Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Misteri
Musik dan Teror Mimpiku Menertawakanmu
1
Suka
9
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

“Sepertinya kesehatan mentalku beneran mulai bermasalah,” pikir Ana kala duduk di bangku bus Transjakarta yang malam itu, seperti biasa, dipenuhi oleh orang-orang pulang kantor seperti dirinya. Belakangan ia makin sering merasakan kegelisahan, gara-gara mimpi yang menerornya, sampai-sampai sulit fokus pada apa yang dikerjakannya. “Dari mana datangnya mimpi-mimpi itu, ya?”


Sudah dua bulan ini dirinya kerap dihampiri mimpi-mimpi aneh di tengah malam: gambar-gambar kabur, warna-warna kelam, simbol-simbol aneh, bahkan bertemu dengan bayangan samar dari sosok yang tidak dikenalnya tapi tampak familiar.

Awalnya ia menyangka itu hanya mimpi buruk biasa, tentu saja. Namun setelah beberapa kali mengalaminya, dirinya mulai curiga kalau mimpi tersebut memiliki pola. Memang tidak selalu sama, tapi punya benang merah. Di kali kedua, gambar-gambar kabur itu terdapat pada lembar-lembar kertas foto, berikutnya pada layar televisi yang buram karena antenanya tidak menerima sinyal dengan baik – lengkap dengan suara gemerisik.

Begitu pula dengan simbol-simbol itu. Mulanya berbentuk kambing bertanduk, selanjutnya bintang terbalik berwarna merah darah. Sementara, sosok dalam rupa bayangan samar pertama kali dilihatnya tengah berdiri agak jauh dari dirinya, berikutnya dalam sosok anak kecil yang berlari dalam kegelapan melewati pintu kamarnya yang tengah terbuka, dan di lain waktu muncul pada cermin, seolah sedang menatapnya.

Berada di dalam kabin bus yang sesak, di tengah lalu-lintas ibu kota yang masih ramai serta diapit oleh lampu-lampu dari kaca-kaca gedung perkantoran yang masih menyala, Ana justru merasa terperangkap dalam sunyi dan ngeri setiap kali mengingat mimpi-mimpi itu.

Untuk membunuh perasaan tersebut, ia mengenakan wireless earphone pada kedua lubang telinganya kemudian mengalirkan lagu-lagu riang milik The Caramels ke dalamnya, dari Spotify yang terinstal di ponsel lawasnya.

Seiring musik mengalun, jarinya secara otomatis bernavigasi di antara aplikasi socmed yang satu ke yang lain. Scroll dan scroll dan scroll sampai entah sampai berapa lama. Layar ponsel itu baru berhenti scrolling saat Ana menghentikan jarinya pada sebuah akun Instagram yang mengumumkan event Mutasic, sebuah festival musik yang digelar di Hutan Pinus Cikole, Lembang, Kabupaten Bandung Barat.

Ia mengklik ikon “save” setelah membaca detailnya sejenak, ada The Caramels di line up penampil, kemudian membatin, “Lokasinya relatif nggak jauh dari Jakarta. Boleh juga didatangi buat healing, hitung-hitung demi kesehatan mental.”

***

Aku mencoret beberapa kata pada buku catatanku menggunakan pulpen, kemudian kuganti dengan pilihan kata lain agar terdengar berima ketika dinyanyikan. Lirik ini rencananya akan dijadikan lagu jagoan untuk album baru The Caramels, band-ku bersama empat temanku. Kami semua berasal dari Bandung.

Meneruskan tradisi kotaku yang pernah melahirkan band-band indiepop terkemuka di Indonesia, macam La Luna dan Mocca, kami berlima juga membentuk sebuah band indiepop namun dengan progresi kord yang agak tidak biasa sebagai pembeda.

Penjelasan gampangnya, coba tengok lagu-lagu The Beatles. Aku paham, genre musik yang mereka mainkan berbeda. Tapi intinya, lagu-lagu The Beatles terdengar sederhana, hanya saja kalau kita simak lebih detail, ada perpindahan kord yang tidak umum di lagu-lagunya. Tanyakan saja kepada musisi – jika bukan, minimal orang yang bisa memainkan lagu-lagu The Beatles dengan gitar atau piano – aku yakin mereka bakal melontarkan pendapat serupa soal kord-kord tersebut.

