Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Religi
Muhidin Hampir Ateis
2
Suka
1,994
Dibaca

 

SELEPAS salat Isya, Muhidin tak langsung pulang sebab ada satu hal yang mengganggu pikirannya. Juga gelisah di balik dadanya. Dan malam ini, ia sudah duduk berhadap-hadapan dengan Kiai Salim di beranda masjid. Anak saya mabuk ateis, Kiai! Begitu Muhidin membuka obrolan. Kiai Salim tersenyum dan sedikit tersentak. Kaget juga tiba-tiba mabuk ateis begitu saja.

“Loh, tahu dari mana kalau anakmu mabuk ateis?”

“Sudah kagak mau salat. Dinasihati susah. Pokoknya aneh itu anak. Kemarin, saya sempat lihat buku bacaannya juga bikin merinding, Kiai! Historiopgot, katanya buku tentang sejarah Tuhan. Gimana coba? Saya sekolahin tinggi-tinggi malah belajar begituan. Sejarah Tuhan ... sejarah bapak moyangnya saja kagak tahu!”

“Bagus itu, anakmu lebih tertarik sama Tuhan daripada sama bapak moyangnya.” Canda Kiai Salim tersenyum. “Terus?”

Malah, makin kemari makin terang-terangan, Kiai. Itu anak bikin saya pusing. Akidahnya rusak, dan saya malah hampir rusak juga, Kiai. Debat terus sama itu anak. Pusing!”

“Lantaran?” Imbuh Kiai Salim.

“Jadi, kemarin itu, saya ajak bicara baik-baik. Saya tanya kenapa jadi keblinger seperti itu. Tahu apa jawabnya, Kiai?”

Muhidin geleng-geleng, lalu memijat keningnya. Sejak tadi, Kiai Salim masih diam memperhatikan. Naga-naganya, alih-alih kuatir sama anaknya justru, tampaknya Muhidin lebih resah dengan dirinya. Terbukti, ketika ia meneruskan omongannya. Ia merasa kalah telak debat sama anaknya. Katanya, menirukan omongan anaknya yang mengganggu pikirannya. Muhidin berkata dengan sedikit kesal.

“Kalau memang Allah Maha Kuasa dan berkuasa atas seluruh makhluknya—mestinya, kagak ada yang bisa menolak perintahnya. Coba saja, perintah salat atau perintah puasa saja ... masih banyak yang melanggar begitu mudahnya. Begundal di pasar dan terminal berarti lebih kuat, dong. Kalau bisa bangkang dari apa yang diperintahkan Allah, begitukah?”

Muhidin menepuk pahanya. Kiai Salim tersenyum. Muhidin lalu menambahkan. “Kalau memang dia Raja Semesta dan Berkuasa, mestinya tidak ada yang bisa membantah, dong.” Katanya menguatkan. “Coba itu, Kiai ... bisa apa kepala saya dikasih bogem begitu?”

Kiai Salim tersenyum lagi. Maklum, sekarang ini Muhidin terpantau rajin. Serius beribadah dan selalu berusaha tak neko-neko. Tapi semenjak anaknya dewasa, dirinya merasa terlalu tua buat mencerna yang demikian. Syukur, kampung ini punya Kiai Salim, guru mengaji yang murah senyum, zuhud dan dicintai orang-orang. Meski yang mabuk dan judi masih ada, tapi setidaknya Kiai Salim cukup disegani—bahkan, dikagumi oleh para begundal kampung. Minimal mabuk dan judi berhenti kalau Kiai Salim lewat.

Muhidin, adalah satu dari segelintir begundal kampung yang tobat berkat ketulusan Kiai Salim dalam merangkul. Guru mengaji mana yang melihat orang mabuk-mabukan malah dibagi duit? Guru mengaji mana yang maling kotak amal malah diangkat jadi marbot masjid? Begitulah relasi antara Muhidin dan Kiai Salim.

Kiai Salim lalu berkata, “Jadi kamu gelisah lantaran masih ada oknum yang bangkang dan melanggar perintah Allah?”

“Saya minta pencerahannya, Kiai.”

“Saya izin ambil rokok dulu di sana, boleh?” Baru saja Kiai Salim mau beranjak dari duduknya, Muhidin lekas-lekas menuju sudut beranda di kolong tangga. Tempat biasa jamaah menyimpan rokok dan koreknya. Kopi, gula dan teh serta air panas setrum juga tersedia di pojok sana. Muhidin menawarkan.

“Boleh, kopi saja.” Kiai Salim menjawab. Muhidin cekatan meracik dua cup kopi, lalu kembali ke obrolan. “Terima kasih,” kata Kiai Salim.

“Begini,” Kiai Salim menyulut rokok dan menyesap dengan satu sesapan yang nikmat. Asap-asap kretek itu tidak ditiup, tetapi dibiarkan keluar lembut dari mulut dan hidung. Muhidin menelan ludah, Kiai Salim menyodorkan rokoknya. Muhidin semeringah dan segera meloloskan sebatang.

“Hisap,” kata Kiai Salim, lembut.

Rokok Muhidin sudah menyala, ketika Kiai Salim menyesap kopinya.

“Begini, ada hukum Tuhan. Ada hukum agama. Ada hukum adat istiadat—tradisi. Hukum tradisi, aturan yang berlaku dan disepakati di wilayah tertentu. Kemudian hukum agama, aturan yang berlaku di dalam agama; beda agama beda pula aturan peribadatannya. Terakhir hukum Tuhan, ini hukum dan aturan tertinggi yang dijamin, tidak ada yang sanggup melanggar.”

“Tiga, ya...” Muhidin mengerut kening. Kemudian manggut-manggut, mendengarkan.

