Saat itu Allah melembutkan hati Ibu dan keluargaku dalam satu waktu. Alhamdulillah Allah mengabulkan doaku dengan ditundanya hujan pada hari itu. Dan menurunkan berkahnya hujan pada resepsi yang digelar di rumah mertuaku.


Ini tentang bagaimana kau mengambil suatu tindakan dengan mendahulukan Allah. Allah penguasa di alam semesta ini. Maka perkuatlah hubunganmu dengan-Nya agar setiap proses dalam melewati ujian hidup berjalan mulus bak aspal jalanan. Teruslah berdoa, karena Allah candu mendengar doa hamba-Nya yang butuh pertolongan. 

Takdir yang Manis

Pemilik Kisah:

Karina Pramudita Kurniadi

Penulis: Larasati

 

Judul di atas bukanlah sebuah judul untuk puisi, atau kisah romansa penuh dusta. Ya, tentu aku bukan pemilik jiwa bucin yang menjadikan aku buta akan hitam dan putihnya kehidupan. Di mana efek dari bucinisasi adalah rabun terhadap masa depan. Takdir yang manis tak melulu perkara yang begituan, ya. So, mari nikmati dongeng nyata yang kualami ini. Sst!! Jangan bobok, ya!


Medan, 2019.

Informasi bahagia itu kini kuterima. Hm, sebentar. Aku? Kalian belum mengenal namaku bukan? Baiklah, apa itu penting? Aku bernama Karina Pramudita Kurniadi. Tak tahu apa makna nama pemberian orang tuaku tersebut. Dan yang bisa kupetik maknanya hanya, Karina anak pertama dari Rita dan Kurniadi.


Ya, begitulah pemirsa. Aku berkulit spesial di antara wanita yang memuja warna susu bagi kulit. Ya, aku si pahit kopi. Namun, sangat jarang bukan, label manis itu disematkan pada si kulit berwarna putih? He he, ayo! Jangan Rasis! Baik, tanpa ba bi bu, langsung kita eksekusi kisahku yang semoga menginspirasi banyak jiwa.


Informasi bahagia itu kini kuterima. Setelah tahun lalu membuat jiwaku bergoyang sejenak. Eh, maksudku, berguncang. Ya, aku dinyatakan lulus administrasi CPNS di tahun 2020. Namun, sebelum haru kebahagiaan itu ikut kau rasakan, mari kita nikmati perjalananku dalam meraihnya.


‘PENDAFTARAN CPNS DIBUKA.’

Demikian info yang kudengar. Saat di mana otakku berputar untuk mencari cara agar mendapat izin atasan untuk mengikuti tesnya dalam waktu dekat. Alih-alih mendapat dukungan, si Bos yang sepertinya mencintaiku sebagai karyawan yang loyal, malah melakukan perlawanan dengan tidak memberi izin. Spot jantung, dong. Tapi ya begitu, aku terpaksa bolos kerja demi mengikuti tes tersebut.


Ya, aku bekerja di sebuah instansi pemerintahan sebagai honor. Sejujurnya aku masih butuh pekerjaan ini, mengingat bahwa Papa saat ini sudah tidak bekerja lagi karena sakit, dan aku butuh biaya untuk pengobatan beliau.


Berkat dukungan kuat dari Mama dan Papa, dan demi mengamalkan perintah Allah bahwa sejatinya menaati kedua orang tua itu hukumnya wajib enggak pakai sunah, akhirnya kuputuskan untuk tidak mengambil perjanjian perpanjangan kontrak di instansi tempat aku bekerja saat ini.


Papa menyarankanku untuk mengambil bidang kejaksaan, karena formasi dan jumlah penerimaannya lebih luas. Saat itu, hanya doa yang menguatkanku. Membiarkan doaku melangit dan Allah ijabah.


Hari-hariku berjalan seperti biasanya. Aku masih bekerja di instansi pemerintah hingga habis kontrak. Pulang kerja ketemu keluarga, main bareng anak. Ya, anak kucing. Bahkan juga harus kembali mempelajari soal-soal SKD demi keberhasilanku dalam menggapai takdir yang manis tersebut. Ya, belum pasti apakah takdir itu bisa semanis madu, atau malah pahit seperti warna kulitku.


Di bulan yang aku lupa entah apa namanya. Aku harus meminum pil pahit tanpa air. Kondisi kesehatan Papa kini semakin menurun. Hari itu kami sekeluarga mengantar Papa ke rumah sakit, dan pil pahit itu kembali menuntut kami untuk menelannya tanpa air.


Papa divonis kanker paru dan kanker otak stadium empat. Hari itu adalah hari di mana seluruh harapku runtuh. Keinginan yang kuat untuk mengikuti tes CPNS pun hilang sudah. Padahal saat itu, aku sudah dinyatakan lulus dalam seleksi berkas.


Satu Minggu berlalu, Alhamdulillah Papa sudah diizinkan pulang oleh pihak rumah sakit. Kala itu, Mama kembali menguatkanku untuk tetap melanjutkan mimpiku sebelumnya. Mimpi yang juga menjadi harapan orang tuaku. Baiklah, demi kebahagiaan Mama dan Papa, akan kujemput takdir yang manisnya masih jauh kurasakan.


Harapan yang telah kubangun dengan kokoh tersebut, kini kembali runtuh. Papa drop lagi. Kondisinya kini kian memburuk. Dokter pun mengambil tindakan operasi yang akan dilakukan dua hari kemudian. Alhamdulillah, selepas operasi Papa kembali sehat. Kebugarannya memupuk kembali semangatku yang sempat padam untuk melanjutkan tes CPNS.


Namun, takdir pahit kembali menimpa kami. Papa kembali pada kondisi terburuknya. Segala ingatannya pudar, bibir yang selalu memberi semangat untuk anak-anaknya kini kelu. Lambungnya kian kosong karena tak satu pun makanan yang masuk. Aku lupa bagaimana cara mengekspresikan duka yang kurasakan kala itu. Sehingga pilihanku saat itu hannyalah, bungkam.


Hari-hari kulalui terasa semakin berat. Karena menuntutku untuk tetap bekerja, dan menggantikan posisi Mama untuk merawat Papa di rumah sakit. Aku harus memaksakan otakku berkonsentrasi untuk belajar. Walau saat itu, aku belajar sambil memandang wajah Papa yang tanpa ekspresi. Diam, dengan mata terpejam.

 

Medan, 2020

Semangatku kembali patah. Hal yang jauh lebih menyakitkan dibanding pemberitahuan bahwa aku dinyatakan tidak lulus tes CPNS. Papa, berpulang menuju Allah. Papa berpulang ketika aku hendak melaksanakan ujian SKD beberapa hari lagi. Tentu tak bisa diungkap lagi betapa remuknya hatiku kehilangan Papa tercinta.


Dan, yang lebih pahit dari itu adalah, Papa yang belum sempat melihat kesuksesanku dalam menggapai mimpi. Kesedihanku menjelma dalam diam. Sama sekali air mata sulit tumpah untuk sekedar melepas lelahnya hati.


