Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Woi!” pukulan Raina ke meja kerja gue malah menimbulkan malapetaka baru. Secangkir hot chocolate yang belum sempat gue seduh tumpah dan membasahi berkas-berkas yang baru saja gue print. Memang gue terbangun dari tidur yang kebablasan. Gue merasa fresh setelah di-recharge. Tapi malangnya, pukulan itu membuat meja kerja gue gempa sesaat jadinya ya hancur berantakan.
Sontak gue menegapkan badan dan kepala yang sebelumnya gue topang dengan novel favorit gue. Fokus gue langsung tertuju pada secangkir hot chocolate. Kini cangkir bermotiv bunga edelwis itu hancur berkeping-keping di lantai.
“Aduuh... sori, Tik! Gue nggak sengaja. Niat gue cuma mau bangunin lo doang. Habis lo deep sleep. Pak Leon bangunin aja lo masih molor,” jelas Raina merasa bersalah.
“Serius lo? Pasti bercanda. Lo Cuma nakut-nakutin gue, kan?” gue balik bertanya karena malu dan teramat sangat malu kalau memang benar Pak Leon ngeliat gue tidur.
“Yaah, kita udah sohib begini nggak mungkin gue bercanda dalam hal yang sensitif buat lo,” Raina menyentuh pundak gue.
“Duuh, pasti dia mau nagih berkas-berkas ini. Mampus gue! Gue mesti gimana dong?” gue menggigit bibir. Panik sepanik-paniknya.
“Lo tarik nafas, hembuskan. Tenangkan pikiran. Nah, temui sana Pak Leon. Ok! Urusan cangkir dan meja lo yang berantakan serahin ke gue,” cewek tomboi itu mengedipkan matanya memberi semangat.
Ok. Well. Setelah mengikuti intruksi pakar kebugaran kantor, Raina, perasaan gue sedikit lebih tenang. Gue siap menghadapi si Lion itu. Huft, tapi yang bakal gue hadapin lebih beringas dari si raja hutan. Apalagi tatapan matanya. Mending manjat tower aja gue.
“Rileks, Va!” gumam gue dalam hati.
Sekali lagi gue menarik nafas sebelum membangunkan si Lion.
“Tok, tok, tok,” hening dan hanya suara hembusan standing AC di sudut ruangan. Gue ketuk sekali lagi dengan irama yang sama. Hasilnya pun sama. Nggak ada respon. Atau jangan-jangan sengaja pura-pura nggak dengar. Dari dulu yang paling buat gue kesal ya menuggu. Makanya, gue paling males kalau buat janji. Gue mesti sabar karena kali ini gue yang salah.
Ketukan ketiga terdengar suara yang mempersilakan masuk dari dalam ruangan. Ya siapa lagi kalau bukan suara aungan si Lion. Gue buka pintu perlahan.
“Rileks, Va. Rileks, Va” mulut gue komat-kamit seperti merapal mantra.
“Selamat pagi, Anna! Pagi ini cerah sekali. Suara kicauan burung, tiupan angin pagi yang sepoi-sepoi,” sambut si Lion itu diiringi senyumannya yang diragukan ketulusannya.
Gue paling males banget yang beginian. Kalimatnya penuh dengan ironi. Udah deh, to the point aja. Gue tahu, lo juga tahu kali, ya kita sama-sama tahu kalau ini tu udah siang, terik, kering, nggak cuma tenggorokan, dompet dan saku pun kering. Maklum tanggal tua.
“Maaf, Pak. Kata Raina Bapak mencari saya. Bapak mau ambil berkas-berkas yang Bapak tugaskan kemaren ya, Pak?” tanya gue sopan dan halus.
“Masih butuh jawaban saya?” dia menatap gue sinis. “Begini ya, Zevanna Vantika, dari awal saya angkat kamu jadi sekretaris pribadi saya karena kamu itu mempunyai kharisma. Saya yakin kamu mampu melakukan yang terbaik untuk saya dalam memajukan perusahaan ini. Bayangin lo, seorang direktur menemukan good impression di dalam diri kamu saat first meet. Ini seharusnya buat kamu bersyukur dan tidak menyia-nyiakan kesempatan. Karena ini sangat mendukung untuk kemajuan karir kamu.”
