Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
CTAK!!!
Bunyi perangkap tikus yang menggencet tikus gendut malang itu.
Seperti balon berisi air, badan gendutnya pecah terburai, berwarna merah, muncrat mengotori lantai dan dinding rumah Juna.
Juna bergidik jijik, pemandangan kematian tikus got itu membuatnya mual, ia alihkan pandangannya, matanya menangkap ekspresi Ibu yang berbinar melihat bangkai pengerat itu. Ibunya nampak puas, seperti supporter bola yang kegirangan setelah tim jagoannya berhasil memasukkan bola ke gawang.
“Nahhh! Kena juga satu!!”
Juna mengernyit, mau tak mau kembali melihat tempat tragedi mini di ruang tengah rumahnya, mereka ulang adegan si tikus mati. Sebuah celah kecil di dinding ruang tengahnya yang retak jadi akses masuk si tikus gendut dari rumah tetangganya ke ruang tengah rumah Juna. Perangkap berbentuk kubus dari kawat diletakkan di dekat akses masuk si tikus. Perangkap itu dilengkapi umpan dan alat eksekusi — sebuah batu pemberat sekitar dua kilo yang dikaitkan dengan pintu masuk dan umpan di perangkap, dirakit sendiri oleh Bapak.
“Nanti itu nggak usah terlalu bersih dibersihinnya, kalau bisa kepalanya digantung di celah sana itu. Biar temen-temennya kapok kalau main ke sini!”
Juna menghela napas panjang. “Nanti busuk bu, baunya.”
“Nah ya itu buat jadi penanda buat temen-temennya, kamu ini gimana sih!”
Juna hanya bisa mengiyakan setengah hati. Ibunya enak saja main suruh-suruh, bagian bersih-bersih Juna lagi yang kena. Tapi mau bagaimana lagi, Juna hanya bisa patuh. Ibu dan Bapak sudah punya bagiannya. Bapak bertugas membuat perangkap dan Ibu bagian mengomeli tetangga yang rumahnya disinyalir jadi kerajaan sarang tikus.
*
Menjelang Maghrib, Juna baru membuang kantong plastik berisikan mayat tikus di tong sampah besar depan rumahnya saat melihat seorang pria tua berjalan dari arah gang. Pria tua itu berumur sekitar 80-an, terseok-seok, memanggul karung di pundaknya yang entah berisikan apa. Pria tua itu adalah tetangga Juna, tembok rumahnya tepat berdempet di sebelah kanan rumah Juna. Pria yang jadi biang kerok masalah tikus di rumah Juna.
Pria tua tetangga Juna itu bernama Karmin dan biasa dipanggil Mbah Min. Baru dua bulan Juna sekeluarga tinggal di samping rumah Mbah Min, dan itu adalah dua bulan yang sama sekali tidak menyenangkan. Mbah Min tinggal sendiri dan dari tetangga lainnya, tak pernah ada yang tahu sanak saudara pria tua itu.
Tetangga-tetangga sekitar tak ada yang suka dengan Mbah Min, sekedar sapa atau kirim berkat makanan ke rumahnya pun tak sudi. Beralasan, Mbah Min tipikal pria tua keras kepala yang suka marah-marah dan anti senyum. Terlebih kebiasaan Mbah Min, menimbun barang di rumahnya. Sembarang dia bawa ke rumahnya, sampai penuh halamannya dengan berbagai macam benda yang memang tepat disebut sampah, ada botol, kardus, TV, lemari, plastik-plastik, sofa, boneka, baju dan lainnya. Rumah Mbah Min cukup luas, memiliki halaman yang bisa memuat dua mobil jika diparkir di sana, namun nyatanya dipenuhi oleh benda-benda lusuh yang ditemukannya entah di mana. Halamannya diberi terop plastik, seakan Mbah Min terlalu sayang rongsokannya, tak ingin barang-barangnya ternodai matahari pun hujan.
Benda-benda yang ditimbun itu ternyata mengeluarkan bau, seperti bau apek, bangkai, dan aroma sampah yang asam dijadikan satu. Bau itu menguar ke jalan dan bau Mbah Min sama seperti rumahnya, tambah alasan lagi tetangga ogah menyapa manusia renta itu.
Pagar rumah Mbah Min reot namun kokoh tak pernah roboh, mirip seperti kekeras kepalaannya. Sudah berulang kali warga meminta Mbah Min untuk mengurangi timbunan barang-barang di rumahnya karena baunya yang mengganggu. Seperti bisa diduga, Mbah Min marah luar biasa. Sumpah serapah keluar begitu lancarnya dari mulutnya yang ompong, jelas dan menyakitkan jika didengar. Mbah Min tak sudi barang-barangnya disebut mengganggu, pun kenyataan bahwa barang yang ia timbun membawa binatang-binatang lain membuat pemukiman di rumahnya. Kecoak, lalat, kadal, laba-laba, kucing, juga tikus.