Tetanggaku pada saat itu spontan menyindir,

“Papanya meninggal, kok enggak nangis?” Bukan aku tak ingin menangis. Sepertinya air mataku kala itu sudah mengering.


Ada banyak cara dalam mengekspresikan kesedihan bukan? Yang diam bukan berarti tak sedih. Hanya saja, batinku yang menangis kala itu. Aku belum bisa membahagiakan Papa di saat-saat terakhirnya. Walau demikian, aku masih bersyukur atas kenangan yang tertinggal.


Biarkan aku simpan memori bersamanya di dalam album kenangan. Dan, yang lebih utama dari itu, Allah masih menyisakan dua malaikatku— Mama dan Adik. Itu sebuah nikmat yang tak terkira dari Allah. Aku mencoba mensugesti diri agar tetap fokus pada tujuan awalku. Ya, ada dua malaikat yang harus kubahagiakan saat ini. Kondisi yang menuntutku untuk menjadi kepala keluarga.


Namun sayang, kontrak kerjaku di instansi pemerintahan kini habis. Inilah masa-masa tersulit bagi kami. Aku memutuskan untuk fokus pada bisnis online-ku. Sekaligus memberi Mama tabungan yang aku simpan untuk pegangan kami. Mama membuka usaha kecil-kecilan di rumah untuk pemasukan harian. Sementara aku juga harus dikejar target untuk bisa lulus CPNS.


Alhamdulillah, selang beberapa bulan kemudian, ikhtiarku berbuah manis. Allah menggantikan kisah pahitku dengan takdir yang manis. Aku dinyatakan lulus tes CPNS di kejaksaan setelah melewati sederet tes yang kuperjuangkan. Hal yang membuat haru Mama dan Adik, terutama aku pribadi.


Aku yakin, di alam yang berbeda, Papa juga turut bahagia. Aku tak boleh berandai jika Papa masih ada di sini, ia akan bahagia karena kelulusanku. Papa telah menetap di alam yang berbeda. Bagiku, bukan kehadiran Papa yang kuharapkan. Karena tentu, hal itu menentang takdir Allah. Yang kuharap kini, doaku bisa Allah ijabah. Semoga Allah memberikan tempat ternyaman dan terindah untuk Papa di sana.


Ada hikmah di balik setiap musibah. Yang perlu kita lakukan sebagai hamba, hannyalah menerima takdir-Nya. Terlepas dari beratnya ujian, maka itu hanya bumbu perjalanan. Yang akan memberikan hasil gurih dalam setiap proses, hingga sampai pada tahap yang memuaskan.


Sejatinya, hidup bukan hanya tentang takdir yang manis. Namun, bagaimana cara kita dalam menerima segala takdir baik dan buruk yang Allah tetapkan. Kemudian menjadikannya sebagai sebuah rasa syukur, yang membuat pahitnya takdir berbuah manis.

Kembalinya Serpihan Jiwa yang Hilang

Pemilik Kisah: Indah Ummu Haifa

Penulis: Larasati

 

Batam, April 2023

Sebuah memoar muncul di dalam benak. Membawaku kembali pada masa penuh pilu. Tepatnya di tahun 2005. Ibu yang saat itu bekerja di luar kota demi membantu perekonomian keluarga. Setiap saat air mataku mengalir menahan sesaknya rindu. Bahkan, aku telah lupa bagaimana hangatnya pelukan Ibu. Terabaikan oleh keadaan.


Entah bagaimana kondisi hati Ibu di sana. Setiap saat aku merengek memintanya pulang. Namun, ia selalu menepis lewat kata; “Sabar ya nak”! Kemudian hening di balik telepon itu. Kupastikan, saat itu air mata kerinduannya mengalir deras.


“Maafkan anakmu Ibu. Ketika dewasa, justru jauh darimu. Aku tahu, saat ini, Ibu pasti sangat sedih ya. Sedih karena saat ini tak satupun ragaku di sana. Bu, maafkan anakmu yang telah sibuk menjadi orang dewasa.”


Hari itu, di mana ragaku masih layak disebut anak-anak. Namun, aku sudah harus dipaksa oleh keadaan yang menuntutku untuk banyak menerima apa pun peristiwa yang terjadi dalam hidup. Dunia dewasa penuh problematik yang seharusnya tak menjadi santapan mata, justru seperti sudah tertanam di alam bawah sadar. Bahwa segala peristiwa itu, adalah bagian hidup yang akan terus bersemayam di dalam jiwa.


Semua teriakan tertuju pada satu raga yang saat itu tertunduk diam. Aku tak paham mengapa hanya raga itu yang bersalah. Mengapa raga itu seolah tak ada gunanya dimata semua orang? Mengapa raga itu seolah dianggap biang dari segala permasalahan hidup?


Dia adalah, Ayah. Dalam diamnya, setelah perdebatan sengit satu keluarga menghantamnya itu telah hening, aku mencoba mengintai di balik tirai pintu kamar. Tampak air matanya tumpah. Kulihat tangan yang dulu masih kuat itu menyeka genangannya. Kemudian suara lembut itu memanggilku.


“Eh, anak Ayah. Sini!” Langkahku terhenti. Napasku seolah tertahan sejenak. Melihat Ayah yang seolah tampak menakutkan bagiku saat itu. Bukankah, Ayah saat itu adalah sumber masalahnya? Tidak, aku tak melanjutkan langkahku. Kubiarkan Ayah dengan senyumannya yang perlahan memudar seiring mundurnya langkahku. Kemudian, amarahnya kembali.


“GARA-GARA KAU! SEMUA GARA-GARA KAU!” Kalimat itu bukan untukku, tetapi untuk, Ibu. Kalimat cerai bersahutan dari kedua orang tuaku. Serempak semua keluarga menghakimi Ayah. Hingga Ayah kini hanya bisa tertunduk diam. Lelah menjawab seluruh hantaman yang banyak. Sepasang mata belia hanya bisa menatap setiap keadaan yang carut marut tanpa air mata. Mungkin saking telah terbiasa dan mati rasa.


Di balik amarahnya yang seolah tak pernah pudar. Di balik sikapnya yang sudah di luar wajar, di balik sebagian akalnya yang telah direnggut oleh keadaan. Namun, Ia tetaplah seorang Ayah yang senantiasa lemah lembut kepada anak-anaknya. Di saat remaja menjadi alasanku untuk bebas berekspresi, Ia selalu menasihatiku agar tetap berpakaian sopan dan tidak keluar dari pedoman syariat.


Sepulang kerja, Ayah tetap menyempatkan untuk menyenangkan hatiku lewat sebuah pir yang Ia beli dari gaji harian yang sangat sedikit di zaman yang semakin pelik. Kemudian sisanya diberikan pada sang istri untuk dikelola. Ia selalu bercerita pada anak-anaknya, namun seolah terabaikan. Karena pembicaraannya yang sudah tak lagi tertata bahkan di luar nalar.


