Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Mori Dan Tetangga Depan
0
Suka
106
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Kiara mempererat pelukannya pada Teh Nuni. ART setianya itu seperti tak mau melepaskan tubuhnya. Ia merasa bersalah, Kiara tahu itu. Tapi ia juga tak punya pilihan, dan Kiara pun mengerti itu. Maka berkali-kali Kiara mencoba meyakinkannya bahwa ia akan baik-baik saja meski Teh Nuni harus berhenti bekerja dan Kiara harus tinggal berdua saja dengan Mori.

"Pokoknya mba, semua perlengkapan makan udah teteh turunin ke lemari bawah. Nomor telpon tukang galon, tukang gas, tukang bersih-bersih semua udah teteh kirim ke WA mba Kiara. Tukang sayur dan warteg depan juga udah." Teh Nuni kembali menghujani Kiara dengan wejangan-wejangan tak putusnya yang semakin membuat Kiara tersenyum haru.

"Lampu emergency yang di ruang tengah rusak, jangan lupa cepat beli yang baru ya mba," tambah teh Nuni lagi. Kiara menepuk jidatnya, kesal karena ia lupa lagi soal itu, padahal teh Nuni sudah bilang dari seminggu yang lalu. Ia lalu mengangguk cepat, meyakinkan teh Nuni yang mulai memasang muka cemberut karena ia selalu lupa.

Teh Nuni memang sangat mengenal Kiara yang sudah seperti adik sendiri baginya itu. Tidak mempunyai kakak maupun adik, teh Nuni lah yang jadi tempat bercerita dan berkeluh kesah bagi Kiara. Yang menemaninya sehari-hari. Apalagi sejak ibunda Kiara berpulang kepada sang Khalik 3 bulan yang lalu, mereka hanya tinggal berdua dan saling mengandalkan. Ditambah lagi dengan kondisi fisik Kiara sekarang, tak terpikirkan oleh teh Nuni untuk berhenti bekerja kecuali gadis itu sendiri yang memecatnya. Namun ternyata Tuhan memberinya jodoh. Jodoh yang mengharuskannya pulang ke Bogor dan meninggalkan Kiara berdua saja dengan kucingnya.

Setelah satu pelukan terakhir dan satu kalimat penuh semangat dari Kiara bahwa ia dan Mori akan baik-baik saja, teh Nuni pun benar-benar pergi bersama calon suaminya. Kiara segera memundurkan kursi rodanya dan mengunci pintu. Rumah depan yang kosong dan gelap bukan pemandangan yang bagus untuk dilihatnya malam-malam seperti ini.

'Cttek.. cttekk.. ctteekk..'

'Perfect!' gumam Kiara dalam hati. Gas habis disaat yang 'tepat'. Ia segera mengeluarkan ponsel-nya untuk memesan gas dari warung tetangga. Niatnya untuk makan mie instan pedas yang mungkin tak bisa seenak bikinan teh Nuni, harus ter-delay manunggu gas.

'Klotak.. klotak..klotak..'

Kiara tersenyum lebar sambil menoleh kearah suara. Mori seperti biasa mengetuk-ngetuk kotak makannya jika kotak itu masih kosong ketika ia sudah lapar.

"Laper ya, Mori laper? bentar ya mami ambilin makanannya," ucap Kiara lembut sembari mengambilkan dry food dari dalam lemari. Meski agak kesulitan awalnya, namun ia berhasil mengeluarkannya dan mengisi kotak makan Mori. Seketika ia pun bertekat untuk membeli tempat makan dan minum otomatis agar kucing kesayangannya itu bisa langsung makan kapan pun dia lapar.

Selesai makan dan beres-beres dapur, Kiara pun mengajak Mori masuk kamar bersiap tidur. Ada sedikit perasaan takut menyongsong malam pertamanya tinggal seorang diri di rumah itu. Namun ketika Mori menghampiri dan berbaring di sebelahnya, ia segera menepis semua kegundahannya. Ia punya Mori. Ia punya semua nomor telpon yang dibutuhkan. Ia punya tetangga yang berdekatan. Semua pintu dan jendela sudah dikunci dan ia punya tongkat baseball dibawah tempat tidurnya. Ia akan baik-baik saja.

***

"Ngueeengg.. ngueeng.."