Gue hanya bisa menunduk. Ya menunduk. Apalagi yang bisa gue lakuin selain itu untuk menyelamatkan diri gue dari amukan singa. Diam adalah sikap terbaik. Kalau memang hari ini hari terakhir gue kerja di perusahaan ini, ya gue terima. Toh takdir dan kesuksesan gue bukan di tangan si Lion itu. Lagian gue udah melakukan yang terbaik selama ini. Entahlah. Dia seperti ada dendam atau semacam misi terselubung ke gue.
“Saya tunggu 30 detik. Bawa berkas-berkas itu sekarang juga ke hadapan saya,” titahnya.
“Baik, Pak. Siap!” gue nggak tahu ya mesti berterimakasih, kesal, atau ketawa. Jalan menuju ruangan gue aja yang ada di lantai 3 udah 30 detik. Iya kali kalau gue raksasa. Sekali langkah. Yang buat gue mikir beribu kali, apa mungkin kertas-kertas basah itu yang gue serahin?
Gue lari menuju meja kerja gue secepat yang gue bisa. Kali ini gue mau mengitari Taj Mahal. Siapa yang melakukan ini semua kalau bukan sohib gue, Raina Mazra Dwisari. Gue bakal traktir seblak tu anak sepuasnya habis ngantor.
Gue ambil semua berkas-berkas yang terletak rapi di atas meja kerja gue. Setelah gue cek, semuanya DONE. Dengan pede level 30 gue berjalan menuju ruangan Pak Leon.
“Permisi, Pak,” ujar gue sembari membuka pintu ruangannya.
“Ini, Pak. Semua berkas-berkasnya sudah selesai. Silahkan dicek, Pak,” gue serahin berkas-berkas itu ke Pak Leon. Tuh, makan tuh kertas. Mungkin weekend ini gue bisa refreshing bareng si tomboi Raina. Semoga aja Pak Leon berbaik hati membiarkan gue menikmati hari tenang gue.
“Ok. Good job. Bye the way, besok weekend ya. Kamu lembur ya? Saya ada meeting dengan perusahaan interior besok. Kamu siapkan berkasnya. Nanti saya jelaskan lagi lebih lanjut saat makan siang.”
Ternyata dan ternyata semoga gue nggak terkabulkan. Kenapa sih meeting mesti di luar jam kerja? Apa nggak bisa hari Senin aja?
“Ayo ikut saya!” ajak Pak Leon sembari bangkit dari duduknya dan merapikan kerah kemejanya.
“Aduh, ikut kemana lagi? Jangan-jangan gue mau dibawa ke hotel!? Nggak, nggak,” gue menggeleng membayangkan berita-berita kriminal di televisi. Gue nggak bisa nyembunyiin raut wajah gue yang ketakutan. “Krek, krek,” cacing di perut gue ngasih sinyal kalau ini jam makan.
“Kamu kenapa? Santai dong. Jangan mikir aneh-aneh. Kamu laparkan? Kita hanya pergi makan,” ujar Pak Leon. Hah, kenapa dia bisa merespon seperti itu? Mungkin saja dia ada kemampuan telepati turunan dari nenek moyangnya.
Sepanjang perjalanan menuju parkiran, semua karyawan yang menyaksikan gue jalan berdampingam dengan Pak Leon tercengang. Bisa saja mereka berasumsi negatif ataupun positif. Si singa itu sendiri yang meminta gue jalan di sampingnya.
Sesuai janjinya, memang dia hanya membahas seputar pekerjaan di sela-sela makan siang. Namun, di tengah perjalanan balik ke kantor, bahasannya malah ngelantur. Nggak ada sangkut pautnya sama sekali dengan pekerjaan. Gue mulai nggak nyaman karena dia seolah mengorek kehidupan pribadi gue. Nanyain kabar orangtua gue lah, nanyain kehidupan asmara gue lah. Ya gue akui kalau di luar si Singa ini cukup ramah.
Setiba di kantor, kami kembali ke ruangan masing-masing.
