Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
MUSIM PANAS YANG PANJANG
1
Suka
589
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Tidak ada satu pun pohon yang tampak masih memiliki hijaunya daun. Semuanya mengerut kering seperti lidi-lidi dari kejauhan. Daun-daunnya yang gugur sejak lama, mungkin sudah menjadi kompos dan ikut retak bersama kepingan-kepingan tanah. Angin yang bertiup pun bukannya menyejukkan malah menambah serak kerongkongan. Air hanyalah fatamorgana di kejauhan. Air liur pun tak ada. Kulit-kulit gosong, kering dan bersisik. Beberapa malah sudah melekat ke tulang dan mengelupas, berkeropeng. Bagaimana tidak, musim panas ini sudah berlangsung selama satu dasawarsa tanpa setetes hujan pun pernah menjamah atap-atap penduduknya yang bahkan tampak lebih kokoh dari penghuninya.

Suara bayi sudah lama punah. Tidak ada bayi di wilayah itu. Mereka semua sudah meretak bersama tanah, bersama sebagian besar penduduk yang lain. Hanya pejabat-pejabat setempat yang masih hidup cukup makmur, menguasai satu-satunya sumber mata air yang masih tersisa di wilayah itu: sumur miring. Warga hanya diperbolehkan mengambil air di sumur itu sebulan sekali. Di bawah pengawasan ekstra ketat, warga biasa hanya boleh mengambil sejerigen, dua kalau berhasil membujuk pengawas-pengawas yang lebih buas dari binatang paling buas sekalipun yang pernah hidup di wilayah yang entah di sebut apa itu.

“Awas kalau ada yang ketahuan antri lagi. Aku gorok kepalanya, biar darahnya bisa diminum rame-rame!” begitulah kata-kata yang sering muncul dari mulut berkumis lebat pengawas-pengawas bersenjata gergaji mesin itu. Habis itu mereka meneguk air tanpa berperi kemanusiaan, membuat antrian sisa penduduk yang masih bertahan dari kemarau panjang itu ketar-ketir menelan ludah yang bahkan tidak ada di mulut mereka.

“Cepetan ambil airnya! Waktu buat kalian ambil air sebentar lagi habis!” pengawas yang lain, biasanya yang berdiri dekat sumur dengan mata melotot guna mengawasi kalau-kalau ada yang mengambil air lebih setetes dari yang disyaratkan, yakni satu liter, berteriak dengan suara serak.

Warga yang belum mendapat jatah pun bergegas, saling dorong, dan menimbulkan kekacauan yang tentu saja membuat pengawas yang setengah hari harus berpanas-panas mengawasi alih-alih tidur di rumah mereka yang berpendingin, murka bukan main. Mereka menyalakan gergaji mesin masing-masing, memperingatkan. Tapi musim panas kali ini memang seperti puncaknya bagi mereka, sehingga warga dengan geram mengeroyok tiga pengawas yang ditugaskan mengambil air. Ada yang terluka kena gergaji, tapi lebih banyak yang berhasil menyatukan tubuh-tubuh ceking berseragam coklat itu dalam keretakan tanah yang semakin menganga.

Kesabaran sedasawarsa yang masyarakat jaga akhirnya meledak sudah. Terik raja siang selama tahunan akhirnya menyulut api di ubun-ubun mereka. Pipa-pipa air yang menyalur ke istana-istana pejabat mereka potong dengan gergaji para pengawas yang jasadnya sebentar lagi akan menjadi santapan hering. Seperti monster-monster ceking berkulit hitam, para warga mengamuk tak terkendali, berebut satu setengah meter air yang tersisa di dalam sumur miring.

Pergulatan itu membuat air di dalam sumur menjadi keruh karena tanah, juga karena darah. Bahkan sudah ada tiga bangkai yang nyemplung ke dalamnya. Meskipun begitu warga tetap mengambil dan meminumnya tanpa ampun, hingga air di dalamnya benar-benar habis, menyisakan tanah basah yang masih di sesap-sesap.

Zombie-zombie itu perlahan-lahan merangkak keluar dari sumur dan kembali ke rumah masing-masing untuk menanti maut jika memang hari ini adalah akhir hidup mereka. Televisi layar datar mereka yang besar, perhiasan-perhiasan yang tampak terserak di kolong-kolong laci, air conditioner macet mereka, kipas angin seret mereka, kulkas lapuk mereka, kitab suci-kitab suci mereka yang berdebu, bahkan diri mereka sendiri yang lebih kurus dari sebatang lidi yang dilindas lokomotif tua, tidak lebih berharga dari setetes air di manapun di wilayah itu jika memang ada. Air liur mereka mulai keluar barang satu dua leleran. Banyak dari mereka yang cerdik memutuskan untuk menampungnya di gelas untuk diminum, mungkin dua tiga bulanan lagi jika hujan tak kunjung turun juga.