Ibu, di balik tangis yang tak pernah ia tampakkan, seolah menyatu dengan pahitnya hidup. Tindakkan yang terkadang di luar dugaan. Selalu sulit mendengar setiap nasihat dari Ayah, anak-anaknya dan keluarga di rumah. Curahannya yang dulu selalu kuanggap beban karena memberikan tekanan pada batinku setiap kali mendengar sesaknya. Padahal, mungkin saja kala itu ia bingung ke mana tempat mengadu lelah.


Di balik amarahnya yang seolah tiada jeda pada Ayah. Ibu selalu berpesan padaku kala aku sudah mulai durhaka pada Ayah. “Nak, jangan! Jangan marahi Ayahmu! Biar bagaimana pun ia adalah Ayahmu. Tanpanya, kamu tak ada di dunia ini. Biar Ibu saja yang menanggung setiap dosa itu. Kamu tak boleh ikut durhaka.”


Ombak kenyataan menghantamku pada masa ini. Mengembalikan ingatanku pada tahun di mana aku telah bergelar dewasa. Pahitnya masalalu, namun bukan pahit itu yang kuingat. Melainkan semua kesalahan dan dosa yang kulakukan pada kedua orang tuaku.


Kedurhakaan yang dipelihara, membiarkan Ibu dan Ayah yang tengah cedera oleh kepahitan hidup. Tanpa seorang pun bisa menjadi tumpuan curahannya. Pikiran kalut, semua suara yang tak kukenal di dalam kepala mulai carut marut.


“Kamu jahat, kamu enggak berguna, enggak pantas jadi ibu, dasar anak durhaka! Kamu enggak dibutuhkan. Sana jadi gelandangan! Dasar! Atau, kamu mati saja! Ha ha ha.”


“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!”

“Umii!! Umii!” Suara penuh takut diiringi isak tangis itu memanggilku. Tangisan yang harusnya membuatku turut hanyut dalam derai air mata. Namun justru...


“DIAM!! DIAM KALIAN!! AKU LELAH!! SANA KALIAN PUNYA IBU BARU! BIAR AKU MATI SAJA!” Dua gadis kecilku. Betapa takutnya mereka tatkala itu mendengar teriakan dan bentakanku. Tiba-tiba, si sulung memelukku, lalu berkata,


“Umi, jangan mati! Kalau Umi mati, siapa lagi yang jaga Adik sama Kakak?”

Bulir kristal itu berjatuhan. Mendengar permohonannya yang pada saat itu, ia sudah dewasa sebelum waktunya demi menjaga kewarasanku. Malam itu, di mana seharusnya semua mata telah terpejam. Namun kepala ini seolah diisi dengan kalimat yang menjadikanku semakin larut dalam kekalutan mendalam. Sejujurnya, aku tak paham apa yang menimpaku saat ini. Yang aku tahu, tubuhku sedang diambil alih jin, atau mungkin, aku sudah gila. Ya, gila. Sudah sangat pantas gelar itu disematkan padaku.


Benang kusut di kepala seolah sulit aku urai. Sehingga kalimat ‘Aku ingin mati’ selalu berputar di dalam benak. Mulut ini, sedari tadi hanya bisa berteriak agar pikiran negatif itu lenyap. Ada banyak beban di sana yang tak sempat aku urai walau sekadar lewat tulisan. Kehampaan, kesepian, putus asa, perasaan bersalah yang berlarut-larut. Semua berpadu dalam kata depresi. Hari-hari kuhabiskan dengan berdiam diri. Aku bagai manusia setengah mati. Ragaku hidup, namun jiwaku telah pergi.


Pikiran kacau setiap hari selalu hadir. Padahal, suamiku selalu berusaha menghibur dengan segala cara. Ternyata, hal itu tak cukup bagiku. Entah bagaimana cara agar bisa menata hati dan jiwa ini kembali. Diri seolah kehilangan arah dan tuju. Buih dosa semakin kentara. Keputusasaan merajalela. Hingga kuucapkan sebuah kalimat yang hanya mengendap dalam benak selama ini kepada suami. Yaitu, Aku ingin mati.


Suamiku yang pada saat itu sedang terlelap lantas terbangun. Kaget akan ucapan anehku. Ia bergegas memegang ubun-ubunku hendak melantunkan ayat kursi. Kekesalanku memuncak, kemudian berteriak. “AKU ENGGAK KESURUPAN! AKU GILA! AKU MAU MATI!” Beliau kemudian sigap memeluk ketika tangan ini bergerilya memukul tubuh sendiri.


Malam itu, adalah awal kecurigaanku terhadap kondisi mentalku. Hingga aku menemukan sebuah video di Youtube mengenai sebuah gangguan jiwa yang ciri-cirinya persis dengan apa yang aku alami. Setelahnya, aku berdoa kepada Allah agar Allah pulihkan jiwaku kembali. Serta diberikan solusi atas segala ujian yang kualami. Terbesit sebuah pikiran di dalam benak. Yang tentu ia datang atas hidayah dari Allah. Ya, pikiran itu adalah, agar aku menghafal Al Quran. “Ya Allah mudahkanlah aku menghafal seluruh Kitab-Mu.” Dalam doaku.


Batam, 2024

Haru, tangis haru itu hadir di balik kelopak mataku. Betapa semua seolah menjadi mimpi bagiku saat ini. Allah mudahkan setiap proses menghafal dan memuroja’ah hafalanku. Ya Allah, jiwa yang mati itu, kini hidup kembali. Betapa Al Quran bukan hanya obat, namun juga menyembuhkan.


Hari itu, aku menghubungi Ibu dan Ayah di kampung. Menumpah rindu yang dulu saat dekat jarang tumbuh. Kerinduan berbuah manis yang baru kurasakan setelah perpisahan. Dering panggilan itu kini menghadirkan sebuah wajah yang kurindukan. Ia adalah Ibu. Kuhadirkan senyuman untuknya tatkala ia bercerita. Namun, seperti ada sesak di hati. Entah apa, yang pasti aku hanya ingin menangis tatkala menatap wajah itu. Ibu mengarahkan ponselnya pada Ayah. Kulihat Ayah tersenyum ceria menatapku.


“Inilah Ayahmu sekarang nak! Semakin parah. Air liurnya sudah mulai berkurang, tapi saraf di pipinya gerak terus. Kemarin juga berdarah tiga kali mulutnya habis bersin. Bahkan sekarang Ibu yang pakaikan bajunya. Karena semua tubuhnya kaku. Terus juga, Ibu sudah susah sekarang. Ibu enggak jadi buruh setrika lagi. Enggak ada yang pakai jasa Ibu lagi.”


Sejatinya Ibu tidak mengeluh. Kupastikan saat itu ia hanya bingung bagaimana cara agar bisa meluahkan perasaannya. Ya, aku membiarkannya demikian. Tanpa sepatah kata pun menghakiminya. Karena aku tahu, betapa sulitnya menjadi Ibu.


 Tiba-tiba, suara yang semula memanggilku dengan ceria spontan bersuara keras pada Ibu. Ayah kembali lagi. Seperti dulu, setelah hitungan bulan ia sempat membaik dalam penanganan obat. Namun kini, aku seperti melihat sosok Ayah yang dulu kembali merajainya.