Hari ini sangat melelahkan. Setelah menepati janji gue ke Raina, akhirnya gue pulang. Gue hempaskan tubuh gue ke kasur. Kangen banget gue sama aroma kasur. Akhirnya rebahan juga. Setiap hari ngantor, gue selalu nungguin jam pulang. Lagi asyik temu kangen sama si Pico, guling coklat kesayangan gue, tiba-tiba ponsel gue berdering. Haduh, belum juga semenit nyentuh kasur. Jangan bilang kalau itu telepon dari si singa.
Huft, setelah gue cek gue bisa bernafas lega. Syukur bukan dari dia. Gue jawab telepon dari nyokap dengan senyum paling lebar.
“Ibu, Zeva kangen,” gue merengek manja. Tapi Ibu malah lesu menyambut suara gue. Ada masalah apa ya? “Kenapa, Bu?” tanya gue khawatir.
Mendengar jawaban Ibu rasanya tulang gue remuk semua. Bapak sakit ginjal. Ibu bilang menurut dokter puskesmas yang memeriksa Bapak, Bapak didiagnosa mengalami gangguan ginjal dan mesti dirujuk ke rumahsakit kota.
Gue nggak akan bilang Tuhan nggak adil. Gue yakin, Tuhan selalu punya kejutan untuk hamba-Nya yang bersabar. Gue mencoba untuk tenang dan bersangka baik.
“Ibu tenang ya. Kita semua berdoa untuk Bapak. Besok Zeva pulang,” gue menutup telepon dari Ibu.
Sekarang yang ada di pikiran gue hanya Bapak dan Ibu. Gue mesti berangkat besok ke kampung.
***
Perjalanan gue ke kampung lancar tanpa kendala. Mulai dari mencari bus, becak, hingga ojek. Kini gue udah di dekapan sosok lelaki yang menjadi first love gue. Gue pandangi wajahnya yang berkeriput. Rasanya gue ingin memberi seluruh cinta gue untuknya. Gue perhatikan matanya, kelopak yang tertutup seperti berusaha untuk terbuka. Ya, Bapak terbangun.
“Neng, kenapa atuh malah di sini? Balik atuh ke Jakarta. Kan impianmu dari dulu jadi sekretaris!” lirih Bapak seraya mengelus rambut gue.
“Ih, si Bapak mah. Bapak teh lebih penting. Udah atuh, Bapak ndak usah banyak ngomong dulu. Bapak pasti belum makan. Neng buatin bubur kacang ijo kesukaan Bapak,” balas gue mengalihkan perhatian Bapak. Ah, sebenarnya gue udah mutusin untuk pindah habis ke kampung dan nggak balik ke Jakarta. Gue bakal bantuin dan nemanin Ibu mengurus pabrik tahu peninggalan orangtua Bapak. Memang, menjadi sekretaris adalah impian gue sejak pertama kali diperkenalkan Bapak soal cita-cita, mimpi, impian, dan harapan. Ya tapi gue nggak bisa ngebiarin orangtua gue berdua di kampung. Gue adalah anak mereka satu-satunya. Hah, mungkin sekarang ponsel gue dipenuhi notifikasi panggilan dan juga chatting. Makanya gue biarin aja ponsel gue silent.
Sejak posisi gue naik menjadi sekretaris, gue nggak pernah pulang kampung. Weekend pun gue temenan sama laptop, printer, dan berkas-berkas kantor. Dulu waktu masih jadi staf HRD, tiap bulan gue sempatin pulang kampung.
“Bubur kacang ijonya sudah siap,” ujar gue sambil menyanduk bubur kacang ijo ke mangkuk. “Ini buat Ibu, ini buat Bapak. Ayo, Bu dimakan. Bapak, Neng suapin ya,” tawar gue.
“Ah, Bapak kan bisa makan sendiri Neng. Nanti ibumu cemburu,” canda Bapak. Kami semua tertawa. Suasana seperti ini yang buat gue selalu merindukan rumah.
Setelah makan, Bapak meminta diambilkan foto lawas Bapak dan Ibu saat menikah. Ibu menuruti apa yang diminta Bapak.