Tikus-tikus itulah yang mulai mengganggu kedamaian rumah Juna karena ternyata mereka bisa masuk dari celah tembok yang menghubungkan rumah Juna dengan rumah Mbah Min. Tikus-tikus itu gendut, makan apa saja, gesitnya minta ampun. Perangkap yang sudah dipasang Bapak dua bulan lalu cuma berhasil menangkap satu tikus gendut yang malang.
Juna terus memperhatikan Mbah Min sampai pria tua itu sampai di depan rumahnya sendiri, membuka pagarnya yang tak digembok, masuk terseok-seok ke halaman. Sejenak, Juna memperhatikan gaya berpakaian Mbah Min. Kemeja dimasukkan ke celana kain yang gombrong, sepatu kulit yang terkelupas di sana-sini, serta topi berwarna biru yang kini lebih cocok disebut abu-abu. Sabuk kulit warna hitam melingkar di pinggangnya yang kurus.
Rapi benar, pikir Juna.
Juna memperhatikan dirinya sendiri. Sandal jepit yang warnanya abu-abu hampir ke hitam karena tak pernah dicuci di kakinya, kaos oblong kumal milik Bapak yang asal ia pakai sehabis mandi selepas kuliah, juga celana pendek gombrangnya yang compang-camping. Ia lebih gembel dari Mbah Min yang jadi musuh tetangga-tetangganya.
*
Minggu siang, Juna menyibukkan diri di halaman rumah, berkebun seadanya. Ia cabuti rumput-rumput liar di sekitar tanaman tomat, seledri, lidah buaya, serta tanaman lain yang ia tanam dengan tangannya sendiri. Berkebun jadi salah satu kegiatan favoritnya, terutama ketika uangnya terlalu pas-pasan untuk ikut nongkrong bersama teman kuliah di hari libur.
Selama dua bulan tinggal di sana, Juna hampir hapal kebiasaan Mbah Min. Mbah Min punya jadwal rutin, berangkat dari rumah jam delapan pagi dan pulang pukul lima sore dengan pakaian yang rapi, mirip jadwal kerja orang-orang kantoran. Pakaian Mbah Min meskipun banyak pudar, sepatunya terkelupas, namun baju dan celananya selalu tersetrika rapi, agak kontras dengan rumahnya yang jadi sarang pengerat, serangga dan hewan-hewan liar, serta bau Mbah Min yang terlalu mirip rumahnya.
Tiap hari Mbah Min keluar rumah, kecuali hari Minggu. Di hari Minggu Mbah Min akan duduk di teras rumahnya, di atas sofa lapuk berwarna hijau yang Juna yakin adalah barang bekas yang dipungut Mbah Min seperti barang-barang lain di rumah pria tua itu. Sambil duduk, Mbah Min akan membaca koran, menyeruput kopi dari gelas plastik, sesekali melihat sekeliling dan mengangguk-angguk, seakan amat puas dengan pemandangan rongsok di sekitarnya.
Diam-diam ini jadi kebiasaan baru buat Juna, memerhatikan Mbah Min dari pagar besi rumahnya.
Kakek nenek Juna sudah meninggal, baik dari keluarga Bapak atau Ibu, sehingga ia belum pernah merasakan jadi seorang cucu. Mbah Min adalah sedikit dari manula yang pernah tinggal berdekatan dengan Juna, dan mengobservasi Mbah Min dari jarak aman ternyata seru juga.
Mbah Min punya kebiasaan mengusap-usap bagian atas bibirnya, tempat biasanya kumis tumbuh, tapi Mbah Min tidak punya kumis pun janggut. Rambutnya putih, lurus dan agak tebal untuk manusia seumurnya. Kulitnya cokelat berbintik-bintik khas orang tua, kakinya yang jarang terekspos matahari berwarna kuning langsat cerah yang pucat. Hari Minggu pakaian Mbah Min santai, kaus partai usang warna putih penuh noda kuning, celana panjang, dan sandal jepit mirip seperti yang dipakai Juna.
Juna menyadari timbunan barang di rumah Mbah Min makin banyak, yang anehnya barang-barangnya tampak tidak terlalu usang dari yang biasa terlihat, bahkan bisa disebut agak terlalu baru untuk barang bekas yang tak lagi dipakai orang-orang.
Mbah Min mungkin berprofesi jadi pemulung, yang bisa dinilai amat professional karena jadwal rutinnya tiap hari. Mungkin juga Mbah Min dikirimi uang dari keluarganya, karena membayangkan pria renta sendirian berusaha menyambut hidup dengan memulung sangatlah menyedihkan. Itulah alasan kadang Juna suka memberi Mbah Min sedikit makanan, sedikit lauk dan nasi buatan Ibu diam-diam. Diam-diam, karena Ibu sungguh muak dengan Mbah Min.