Lisan yang seharusnya saat itu kusampaikan sesuatu yang membanggakan mereka, justru kembali kuurung. Kubiarkan pemandangan yang sudah biasa kulihat itu memenuhi layar ponsel. Hingga Ibu bilang, “Sudah dulu ya nak. Besok kita sambung lagi. Ayahmu lagi mengamuk.”


 Aku tidak mengiyakan saran Ibu. Tak ingin Ibu semakin depresi di sana. Kuyakinkan ibu untuk memberikan handphonenya kepada Ayah, agar aku dapat meredakan amarahnya. Kutatap wajah yang penuh amarah itu dengan teduh. Kubiarkan semua emosinya mengalir hingga ia fokus padaku kembali.


“Ayah sudah selesai marahnya? Bisa dengar pesan dari putri kecil Ayah dulu?” Tatapannya mulai fokus kepadaku. “Ayah, bagaimana menurut Ayah dengan perubahan putri Ayah saat ini?” Tanyaku pada Ayah yang pada saat itu mengucap kalimat tahmid berulang kali.


Yah, Allah itu sangat luas nikmat-Nya kepada kita. Allah beri kita ujian hidup semata-mata bukan karena Allah membenci kita. Melainkan, karena inilah bentuk kasih sayang Allah. Dengan adanya ujian hidup, Allah gugurkan dosa-dosa kita. Ada banyak hikmah hidup yang bisa Ayah petik di dalam setiap ujian yang Allah beri. Allah beri Ayah setitik kesulitan berupa ujian, namun nikmatnya? Begitu luas. Ayah mau aku bantu hitung nikmat Allah?” Ayah mengangguk dalam diam.


 “Pertama, Allah berikan Ayah anak-anak yang saleh, salihah. Yang in syaa Allah  kelak akan meringankan hisab bagi Ayah dan Ibu di akhirat serta menjadi tameng dari api neraka bagi Ayah. Karena Ayah berhasil menghantarkan putri Ayah menikah, sesuai syariat. Sebagaimana janji Allah, bahwa bagi Ayah surga karena telah berhasil menghantarkan putri Ayah menikah dengan cara yang Allah ridai. Bonusnya, Allah beri anak gadis kecil Ayah ini suami yang saleh.” Matanya mulai berkaca-kaca. Kalimat tahmid terus dilantunkan lisannya.


“Ayah, seburuk-buruknya Ibu, ketahulah Yah! Ibu amat menyayangi Ayah. Betapa banyak di luar sana istri yang meninggalkan suaminya karena masalah sepele. Namun, Ibu bahkan membantu Ayah dalam mencari nafkah di saat Ayah dilanda depresi. Dan hebatnya, Ibu tetap bertahan walau dalam luka.” Kalimat tahmid sedari tadi tak lekang dari lisannya.


Aku pun beralih topik mengabarkan kepada Ayah bahwa saat ini, putri kecilnya yang dulu, sedang menghafal Al Quran dan telah menyelesaikan Juz 29-nya. Lantas, air mata yang sedari tadi dia tahan, kini hadir membasahi pipi. Kukatakan pada Ayah, bahwa kelak in syaa Allah sebagaimana janji Allah, bahwa seorang anak yang menghafalkan Al Quran, akan memberikan mahkota kemuliaan kepada kedua orang tuanya di akhirat kelak. Kalimat tahmid itu tak lagi kudengar. Berganti bulir air mata sebagai ungkapan syukur dan bahagianya.


Mungkin kamu masih penasaran dengan gangguan mental apa yang aku alami saat ini. Setelah melakukan konsultasi dengan dokter di April 2023 lalu, qaddarallah aku didiagnosa mengalami gangguan Bipolar Disorder. Kejutan lain pun berdatangan. Karena hal itu, aku pun inisiatif menanyakan kondisi Ayah dan Ibu pada psikiater melalui aplikasi kesehatan. Benar saja. Ayah memiliki gangguan jiwa Skizofrenia dan Ibu sama denganku. Ya, Bipolar.


Namun, di balik segala kekurangan orang tuaku, ada sebuah hal dari mereka yang di luar dugaan manusia tentang pengidap gangguan jiwa. Ayah dengan skizofrenia. Di mana kebanyakan orang yang mengidap gangguan ini akan sulit mengutarakan maaf atas setiap tindakannya dan hilang kesadaran. Namun selepas marah, beliau selalu meminta maaf kepada siapa pun yang melihat ke kambuhannya dan menerima tindakan agresifnya.


Di tengah kerapuhan jiwanya, ia masih tetap salat ke masjid, yang bahkan orang normal sekali pun saat ini ada yang malas dengan berbagai alasan, bahkan ada yang sudah tak lagi salat. Beliau masih tetap membantu pekerjaan Ibu di rumah walau sekadar dimintai tolong ke warung. Ia sangat anti melihatku berdua-duaan dengan yang bukan mahram, sehingga karena sebab itulah Allah berikan hidayah kepadaku, serta dimudahkannya aku menikah tanpa proses pacaran.


Ibu, ia adalah sosok yang menyebalkan bagi orang lain dan Ayah. Namun, di balik gangguan mood yang ia derita, bahkan aku susah mengontrol agar tidak marah sehari kepada anak-anakku. Beliau justru sanggup menahan amarah pada anak-anaknya. Di balik perlakuan buruk Ayah kepadanya, beliau tetap memasak dan mencari pundi-pundi uang untuk menghidupi keluarga. Di tengah sulitnya hidup, Ibu selalu bersedekah. Hal inilah yang menumbuhkan jiwa penuh empatiku pada sesama.


Inilah yang menjadikanku sosok saat ini. Walau kusadari, kekuatan jiwaku jauh di bawah orang tuaku. Jujur, aku justru bersyukur telah terlahir menjadi anak dari orang tuaku. Melalui mereka aku mendapat banyak pelajaran hidup, menjadikanku sosok seperti saat ini.


Lantas, bagaimana caraku dalam memulihkan jiwa kembali? Atas izin Allah, ini di antara ikhtiar yang kulakukan. Berdoa selalu kepada Allah, agar jiwaku selalu dalam penjagaan-Nya. Terus produktif dan mengatur waktu untuk padat akan ibadah dan aktivitas positif. Menulis jurnal harian untuk kontrol setiap fase yang aku hadapi sebagai Bipolar. Biidznillah, saat ini aku tengah menulis sebuah karya yang kupersembahkan untuk membantu para penyintas gangguan mental lainnya agar kembali pulih, dan sebagai media dakwah.


 Menimba ilmu, baik ilmu agama, (terutama tema (‘Tazkiyatun Nafs’), ilmu tajwid, dan ilmu tentang psikologi manusia, sehingga aku bisa lebih memahami tentang bagaimana penanganan yang tepat dalam kondisi jiwa yang tengah kuhadapi. Membuat jadwal menghafal Al Quran yang kulakukan setiap selesai salat. Memuroja’ah hafalan setiap waktu. Baik tengah beraktivitas maupun senggang. Dzikir pagi petang. Alhamdulillah, saat ini Allah mudahkan aku dalam membuka kelas tahsin untuk berbagi ilmu yang kumiliki kepada sesama.