“Neng, lihat foto ini. Betapa bahagia wajah Bapak dan Ibu. Sudah puluhan tahun kami menikah, kini perasaan yang tersirat ketika Bapak menatap ibumu masih sama. Seperti karang di lautan, tak bergeser walau sesenti pun. Begitulah adanya Neng jika mengarungi bahtera rumah tangga dengan orang yang tepat,” Bapak tersenyum tipis di akhir kalimatnya. “Ya sudah, Neng istirahat dulu. Bapak mau istirahat juga. Tolong selimuti Bapak. Dingin sekali terasa,” titah Bapak.
“Bapak mesti sehat. Neng lagi nabung, Pak untuk ambil rumah di Jakarta. Biar Bapak dan Ibu bisa ikut Neng,” gue menyemangati Bapak. Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk bahas soal gue bakalan netap di kampung. Entah bagaimana nantinya. Untuk saat ini yang jelas gue mau fokus ke Bapak dulu.
“Neng, ndak usah atuh beli rumah. Bawa Bapak dan Ibu teh ke Mekah,” pinta Bapak sembari tersenyum tipis.
“InsyaAllah, Pak. Akan selalu Neng genggam keinginan Bapak,” balas gue dan berlalu meninggalkan kamar Bapak.
“Istirahat atuh, Pak. Malah pandangin aku terus,” suara Ibu terdengar mengecil seiring gue melangkah menuju kamar dan membiarkan Bapak bersama Ibu.
“Hmmm... Aroma lavender ini yang buat gue berat untuk berpisah dengan kamar ini,” gue perhatikan seisi ruangan. Nggak ada yang berubah. Bahkan kertas origami yang bertuliskan puisi terakhir gue masih ada di atas meja bambu itu. Ya itu puisi terakhir gue sebelum gue terjun ke lembah berkas-berkas.
Pandangan gue melayang ke jam dinding kayu, kedua jarumnya tepat berhenti di angka 5. Gue ingat, seharusnya gue udah di restoran De Lemero bersama Pak Leon, si Singa. Gue yakin dia pasti lagi sibuk telponin gue. Kalau gue angkat pun pasti dia mikir gue nggak profesionallah, nggak serius kerjalah, bohonglah. Lagipula, keputusan gue untuk nggak balik ke Jakarta udah bulat.
“Tapi, apa sebaiknya gue kabarin Pak Leon ya?” pikir gue panjang. Ya gimana pun juga, datang baik-baik, perginya juga baik-baik. Ah ribet, palingan surat pengajuan resign gue dipersulit. Kadang gue mikir, tu orang seperti ada dendam atau misi terselubung gitu ke gue.
Gue bangkit dan berdiri di depan cermin.
“Stop, Va. Fokus ke Bapak,” protes gue ke kembaran gue yang ada di cermin. Sekarang, Pak Leon udah gue anggap “mantan bos”. Jadi nggak ada ikatan kerja lagi di antara gue dan dia.
“Neng teh belum istirahat?” tanya Ibu basa-basi yang menghampiri gue ke kamar.
“Hmmm, Ibu,” gue peluk Ibu.
“Neng, besok kita bawa Bapak rujuk ke rumahsakit kota. Ibu teh kaget pisan dengar penjelasan dokter. Selama ini si Bapak teh ndak pernah sama sekali ngeluh sakit. Tapi... anu...” gue tahu lanjutan kalimat Ibu.
“Ibu teh ndak usah khawatir. Neng udah siapin biayanya. Semoga cukup untuk biaya pengobatan Bapak ya Bu. Yaudah, Ibu teh temanin Bapak. Sekalian istirahat juga. Ndak usah pikir macem-macem atuh.”
“Ibu bangga dan bersyukur punya anak seperti Neng,” Ibu mengelus rambut gue.
Malam ini terasa singkat sekali. Rasanya baru ngedip ini mata gue, e.. udah kebangun. Lihat jam, masih limabelas menit lagi menuju pukul 4 subuh. Biasanya si Kolki, jam weker kesayangan gue, yang bangun duluan.
Gue berjalan menuju dapur dan mengambil segelas air hangat. Saat ujung gelas kaca menyentuh bibir gue, terdengar suara teriakan Ibu menyahuti Bapak di kamar utama. Reflek, gelas kaca yang gue genggam terlepas. Gue nggak peduli dengan serpihan kaca yang berserakan di lantai. Gue berlari menuju sumber suara.
Setiba di kamar, gue dapati Ibu yang tampak menahan air mata.