Juna selesai dengan rumput liar di sekitar tanamannya, berdiri, kesemutan di kakinya karena kelamaan jongkok. Mbah Min masih duduk di sofa, mukanya tertutup koran. Perhatian Juna tertuju pada jemuran lipat dari besi yang teronggok di samping kiri Mbah Min. Kerangka jemuran masih utuh, cat peraknya mengilap kena matahari, itu salah satu benda yang agak terlalu bagus untuk dianggap bekas, rongsok, hasil mulung. Dari tempatnya, Juna bisa melihat ada stiker bebek warna merah di salah satu kerangkanya. Stiker bebek warna merah yang tak asing pernah dilihatnya di rumah Doni, salah satu teman mainnya di komplek ini.
*
Ibu pada Mbah Min tak ada hormat sama sekali. Kata Ibu sih, hilang respect.
Sebelumnya, Ibu masih bersikap segan pada Mbah Min, sekedar menganggukkan kepala saat bertatapan, memberi lauk atau jajanan dan masih berusaha tersenyum meskipun ditanggapi amat kecut oleh Mbah Min. Sikap Ibu berubah di bulan pertama mereka tinggal di rumah baru, tepat waktu syukuran ulang tahun Ibu di usianya ke 56, juga pertama kalinya saat Ibu berusaha menyampaikan ketidaknyamanan atas bau dari barang timbunan Mbah Min.
Ibu melewati timbunan di halaman rumah Mbah Min, mengetuk pintu. Mbah Min keluar dengan wajah cemberut, jelas terganggu, matanya lebih tertarik pada piring di tangan Ibu.
“Ini Mbah, ada nasi kuning syukuran ulang tahun saya, dimakan ya.”
Mbah Min menerima piring nasi kuning beserta lauk, cemberut, tidak menatap Ibu.
“Em, Mbah Min mohon maaf apa bisa ya sampahnya dibersihkan sedikit? Karena baunya sampai rumah saya, tadi tamu-tamu pas di acara saya juga mengeluh. Baunya juga sampai jalan, agak kurang gimana gitu kan kalau misalnya ada tamu dari jauh.”
Mata Mbah Min akhirnya menatap wajah Ibu, tatapannya nyalang, seperti hewan buas. Yang terjadi selanjutnya benar-benar membuat Ibu kapok — trauma. Mbah Min melempar piring kaca dengan nasi kuning beserta lauk pauknya yang segera nyaring bunyinya pecah di atas lantai semen halaman Mbah Min.
“Sontoloyo! He, kutu kupret! Kamu pikir bedebah kayak kamu bisa hina saya pakai nasi kuning mirip makanan anjing gini?! Kamu pikir kamu siapa? Setan perempuan! Keluar dari sini kalo cuma mau hina saya!!”
Ibu melongo-longo di tempatnya. Liur Mbah Min muncrat ke mukanya, tapi yang terasa cuma sakit di dada. Mbah Min masuk ke dalam rumah, Ibu pulang, bermuka merah, matanya berkaca-kaca. Sampai rumah, Juna yang kena balas amarahnya.
Itu cerita bulan lalu, lain lagi pagi tadi.
Juna baru datang dari kampus selepas kuliah yang selesai pukul 5, langsung berniat ingin santai di ruang tengah sambil nonton TV, sudah lupa akan tragedi tikus tergencet di sudut yang membuatnya jijik tempo hari, saat Ibu sedang bicara dengan Bapak di ruang tamu, bersungut-sungut. Suara Ibu masih terdengar sampai ruang tengah, saking semangatnya ia bicara.
Iseng, Juna ikut dengar juga.
“Mbah Min makin parah, sekarang berani ambil barang-barang tetangga yang nggak dibuang. Jemuran Bu Sri diangkut, tadi pagi cekcok mereka.”
“Kamu kok tau?”
Ibu makin semangat cerita. “Ya mereka tengkar di sebelah, kupingku ikut panas juga. Kudukung lah Bu Sri, masa jemuran bagus sampe dicuri. Mbah Min marah, bilang kalo jemurannya ditaruh di depan pagar dari lama, nggak dipake-pake. Mbah Min kira sudah dibuang.”
Ibu minum satu teguk air putih lalu melanjutkan.
“Nah, habis ketahuan sama Bu Sri, Mbah Min ngelempar jemuran itu ke luar pagar rumahnya. Dilempar lho pak! Dilempar! Aku ikut marah, Bu Sri malah bilang nggak apa, kita yang muda disuruh ngalah soalnya Mbah Min sudah tua. Tapi ya masak kayak gitu, nggak ada adabnya.”
Juna terkekeh. Benar dugaannya kemarin, jemuran itu punya ibunya si Doni. Cuma Doni yang bisa buat stiker bebek warna merah sejelek itu. Juna mengambil remot TV, mengeraskan volumenya.
*
Persoalan Mbah Min ambil jemuran Bu Sri makin panas. Katanya Mbah Min bukan cuma mengambil jemuran Bu Sri, tapi banyak barang milik tetangga lain yang dipungutnya juga. Barangnya macam-macam, payung Pak Joko, sandal punya anak Bu Marsini, keranjang belanja Bu Hadi, sampai sekotak paku punya Pak RT katanya ikut diambil Mbah Min. Masih banyak lagi barang-barang yang diambil Mbah Min, yang jika disebut satu-satu sama saja seperti sedang mendata akte kependudukan plus inventaris tetangga sekompleks.