 Memperbaiki hubungan pada anak dan suami, meminta maaf sesering mungkin, mengungkap kasih sayang lewat deep talk dan physical touch. Sehingga tangki cintanya terus terisi. Memperluas sabar dan meminta mereka selalu menegurku di kala amarah mulai terlihat. Alhamdulillah, Ananda tertuaku sedang belajar membaca iqra’ bersamaku dan tengah menjalani masa sekolah di rumah di bawah bimbingan kami. Menanamkan keimanan kepada mereka agar terus tumbuh. Harapan, perlahan luka batinnya terobati. Tak lupa, memperbaiki hubungan dengan orang tua, keluarga besar di kampung, serta sesama manusia.


 Ujian mentalku adalah jembatan yang membawaku kembali kepada-Nya. Kembali menikmati muhasabah, menghitung nikmat-Nya yang berlimpah. Sehingga perlahan jiwa yang hilang, kembali pulang. Semoga kelak, segala kepahitan kedua orang tuaku di dunia ini, Allah balas dengan masuk ke dalam surga-Nya tanpa hisab. Serta Allah izinkan aku menaruh mahkota kemuliaan di kepala mereka kelak di akhirat. Aamiin.


Ujian hidup adalah jalan penuh cahaya. Ia adalah rumah bagi jiwa yang mulai jauh dari-Nya.

Anak Kecil di dalam Diriku

Pemilik Kisah: Mundi’ah

Penulis: Larasati

Bintaro, 2020

Lagi, dadaku kembali sesak seperti kejadian tujuh tahun silam. Kepanikan, perasaan monoton dalam hidup. Semua hal yang memacu perasaan cemas pun kembali hadir. Aku memutuskan untuk berhenti bekerja dan kembali ke Desa, di mana tempat aku tumbuh. Perjalanan pulang yang harusnya kutuju, kini beralih menuju sebuah Rumah Sakit. Aku berniat ingin konsultasi mengenai kondisiku pada saat itu.


Langkahku tertuju pada Poli Jiwa. Belakangan aku sedang menyimak tentang gejala yang aku alami ada kaitannya dengan gangguan mental. Aku berada di ruangan empat kali lima meter. Menanti sebuah hasil diagnosa dari dokter mengenai kondisiku. Penjelasan dokter membuat perasaanku ambigu. Antara lega karena dengan diagnosa ini membuatku menjadi tahu tentang apa yang kualami. Namun di sisi lain, sulit percaya bahwa aku harus melewati hidup dengan gangguan mental yang ada.


Rumah memang tempat ternyaman. Namun, tiada tempatku mengadu tentang segala problematik hidup. Saat ini, hanya kamar yang menjadi tempatku bermeditasi. Ada banyak hal mengganjal di dalam benak yang tak bisa kujelaskan mengapa semua kejadian di masa lalu kembali menghantui pikiranku. Padahal, kini tubuh ini telah mendewasa. Segala kepahitan, kecemasan yang dahulu ada, kini masih tetap ada di dalam diriku. Seolah anak kecil di dalam tubuhku tak ingin lepas.


Suara langkah kaki terdengar di luar kamar. Langkah itu seolah hendak menuju kamarku. Aku tahu siapa sosok yang akan datang di balik pintu kamar itu.


“Ndi’ah! Mundi’ah!” Hening, suara itu kembali hening setelah beberapa kali memanggilku. Suara itu suara, Bapak. Kupejamkan mata, tak ingin kenangan lama kembali berputar di dalam benak.


“Aku sudah memaafkan Bapak! Aku sudah memaafkan Bapak!” (batinku berkata). Namun, nyatanya. Aku tetap terbawa hanyut oleh pikiran di masa lalu.


Bintaro, 2013

Suara berisik itu datang lagi. Entah seberapa sering suara misterius itu berbisik ditelingaku. Bukan bisikan halus yang membuatku kembali dalam lelap. Melainkan, “Kamu akan mati!  


Aku terperanjat. Kusudahi tidur yang sejatinya tak pernah lelap. Keringat mengucur bagai tetesan hujan. Jantungku kian berdegup dan susah untuk dikontrol. Dadaku terasa sempit. Seolah saat itu jantungku berhenti sejenak. Kutarik ulur napasku. Berharap agar kondisiku membaik. Rasanya bagaimana? Kau tak akan bisa membayangkan jika dirimu saat itu dihimpun oleh gundukan tanah hingga lenyap. Ya, mungkin demikian rasanya. Walau saat itu, jasad ini masih bersamaku.


“Kamu akan mati! Kamu akan mati! Kamu akan mati! Mati! Mati! Mati! Hahahahahahahahahahaha MATI!”


“DIAM!!!” Gerimis di balik kelopak mataku turun. Suara sialan itu lantas berhenti. Tubuhku benar-benar lelah, bahkan sudah memohon agar aku membaringkannya di atas kasur. Mataku sejatinya sudah berada di angka lima persen. Sebentar lagi, harusnya sudah terkapar di atas kasur. Namun, otakku seolah penuh dengan suara tadi. Bukan hanya satu suara, tapi seolah ada puluhan suara yang memerintahkanku untuk mati saja.


“Ya Allah!” Kupanggil nama Rabb yang aku yakin tiada lagi pelindung selain-Nya. Perlahan, air mata ketenangan hadir. Aku merasakan perasaan nyaman perlahan menyelinap ke dalam hati dan jiwaku. Berangsur, pikiran kusut itu berkurang. Semakin lenyap, kemudian menghilang.


Suara misterius itu selalu hadir di setiap aktivitasku. Bahkan tak mengenal waktu. Terkadang hadir di saat-saat yang tidak tepat. Seperti di jalan, sedang sekolah. Terlebih di saat aku tengah sendiri. Maka, suara itu akan lebih leluasa mengancamku.


“Ya Allah, aku lelah! Ibuuuuu!!!!”

Bayangan di masa lalu hadir bagaikan film dokumenter di dalam benak. Pem-bullyan, ancaman, tuduhan, semua hal yang menjadikan trauma mendalam bagiku. Mungkin bagi sebagian orang akan mengira aku terlalu berlebihan, namun siapa yang bisa menilai kadar kesanggupan seseorang dalam melewati ujian hidup? Sekali pun ujian itu adalah takdir Allah bagiku yang tentu berarti aku sanggup melewatinya. Namun, akan selalu ada masa di mana aku punya kelemahan dalam menyelesaikannya sendiri. Karena faktanya manusia adalah makhluk yang butuh sosialisasi.


Aku tahu kematian adalah takdir yang telah Allah tetapkan. Aku berusaha pasrah, ikhlas, dan tegar. Satu persatu orang-orang tersayang di keluarga besarku meninggal dunia. Dimulai dari Nenek, Ibu, dan Mbah kakungku. Air mata tentu saja ada. Bahkan mungkin tak dapat lagi kutakari berapa debit tetesnya mengalir. Tapi, demikianlah takdir yang telah Allah tetapkan. Sekali lagi, bahwa semua ujian hidup ini hadir karena aku dipercaya mampu melewatinya oleh Allah. Alhamdulillah, biidznillah aku bertahan hingga dewasa menjelang.