“Rasanya Ibu ndak ikhlas, Neng, Bapak pergi,” ujar Ibu sambil menatap gue.
“Innalillahi wainna ilaihi rajiun,” lirih gue.
Selama ini, seberat apapun rintangan kehidupan gue, gue nggak pernah nangis. Tapi kepergian Bapak, membuat air mata gue tak terbendung. Gue rangkul Ibu, berusaha untuk menguatkan beliau walaupun gue sendiri rapuh menghadapi semua ini. Sekarang, visi utama gue adalah menjaga Ibu.
Serangkaian acara pemakaman Bapak selesai ba’da dzuhur. Sebaiknya gue telpon Raina. Setidaknya untuk berbagi.
“Tik, lo kemana aja sih? Lo nggak angkat telpon, nggak ngasih kabar. Salah gue apa??” si cewek tomboi itu marah dan kecewa sama gue. “Lo kenapa diam aja? Hallo? Ini lo kan Mpok Tika?” dalam linangan air mata, gue tersenyum mendengar panggilan kesayangannya buat gue.
“Gue di kampung, Na,” jawab gue singkat. Lidah gue rasanya berat untuk bicara banyak.
“Lo ngapain di kampung? Pak Leon neror gue terus. Dia nyariin lo!”
“Bokap gue meninggal, Na.”
“Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Gur turut berduka cita, Tik. Lo yang tabah. Maaf ya Tik, seharusnya gue nggak buruk sangka ke lo. Gue mikirnya lo sengaja menghilang terutama dari Pak Leon. Lagian lo kenapa nyimpen sendiri? Gue kan sahabat lo, lo cerita apa aja,” jelas Raina.
“Iya, Na. Maaf.”
“Loh, pake minta maaf segala. Yaudah, jadi kapan lo balik ke Jakarta?” tanya Raina.
“Belum kepikiran. Gue mau nemanin Ibu dulu di kampung,” kalimat gue membuat Raina nggak nanya ini itu lagi. “Yaudah, Na. Udah dulu ya. Bye,” gue pencet tombol end calling pada ponsel gue. Sepertinya banyak persoalan yang akan diutarakan Raina, tapi dia memaklumi keadaan gue.
Sehari, dua hari, tiga hari berlalu sejak kepergian Bapak. Ibu menyibukkan diri mengurus pabrik tahu. Sementara gue, mengurus rumah, belanja ke pasar, dan memasak.
Waktu gue lagi santai, ngeteh pagi bersama Ibu di teras, gue menghubungi Raina.
“Gimana kabar lo, Tik? Gue kangen nongki di TD bareng lo. Tau nggak, Pak Leon kehilangan lo. Intipin ruangan lo terus. Menurut gue, lo sebaiknya kabarin dia. Ya kalau emang lo mau netap di kampung, resign lah sesuai prosedur,” saran Raina.
“Ya lo benar, Na. Thanks ya,” obrolan gue dan Raina berakhir. Ok tanpa perlu mikir, gue pencet tombol call di kontak Pak Leon.
“Sore, Pak. Maaf Pak...” si Singa itu langsung menyela padahal gue belum menuntaskan omongan gue.
“Kamu tahu, betapa penting agenda pertemuan Sabtu itu? Datang nggak, ngasih kabar apalagi. Saya lagi nggak mood banyak bicara. Besok pagi temui saya di ruangan saya,”
“Saya..” tiit. Telpon mati. “Yah, main matiin aja,” gerutu gue. Gue menoleh ke arah Ibu. “Bu, apa sebaiknya Ibu ikut Neng aja ke Jakarta?” tawar gue ke Ibu.
“Neng teh mau balik Jakarta? Ibu di sini aja atuh. Nanti pabrik tahu teh ndak ada yang ngurusin. Ibu ndak papa sendiri. Kan bisa video call,” jawab Ibu mantap.
“Bu, enak ya jadi anak kecil. Nggak ada masalah, beban pekerjaan dan tanggung jawab. Taunya cuma main, main, dan main,” cerita gue sambil tersenyum bahagia mandangin anak-anak tetangga main bola. Baju mereka basah kuyup.dan penuh lumpur. Paling habis main di rawa-rawa dekat sekolah.