“Rul… Rully,” aku mendongakkan kepala mendengar panggilan Yudi, gitarisku. “Formula magisnya jangan lupa dimasukkan di lagu itu, ya,” katanya.

“Iya, tentu, dong,” jawabku singkat, kemudian balik menekuni lirik yang tengah aku garap.”

Progresi kord tidak biasa yang kami miliki adalah salah satu ingredient, ‘bahan masakan’, bagi formula magis yang barusan ia sebutkan. Selebihnya adalah delay dan layering suara tertentu. Kalau ketiganya diramu dalam sebuah lagu, dapat memicu aktivitas otak memasuki kondisi yang mirip lucid dream, yakni mimpi di mana terdapat kesadaran bahwa kita sedang bermimpi.

Pernah bermimpi punya kemampuan terbang seperti burung atau Superman, dan kita bisa memilih terbang arah yang satu maupun lainnya? Bahkan bisa berkehendak buat menunda untuk tidak terbangun dulu? Itu kira-kira salah satu contoh sensasi lucid dream sejauh yang aku tahu dan pernah kualami.

Tapi itu adalah contoh lucid dream yang menyenangkan, sedangkan yang kami bangkitkan menggunakan formula magis di dalam lagu-lagu The Caramels adalah sebaliknya. Efeknya pun jauh lebih dahsyat, mengingat kebiasaan orang-orang sekarang lebih sering mendengarkan musik melalui earphone, yang terkoneksi dengan ponsel pintar sebagai pemutar musiknya. Berkat earphone yang menyumpal lubang telinga, bebunyian akan terdengar jauh lebih jelas, termasuk detail-detail suara yang kecil sekalipun, apalagi kalau earphone yang dikenakan dilengkapi fitur seperti noise cancelling untuk menghalau suara-suara dari lingkungan di sekitar.

Asal tahu saja, band-ku bukanlah yang pertama menyuntikkan formula seperti ini ke dalam lagu. Namun milik kami punya keistimewaan tersendiri. Kalau formula yang pernah beredar sebelumnya akan bekerja jika lagu didengarkan dalam kondisi mengantuk hingga tertidur, milik kami tidak membutuhkan fase tersebut. Kapanpun lagunya didengarkan, kandungan tersebut akan terus tersimpan, bersembunyi, di memori otaknya sampai nanti sang pendengar tidur di malam hari atau waktu-waktu yang lain. Barulah ketika tubuh tertidur, formula tersebut bekerja memicu mimpi buruk.

Keistimewaan formula itulah yang membebaskan band-ku dari kecurigaan atas teror mimpi yang menimpa para pendengar, atau dengan rasa hormat sekaligus bangga aku menyebut mereka sebagai fans. Kan, bisa saja, dan pastinya sangat mungkin, di antara waktu mendengarkan lagu kami sampai tidur mereka melakukan berbagai aktivitas lain, atau bahkan mengalami hal-hal kurang menyenangkan yang memicu kegelisahan maupun mimpi buruk.

Ditambah, riang dan syahdunya musik yang The Caramels mainkan cukup membantu menjauhkan kami dari kecurigaan. Itu didukung pula oleh fashion kami yang rapi dan cenderung preppy: atasan turtle neck atau kemeja dilapisi vest, celana panjang bahan atau chino, rambut ditata belah pinggir atau minimal moptop, lengkap dengan kacamata ber-frame tebal. Masih kurang meyakinkan? Vokalis kami seorang perempuan dengan gaya berpakaian setema, ditambah gerak-gerik serta pembawaan yang sering kali over cute.

Alhasil, semua itu akan terasa sangat kontradiktif terhadap sangkaan penebar teror mimpi. Menuduh band-band dengan nuansa gothic akan jauh lebih rasional.