"Brrmm.. brrmm..."

Hhh..hhh..hh...

"Tiin.. tiiin..."

JGEERRR!!

"AAAGGH..!!"

Kiara terlompat dari tidurnya. Keringat dingin mengucur. Air mata mengalir tanpa disadarinya. Segera diambilnya minuman demi menenangkan debaran jantungnya yang memburu. Mimpi buruk itu datang lagi. Seolah kejadian mengerikan itu baru kemaren terjadi.

7 bulan. 7 bulan sudah peristiwa itu berlalu. Kecelakaan yang membuatnya kehilangan kemampuan untuk berjalan. Kecelakaan yang bukan hanya menyisakan cacat fisik baginya namun juga sakit hati yang masih menganga. Tabrak lari. Brengsek!! Mobil itu langsung melaju begitu saja tidak mempedulikannya yang tergeletak di jalanan sepi bersimbah darah. Perlahan-lahan hilang kesadaran saat samar-samar didengarnya sirine Ambulans mendekat.

***

53% - 47%

Pemenang Pilkada secara resmi telah diumumkan KPU. Kiara tidak terlalu condong pada salah satu calon. ia memilih waktu itu hanya berdasarkan insting dan foto wajah yang tampak bijaksana. Namun ternayta insting Kiara meleset. Pasangan pilihannya kalah tipis di perhitungan final.

Bel pintu yang berbunyi nyaring mengalihkan perhatian Kiara dari layar kaca. Diliriknya jam dinding sekilas. Tanggal 10 jam 10 pagi. Ia segera bisa menebak siapa yang datang dan apa yang dibawanya. Kiara menghela nafas panjang. Ingin rasanya ia diam saja dan tidak mau menerima kiriman dari orang itu. Tapi jika ia tidak membukanya, bel itu akan terus berbunyi dan membuatnya senewen.

"Mas, saya sudah bilang, saya nggak mau lagi menerima amplop itu sebelum kamu bilang siapa sebenarnya pengirirmnya dan apa maksudnya," semprot Kiara pada kurir dihadapannya. Dan seperti biasa keberatan Kiara tidak mempan pada kurir itu. Jawaban yang sama lagi dan lagi mengusik gendang telinga Kiara.

"Maaf mba, tugas saya hanya mengantarkan paket, saya betul-betul tidak kenal dengan orang yang memberi. Tolong diterima saja!" Kurir itu lalu meletakkan amplop coklat panjang dipangkuan Kiara dan langsung pergi. Tidak mempedulikan teriakan gadis itu yang menyuruhnya mengambil kembali amplop tersebut. Selalu begitu. Setiap bulan.

Dengan perasaan gundah yang sama seperti bulan-bulan sebelumnya, Kiara membuka amplop itu. Berharap kali ini ada informasi atau bahkan kalimat yang lebih panjang yang ditulis sang pengirim. Namun ternyata tidak. Isinya masih sama. Sejumlah uang dan secarik kertas bertuliskan : I'm sorry for everything, I'm really sorry.

Kiara yakin sang pengirim adalah orang jahat itu. Orang yang telah menabraknya dan tak pernah tertangkap. Orang yang ingin menebus dosanya dengan mengiriminya uang setiap bulan. Pada bulan-bulan awal jumlahnya memang tak seberapa, namun beberapa bulan belakangan amplop itu menebal. Kini isinya cukup untuk membiayai semua kebutuhannya dan Mori, bahkan bila ia tidak mampu lagi bekerja. Dan memang, apa yang bisa dilakukan Kiara kini untuk menopang hidupnya? Selama ini yang ia tahu hanyalah berlenggak-lenggok di catwalk dan berpose di depan kamera. Dengan kondisinya sekarang, tentu tidak mungkin lagi ia melakoninya. Dulu saat ibunya masih ada, mereka masih bisa berpegang pada dana pensiun almarhum ayah Kiara. Namun kini, ia harus berhemat karena uang tabungannya tentu semakin lama akan semakin menipis. Sementara penghasilan dari taxy online mobilnya yang tak selalu memuaskan itu masih harus dibagi dua dengan tetangganya yang menjadi driver.