“Kalau Ibu teh pengen dewasa. Jatuh cinta, menikah dan berumah tangga, kemudian punya anak dan menjadi seorang ibu,” balas Ibu bercerita. Beliau mandangin cincin nikahnya sama almarhum Bapak.
Sebelum tukang ojek langganan Ibu datang, gue peluk erat Ibu.
“Loh, barangnya teh kenapa ditinggal atuh Neng?” tanya Ibu melihat gue hanya menjinjing tas kecil dan sebuah tas salempang yang melingkar di tubuh gue.
“Bu, Neng ke Jakarta hanya untuk mengurus surat resign. Semoga dilancarkan ya. Tas ini isinya berkas-berkas yang mesti diserahkan. Neng mau nemanin Ibu di kampung.”
“Neng, ndak usah. Sekarang Neng udah nangkap impiannya malah dilepaskan. Ibu ndak papa. Di sini teh juga banyak tetangga,” Ibu meyakinkan gue untuk tetap meneruskan impian gue. Langkah gue jauh berkali lipat lebih semangat. Gue pamit balik ke Jakarta dengan membawa restu dan doa Ibu.
***
Sekarang, gue udah di depan pintu ruangan Pak Leon. Gue ketuk pintunya dengan irama “khas” gue. Suara yang mempersilakan gue masuk langsung terdengar. Ok. Gue masuk.
“Pagi, Pak,” sapa gue dengan senyum tipis paling tulus.
“Ya, pagi. Saya dengar, kamu mau resign. Apa benar? Jadi kamu tidak berhasil membuktikan impression saya,” tegas Pak Leon.
“Maaf, Pak, saya kemalangan. Bapak saya sakit parah. Jadi saya pulang kampung hari Sabtu itu. Minggu paginya, Bapak saya meninggal,” setelah ceritain apa yang gue alami, gue hanya menunduk. Nggak berani gue menatap mata si singa.
“Nanti jam makan siang kita bicarain lebih lanjut,” dia kembali sibuk dengan laptopnya dan tidak mempedulikan gue.
Udah sepuluh menit gue berdiri. Dia nggak mikir apa tumit gue pegel karena make high heel . Ya daripada buang-buang waktu aja. Gue balik ke ruangan gue.
“Permisi, Pak.”
Setiba di ruangan, gue menghela nafas dan melepaskan high heel gue. Sebenarnya gue nggak suka make gituan. Tapi itu pemberian Bapak dan Ibu.
“Mpok Tika... Lo nggak ngabarin mau masuk hari ini,” sambut Raina yang nggak sengaja lewat depan ruangan gue habis dari pantry.
“Huu... kangen. Ya setelah pikiran gue bergejolak, berkat dorongan nyokap gue tetap lanjut,” jawab gue.
“Ye... lo nggak jadi resign dong. Bisa-bisa semua karyawan di sini di sinisin terus kalau lo jadi resign. Yaudah, ntar makan siang bareng. Okey. Lo belum dibooking sama dia kan?” tanya Raina yang buat gue jengkel.
“Itu tadi lo bilang apa? Booking? Tolong diralat ya kata-katanya. Ya tapi sayangnya udah,” kita berdua tertawa terpingkal-pingkal.
“Yah dasar lo. Yaudah, pulang ngantor aja. Gue balik ke ruangan ya. Cemuungud Mpok, yang bener kerjanya, ntar saya potong gajinya lo,” canda Raina.
Sebenarnya kalau ada opsi nolak, gue nggak mau makan siang sama si Singa. Tapi ya apa boleh buat. Satu per satu waiter menghidangkan makanan. Duapuluh menit berlalu, meja bundar di hadapan gue penuh dengan makanan. Sepertinya semua menu ada di sini.
“Ayo, silahkan diambil. Makan yang mana kamu mau. Profesi sekretaris itu berat dan menguras pikiran, jadi asupan nutrisi harus seimbang,” ujar si singa. Gue nggak ngerti, ini maksudnya apa? Nyindir? Ngeledek? Mentang-mentang gue kurus. Tapi kalau dari indeks BMI, skor gue ideal. Ah, terserahlah. Yang jelas, gue harus berterimakasih atas makan siang super jumbo.