Seiring makin dikenalnya band-ku oleh masyarakat, dan lagu-lagu kami kian banyak menemukan telinga pendengar, seorang temanku yang berprofesi sebagai psikolog mulai bercerita bahwa jumlah pasiennya yang mengalami anxiety, kegelisahan, meningkat. Ia kemudian menjelaskan berulang kali kepada mereka bahwa generasi sekarang memang lebih rentan atas gangguan kesehatan mental, lantaran ritme hidup yang kian cepat akibat tuntutan pekerjaan maupun tuntutan hidup, hingga fenomena FOMO, YOLO, serta sederet efek negatif paparan social media yang makin hari makin mengkhawatirkan.

Tapi, soal lonjakan tersebut, yang terjadi dalam rentang waktu relatif singkat, ia sama sekali tidak kaget.

***

“Hai, saya Yudi dari The Caramels,” sapaku sambil menjulurkan lengan kepada wanita di hadapanku yang tengah duduk di sofa menikmati kapucino dingin sambil memainkan ponselnya. Tas kerjanya ia letakkan di samping pangkuannya. “Kebetulan Rully lagi sibuk menyelesaikan lirik, seperti biasa, jadi saya yang gantiin,” sambungku menjawab tatapannya yang seperti bertanya ketika ia melihatku.

“Oh ok, kenalin juga, saya Sinta, psikolog,” balasnya setelah bangun dari duduknya untuk kemudian menjabat tanganku. Ia mengenakan kemeja lengan panjang putih, celana panjang berwarna khaki, rambutnya yang kira-kira sepundak dikuncir, dan dengan mengenakan kacamata ia nampak cerdas. “Selebihnya pasti Rully sudah cerita sedikit banyak soal kerjasama kita,” tambahnya kemudian melepaskan jabatan tangan.

Kami duduk, aku memesan minuman cokelat dingin kepada barista coffee shop buat sekadar menyegarkan diri di sore yang masih terik ini.

Aku mulai menjelaskan, “Jadi, dari dua belas lagu di album baru The Caramels nanti, enam di antaranya akan kami suntikkan formula magis. Dengan komposisi lima puluh persen seperti itu, berarti dinaikkan dari sebelumnya tiga puluh persen saja, kami berharap bakal lebih banyak orang yang mengalami teror lewat mimpi, sehingga lebih banyak lagi penderita gangguan kesehatan mental dan menaikkan jumlah kunjungan ke psikolog. Sebagai imbal baliknya, kami ingin ada kenaikan persentase fee untuk kami dari tarif kunjungan tiap pasien.”

“Hmmm, Menarik dan cukup fair,” tuturnya seraya membuka tas kerja dan mengeluarkan buku catatan berikut alat tulis. Kami membahas lebih lanjut soal beberapa klausul dari kesepakatan kami, dan berakhir pada urusan teknis termasuk soal pembayaran yang akan ditangani oleh manajer band-ku dengan komunikasi selanjutnya melalui email, seperti biasa.

Dalam meeting ini dirinya juga sempat menawarkan, “Saya bisa merekomendasikan pasien kepada psikiater untuk memperoleh perawatan secara medis, kalau-kalau diperlukan obat-obatan tertentu, jika kalian sanggup meracik formula magis dengan efek rusak yang lebih parah bagi kesehatan mental. Kemudian The Caramels bisa memperoleh fee juga dari pihak psikiater, bahkan bekerja sama dengan distributor obat-obatan yang digunakan.”

Boleh juga, aku pikir, peluang baru lagi.

Sejujurnya aku dan rekan-rekanku sebenarnya merasa bersalah melakukan semua ini, tapi di era digital sekarang ini sulit bagi band kami untuk menghasilkan uang dari karya semata. Orang-orang tidak lagi membeli album musik, tapi lebih memilih untuk membayar subscription tiap bulan kepada Spotify atau kawan-kawan sejenisnya. Penyedia layanan streaming musik tersebut tentu saja mengenakan cas biaya kepada para artis, seperti kami, atas platform yang kami tumpangi.