Perbincangan tentang Mbah Min ada di mana-mana, terdengar saat ibu-ibu belanja di bakul sayur Pak Surya, di kumpulan bocah yang asik main game di ponsel masing-masing, hingga warung tempat Juna biasa beli rokok. Orang-orang tampaknya mulai kesal dengan Mbah Min, satu-satunya manula di kompleks itu.
Di warung bapak-bapaklah yang bergosip, tak kalah asik.
“Mungkin memang perlu dikasih tahu baik-baik pak, orang tua kan sensitif.”
“Halah, dikasih tahu gimana. Pak RT tadi sore nanya baik-baik apa kotak pakunya boleh diambil. Lah, Mbah Min ngamuk, katanya suruh cari sendiri kotak pakunya kalo memang terbukti dia yang ambil. Dia merasa dituduh, merasa nggak ngambil! Padahal si Hanum yang lihat pakai mata kepalanya sendiri, si Mbah Min itu ambil kotak paku Pak RT siang-siang!”
“Iya! Bayangkan, mau gimana cari kotak paku di timbunan sampahnya yang kayak gunung itu? Ya gak bakal ketemu! Mbah Min itu ya cuma alesan aja!”
“Tapi memang lho, Mbah Min itu kayak gitu. Ngotot, nggak mau salah, susah!”
Juna membayar rokok yang ia beli, tak sengaja refleks ikut mengangguk-angguk menguping pembicaraan bapak-bapak itu. Seminggu ia fokus karena tugas kuliah dan belum melihat Mbah Min secara langsung, hanya mendengar gosip panas tentangnya. Dalam hati ia bertanya-tanya, ada apa dengan Mbah Min kok sekarang jadi penjarah kompleks begini?
*
Jangan lihat buku dari sampulnya.
Kalimat yang hampir basi saking seringnya Juna lihat dan dengar dari orang-orang atau seliweran di media sosial. Kalimat yang sekarang sedang dibacanya di layar HP, yang langsung mengingatkannya pada Mbah Min.
‘Sampul’ Mbah Min memang tidak karuan, ditambah obrolan warga kompleks tentang Mbah Min akhir-akhir ini. Pria tua itu sebenarnya tidak begitu buruk, menurut Juna, setelah terhitung hampir sepuluh kali ia membagi makanan ke Mbah Min. Mbah Min bisa mengucap kata ‘terimakasih’ dan kadang saat tatapannya bertemu Juna, ekspresi kerasnya melunak. Juna belum pernah melihat Mbah Min tersenyum, ia juga belum pernah mengobrol dengan Mbah Min. Hanya beberapa kalimat percakapan mereka:
“Ini Mbah, ada makanan untuk makan siang. Dimakan ya.”
“Terimakasih, nak.”
Itu saja. Satu dua kalimat pembuka dari Juna dan satu ucapan terimakasih datar dari Mbah Min. Tapi setidaknya, dari secuil percakapan dan ekspresi samar Mbah Min, Juna yakin bahwa Mbah Min masihlah manusia.
Sore ini Juna sedikit bertekad ingin bertemu Mbah Min, mencoba untuk menggali kebenaran atas pembicaraan warga tentang pria tua itu akhir-akhir ini. Lebih karena penasaran, juga waktunya lengang sore ini, juga mengusir penat dari tugas kuliah yang akhirnya selesai tadi pagi.
Sore itu sejuk, hujan turun siang tadi, tak deras hingga tidak meninggalkan genangan berlumpur, namun cukup deras untuk menyisakan tanah lembab dan udara dingin bekas hujan.
Pukul 5 Juna duduk di teras rumahnya, di atas lantai. Memainkan HP, matanya sesekali mengawasi jalanan kompleks, menunggu Mbah Min tiba. Tak lama, mungkin sekitar dua menit setelah tepat jam 5, Mbah Min terlihat.
Ada yang berbeda dari Mbah Min. Jalannya pincang, kaki kanannya seperti ia seret sambil berjalan, jalannya lambat, dan ia tampak lebih ringkih dari biasanya. Di pundaknya seperti biasa ada karung. Karungnya tak terlalu penuh, tapi jelas ada isinya.
Sebelum Mbah Min sampai di depan rumah, Juna masuk ke dalam, mengambil piring isi tempe goreng yang penuh, yang ia goreng sendiri. Ia berniat ngobrol panjang dengan Mbah Min.
Di luar, Mbah Min baru masuk halaman rumah, meletakkan karung di teras lantai. Juna mengambil napas panjang.
“Permisi, Mbah.”
Juna masuk pekarangan rumah Mbah Min. Mbah Min yang sedang duduk di atas sofa di teras sambil membuka sepatu kulit, mendongak, melihatnya. Tatapannya tertuju pada tempe goreng Juna.
Juna mendekat.