Pawang hujan sudah mereka bunuh lima tahun lalu karena terbukti tidak berhasil mendatangkan hujan ke wilayah itu. Darahnya mereka minum beramai-ramai. Sejak itu tidak ada yang berani mengaku sebagai pawing hujan, sekalipun sebenarnya mereka memang mampu mendatangkan hujan dengan mantera-mantera tertentu.

Sekarang tidak ada sumber mata air lagi bagi penduduk di satu-satunya wilayah yang masih di huni manusia di muka bumi ini untuk mengambil barang seliter air setiap bulannya. Ada yang menyesal telah melakukan tindakan brutal itu, karena bagaimanapun sebagai penduduk terakhir bumi mereka dulunya sangat beradab. Meskipun begitu, kebanyakan dari mereka sama sekali tidak menyesal. Kalaupun harus segera mati dan kiamat, biarlah aku merasakan nikmatnya air terakhir, begitulah pikiran mereka yang tidak menyesal.

Sementara warga bergentayangan dengan imajinasi mereka yang disebabkan kurangnya pasokan air dan elektrolit ke otak mereka, di rumah-rumah mewah para pejabat mulai terdengar umpatan-umpatan karena air tidak mau keluar lagi, mungkin untuk selamanya.

Dalam kondisi demikian tidak banyak yang tahu apa fungsi pejabat di wilayah itu, karena visi misi mereka sudah tidak berjalan lagi sekian tahun. Hanya hukum tatanan sosial yang masih menjadikan mereka berkuasa di atas harapan-harapan rakyat akan adanya air dari aturan-aturan yang mereka buat. Sayangnya musim panas terlalu panjang dan pejabat-pejabat itu terlalu egois.

Mereka, pejabat-pejabat sialan itu, mulai terserang dehidrasi berat dan banyak dari mereka yang meninggal sebelum berhasil menyadari apa yang sudah terjadi di sumur miring mereka. Mereka tentu enggan meninggalkan rumah mereka yang dingin untuk pergi barang sejengkal untuk mengecek. Sudah tidak ada pembantu di rumah mereka sejak dua tahun terakhir. Semuanya mati kering.

Manusia-manusia yang tersisa di wilayah itu sangat-sangat mengharapkan musim panas yang begitu menyiksa itu segera berakhir, dan padi-padi serta buah-buahan di ladang mereka bisa tumbuh kembali seperti dahulu kala. Sebagian memutuskan menjemput ajal di atas ranjang mereka dengan tenang, sebagian mengutuk-ngutuk Tuhan atas azab yang tidak mereka ketahui sebabnya itu, sementara sebagian lagi, yang masih percaya akan keberadaan mata air entah di mana, berusaha mengikuti terbangnya burung-burung pemakan bangkai. Mereka percaya satu-satunya makhluk hidup selain manusia itu bisa tetap bertahan karena ada air di suatu tempat untuk mereka minum. Tapi ada juga yang menyangkal teori itu dengan mengatakan bahwa mereka bisa tetap hidup karena mengambil sari pati dari bebangkaian yang mereka konsumsi setiap hari. Dan penyakal teori itulah yang memutuskan menjemput ajal di atas ranjang, ada yang dengan tenang ada juga yang tidak, sementara para pengikut burung hering pada akhirnya mati juga dan lalu dimakan oleh apa yang mereka ikuti.

Musim panas begitu panjang, seolah tidak ada yang bisa lebih panjang lagi dari musim panas periode ini. Saking panjangnya, lautan pun nyaris mengering. Ikan-ikan dan makhluk laut banyak yang sudah memfosil. Tinggal yang kecil-kecil saja berdiam pada sisa air yang tinggal secekungan. Ada seekor teri, kuda laut, dan anak gurita yang bergelung seperti batu karang. Mereka, bersama dengan seekor nazar tua yang menanti di tepi laut kecil itu, menjadi satu-satunya makhluk yang masih bernyawa. Semua manusia sudah musnah.

“Cepatlah kalian mati, wahai makhluk laut,” kata si nazar tua dengan suara seraknya. Sudah lebih dari satu semester dia tidak menyantap sebangkai apapun, dan harapan hidup terakhirnya tertumpu pada ketiga makhluk asin itu.