Bila mengingat itu semua, ingin rasanya Kiara menggunakan uang dalam amplop coklat itu. Toh uang ini nyata-nyata ditujukan untuknya. Oleh orang yang nyata-nyata sudah merasa bersalah. Namun tetap saja. Hatinya tak bisa menerima. Sampai ia bisa tahu dengan pasti siapa orang itu dan apa sebenarnya maksudnya, ia tak ingin mempedulikan amplop-amplop itu. Dengan kasar dibukanya laci nakas disamping tempat tidur dan melemparkan amplop tersebut kedalamnya. Berkumpul dengan 6 amplop lainnya.

***

Dengan rasa was-was dan penuh curiga Kiara memperhatikan laki-laki dirumah depan itu. Hampir saja ia mengira rumah itu berhantu karena telah lama tak ada juga yang mau mengontraknya. Kini sudah sekitar 3 mingguan rumah itu akhirnya berpenghuni. Seharusnya Kiara senang, rumah itu tak lagi gelap menyeramkan. Ada tetangga baru yang mungkin bisa dimintainya tolong jika diperlukan. Namun sekali lagi, Kiara merasa gerak-gerik penghuni rumah depan itu cukup mencurigakan. Dengan insting yang mengganggu itu, Kiara menjadi terobsesi untuk memperhatikan orang tersebut dari jendela kamarnya.

Laki-laki itu jarang bergaul. Jarang keluar rumah. Entah apa pekerjaannya. Dan yang paling meresahkan adalah sejak awal kedatangannya ia sering memandang tajam kearah rumah Kiara. Bahkan terkadang di tengah malam, ketika ia mungkin mengira Kiara sudah tidur, ia mendatangi rumah Kiara dan mengelilinginya entah untuk apa. Kiara terlalu takut untuk berteriak dan mengusirnya. Takut ia malah gelap mata dan mencelakainya karena ketahuan. Kiara bahkan takut untuk melapor ke pak RT karena alasan yang sama. Untuk saat ini ia lebih memilih diam dan berhati-hati sendiri. Semprotan lada, kunci Inggris dan pisau lipat selalu terselip di kursi rodanya.

"Miaw.. miaw.. miaw.."

Suara Mori mengagetkan Kiara. Kucing itu seperti biasa keluar rumah siang-siang seperti ini, melalui lubang kucing yang dibuat khusus di pintu samping. Dan seperti beberapa hari belakangan ini, kucing itu langsung mengarah ke rumah depan dan masuk dengan santainya. Kiara sungguh tidak mengerti, ketika ia takut dan mencurigai tetangga depan, si Mori justru berkhianat dan berteman dengan yang bersangkutan.

'Apa yang dilakukan Mori disana?'

'Apa yang dilakukan orang itu terhadap Mori?'

'Apa dia akan meracuni satu-satunya keluarga dekatku yang tersisa itu?'

Berbagai pertanyaan dan kekhawatiran bersahut-sahutan di benak Kiara. Namun melihat Mori yang selalu kembali tepat waktu dalam keadaan utuh dan sehat, Kiara berharap kecurigaannya tak akan pernah terbukti.

***

'Csstt... csstt.. csstt...'

'Klontang.. klonteng...'

'Tok.. tok.. tok..'

'Ngiik... ngiik.. ngiik..'

Kiara terbangun dari tidur siangnya oleh suara-suara aneh di depan kamarnya. Sambil masih mengumpulkan nyawa, Kiara melihat kearah jendela, mencoba menerka kira-kira suara apa di luar sana.

"Miaw.. miaw.."

Mata Kiara seketika membesar. Mori! Secepat yang ia bisa, Kiara segera mengambil kruknya dan berjalan ke dekat jendela. Darahnya seketika tersirap. Pria itu ada disana! Di halaman rumahnya. Bersama kucingnya. Memegang kunci Inggris. Mengencangkan... keran airnya?

Kiara tercengang. Air tampak menggenang membasahi rumput dan tanah disekeliling pria itu. Sebagian masih tampak menyembur keluar dari sambungan pipa. Pria itu segera mengaduk-ngaduk kotak alatnya, sebelum mengeluarkan alat yang dicarinya. Dengan sigap ia kembali mengencangkan pipa tersebut sampai tak ada lagi air yang berebut keluar jalur. Setelah yakin pekerjaannya berhasil, ia lalu mencoba menyalakan keran airnya. Air segar mengucur teratur. Dengan anggukan yakin ia lalu mematikan kran dan merapikan alat-alatnya. Setelah membelai lembut kepala Mori, ia pun segera meninggalkan halaman rumah Kiara.