“Ini ada tempe goreng, buatan saya. Dicoba ya Mbah.”
Jelas, raut Mbah Min cerah. Mbah Min menerima piring itu.
“Terimakasih.”
Mbah Min berdiri di tempatnya hendak masuk ke dalam rumah.
“Kaki Mbah Min sakit?” Juna memberanikan diri, berusaha keras agar terdengar tak lancang.
Mbah Min berhenti, melihat kakinya sendiri lalu melihat Juna. Mereka bertatapan, Mbah Min seperti sedang menimbang-nimbang. Mbah Min mengoper piring tempe ke Juna, berjalan — bukan ke arah pintu, melainkan mengambil kursi plastik kusam dekat timbunan barangnya, memiringkan kursi agar air yang sedikit menggenang di permukaannya jatuh. Mbah Min terseok, membawa kursi dan meletakkannya di samping sofa kesayangannya.
“Duduk.”
Mbah Min mengambil kembali piring tempe dan merebahkan tubuh ke sofa. Ada bunyi pelan dari arah sofa, menandakan rentanya benda itu.
Juna duduk, agak salah tingkah tak berani memandang Mbah Min, ia memandang ke depan. Ke arah timbunan barang Mbah Min. Ia terkesiap, pemandangan timbunan nampak tak buruk juga. Mengingatkannya saat kecil pada permainan bersama sepupunya, berusaha menumpuk barang lebih tinggi dari yang lain, barang-barang yang diambil sekenanya yang membuatnya terkena omelan Ibu karena membuat berantakan isi rumah. Timbunan milik Mbah Min terasa seperti sebuah dinding atau bahkan benteng, yang menjaga mereka dari dunia luar, dunia luar pagar rumah Mbah Min. Rumah Mbah Min yang tak bermanusia kecuali mereka berdua terasa penuh, ramai dan anehnya menenangkan. Juna penasaran, apa memang Mbah Min juga merasa begitu? Timbunan barang melindunginya dari dunia luar. Dari tetangga-tetangga yang membencinya.
Mbah Min mengunyah tempe, terdengar suaranya kecil, menikmati tempe. Juna diam, menunggu.
“Tertabrak gerobak sampah bermotor minggu kemarin.”
Suara Mbah Min dalam, terasa kering namun tegas. Mbah Min berselonjor, melegakan kedua kakinya, menunjuk kaki kanan dengan tempe di tangannya, mulai bercerita.
Ternyata Mbah Min banyak omong. Juna hanya bertanya empat kata, dijawab Mbah Min amat panjang, penuh cerita, hampir bersemangat dan anehnya enak didengar. Nada bicara Mbah Min seperti seorang narator, bernada naik turun, beremosi cukup dengan jeda ambil napas yang pas. Juna agak terperangah, sebelumnya menduga Mbah Min akan bercerita terengah-engah seperti kehabisan napas, sengau, kering yang mungkin membuat Juna harus bersabar untuk lama-lama menguatkan telinga saat dengarkan cerita Mbah Min. Ternyata tak begitu. Untung saja.
Juna memang seringnya melihat dan mendengar versi Mbah Min yang terlibat adu mulut, adu makian, dan sumpah serapah, bukan versinya seperti sekarang.
Tutur Mbah Min, Rabu minggu lalu tepat pukul satu siang waktu hari panas-panasnya, kaki kanannya terlindas roda gerobak sampah yang gerobaknya penuh isinya. Gerobak itu jelas berat dengan muatan sampahnya, membuat kaki renta nan rapuhnya terasa remuk. Sehabis memaki-maki petugas kebersihan yang mengemudikan gerobak sampah sialan itu, seorang pria umur dua puluhan yang sedikit lebih tua dari Juna, Mbah Min ditawari ke rumah sakit. Pria muda itu berhati nurani, sebut Mbah Min, meminta maaf sampai setengah bersujud di aspal jalan yang panas. Pria muda itu kumal, baju dan mukanya lebih kotor dari Mbah Min ditambah bau sampah di gerobak yang makin kuat kena sinar matahari, Mbah Min jadi ogah buat dijadikan objek sujud pria muda itu.
Mungkin maksudnya kasihan, pikir Juna.
Kejadian itu bertempat di kompleks sebelah, di depan lapangan bola yang sedang sepi.
“Ya, daripada dibawa ke rumah sakit, pakai biaya juga, mending biayanya ya buat saya. Sama saja kan. Uang ganti rugi mending buat makan. Makan lebih penting daripada ke dokter. Dokter mana bisa kasih saya makan.”
Jadinya, petugas kebersihan yang disebut berhati nurani itu memberi uang ‘kesehatan’ pada Mbah Min. Selembar seratus ribu dan lima puluh ribu, katanya cuma segitu uang yang ada di kantongnya. Pria muda itu juga sempat mengantar Mbah Min ke apotek, minta ke perawat yang ada untuk memeriksa kaki Mbah Min. Mbah Min menolak, dia cuma mau beli minyak urut saja dan diantar ke rumah. Jadilah Mbah Min pulang dengan uang seratus dua puluh ribu — tiga puluh ribu buat beli minyak urut, sedikit hasil memulung di karung, minyak urut, serta kaki kanan yang agak remuk.