“Nah, sekarang yang diprotes itu perintah alias aturan di agama—salat. Peribadatannya orang yang beragama Islam. Salat kok masih bisa dilanggar? Katanya perintah Tuhan? Lebih kuat yang melanggar dong?”

“Begini. Salat itu perintah agama. Berarti orang yang kagak salat melanggar aturan agama, bukan Tuhan. Sebab hukum Tuhan tidak mungkin bisa ditentang. Lalu, mana buktinya perintah Tuhan mutlak dan tidak bisa ditawar?”

“Apa, Kiai?” Muhidin khusuk. Dan entah mengapa, mendengar tutur kiai di hadapannya, kusut otak dan kisruh di dadanya meredam. Adem. Macam masuk ke Indomaret saat kepanasan di siang bolong. Seketika sejuk. Sejuknya tutur kiai bahkan, menembus ruang-ruang gersang di dalam dirinya.

Kiai Salim meneruskan, “Sampean pernah kebelet kencing? Gimana rasanya?”

“Kagak enak. Sakit. Bahaya malah, kalau ditahan-tahan.” Jawab Muhidin yakin, macam pakar medis yang mengenal seluk-beluk urine.

“Betul. Kita puasa, zakat, sembahyang dan lain sebagainya, itu aturan orang yang beragama. Orang bisa memilih tidak beragama—tapi, tidak mungkin bisa tidak bertuhan.”

Orang bisa memilih tidak beragama tapi tidak mungkin tidak bertuhan. Muhidin mengunyah ulang kalimat itu di benaknya.

“Silakan, kalau tidak mau beragama. Tidak ada paksaan dalam beragama. Tapi sampaikan kepada orang-orang yang memilih begitu. Apa rasanya punya motor tapi tidak ada jalanan? Jalannya—ada. Maka aneh kalau ada orang punya motor tapi, tidak mau menyentuh jalanan.”

“Iya juga, Kiai. Simpel ya.”

“Loh memang simpel. Manusianya saja suka yang rumit-rumit. Jalan beda-beda, motornya juga beda-beda, yang penting pada selamat sampai tujuan. Sudah zamannya, Din. Sekarang orang-orang tidak pakai jalanan buat menempuh perjalanan—ndilalah, malah asyik-sibuk nongkrong di jalanan.”

Mulut Muhidin spontan menganga.

“Sudah, saya pamit duluan.” Ucap Kiai Salim menutup. Muhidin masih berkaca-kaca. Terkagum-kagum. Girang. Mirip bocah punya mainan baru. Ia mengangsur paham dengan apa yang barusan didengar. Tapi gelisah dalam dirinya pudar dan senyumnya sudah kembali terbit sedia kala. Mereka bersalaman. Muhidin menciumi tangan kiai lama sekali, dibenamkan lalu diangkat dan diciumnya lagi, suatu hal yang lumrah bagi seorang santri kepada kiainya.

“Saya milu panjenengan, Kiai.”

“Ke mana?”

Mereka tertawa, lalu tersenyum dan malam itu di beranda masjid, tak jauh dari beduk besar di samping beranda, di bawah langit malam yang terang, dengan bunyi jangkrik bernyanyi di kebun samping, serta dentum detik jam di dalam; menjadi saksi ketika seorang bapak satu anak itu menarik napas dalam sekali, lalu dihembuskan se-per-la-han mungkin, sambil memandangi punggung seorang kiai yang berjalan meninggalkan terang.

Muhidin masih berdiri, lalu tersenyum ganjil. Ya, otak nakalnya kini punya amunisi baru buat menembak mati penyusup di kepala anaknya. “Belajar tahan kencing saja dulu baru bicara kagak percaya Tuhan!” Kata Muhidin, lalu senyum-senyum sendirian. Akidahnya terselamatkan. (*)

 

 

Pamulang, 08 Agustus 2024

 ________

Terima kasih telah mampir dan membaca karya sederhana ini. Semoga kalian selalu dalam kebahagiaan lahir dan batin, mari beri dukungan dengan memberikan komentar dan jangan lupa follow... Tabik!

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)
Rekomendasi dari Religi
Cerpen
Muhidin Hampir Ateis
Barkah Azhari
Novel
Dampar Pesantren
Aviskha izzatun Noilufar
Novel
Bronze
Wanita Pilihan
Julia Rosyad
Novel
Gold
Dan Muhammad adalah Utusan Allah
Noura Publishing
Novel
Gold
Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (Republish)
Bentang Pustaka
Novel
Gold
Jejak-Jejak Islam
Bentang Pustaka
Novel
Gold
Tafsir Al-Quran di Medsos: Mengkaji Makna dan Rahasia Ayat Suci pada Era Media Sosial (REPUBLISH)
Bentang Pustaka
Flash
Karena Kehendak-Nya
Nuzulul Rahma
Novel
Bidadari Bersayap Patah
Tsabbita Filbirr
Novel
Nirhad si Penjaga Sendal
Edelwis Mentovani Diara
Novel
Bronze
365 Hari Bersama Sahabat Nabi
Biru Tosca
Novel
Bronze
Temaram: Ada Cinta di Balik Cinta!
Imajinasiku
Novel
Bronze
Malaikat Bermata Hazel
iqbal syarifuddin muhammad
Novel
Bidadari Langit Pesantren
Moore
Novel
Gold
Al-Masih: Putra Sang Perawan
Bentang Pustaka
Rekomendasi
Cerpen
Muhidin Hampir Ateis
Barkah Azhari
Novel
Bronze
Selalu Ada Cinta dalam Cerita
Barkah Azhari
Novel
Kila & Meri
Barkah Azhari
Cerpen
Bronze
Kiai Salim: Rumah itu Hatimu
Barkah Azhari
Novel
Ajari Aku Jatuh Cinta
Barkah Azhari