Tahun itu, 2009. Tahun-tahun penuh duka yang harusnya aku mendapat banyak dukungan dari semua orang. Namun, aku harus menerima tuduhan yang masih membekas dalam ingatan. Saat di mana ragaku masih bernama anak kecil. Sebuah kalimat yang tak seharusnya kudengar kala dalam duka.


“Ini Ibunya meninggal sebab wetonnya sama dengan anaknya ini.” (Weton= hari kelahiran).


Begitu kalimat yang kudengar dari sanak saudara Ibu. Kenapa urusan adat harus diutamakan di kala itu dibanding perasaanku yang baru ditinggal Ibu? Entah, mungkin pada saat itu mereka pun juga tengah khilaf dalam bertutur. Yang pasti, aku sudah berdamai dengannya. Walau pahit itu masih terasa di hati.


Hari itu, sayup-sayup aku mendengar perbincangan Bapak dengan salah seorang temannya. Entah apa isi perbincangannya. Hanya saja, aku terkaget mendengar sekelumit perbincangan Bapak dan temannya tersebut,

“Gimana? Katanya mau kaya.”

“Iya, jadi gimana caranya?”

“Anakmu dijadikan tumbal dulu biar bisa wujudkan inginmu itu.”

Sek sek! Dijadikan tumbal gimana?”

“Yo, kowe kalau mau jadi kaya raya yo harus ikut ritual pesugihan.”

“Enggak ada cara lain, tah?”

“Yo kalau mau instan yo ikuti saranku.”

Yo wes tak pikir-pikir dulu.”

“Jangan lama-lama mikir. Nanti kalau udah siap, kasih kabar ya.”

Potongan cerita di masa silam seolah berhenti kembali. Aku disadarkan oleh suara pintu yang sedari tadi diketuk lama. Kejadian lalu itulah yang menjadikan munculnya suara-suara ghaib itu di kupingku. Suara yang menurutku dulu adalah suara hantu. Setiap saat pikiranku selalu dipenuhi dengan kalimat “Aku nanti mati!” Hingga kalimat itu direkam oleh pikiranku, ditunaikan oleh lisan dan berakhir separuh jiwaku lumpuh.


Aku bergegas membuka pintu kamar. Tak ingin Bapak menunggu lama di sana. Bapak menampilkan wajah semringahnya padaku. Sembari berkata,


“Udah salat, nak?” Aku menimpali pertanyaannya dengan senyuman seraya menjawab.

“Belum, Pak.”

Oalah! Salat dulu ya, Nduk! Habis itu bantu Bapak masak, ya.”


Alhamdulillah, itulah mengapa aku selalu berpesan pada hatiku bahwa, “Aku sudah memaafkan Bapak.” Pada dasarnya Bapak telah berubah. Ia bahkan tak jadi menunaikan keinginan semunya untuk bisa kaya raya. Bapak memang pernah terjebak di pertemanan yang toksik. Namun, alhamdulillah beliau kembali sadar dan memperbaiki salat dan hubungannya pada anak-anaknya.


Bintaro, 2024

Masih begitu banyak nikmat Allah untukku. Sebenarnya. Kakak laki-lakiku alhamdulillah juga telah salat lima waktu. Perlahan keluargaku sudah ada yang berhijrah. Walau belum hijrah secara kafah, yang pasti, aku bersyukur karena Allah telah membuka mata hati mereka agar menjalankan perannya sebagai hamba Allah dengan baik.


Perjalanan hidup akan terus berlanjut, hidup bukan untuk masa lalu maupun larut dalam teka-teki masa depan. Namun hidup tentang hari ini. Hari di mana tubuhmu ada di sini. Jalani, dan nikmati setiap ujian dengan lapang hati. Cukup surga yang kelak menjadi pengobat hati.

 


Delusi

Pemilik Kisah : Rizki Nor Mauliani

Penulis: Larasati

Kudus, 2024

“Kak! Aku baru saja mengalami sakratul maut. Apa kakak memercayaiku?”

“Ha? Yang benar dek? Ceritanya gimana? Kok bisa?”

“Ada suara yang mengatakan padaku sore tadi bahwa aku akan mati malam ini. Padahal aku sudah bersiap. Aku kesal aku enggak jadi di ambil kak.”

“Dek, kamu enggak lagi kambuh kan?”

Aku meletakkan handphone-ku dengan wajah sedih. Kutarik napas dalam kemudian mengeluarkannya dengan kasar. Jujur, saat ini tak akan ada seorang pun yang memahami situasi yang tengah aku alami. Ini semua nyata, aku tidak sedang mengigau. Ini sungguh nyata adanya. Namun, entah mengapa semua orang tiada yang memercayai. Sudahlah, memang dunia yang membuatku nyaman adalah dunia yang kuciptakan sendiri.


Ingatanku kembali berlabuh pada kenangan lama. Kenangan yang membuatku merindu sebuah pelukan hangat dari Allah. Ujian hidup yang membuatku yakin bahwa semua ini dikarenakan Allah mencintaiku sebagai hamba-Nya. Aku rindu dipeluk-Nya. Aku rindu melihat-Nya. Demikian doa yang kuucap selepas subuh kemarin. 


Hingga sorenya aku seperti mendapat mukjizat, ada sebuah suara yang mengatakan padaku bahwa, “Kamu akan mati!” Benar saja, baru saja aku melewatinya malam ini. Namun karena kecerobohanku membuat sebuah gerakan, al hasil kematianku gagal. Ah! Aku kesal terhadap diriku sendiri. Aku gagal bertemu Allah.


Kudus, 2008

“Hasil diagnosa anak Bapak dan Ibu mengalami gangguan mental Bipolar Disorder!


Penjelasan dari dokter itu membuat gemuruh di hati kedua orang tuaku. Aku pada saat itu masih begitu belia mengetahui semuanya. Usiaku baru menginjak sebelas tahun. Namun aku sudah mengalami gangguan mental. Di usia Taman Kanak-kanak aku sudah melakukan self harm atau tindakan menyakiti diri dikarenakan iri dengan adikku yang mendapat perhatian lebih dari orang tua. 


Berawal dari gangguan kecemasan, menjadi gangguan mental berat seperti Bipolar Affective Disorder. Sebuah penyakit yang menjadikan seseorang mengalami perubahan mood yang sangat ekstrem, dari manik yaitu fase dimana hormon dopamin seseorang meningkat secara berlebihan, sehingga akan menjadikan seseorang dengan Bipolar cenderung bertindak impulsiv, kreatif karena ada banyak ide di benaknya. 


Energi yang full menjadikan seseorang bahkan tidak butuh tidur, dikarenakan tidak merasa lelah sama sekali dan karena ide di kepalanya sangat banyak. Bahkan aku cenderung boros, sehingga Ibu mengambil tindakan membatasi uang belanjaku. Fase ini bertahan minimal 4 hari dan maksimal tak menentu. 