Sakit kakinya baru terasa besok dan seharian Mbah Min di rumah, mengolesi kaki dengan minyak urut tiap satu jam sekali. Seharian dia hampir tak bisa jalan, ke kamar mandi hampir ngesot. Setengah hari Mbah Min berpuasa, sore dia terpaksa keluar rumah beli makanan di warung karena lapar lebih menyiksa dari nyeri di kaki.
Malamnya Mbah Min terbiasa dengan kakinya dan besoknya sudah bisa mulung lagi. Namun, dia tak kuat jalan lama dan jauh. Jalannya lebih lambat ditambah kadang dia tersandung dengan kaki kanan yang goyah, makanya teritori mulungnya pun dipersempit, hanya di kompleks ini saja.
“Mbah, kalau sudah dapat barang-barang gitu biasanya apa langsung ditimbang atau ada yang disimpan?”
Juna masih belum siap menanyakan omongan tetangga tentang Mbah Min, jadi topiknya ia alihkan ke hal yang memang ia penasaran dari lama. Mbah Min ini mulung untuk dijual atau untuk ditimbun saja?
“Tergantung,”
Mbah Min mengambil sebuah lampu tidur usang yang sudah putus kabelnya, warnanya putih bergambar awan-awan. Saat baru mungkin lampu itu bagus, dasarnya terbuat dari kayu tidak termakan rayap.
“Ini lampu mirip punya ibu saya dulu, di kamarnya. Nggak saya timbang atau dijual. Itu,” Mbah Min menunjuk sepatu anak yang amat kecil, mungkin untuk balita umur tiga tahun. Sepatu itu ditaruh di atas sebuah rak kayu usang dengan beberapa benda lain. Sepatu itu berwarna biru, pudar, namun jelas dirawat karena nampak bersih tanpa debu apalagi lumpur. “Mirip kayak sepatu anak pertama saya yang meninggal karena diare dulu.” Nada Mbah Min tidak berubah, membahas anaknya yang meninggal pas kecil itu. Ada rona sedih, tapi tidak begitu muram, seperti narator yang menjaga jarak untuk ikut masuk ke tragedi perasaan tokoh yang memainkan peran itu.
Mbah Min selanjutnya menunjuk-nunjuk. Banyak benda di situ ada ceritanya, warna-warni. Senang, sedih, amarah, penuh tangis, haru. Penuh dengan simbol emosi serta cerita masa lalu. Benda-benda itu bukan pekuburan memori, bukan. Lebih semacam memoriam, mengenang kisah yang pernah ada dan dinikmati dari jarak aman, mengagumi tanpa terjerumus masuk ke dalam.
Saat itu Juna menyadari sesuatu. Dari tempat ia dan Mbah Min duduk, benda-benda itu ditata, walaupun tidak rapi, namun jelas untuk bisa dilihat ciri-ciri khususnya. Ada yang ditaruh di rak kayu seperti sepatu balita tadi, yang sepertinya memiliki memori emosi yang dalam, yang dulu mungkin menjerumuskan. Seperti sebuah radio jadul berwarna perak yang sekarang cocok untuk masuk museum, kata Mbah Min itu benar-benar mirip seperti radio pertamanya waktu dia lulus SMA yang diberikan oleh cinta pertamanya yang nikah duluan, mencampakkannya. Ada juga teko kaca bening dengan ukiran bunga yang sudah pecah di sisi kanannya, mustahil untuk bisa digunakan. Kata Mbah Min sisi yang pecah itu mirip dengan teko yang dihadiahkannya ke istrinya saat pertama kali ia punya uang untuk menghadiahi istrinya sesuatu. Teko milik istrinya pecah sebulan kemudian saat mereka cekcok pertama kali di pernikahan mereka, pertama kali juga ia dan istrinya menangis saling minta maaf. Istrinya meninggal saat masih 38 tahun, saat anak keduanya masih 7 tahun. Anak keduanya meninggal sepuluh tahun lalu.
Mbah Min bercerita tentang museum di halaman rumahnya, Juna terhanyut. Tugas kuliahnya ia lupakan. Hujan siang tadi juga. Bau mengganggu Mbah Min dan rumahnya tak lagi ia cium. Di kepala dan mata Juna hanya ada bayang-bayang cerita memori Mbah Min, menari-nari, berteater di imajinasinya.
*
Juna dan Mbah Min bisa dibilang mulai agak dekat. Mbah Min sudah bisa tersenyum, walaupun tak lebar-lebar amat pun tak kelihatan giginya. Mbah Min kadang berani memanggil Juna, mengajaknya ngobrol meskipun Juna tak bawa apa-apa. Bahkan Mbah Min yang gantian menyuguhkan sesuatu, walaupun seperti sebatang rokok yang hampir layu, yang Juna curiga dipungut Mbah Min sembarangan, meskipun sebatang rokok itu masih utuh, atau segelas kopi instan di gelas plastik yang terlalu manis karena kurang air. Pokoknya Juna jadi teman bicara Mbah Min.