Kami juga bukan megabintang pop macam Taylor Swift, yang popularitasnya sanggup menyedot berjuta-juta stream untuk dikonversi menjadi pundi-pundi penghasilan. Karenanya, kami mesti rajin-rajin tampil live sebagai buat membuka keran pemasukan yang lebih besar bagi band ini, yah… sembari diiringi jualan merchandise. Tapi sayangnya itu tidak bisa dibilang mencukupi juga.

Maka ketika eksperimen kami dengan menyuntikkan formula magis ke dalam lagu ternyata berhasil menciptakan sumber penghasilan baru, kami sepakat menerapkannya meski secara terpaksa dan dihantui perasaan was-was akan lambat laun terbongkarnya rahasia itu.

Kami meyakinkan kepada diri kami bahwa, yang sudah-sudah, fenomena semacam ini hanya muncul di forum-forum daring underground, tidak sampai muncul ke permukaan, apalagi sampai menarik perhatian untuk diteliti secara ilmiah. Kemudian seiring berjalannya waktu, dianggap teori konspirasi belaka. Selesai.

Selepas dari pertemuan dengan Sinta, esoknya segera kusampaikan tawaran psikolog itu soal meracik formula magis dengan daya rusak yang lebih berat, saat kami berlima berkumpul di studio rekaman. “Gimana, setuju nggak?” kataku akhirnya meminta pendapat rekan-rekanku. Wajah mereka tampak kebingungan. Aku juga merasakan hal sekira serupa; di antara rasa bersalah yang bertambah besar, ada rayuan untuk membeli gitar berikut efeknya yang baru dan godaan mencicil mobil milik sendiri, bukan warisan orang tua.

Di saat-saat seperti ini, biasanya kami akan melihat kepada Rully. Berstatus sebagai penulis lagu utama di band ini, ia memang selama ini kami anggap sebagai pemimpin meski tidak ada perjanjian resmi. Ibarat kapten dalam tim sepakbola saja. Maka, itu pula yang kami lakukan saat ini, mata kami semua menyorot kepadanya.

Ia balik menatap kami satu persatu. Dari sinar matanya, dan secuil senyum yang tersungging di sudut kanan bibirnya, kami mengerti.

***

Malam belum lama turun, tapi udara dingin di Hutan Pinus Cikole terasa sudah begitu mendekap. Gig Mutasic sudah dimulai sejak sore tadi, sejak matahari mulai bersandar di ufuk barat, mengurangi intensitas sinarnya yang terik. Sapuan kuning keemasan pada langit, yang pendarnya mengintip lewat celah-celah deretan pohon pinus, kini telah berganti menjadi pijar-pijar lembut lampu ornamen venue.

Setelah beberapa teguk air mineral botolan, aku mengajak rekan-rekan band-ku menuju panggung. Tapi jangan bayangkan panggung yang besar dan tinggi. Festival musik ini, layaknya beberapa acara serupa lain yang dihelat di tengah alam hijau, sengaja diset agar terasa begitu dekat dengan audiens. Panggung kami kali ini, meski terasa cukup lega, tingginya hanya sekitar lutut orang dewasa.

“Ingat, jangan sampai miss di lagu-lagu spesial kita, ya,” ujarku dengan mengangkat kedua lengan di depan wajah, kemudian menekuk jari-jari telunjuk dan tengah, membentuk tanda kutip pada ucapan lagu-lagu spesial.

“Siap, Rul,” jawab Yudi diikuti yang lain. Sambil mengatakannya, aku melihat ia mengedipkan sebelah matanya.

Di atas panggung sebelum lagu pertama kami mainkan, aku menyempatkan diri memeriksa lembar setlist, yang seperti biasa ditempel menggunakan lakban dekat kaki standing mic untuk vokalis. “Sip, lengkap,” pikirku.

Festival Mutasic ini kami jadikan sebagai ajang teaser album baru The Caramels yang tak lama lagi dirilis. Untuk pertama kalinya lima lagu baru kami, di antaranya tiga ‘lagu spesial’ yang mengandung formula magis, kami perdengarkan kepada publik yang hadir.

Di antara mereka, aku melihat Ana, salah seorang perempuan fans kami, duduk di kursi kayu panjang barisan depan. Kami mengenalnya pada sebuah intimate gig pada masa The Caramels awal-awal manggung. Sejak saat itu ia hampir tak pernah absen dari gig kami.