Apa yang sebenarnya terjadi? Laki-laki itu memperbaiki kran airnya yang bocor? Tapi mengapa? Dan mengapa ia tak mampir dan menyampaikan langsung kondisi kerannya pada Kiara. Laki-laki itu semakin membuatnya bingung. Dan Kiara tak suka dibuat bingung. Jika pria itu masuk ke pekarangannya lagi, ia akan memanggil dan menginterogasinya. Dia tak boleh terus merasa takut.

***

Apa yang ditakutkan Kiara sejak teh Nuni pergi akhirnya benar-benar terjadi malam ini. Hujan lebat. Angin kencang. Petir menyambar-nyambar. Sambil mengutuk dirinya sendiri yang kembali lupa membeli lampu emergency untuk diruang tamu, Kiara menarik selimutnya dan mendekap Mori ke dadanya. Dia tidak boleh takut. Badai akan segera berlalu. Ia hanya berharap listrik tidak akan...

PETT!!

Ingin rasanya menangis. Tapi apa boleh buat, Kiara harus hadapi. Beruntung lampu emergency kecil masih tersedia di kamarnya. Sambil terus menenangkan hati dan membuang pikiran-pikiran negatif, Kiara pun mencoba untuk tidur. Dan ia sama sekali belum terlelap ketika ketukan pintu memaksa matanya menyala kembali. Kaget dan takut. Siapa kira-kira yang bertamu malam-malam begini? Mungkinkah salah seorang tetangganya datang mengecek keadaannya? Harap-harap cemas Kiara mengambil 2 kruk nya dan berjalan tertatih kearah pintu. Dan 2 kruk itu nyaris lepas dari lengannya ketika dilihatnya pria penghuni rumah depan telah berdiri di terasnya dengan sebuah payung dan lampu ditangannya. Masih merasa was-was meskipun laki-laki itu baru membantunya memperbaiki keran air beberapa hari yang lalu, Kiara memutuskan untuk tidak membuka pintu. Namun rasa penasarannya membuat ia berteriak dari dalam rumah.

"Ada apa?!" serunya. Laki-laki itu lalu terdengar melangkah mendekati pintu.

"Maaf, aku lihat rumahmu gelap, jadi aku datang mengecek. Mungkin kau butuh lampu emergency??" teriaknya di sela riuhnya paduan suara hujan.

Kiara terpana. Semakin dan semakin bingung dengan sikap lelaki misterius itu. Deengan menggenggam semprotan lada untuk berjaga-jaga, Kiara membuka pintunya pelan. Dan untuk pertama kalinya ia bersitatap langsung dengan laki-laki itu. Dilihat dari wajahnya ia yakin laki-laki itu mungkin hanya sekitar 3 tahunan lebih tua darinya. Wajah yang ternyata tidak sebengis itu ketika dilihat dari jarak dekat.

"Maaf mengganggu malam-malam, aku Ardan. Aku ingin memberi ini mungkin kau butuh," ucap laki-laki yang sesungguhnya telah Kiara ketahui namanya dari grup RT itu. Menyingkirkan kecurigaan, ia pun menerima lampu emergency dari tangan Ardan dan mengucapkan terimakasih.

"Bagaimana keadaan didalam, semua baik-baik saja?" tanya Ardan lagi. Kiara mengangguk, mengatakan semuanya baik-baik saja.

"Baiklah, kalau begitu silahkan melanjutkan istirahatmu. Aku akan lihat sekeliling rumahmu sebentar," ucapnya bersiap meninggalkan teras, namun Kiara segera menahannya.

"Untuk apa?"

"Hanya mengecek, karena kalau hujan seperti ini suka ada hewan-hewan melata yang keluar dari selokan."