Cerita Mbah Min macam-macam. Tentang pengalamannya memulung, juga tips-tips memulung. Juna mengangguk-angguk seakan ilmu mulung akan diterapkannya suatu saat nanti dan tips Mbah Min amatlah sangat berguna.
Juna akhirnya menyinggung tentang omongan tetangga yang menuduh Mbah Min ambil barang tetangga sembarangan, setelah menimbang-nimbang bahwa mereka sudah cukup dekat.
“Jemuran itu ditelantarkan dari lama. Kena hujan, kena matahari. Barangnya masih bagus, jadi saya pikir daripada nggak guna, ya saya ambil. Lumayan kalau dijual. Lebih berguna jadinya, bermanfaat daripada ditelantarkan.”
Mbah Min juga menyebut sandal anak Bu Marsini.
“Anak itu sandalnya banyak, kalau saya ambil satu dia masih punya lima lagi. Nilai sandal itupun jadi lebih tinggi. Buat saya dia satu-satunya, buat anak Bu Mar dia cuma pilihan, sampingan.”
Kemudian soal paku Pak RT.
“Itu saya iseng, sekaligus saya mau perbaiki lemari sama gantungan saya. Lagipula Pak RT lebih mampu buat beli sekotak paku lagi daripada saya. Terus niatnya saya mau kembalikan karena sekotak kebanyakan, saya cuma butuh tiga. Lah, tapi orang-orang ribut menuduh-nuduh, mengerdilkan. Ya sudah, malas saya. Saya juga terus lupa kotak paku itu saya taruh di mana.”
Juna melirik kotak bertuliskan ‘PAKU SUPER SURYA’ di bagian bawah rak kayu usang di depan mereka. Agak terpojokkan, tapi jelas kelihatan.
*
“Jadi, kamu ajak Mbah Min ke pasar ya. Belikan makanan enak, jajan, sembako juga. Bilang ada dana dari Pak RT, pokoknya kamu bujuk supaya Mbah Min mau,” instruksi Ibu.
Ibu, Bapak, Pak RT dan tetangga-tetangga sepertinya merencanakan sesuatu tentang penjarahan Mbah Min di kompleks. Juna tak tahu apa itu. Ibunya bilang tak ada yang rugi, Mbah Min pasti nanti bakal senang. Rencana itu justru menguntungkan buat Mbah Min, kakek tua yang sendirian dan miskin itu. Rencana itu juga bakal menenangkan warga. Rencana itu dibutuhkan. Mutualisme katanya. Tapi rencana itu harus dilaksanakan biar bisa mutual. Wajib.
“Nanti Ibu belikan laptop baru. Uang tabunganmu buat kamu, biaya beli laptop sepenuhnya dari Ibu sama Bapak, tapi Mbah Min harus tetap di pasar sampai jam 8. Jam 8 baru kamu boleh pulang.”
Iming-iming Ibu boleh juga. Juna sudah menabung buat beli laptop dari setahun lalu sejak laptop lamanya tak jelas keyboardnya. Dia ketik A yang muncul Z, ketik U yang muncul H. Laptop lamanya dianggurkan, rencananya mau ia buang setelah punya yang baru, atau mungkin bakal ia kasih ke Mbah Min, siapa tahu bisa masuk museum di pekarangannya itu.
Jadi pagi jam 6 hari Minggu, setelah sehari sebelumnya sudah janjian, Juna dan Mbah Min berangkat ke pasar. Juna membonceng Mbah Min. Mbah Min sukacita saja, mungkin merasa diajak jalan oleh cucu yang tak pernah ia punya. Juna memakaikan jaket Bapak ke Mbah Min dan mereka menyusuri jalan Minggu ke pasar.
Di pasar Juna menggandeng Mbah Min agar pria itu tak terlalu susah dan lama jalannya. Sembari jalan kaki keliling, Mbah Min terus bercerocos, bercerita-cerita. Tentang hasil mulungnya kemarin. Dia dapat banyak sandal bekas di kompleks mereka.
“Bukan sandal saja sih, alas kaki. Ada bakiak, sepatu juga. Sepatu yang aneh-aneh. Yang ada talinya. Ada juga yang bergambar muka-muka. Ada yang warna kiri kanannya beda. Macam-macam sepatu jaman sekarang.”
Juna tak yakin kalau alas kaki hasil mulung itu sudah dicampakkan pemiliknya.