Pada fase depresi, mood-ku akan berubah drastis. Berbanding terbalik dengan fase manik. Di mana energiku sangat full. Di fase depresi, aku bahkan tak bertenaga sama sekali. Menangis setiap harinya. Muncul pemikiran buruk yang mencoba menghakimi dan memberikan instruksi buruk pada diriku. Sehingga di fase ini aku bahkan bisa melukai diri sendiri, bahkan aku pernah meminum obat sebanyak empat belas butir. Hal ini dikarenakan hormon serotonin di otakku sedang down. Namun jujur, saat itu sebenarnya ada banyak pemicu yang menjadikanku hanyut dalam depresi.


Sejujurnya didikan orang tuaku sangat ketat dan baik dalam hal agama. Sedari kecil aku telah diajarkan salat, menjaga aurat dan lainnya. Namun, karena jiwaku masih begitu belia memahami semua itu, aku menganggap bahwa hal itu adalah beban. Aku ingin seperti teman-teman yang lain bisa bermain sepuas hatinya tanpa harus diburu waktu salat. 


Ujian hidup silih berganti. Perlahan aku bergelar dewasa. Tumbuh menjadi anak yang in syaa Allah dalam perintah-Nya. Dari kecil aku dijaga orang tua hingga menikah melalui perantara perjodohan. Alhamdulillah aku bersyukur Allah jaga aku dari hal yang haram yakni memadu kasih sebelum Allah meridai.


Qaddarallah, pernikahanku tak berjalan mulus. Suamiku tak tahan dengan sikapku yang berubah-ubah. Aku pun juga tak tahan dengan sikapnya yang selalu menyuguhkan penderitaan. Ibu memaksaku untuk tetap bertahan. Namun, yang menjalani aku. Aku yang terus mengalami penderitaan. Maka pada saat itu tak kudengar nasihat Ibu, demi kebaikan mentalku. Karena jika tidak, maka aku akan mati di tangan sendiri. 


Lepas dari ikatan yang sejatinya tak pernah kurindukan, aku memutuskan bekerja kembali. Qaddarallah, aku terkena PHK di malam takbir dan akan dijanjikan untuk dipanggil kembali. Namun faktanya sampai detik ini tak ada satu pun panggilan kerja itu datang.


“Ya Allah, mengapa nasibku begini? Mengapa harus aku yang mengalami? Kenapa di saat aku sudah mulai bangkit aku kembali dirundung penderitaan ini?”

Saat hatiku bergumam demikian, suara-suara di kepala mulai berisik menyahuti. Seolah menjawab semua pertanyaanku.


“Karena kamu memang tak layak hidup bahagia! Ha ha ha!”

Kuakhiri drama di kepala dengan tangisan. Tangisan yang semakin menjadi hingga tak terkontrol lagi. Tubuhku hanyut dalam buaian depresi. Aku bahkan tak ikut salat idul fitri dan mengikuti Ibu untuk halal bihalal selepas salat.


Lama kelamaan aku mengira bahwa Bipolar-ku mulai sembuh. Namun, ternyata aku salah. Bipolar memang hilang, namun berganti Skizofrenia. Sebuah penyakit gangguan jiwa yang menyebabkan seseorang mengalami delusi dan halusinasi yang menjadikan ia hilang kendali dalam membedakan antara dunia nyata dengan non realitas.


Mungkin kamu pernah melihat ODGJ di jalanan bukan? Ya, itulah yang kuidap saat ini. Berawal dari lepas obat selepas perceraian dengan suami. Menjadikan penyakitku semakin menjadi dan merebak kemana-mana.


Hari itu selepas subuh, aku berdoa kepada Allah;

“Ya Allah, aku rindu pada-Mu. Aku ingin dipeluk sejenak oleh-Mu. Aku butuh pelukan ya Allah. Tak ada yang memahamiku selain Engkau. Aku benar-benar dilema. Aku ingin berjumpa dengan-Mu.”


Inilah doa yang mengawali Skizofrenia-ku kambuh. Aku mendapati suara-suara gaib pada sore harinya yang mengatakan bahwa aku akan mati. Hingga aku merespon suara itu adalah suara dari Malaikat. Dan aku begitu antusias menanti saat itu tiba.


Benar saja, aku melihat dengan jelas oleh mataku sendiri bahwa aku melihat sosok gaib yang kuyakini ia adalah Malaikat Allah. Ada tiga Malaikat yang hadir saat itu. Dua sosok di kiri dan kanan, satu lagi di atas kepalaku. Kemudian aku mendengar sebuah suara yang menenangkanku. Seolah memintaku agar tetap tenang. Dan aku meyakini suara itu adalah suara Allah. Kemudian aku melewatinya dengan perasaan nyaman. 


Aku merasakan dengan jelas kesakitan yang luar biasa itu. Napasku seolah naik ke tenggorokan. Aku benar-benar di ambang kematian. Namun karena aku pada saat itu membuat sebuah gerakan, al hasil semuanya menghilang dalam sekali kedipan mata. Aku dilanda frustasi. Padahal sebentar lagi aku akan berjumpa dengan Allah. Tertiba sebuah suara kembali kudengar.


“Saat ini kamu gagal. Mungkin di lain waktu.”

Tanpa disadari aku telah dibanjiri air mata. Aku pun lantas menghubungi teman yang baru kukenal di sosial media. Hanya ia yang membuatku nyaman saat ini. Hingga aku merasa kaget dengan pernyataannya yang memintaku kembali berobat. Ia mengira kejadian yang aku alami adalah delusi semata. Sungguh aku kecewa padanya.

 

Aku mengira ia berbeda, aku kira ia adalah rumah yang membuatku nyaman, ternyata ia sama saja seperti yang lain. Aku tak lagi memercayai manusia sejak saat itu. Dan memutuskan untuk asik dengan duniaku sendiri. Fantasi yang aku ciptakan sendiri. 


“Nak!” Ibu memanggilku pada pagi harinya. Mengajakku berdiskusi.

“Apa bu?”

“Bapakmu kemarin malam bermimpi. Katanya kamu disuapi oleh Kakek. Ayah dari Bapak yang sudah meninggal.”


Aku benar-benar bingung dengan pernyataan Ibu. Aku bahkan tak pernah berjumpa dengan kakek tersebut.


Di pagi yang sama, tertiba aku mendengar sebuah bisikan lagi di telingaku. Bisikan itu menyuruhku pergi bersepeda. Dan anehnya aku pun mengikuti. Aku bersepeda tanpa arah dan tujuan pasti. Karena saat itu aku yakin bahwa aku dipandu oleh suara itu. Sampai akhirnya aku disuruh ke gunung Muria yang ada di Kudus tempat aku tinggal dan terlahir.


Mengayuh tanpa lelah. Hingga tanpa sadar aku merasakan lelah itu juga. Kuhentikan aktivitas bersepedaku sejenak. Hingga aku kelelahan dan berbaring di pinggir jalan raya. Di bawah pohon mangga aku terlelap.


Tiba-tiba kerumunan orang mendatangiku. Namun karena saking lelahnya aku bersepeda dari Undaan ke kota Bae, aku masih belum bisa membuka mata dan terbangun.