“Saya turut berduka cita atas kepergian bapakmu. Semoga kamu dan Ibu, ibumu maksud saya diberi kesabaran dan ketabahan,” si singa membuka obrolan. “Ya, walaupun saya sebenarnya masih sangat teramat kecewa kamu tidak datang hari Sabtu. Itu agenda yang sangaaaat penting sekali dalam kehidupan saya. Kamu pasti tidak menyangka, atau mungkin kaget kalau Sabtu itu adalah agenda pertemuan dengan orangtua saya,” gue bukan belagak nggak paham. Memang nyatanya gue nggak ngerti. Entah dia bercanda. Ya waktu itu dia bilang sejenis meeting dengan partner.
“Maksud Bapak apa ya?” tanya gue polos.
“Saya mau mengenalkan kamu ke orangtua saya. Kamu ingat, saya pernah bilang kalau kamu memiliki kharisma. Saat pertama kali saya melihat dan memandang kamu, saya merasa yakin kamu adalah orang yang saya cari selama ini. Sejak itu, goal saya dalam kehidupan terarah. Diam-diam saya cari tahu lebih jauh tentang kamu. Memang banyak perempuan di luar sana. Tapi saya tidak tertarik. Justru mereka yang tergila-gila karena kekayaan saya, jabatan saya, harta saya. Hati saya selalu berbisik kamulah orang yang tepat. Makanya saya cari cara untuk membuat kamu sering berurusan dengan saya. Berawal dari saya dapat kabar kamu ingin sekali menjadi sekretaris. Selama ini adalah ujian buat kamu dalam meyakinkan hati saya untuk memilihmu menjadi istri direktur,” sumpah gue nggak tahu mau jawab apa. Karena benar, gue kaget, nggak nyangka. Ini si singa lagi bercanda atau akting?
“Honestly, saya nggak tahu mau jawab apa Pak. Karena saya hanya menjalani tugas saya sebagai sekretaris,” balas gue seolah nggak ada omongan serius. Duuh, gue malah merinding. Si Singa itu, mencoba meraih tangan gue kayak di film. Sontak gue jauhkan tangan gue. Si Singa sepertinya memaklumi sikap gue.
Kemudian seorang waiter datang membawa bucket bunga mawar, dan memberinya ke Pak Leon. Aduuh, apa-apaan sih. Jangan bilamg bunga itu untuk gue. Mau disimpan di mana tuh bunga? Nggak usah gue ambil aja kali ya?
“Terimalah bunga ini, sebagai bukti keseriusan saya,” malah gue yang grogi sih. Si Singa itu bertekuk di hadapan gue sambil menyodorkan bucket bunga mawar dan ada cincin berlian serta kartu ucapan bertuliskan “Will you marry me?”.
Gue coba rileks. Mungkin ini adalah kejutan kehidupan buat gue. Gue ambil bucket bunga itu.
“I will do the best for your smile, Honey,” Si Singa itu tersenyum.
Mungkin gue masih butuh adaptasi kalau di luar jam kerja dengan Pak Leon. Sesampai di kantor, semua staf karyawan menyambut Pak Leon dan memberi selamat. Gue baru sadar kalau gue memegang bucket bunga itu.
“Ciyee, menang banyak nih gue sahabatan sama istri direktur. Selamat ya Pak,” sambut Raina seolah menjadi orang serbatahu.
“Lo udah tahu semua kan? Pasti lo dalangnya kan?” protes gue. Raina hanya cengengesan.
Ponsel Pak Leon tiba-tiba berdering. “Iya, Bu. Makasih. Ini saya masih sama Anna. Baik, Bu siap,” itu yang nelpon ibu gue? Memang, semua tertata dengan rapi skenarionya.
***
Menikah dengan seorang direktur? Nggak pernah ada dalam list impian gue. Gue sadar diri, hanya gadis kampung yang mengejar mimpi menjadi sekretaris handal di kota Metropolitan. Tapi, itulah kenyataannya. Gue nggak henti-hentinya berterimakasih atas skenario indah ini. Ternyata si Singa yang gue kenal, aslinya penyayang banget, romantis, mesra. Terlintas di pikiran gue, kalau Pak Leon Raja Singa, berarti gue Ratu Singa? Haaauum...