Juna membelikan jajanan yang Mbah Min mau. Maunya Mbah Min banyak ternyata. 12 macam jajanan dibeli, dua yang dibeli sempat dimakan Mbah Min sisanya disimpan, katanya buat nanti seharian. Habis jajanan, mereka sarapan pecel di pasar. Mbah Min lahap, minta tambah ayam dua kali, minta dibungkuskan nasi uduk juga. Sarapan selesai, Juna mengajak Mbah Min beli makanan ringan, camilan yang lebih tahan lama. Sembako tak jadi beli karena Mbah Min hampir tak pernah masak. Camilan yang dibeli banyak. Satu kardus penuh. Ada juga kopi dan gula, juga permen-permen. Juna periksa uangnya, anggaran dana dari warga sekompleks. Masih cukup buat beli jas hujan, payung, sandal, topi dan satu kemeja baru yang murah. Riangnya Mbah Min. Seperti bocah SD yang diajak belanja buat hadiah ulang tahunnya, terserah mau pilih apa semua dibelikan.
Jam setengah sembilan mereka baru pulang. Matahari tak kelihatan, berawan tapi tak mendung. Cuacanya enak, sejuk seperti suasana hati Mbah Min. Juna merasa enteng juga. Melihat pria tua yang ceria ternyata melegakan dan menyenangkan, bahkan lebih dari saat kencan pertamanya dengan kekasihnya di kampus, perempuan yang mencampakkannya seminggu lalu.
Sampai di jalan kompleks, warga berdiri di depan rumah mereka dengan peralatan bersih-bersih. Kerja bakti hari Minggu. Juna menyapa mereka sopan, Mbah Min sibuk mengelus payung baru di pangkuan. Jalanan kompleks bersih. Sampah kecil tak kelihatan, rumput liar dicabuti, selokan tersumbat lancar airnya dan tempat sampah umum sudah dikosongkan.
Sampailah mereka di depan rumah Mbah Min. Mbah Min di belakang Juna tiba-tiba bergerak-gerak liar. Mbah Min turun nyaris melompat dari motor Juna, Juna hampir kehilangan keseimbangan bareng motornya. Kardus belanjaan terguling, hampir tumpah isi jajanan di dalamnya. Juna memberhentikan motornya segera, memperhatikan Mbah Min yang tersungkur di jalan. Payung yang di tangannya terlempar. Juna parkir, tergopoh mendekati Mbah Min.
“Mbah ada apa? Mbah Min baik saja?”
Mata Mbah Min kosong, menatap rumahnya. Bibir tua tipisnya gemetar, begitu juga seluruh tubuhnya. Tangannya mencengkram celana hitamnya kuat-kuat, menonjolkan urat-uratnya. Mulutnya ompongnya menganga, napasnya tersendat-sendat. Juna melihat arah tatapannya.
Rumah Mbah Min bersih. Pekarangannya yang luas nampak rapi dan terlihat sangat kosong, seperti bukan rumah Mbah Min. Bau tak sedap tak tercium lagi. Pekarangannya sekarang nampak tanahnya, berwarna cokelat tua, hampir tak ada rumput ilalang apalagi bunga. Terasnya ditata rapi, rak usang disandarkan di tembok, tanpa isi, kotak paku punya Pak RT juga raib. Di pojok teras ada sapu, serokan dan juga cangkul, masih baru. Sofa kusam dan kursi plastik masih ada, ditaruh bersebelahan. Bahkan ada meja kayu kecil yang nampak baru ditaruh juga di sana, di atasnya ada teko, gelas dan jajanan seperti siap menyambut penghuninya.
Ibu, Bapak, Pak RT dan tetangga-tetangga berkumpul mendekat. Ternyata sedari tadi sudah mengawasi mereka, bermuka cerah seperti siap tepuk tangan kapan saja. Tepat ketika Ibu berdiri di samping Juna, Mbah Min roboh.
*
“Sakit jantung.”
“Meninggal di tempat.”
“Kasihan ya, keluarganya nggak ada.”
“Mungkin sudah umurnya.”
Suara-suara tetangga. Seperti cuitan burung tak ada hentinya, atau dengung lebah, atau lalat di sekitar rongsokan sampah. Rongsokan yang biasa dibawa Mbah Min.
Mbah Min tewas dengan mata menatap pekarangan rumahnya. Pekarangan tempat timbunan rongsokannya, yang biasanya masih ada di sana. Timbunan yang menggunung, hampir seperti benteng bagi rumah dan bagi jiwanya. Juna sempat melihat tatapan Mbah Min sebelum diangkut ke ambulan. Kosong. Dingin. Matanya nanar melihat ke arah bekas museum memorinya. Museum memori yang dibuang, disingkirkan karena dianggap sampah.
Kata-kata Mbah Min berputar seperti kaset rusak di kepala Juna.
“Kalau saya mati, saya mau bersama benda-benda ini. Melihat mereka. Mereka pengingat saya pernah punya hidup. Punya ibu. Punya bapak. Punya istri. Punya anak. Dulu sekali. Sekarang meskipun saya sendirian, tapi saya punya benda-benda ini. Tentang ini, kamu bilang ya ke bapak ibumu, atau ke Pak RT, atau ke tetangga lain ya. Benda-benda ini keluarga saya. Saya jadi nggak sendirian. Selama saya masih napas, tidak akan saya buang. Buang kalo saya sudah mati.