“Panggil ambulans saja!” Spontan ketika aku mendengar suara itu, aku memaksakan mata ini terbuka.


“Eh... Enggak pak! Enggak! Saya enggak apa-apa. Saya hanya numpang baring karena kelelahan habis bersepeda.”


Ya wes, berteduh dulu di rumah Bapak yuk! Itu ada istri Bapak juga di sana.”


Ternyata masih ada manusia yang berbuat baik padaku. Aku diizinkan untuk singgah sejenak melepas lelah. Istri beliau pun menyajikan sebuah minuman kepadaku. Penat dan hausku seolah hilang sejenak.


“Pak, Buk. Saya pamit dulu mau lanjut jalan.”

“Ha? Enggak apa-apa tah?”

“Enggak apa Buk. Aku sudah membaik alhamdulillah.”

“Kalau begitu ini ada sedikit rezeki, diterima ya dari Ibuk.”

“Eh enggak usah buk. Enggak apa-apa.”

“Jangan ditolak! Ini rezekimu. Ambil ya buat beli makan di jalan.”

“Terima kasih ya Buk, Pak! Saya pamit dulu. Assalamu'alaikum.”

“Wa'alaikumsalam. Hati-hati, Nak!”


Aku pun mulai mengayuh kembali sepedaku. Alhamdulillah, aku bersyukur mendapatkan uang dari Ibu tersebut. Dengan uang ini aku bisa membeli air untuk minum jika aku haus, dan pembalut untuk aku ganti. Karena saat ini aku sedang haid.


Gerimis pun hadir, aku memutuskan berteduh sejenak di sebuah masjid di Dawe yang aku lupa namanya. Aku melepas lelah di sana selepas ashar hingga isya’ tiba. Ibu sedari tadi meneleponku. Namun kuabaikan panggilannya. Bukan aku yang mau, melainkan suara itu yang memerintahku untuk mengabaikan panggilan Ibu. Anehnya, aku mengikuti.


Karena warga di sana melihatku sampai malam tetap berada di sana, akhirnya RT di daerah itu meminta nomor telepon orang tuaku. Aku tak lagi bisa berbuat apa-apa selain menurutinya. Hingga datanglah Bapak, adik dan sepupuku menjemput. Namun, ini belum berakhir. Kukatakan pada mereka bahwa aku harus menemui Sunan Kudus dan Sunan Muria di sana. 


Namun aku tak mendapat izin oleh keluargaku. Mereka janji akan dikabulkan pintaku pada pagi esok. Hingga saat diperjalanan pulang, aku merasakan hadirnya sosok jin itu. Saat aku memutar surah Al Baqarah, tertiba volume handphone-ku mengecil sendiri. Seolah ia tak suka dengan murottal tersebut.


Mungkin kalian mengira bahwa mungkin saat itu aku tengah diganggu jin. Bisa jadi, namun dalam kondisi aku tengah dalam gangguan jiwa, di mana otakku mengalami ketidak seimbangan antara hormon dopamin dan serotonin, maka aku menganggap semua ini kejadian nyata. Ditambah aku pada saat itu sedang tidak salat karena tengah haid. Maka setan berusaha menjerumuskan dengan berbagai cara.


Pagi pun menjelang, sesuai janji keluargaku, maka aku pun melanjutkan perjalananku ke gunung Muria bersama adikku untuk menjagaku agar tak lagi lari kemana-mana. Hingga aku sampai di hutan gunung Muria atas petunjuk dari Sunan Kudus. Petunjuk pertama berakhir, lalu aku mendatangi petunjuk selanjutnya bersama adikku, kemudian petunjuk itu mengatakan bahwa itu adalah Sunan Muria.


Aku pun kembali menelusuri hutan yang mengatakan aku harus menghancurkan jin kafir. Dan aku pun menghancurkan sebuah tumbuhan pendek yang memiliki buah dengan warna berbeda. Jika buahnya berwarna hijau, itu berarti masih mentah. Dan pada buah yang berwarna ungu kehitaman, berarti telah matang dan siap untuk dihancurkan. Maka aku pun menghancurkan tumbuhan tersebut atas bisikan di telingaku.


Aku pun kembali ke rumah. Aku merasa puas telah menghancurkan kerajaan jin kafir tersebut. Hal paling fatal yang pernah kulakukan selama masa kambuh yang pada saat itu aku tak menyadarinya. Hingga yang paling fatalnya lagi, aku menganggap bahwa Allah adalah suamiku dan aku adalah istrinya. Naudzubillah, astaghfirullah wa atubu ilaih.


Saat aku tengah bersyair melalui musik, tertiba sepupuku masuk dari atas kamarku atas izin orang tuaku karena kamarku pada saat itu dikunci dari dalam. Ia pun membuka pintu dari dalam kamar. Dan aku digotong beramai-ramai ke RSU Kudus.


Hikmah yang bisa kupetik adalah, bahwa sejatinya orang tua dan keluargaku sangat menyayangiku. Aku telah hanyut dengan pikiran negatifku sendiri.


Setan punya segala cara dalam menjerumuskan manusia. Hingga bisa menguasai seluruh tubuhnya. Maka tugas kita hanyalah bertawakal kepada Allah. Dan selalu meminta perlindungan pada-Nya.


Hikmah lain yang bisa kupetik, Skizofreniaku hadir karena aku tak bisa membedakan antara dunia nyata dengan khayalanku semata. setan pun merajai akal sehatku. Sementara Bipolarku hadir, karena aku tak bisa menerima takdir Allah dan terus suuzan pada orang tuaku dan orang lain.

Salam sehat jiwa...


“Kak, maaf. Selama aku sakit aku lepas kendali.”

“Ya Allah, Dek. Alhamdulillah Adek udah sembuh sayang?”

“Alhamdulillah. Terima kasih kak tetap mau jadi temanku walau aku kambuh.”

“Karena kita sama, Dek. Kakak paham apa yang adek rasa. Karena kakak pun, demikian.” 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Religi
Cerpen
Muslimah Punya Cerita (A journey off surrender to Allah)
Larasati
Novel
Bersua di Jannah-Nya
Rahmah Athaillah
Flash
Bronze
Diana, James and the Death
Vera Anita Daud
Cerpen
Bronze
BUNUH DIRI = AQIDAH?
Iman Siputra
Novel
Mujarabat
M Musa Al Hasyim
Novel
Two Different World
Zaafatm
Novel
Will You Be Mine
Tri Gustari
Novel
Gold
Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia
Noura Publishing
Cerpen
Bronze
Syahid Tak Bernama
Oyenoyenmpus
Novel
Anak anak Adam
me_filyas
Novel
Theresia
Be. One
Cerpen
Bronze
Dua Manusia Terakhir
Silvarani
Novel
Gold
Catatan Indah untuk Tuhan
Mizan Publishing
Flash
Aira
Dina Oktarini
Novel
KETIKA MALAIKAT MENANGIS
Rizal Azmi
Rekomendasi
Cerpen
Muslimah Punya Cerita (A journey off surrender to Allah)
Larasati
Novel
Cinta Tak Selalu Waras
Larasati