“Tidak burung tua, kami asin dan hanya akan membuatmu kehausan,” tukas teri kecil.

“Lagipula daging kami sedikit. Kamu tidak akan puas,” tambah si kuda laut, sementara sang anak gurita masih bergelung dalam diam.

“Mana aku tahu kalau belum mencoba,” kata si tua nazar. Dan dia pun tetap menunggu hingga berminggu-minggu, hingga cekungan air laut itu semakin menyempit.

“Gawat, nih, airnya semakin menyusut. Bisa-bisa kita mati di makan burung bangkai itu,” kata teri cemas. Dia berenang mondar-mandir, sementara sang anak gurita masih bergelung, begitu tenang bak sudah tak bernyawa.

“Tidak, tidak, tidak. Aku tidak ingin bersemayam dalam perut hering bangka itu dan berdesakan dengan bangkai manusia-manusia yang penuh dosa,” ujar si kuda laut getir. Tapi air laut sudah begitu menyusut dan hari berikutnya telah benar-benar mengering, tinggalah burung pemakan bangkai yang sudah bersabar sekian lama itu mematuk, pertama-tama teman kecilnya si teri, kemudian dirinya. Dan benar, dia merasa perut sang burung benar-benar busuk penuh sesak dengan dosa anak manusia.

Anehnya si burung pekmakan bangkai tidak memakan sang anak gurita yang olehnya disangka segumpal batu. Dan dalam silsilah keluarganya tidak ada yang pernah memakan batu. Akhirnya ia terbang menjauh, mencari keajaiban di tengah panas terik tak terkira, atau kematian yang memang sudah membayanginya. Tanah retak di bawah bagai buah lukisan Pablo Picasso. Tapi mana dia tahu siapa si Picasso itu? Dia kan hanya burung hering yang hendak mati.

Sementara itu si anak gurita terus bergelung. Rupanya selama ini dia berdoa, doa paling khusyuk yang pernah terpanjatkan di antara makhluk-makhluk-Nya selama musim panas yang teramat panjang itu. Saking khusuknya dia sampai tidak menyadari bahwa dia tidak lagi berada di dalam air, dan sebagian besar ubun-ubunnya sudah gosong terpanggang matahari. Meskipun demikian pada akhirnya Tuhan mengabulkan doanya: mati dalam keadaan berdoa dan mengingat Tuhannya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
StarLight
Vidharalia
Cerpen
MUSIM PANAS YANG PANJANG
Rian Widagdo
Novel
Bronze
Flatulensi
asade
Novel
Bronze
PAPA
Hanna Khoiruzzahro
Novel
Biru Kelabu
Putri Zulikha
Novel
Bisakah aku menjadi milikmu?
Uswatun Hasanah
Flash
Bronze
Sudut Pandang
Noveria Retno Widyaningrum
Novel
We School : Sesak
Putri Lailani
Novel
Perempuan & Sayap Pelindung
Dwi Kurnia 🐻‍❄️
Novel
SUNSHINE
Nor Laila
Novel
Bronze
MARNI
Shafura
Novel
Bronze
Introvert
rimachmed
Novel
Bronze
Kereta Rombeng 1998
Mahalawan
Novel
Bronze
Our Love Story
Siti Hafizah
Novel
Pena Antik. The Four Steps of Love
Setyawan Lam
Rekomendasi
Cerpen
MUSIM PANAS YANG PANJANG
Rian Widagdo
Cerpen
O2
Rian Widagdo
Novel
Bronze
End in lovE
Rian Widagdo
Cerpen
JANGAN REBUT SENJA TERAKHIRKU
Rian Widagdo
Cerpen
Bronze
NURANI
Rian Widagdo
Cerpen
AKU MELIHAT NAGA MENARI KEMUDIAN MATI
Rian Widagdo
Cerpen
BONEKA KAYU
Rian Widagdo
Cerpen
SEKUNTUM SABDA UNTUK BUNDA
Rian Widagdo
Cerpen
BOM
Rian Widagdo
Cerpen
TANGAN-TANGAN KECIL
Rian Widagdo
Cerpen
NENEK MOYANGKU SEORANG PERAUT
Rian Widagdo
Cerpen
1 2 3
Rian Widagdo
Cerpen
ASAP
Rian Widagdo
Cerpen
Bronze
ORANG-ORANG YANG KELUAR DARI BOTOL
Rian Widagdo
Novel
Bronze
PADA 1000 BANGAU KERTAS
Rian Widagdo