Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hujan turun sejak pagi, menaburkan titik-titik air yang membasahi atap rumah dan jalanan yang mulai tergenang. Langit tampak kelabu, seakan ikut berpuasa dalam kesunyian. Suasana begitu sejuk dan syahdu, khas musim hujan di bulan Ramadhan. Udara dingin menusuk, membawa aroma tanah basah yang khas.
Di dalam rumah, Rafa duduk di dekat jendela, menempelkan wajahnya pada kaca yang berembun. Ia memperhatikan butiran air yang turun perlahan, mengalir mengikuti guratan jendela. Tangannya menggambar pola acak di kaca yang basah, menciptakan garis-garis yang segera memudar ketika terkena embun lagi.Sesekali, ia menghela napas panjang, merasa bosan karena hujan tak kunjung reda.
“Ibu, kenapa Bulan Ramadhan kali ini hujan terus?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela, memperhatikan air hujan yang jatuh deras membentuk genangan di jalan.
Ibunya yang sedang menata makanan untuk berbuka tersenyum tipis sambil menjawab pertanyaan Rafa. “Karena sekarang musim hujan, Nak. Setiap Bulan Ramadhan datang dalam suasana yang berbeda. Kadang panas, kadang hujan. Tapi hujan itu berkah, bukan?” jawab sang ibu pada Rafa.
Rafa mengangguk pelan, meskipun dalam hatinya ia merasa sedikit kecewa. Baginya, Bulan Ramadhan itu selalu identik dengan sore hari yang cerah, suara anak-anak bermain petasan, dan langit jingga yang menyambut azan Magrib. Tapi tahun ini sangat berbeda sekali. Hujan membuat jalanan menjadi sepi, suara gemericik air menggantikan riuh tawa anak-anak yang biasanya berlarian di gang dekat rumahnya.
Dari dapur, aroma kolak pisang menyeruak, bercampur dengan bau harum gorengan yang baru diangkat dari penggorengan. Rafa menoleh ke arah neneknya yang duduk di kursi goyang sambil merajut syal. Perempuan tua itu tersenyum hangat, tatapannya mengandung kenangan yang jauh seakan kembali bernostalgia.
“Dulu, waktu kecil, ibumu juga suka bermain hujan disaat bulan Ramadhan,” ujar nenek, suaranya lembut dan penuh nostalgia.
Rafa membelalakkan mata. “Hah... Benarkah Nek? Ibu juga suka main hujan?” ujar Rafa dengan wajah terkejut.
Ibunya tertawa kecil. “Iya, dulu Ibu sering diam-diam keluar saat hujan turun, ia berlari ke halaman sampai baju basah kuyup.” ujar nenek sambil melanjutkan merajut syal dengan wajah tersenyum lebar.
“Tapi kalau ketahuan, langsung nenek suruh ganti baju dan minum teh hangat,” tambah nenek sambil terkekeh kecil seakan mengingat kembali kenangan dulu.
Rafa membayangkan ibunya kecil berlari-lari di tengah hujan. Rasanya sangat aneh, karena selama ini ia selalu melihat ibunya sebagai orang yang serius dan disiplin, terutama dalam hal berpuasa.
“Hujan di bulan Ramadhan itu istimewa,” lanjut nenek. “Dulu, kalau hujan turun deras, listrik sering mati. Kami duduk melingkar di ruang tamu, menyalakan lilin, bercerita sambil menunggu waktu berbuka.” kata sang nenek dengan wajah bahagianya.
“Wah, sepertinya sangat seru sekali ya, nek!” seru Rafa antusias. “Aku juga ingin merasakan hal seperti itu.” ujar Rafa dengan penuh bahagia.
Nenek juga tersenyum bahagia mendengar perkataan Rafa, matanya yang berbinar seolah melihat bayangan masa lalu yang kembali terulang, dan penuh dengan kenangan indah.
Listrik Padam dan Cahaya Lilin
Seakan menjawab keinginan Rafa, tiba-tiba lampu di rumah berkedip-kedip… lalu padam. Seketika ruangan menjadi gelap, hanya disinari cahaya senja yang remang-remang dari balik jendela.
“Ibu! Listriknya mati!” Rafa berseru, suaranya bercampur antara kaget dan senang.