Kiara terkejut. Dan setelah ia mengangguk mengizinkan, laki-laki itu pun beranjak ke samping rumahnya. Kiara sendiri tidak langsung kembali ke kamar. Dengan perasaan berkecamuk, ia mendengarkan langkah-langkah kaki Ardan mengitari rumahnya. Setelah meyakini Ardan sudah kembali kerumahnya, Kiara segera masuk ke kamar. Namun bukannya langsung tidur, ia mengikuti rasa penasarannya untuk mengintip kearah rumah depan. Dan benar saja, Ardan masih duduk di teras rumahnya dan memperhatikan rumah Kiara di sela-sela hujan yang mulai mereda. Gadis itu kembali termangu, merasakan perasaannya yang mulai luluh. Laki-laki itu bukan orang jahat. Semoga saja.

***

Kurir itu berdiri gelisah di depan Kiara yang memandangnya dengan tatapan yang.. kalau tatapan bisa membunuh, maka kurir itu mungkin sudah mati berkali-kali.

"Maaf mba, saya mendadak tadi ada urusan dulu jadi terlambat 2 jam," kilahnya yang langsung mengundang decak kesal Kiara.

"Ckk.. saya nggak peduli kamu terlambat, malah lebih baik kamu nggak usah datang karena saya benar-benar nggak mau terima amplop itu lagi!" semprot Kiara. Meskipun ia sadar sepenuhnya mengomel pada kurir ini tidak akan berarti apa-apa. Dan benar saja, kurir itu hanya tersenyum meringis. Sebelum perlahan meletakkan amplop itu di pangkuan sang tuan rumah yang wajahnya merah menahan gondok.

"Tolong mas, bilang sama orang itu, jangan pernah kasih ini lagi! Percuma! Saya tidak pernah memakainya dan saya tidak mau menerima permintaan maafnya dengan cara seperti ini!" hardiknya. Kurir itu terdiam sesaat, sebelum kemudian mengangguk dan berlalu dengan sepeda motornya. Hardikan Kiara menyita perhatian Ardan yang baru saja membukakan pintu untuk Mori. Kiara sedikit gugup melihat laki-laki itu memperhatikannya memegang amplop tebal. Dengan perlahan diselipkannya amplop itu kebawah pahanya. Ardan mungkin terlihat baik, namun tidak ada salahnya untuk selalu waspada. Dengan tenang ia memundurkan kursi roda dan masuk kedalam rumah setelah Mori melompat ke pangkuannya.

***

Segala pikiran berkecamuk di benak Kiara malam itu. Tentang orang misterius pengirim uang bulanannya. Tentang amplop-amplop yang bertumpuk di lacinya. Tentang apa yang harus dilakukannya pada uang-uang tersebut. Dan tentang tetangga baru yang memperhatikannya kemaren, yang kini mungkin tahu ia telah menyimpan amplop-amplop berisi uang di rumahnya. Tak ada jawaban yang memuaskan. Hingga akhirnya gadis itu terlelap dalam kegundahannya.

'Tuk.. tuk.. tuk..'

'Cklek.. cklek..'

'Kreeekk...'

Samar-samar mendengar suara aneh dari pintu belakang, Kiara terbangun di tengah malam dengan perasaan grogi. Mori pun terlompat dari tidurnya dan memasang kuda-kuda penuh waspada. Sambil masih menerka-nerka apa yang terjadi, Kiara membalik hendak mengambil kruknya. Namun tiba-tiba pintu kamarnya terbuka lebar. Sesosok manusia yang sepertinya adalah pria, masuk secepat kilat dan membekap mulut Kiara sebelum gadis itu sempat bereaksi. Laki-laki itu memakai kupluk yang menutupi seluruh wajahnya kecuali dua matanya. Maling. Maliiinggg!!!

Kiara hanya bisa menjerit dalam hati. Dengan gerakan jarinya, sosok itu memerintahkannya untuk diam atau ia akan menghabisinya. Gadis itu pun hanya bisa pasrah ketika sosok itu menyumpal mulutnya dan mengikat tangannya ke ranjang. Dalam ketakutannya Kiara menyadari dan bersyukur Mori sudah tidak ada disampingnya. Kucing itu pasti lari ketakutan dan semoga maling ini tidak akan memburunya juga. Namun kemudian...

"Meoong... meoong.. meooong..."