Dua lagu berlalu, ini dia saatnya. “Selanjutnya adalah single baru yang akan ada di album kami yang nggak lama lagi rilis. Kalian bakal jadi orang pertama yang mendengarkannya,” aku mendengar suara vokalisku berkomunikasi dengan penonton, kemudian disambut riuh rendah oleh mereka.

Seiring melantunnya lagu tersebut, aku bisa melihat di hadapanku gambar-gambar kabur, kemudian warna-warna kelam, simbol-simbol aneh, juga tentunya sesosok bayangan.

Di akhir setlist, setelah dua lagu encore kami selesaikan, ternyata penonton masih meneriakkan “we want more! Lagi! Lagi! Lagi!”

Aku menghampiri masing-masing personel band-ku, meminta persetujuan mereka, kemudian mengambil alih mic utama. “Oke, spesial buat kalian yang sudah datang, kami akan bawakan satu lagu rahasia sebelum pamitan. Lagu ini baru beberapa kali kami coba di studio, jadi mohon maaf kalau masih terasa mentah, tapi mudah-mudahan bisa kalian nikmati,” kataku kepada penonton.

Dengan perasaan deg-degan aku mulai memainkan intro lagu tersebut. Aku melihat perasaan yang sama dari raut wajah rekan-rekanku. Ini adalah lagu yang kutulis belakangan, dengan komposisi musik mengandung formula magis terbaru yang punya efek gangguan lebih berat terhadap kesehatan mental.

Kami belum tahu mimpi buruk seperti apa yang bakal dihasilkan. Yang jelas, penderitanya kemungkinan besar membutuhkan pertolongan psikiater dan obat-obatan.

Bagaimanapun, aku mencoba lebih konsentrasi pada permainan basku dan menikmati suasana, demi menyajikan pertunjukan terbaik bagi para penonton di depanku, agar mereka bisa menikmati healing sebaik mungkin di tengah hutan pinus ini.

Healing demi kesehatan mental.

Dari dalam hati aku menertawakan mereka.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Misteri
Cerpen
Musik dan Teror Mimpiku Menertawakanmu
Ryan Esa
Cerpen
Sore Terakhir di Kaliwungu
Penulis N
Cerpen
Bronze
Bayangan Reno
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Dua Kisah dalam Satu Taring
Andriyana
Novel
Kisah Protokol X
Penulis N
Novel
Bisikan dari Masa Lalu
Adnan Fadhil
Cerpen
Bronze
Sepucuk Surat dari Masa Lalu
Fahri Nurul A'la
Flash
Bebek bertelur emas
Mahmud
Cerpen
Bronze
Saya Adalah
Aneidda
Novel
The Game After Married
Mustofa P
Cerpen
Bronze
Rawa Bakau dan Misteri Pemburu Biawak
Habel Rajavani
Cerpen
Bronze
Lembah Berhantu Ambrose Bierce, penerjemah : ahmad muhaimin
Ahmad Muhaimin
Flash
Bronze
The Quantum Chronicles: Gateway to Infinity
Maria Septian Riasanti Mola
Cerpen
Temani Aku Malam Ini
adinda pratiwi
Cerpen
Bronze
Melawan Waktu: Satu Langkah ke Depan
Dian Herdiawan
Rekomendasi
Cerpen
Musik dan Teror Mimpiku Menertawakanmu
Ryan Esa
Cerpen
Jangan Mati Dulu, Dong, Bruh
Ryan Esa
Cerpen
Royadi dan Jin Ifrit dari dalam Kendi
Ryan Esa
Cerpen
Suara Gemerincing Kereta Kencana Misterius Melaju Membelah Malam
Ryan Esa
Flash
Seplastik Anggur Merah yang Dioplos Keinginan Insaf
Ryan Esa
Cerpen
Pembunuhan di Indomarket
Ryan Esa
Cerpen
Insta Story Harga Mati
Ryan Esa
Cerpen
Sepenggal Zaman Terhenti di 2025
Ryan Esa