Ayah segera mengambil senter, sementara ibu meraba-raba di lemari untuk mencari lilin. Dalam hitungan menit, sebuah lilin kecil menyala di meja, cahayanya bergetar lembut di tiupan angin dari jendela.
“Haha, seperti kembali pada zaman dahulu!” ujar sang nenek dengan tertawa bahagia, membuat seluruh keluarga pun ikut bahagia.
Lalu, Rafa pun duduk di lantai sambil menatap lilin kecil yang menyala di meja dengan sangat takjub. “Jadi begini rasanya berbuka saat listrik mati?” ujar Rafa sambil menatap lilin kecil tersebut.
Ayah yang mendengar pun seketika tertawa kecil. “Sekarang belum saatnya nak, nantik pas waktu berbuka telah tiba baru terasa.” jawab sang ayah dengan senyum lebar sambil menatap anaknya itu.
Di luar rumah, suara hujan masih turun sangat deras, menciptakan simfoni alami yang menenangkan. Tak ada suara televisi, tak ada ponsel yang berbunyi—hanya saja suara percakapan hangat di antara mereka.
“Dulu, kalau listrik mati, kami sering bercerita atau bermain tebak-tebakan,” kata nenek. “Kadang kami juga menyanyikan lagu-lagu lama sambil menunggu bedug.” kata sang nenek dengan senyum bahagia sambil menatap cucunya.
Rafa tersenyum lebar, “Ayo, sekarang kita main tebak-tebakan!” ujarnya dengan wajah gembira.
Mereka pun larut dalam permainan sederhana itu. Suara tawa canda mereka terdengar sesekali, sehingga membuat suasana rumah terasa lebih hangat meski udara di luar semakin dingin.
Berbuka dalam Kehangatan
Saat azan Magrib berkumandang, ibu membawa sepiring kurma dan segelas teh manis hangat ke meja. “Bismillah,” ucapnya lembut sebelum membagikan kurma untuk semua orang.
Rafa pun mulai mengambil dan menggigit kurmanya, dia begitu menikmati rasa manis yang meleleh di lidah. Dilanjutkan dengan seteguk teh hangat yang mengalir di tenggorokan, menghadirkan kehangatan yang nyaman.
“Hmm, kurma beserta teh hangat ini sangat enak sekali…” gumam Rafa sambil tersenyum lebar.
Ayah yang mendengar itu pun langsung mengangguk.“Makanan dan minuman ini sangatlah sederhana, tapi kalau dimakan bersama keluarga, rasanya itu bakal jauh lebih nikmat.” ujar ayah pada Rafa dengan wajah tersenyum tipis.
Kemudian, Mereka makan dalam kehangatan dan kebersamaan, menikmati setiap suapan tanpa terganggu oleh suara televisi atau gangguan lain. Hanya ada suara hujan yang tetap setia mengiringi mereka, seolah menjadi latar musik alami yang melengkapi suasana bagi keluarga mereka.
Setelah selesai berbuka, listrik akhirnya kembali menyala. Lampu-lampu rumah menyala terang, menggantikan cahaya lilin yang perlahan mengecil. Tapi anehnya, Rafa seperti merasakan sedikit kehilangan. Ada sesuatu yang istimewa dari momen berbuka dalam gelap itu, walaupun hanya ditemani cahaya lilin dan suara hujan. Tapi, itu bisa membuat nya merasakan kebahagiaan yang mendalam dan menjadikan sebuah kenangan indah.
Rafa menoleh ke arah neneknya. “Nek, kalau nanti listrik mati lagi, kita nyalakan lilin lagi, ya?” ujar Rafa kepada neneknya dengan wajah senang.
Nenek pun tertawa kecil mendengar perkataan cucunya itu. “Tentu saja, Nak.” ujar nenek sambil tersenyum lebar kepada Rafa.
Malam itu, Rafa tidur dengan perasaan tenang dan damai. Ia baru menyadari bahwa Bulan Ramadhan bukan hanya tentang bermain di luar saat senja atau menunggu adzan Magrib di bawah langit jingga. Bulan Ramadhan juga tentang kebersamaan, tentang cerita-cerita lama yang menghangatkan hati, dan tentang menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil.
Dan kini, Rafa mengerti bahwa hujan di Bulan Ramadhan bukanlah penghalang baginya, melainkan berkah yang membawa kenangan begitu indah.
TAMAT.