Mori mengeong-ngeong heboh didepan rumahnya. Nafas Kiara semakin sesak tersengal. Takut maling itu akan mengejar Mori, tapi juga berharap tetangganya mengerti teriakan Mori dan datang menolongnya. Sementara maling itu sendiri seperti tidak mempedulikan raungan kucing tersebut. Setelah yakin dengan ikatannya di tangan Kiara, ia langsung mengedarkan pandangannya keseluruh kamar, tampak jelas mencari barang berharga yang bisa diambilnya. Dan segera begitu matanya tertuju pada nakas disamping tempat tidur, ia dengan kasar langsung membuka semua laci satu persatu dan mengacak-acak isinya. Hingga Kiara pun terpekik ketika maling itu mendapati semua amplop-amplop coklat di laci paling bawah.

Kiara mencoba berteriak dan meronta. Ia mungkin tidak menginginkan amplop-amplop itu dan membenci pengirimnya. Namun tetap saja, ia tidak rela uang-uang itu jatuh ke tangan orang jahat yang jelas-jelas tidak berhak. Ia ingin uang itu utuh ketika suatu hari nanti ia akhirnya bertemu dengan pengirim misterius itu. Namun sekarang, maling ini dengan rakus mengambil semuanya dan...

BRAAKK!!

Pintu kamar Kiara kembali terbanting membentur dinding, seiring dengan masuknya Ardan bersama Mori yang langsung menghampiri Kiara. Ardan sendiri tanpa babibu langsung merenggut leher maling yang tak sempat melindungi diri itu dan menjatuhkannya ke lantai. Amplop coklat berhamburan di lantai. Suara bak bik buk yang kencang menggema di seluruh ruangan kamar seiring melemahnya maling itu terkena tonjokan Ardan.

"Bang.. bang ampun bang.. ampuun.." Maling amatir yang tampak beringas sebelumnya itu kini memohon ampun tak berdaya. Namun yang menyita perhatian Kiara adalah, sepertinya ia mengenali suara maling itu. Dan ketika Ardan membuka kupluk maling itu dengan kasar, Kiara terkesiap melihat wajah kurir yang setiap bulan hadir di teras rumahnya terpampang disana.

"Irfan?" Ardan melonggarkan cengkramannya pada kerah baju maling yang ternyata ia kenal wajahnya itu. "Irfan kurir suruhannya Dani kan?" tanyanya lagi memastikan. Maling itu terdiam sejenak, sebelum kemudian mengangguk berulang-ulang.

"Iya bang. Abang ini teman bang Dani itu ya, bang Ardan?" Maling itu balik bertanya, dan kini giliran Ardan yang mengangguk. Ia lalu bertanya dengan marah kenapa Irfan sampai tega mencuri dirumah Kiara.

"Maaf bang. Saya terpaksa. Kemaren pagi kakak saya tertangkap karena narkoba. Kami ingin membebaskannya dari polisi dan kami butuh biaya besar untuk pengacara dan rehabilitasi bang," dengan ekspresi penuh sesal, Irfan menceritakan masalahnya. "Makanya waktu mbak ini bilang dia nggak pernah menggunakan uang di amplop itu, saya jadi gelap mata bang," tutup Irfan sambil melirik malu kearah Kiara.

Kiara sendiri memperhatikan semua adegan itu dengan kepala panas dan hati yang membuncah. Tatapan marahnya kini tak hanya ditujukan pada sang maling, tapi juga pada Ardan. Apa maksudnya semua ini? Kurir itu menjadi maling. Ardan mengenal kurir itu. Mungkinkah Ardan melihat kurir itu datang kerumahnya dan mengajaknya berkomplot untuk merampoknya? Tapi mengapa ia malah menggagalkan usaha maling itu dan menghajarnya? Apa mereka semua sedang bersandiwara didepannya? Lalu siapa Dani?

Kecurigaan, kebingungan dan ketakutan yang terpancar jelas di mata Kiara membuat Ardan segera menghampiri Kiara dan membuka sumpalan mulutnya.

"Kau... bagaimana kau bisa kenal dia?! Siapa kau sebenarnya? Apa maksud semua ini Ardan? APA?!!" semprot Kiara bertubi-tubi. Ardan masih terdiam, memandang Kiara dengan muka tegang penuh sesal. Entah karena kasihan padanya atau karena kedoknya ketahuan, entahlah, Kiara sudah tak bisa lagi menebak laki-laki itu. Ardan sendiri tidak langsung menjawab semua pertanyaan Kiara. Ia lebih dulu membuka ikatan tangannya dan kembali mendatangi Irfan.

"Kau tunggu disini, aku akan mengurusmu bersama Dani nanti!" pesannya pada Irfan sambil mengikat tangan laki-laki yang sudah pasrah itu ke kaki meja. Ardan kemudian mendekati Kiara dan berhati-hati duduk di hadapannya. Satu kalimat yang kemudian terdengar lirih dari mulutnya, membuat mata Kiara membesar sempurna.

"I'm sorry for everything. I'm really sorry."

***

7 Bulan Yang Lalu

"Nggak usah ngebut-ngebut lah pa, santai aja kenapa sih."

"Santai-santai gimana? Gara-gara kamu telat kita jam segini masih disini!"

"Yaelaah, itu kan cuma pesta biasa, telat-telat dikit juga nggak masalah kali pa."

"Kamu ini ya, selalu saja menganggap remeh acara-acara partai seperti itu. Kapan kamu mulai serius dengan karir politikmu kalau seperti ini terus!"

"Pa! Aku kan udah bilang, aku mau ikut cuma untuk nemenin papa. Jangan paksa aku ikut jejak papa, aku nggak suka politik!"

"Masalahnya apa sih Dan? Jalur politik itu sudah papa buka, kamu tinggal meneruskan saja agar suatu hari nanti kau juga bisa jadi pejabat."

"Aku nggak mau jadi pejabat pa!"

"Lalu kamu mau jadi apa, ha?! Mau luntang lantung terus seperti ini?"

"Luntang lantung gimana, aku kan punya bisnis restoran sama Dani pa."

"Alaah... sampai dimana restoranmu itu. Bisnis itu sulit Dan. Kau mau apa kalau bangkrut?!"

"Pa! Kenapa papa selalu begitu sih. Nggak pernah mendukung usahaku!"

"Aku mendukung, makanya kau kuberi modal kan? Tapi asal kau tahu, dengan relasi politik yang bagus bisnismu bisa lebih besar dan banyak Dan. Ingat itu!"

"Nggak perlu memaksaku pa. Aku sudah bilang tidak tertarik..."

"Kau keras kepala sekali!"

"Aku? Aku atau papa yang... Pa, Awaasss!!"

"Aaahhh!!"

Tiin.. tiiinn..!!

JGEERR!!!

Ciiitt... ciitt...

Brrmmm.. Ngueeeng..

"Pa! Berhenti! Kenapa lari pa, orang itu... Pa, berhenti!"

"Nggak bisa Dan, sebentar lagi hari pencoblosan, papa nggak boleh kena kasus apa pun. Semua usaha yang kita lakukan akan sia-sia. Maaf tapi papa nggak bisa berhenti!"

"Ya ampun pa. Tapi orang itu..."

"Maafkan papa. Tapi semoga ada yang menolongnya. Papa hanya... Dan, apa yang kau lakukan?!"

"Jalanan itu sepi pa, aku akan telpon ambulans."

"Dan, jangan sebutkan namamu!"

***

Tanpa terasa air mata Kiara mengalir mendengar cerita Ardan. Kembali lagi teringat olehnya bagaimana ia tergeletak tak berdaya beberapa meter dari motornya yang ringsek. Sakit badan dan sakit hati karena ditinggalkan begitu saja oleh penabrak yang tak bertanggung jawab.

"Seharusnya aku lebih keras memaksa ayahku untuk berhenti. Seharusnya aku menelpon polisi. Atau seharusnya aku mendatangimu di rumah sakit keesokan harinya. Tapi tidak, aku juga menjadi pengecut dan mengikuti keinginan ayah untuk menjaga reputasinya. Hah, reputasi apa. Dia toh kalah juga," dengus Ardan mengingat karma yang didapat ayahnya.

"Rahmat Indrawan, ayahmu Rahmat Indrawan?" tanya Kiara disela isak tangisnya. Tak percaya bahwa calon gubernur yang dipilihnya itu lah yang telah membuatnya menanggung derita fisik dan psikis selama ini. Ardan mengangguk lemah. Tak ada pembelaan yang ingin diucapkannya.

"Lalu tentang amplop-amplop itu?" tanya Kiara sembari melirik amplop-amplop coklat yang masih berhamburan di lantai. Ardan memungut semua amplop itu dan meletakkannya di atas nakas.

"Bentuk tanggung jawabku yang belum berani aku sampaikan secara langsung," jawab laki-laki itu dengan kepala tertunduk. "Ketika aku membaca berita dan mengetahui identitas orang yang telah kami tabrak, aku langsung meminta temanku Dani untuk mencari kurir yang bisa mengantarkan uang itu padamu tanpa membuka identitasku. Dani-lah yang menjadi perantara aku dengan kurir itu setiap bulan. Aku baru bertemu secara langsung dengannya hari ini."

"Lalu bagaimana kau bisa tinggal dirumah depan itu?" lanjut Kiara, tidak mau melewatkan satu pun pertanyaan yang menggayut dibenaknya.

"Dani tahu dari kurir ini bahwa sebulan yang lalu ART mu resign dan kau tinggal sendirian dirumah ini. Ia memberi tahu ku dan aku tak bisa tinggal diam. Aku takut kau dalam bahaya karena tak ada yang menemanimu sekarang. Dan ketika aku lihat ada rumah kontrakan disini, aku langsung mengontraknya," cerita Ardan jujur, tak ada lagi yang ingin ia sembunyikan. "Aku hanya ingin menjagamu, ingin sedikit demi sedikit kau menerima kehadiranku, sampai suatu saat nanti kau bisa memaafkanku," lanjut Ardan kembali membuat Kiara terisak.

"Bukan kesalahanmu," jawab Kiara lemah.

"Aku tetap salah Kiara. Untuk itu aku tak kan pernah lelah untuk minta maaf. Dan meskipun tidak tepat, aku juga ingin minta maaf atas nama ayahku. Namun satu hal, jika kau ingin membuka kasus ini lagi, aku akan membantumu membongkar semuanya." Suara Ardan yang sedari tadi lirih, kini terdengar tegas memperlihatkan kemantapan hatinya. Kiara mengangguk sembari menyeka air matanya. Entahlah apa yang bisa ia pikirkan soal itu sekarang. Tapi yang jelas semua pertanyaannya selama ini telah terjawab. Itu yang penting. Oh, kecuali satu hal yang belum terjelaskan.

"Lalu bagaimana kau bisa datang kemari tepat waktu tadi? Aku bahkan tak bisa berteriak."

Ardan tersenyum mendengar pertanyaan Kiara. Ia lalu menoleh kearah Mori dan membelai kepala kucing itu lembut. "Kucingmu sangat pintar Kiara. Suara mengeongnya yang keras membangunkanku. Dan begitu aku mengenali suaranya, aku langsung merasa ada yang tidak beres disini."

Dengan perasaan bangga yang tak bisa ia sembunyikan, Kiara langsung memeluk Mori erat. Besok saja dipikirkan apa yang harus ia lakukan terhadap pak Rahmat dan Irfan. Yang jelas baginya ia selalu punya Mori disisinya. Dan juga Ardan.

TAMAT

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Antara Kamu dan Guru BK
Mustofa P
Komik
Perempuanmu
Komik Perempuanmu
Skrip Film
Flying solo
fasya aditya
Skrip Film
Daun di Antara Mawar & Melati (Script)
Rika Kurnia
Skrip Film
About Dream
Arie Nur Wahyu Putra
Cerpen
FTV
Cassandra Reina
Cerpen
Mori Dan Tetangga Depan
Reni Refita
Novel
Misleading Game
Alisya Zahra
Komik
Bronze
Teman Lama, Meja Bermuka Masam
Mujiyono Sutarno
Skrip Film
lover
Satrio Purnomo
Skrip Film
Penulis,seniman,&sutradara
Adi setiadi
Flash
Anak Hujan 2
Sudarmanto S
Cerpen
SERIGALA ADALAH DOMBA
Meliana
Cerpen
BOOM
Rama Sudeta A
Novel
Cinta Fisabilillah
Nafla Cahya
Rekomendasi
Cerpen
Mori Dan Tetangga Depan
Reni Refita
Cerpen
Secarik Kertas Dalam Tas
Reni Refita
Cerpen
Tragically Yours
Reni Refita