Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Lihatlah dia, Cahya Bestari, putriku satu-satunya. Cantik, cerdas dan mandiri. Aku yakin, kamu akan dibuat jatuh hati pada pandang pertama. Belum lagi oleh sikap dan pembawaannya. Bahkan di usia yang masih terbilang muda, dia sudah memiliki rumahnya sendiri. Rumah kita. Begitu dia bilang padaku dan bapaknya.
Aku yakin, Cahya memang sudah begitu paham bahwa tak mudah bagi kami, orang tuanya ini untuk hidup terus-terusan menumpang. Menahan laranya tiap ucapan yang tidak menyenangkan. Yah, sesekali dalam pikiran tenang, aku dan suami menganggapnya tak ubah guyonan. Sedangkan malaikat kecil kami pun harus menghadapi liku-liku hidup sendirian di tanah rantauan. Dan, tanpa bercerita panjang lebar soal rencananya, bagaimana caranya mengatur semua, apalagi sampai dibubuhi janji yang muluk-muluk. Tiba-tiba gadis tercantik di dunia itu menyuruh kami pindah ke tempatnya merantau. Katanya, kita sudah punya rumah sendiri di sini.
Berhari-hari mataku sulit sekali terpejam setelah pindah ke rumah baru. Masih tak menyangka jika impianku dan suami untuk memiliki rumah sendiri akan diwujudkan oleh putri kami yang hebat ini. Sesuatu hal yang rasanya cukup mustahil kami wujudkan di usia yang sudah lewat dari istilah senja. Cenderung bau tanah malah. Senang, terharu dan tentu saja bangga, itulah yang kami rasakan. Bagaimana tidak?
Pada saat beberapa anak tetangga yang seusia hanya bisa merepotkan orangtua, bahkan untuk sekedar uang pulsa, dia telah membangunkan istana. Tentu saja tidak semua anak tetangga begitu. Aku harap, kamu pun tidak begitu. Meskipun belum bisa membantu mereka, setidaknya uruslah hidupmu sendiri dengan baik. Paham?
Mari kita lanjutkan kembali! Bahkan ada yang jauh lebih sukses melampaui putriku. Tapi entah mengapa masih saja kudengar keluhan dari bibir orangtuanya soal uang, makan dan perhatian. Jadi bisa dibilang, putriku tetaplah tiada dua. Bahkan langit pun pantang untuk menyangkalnya. Termasuk kamu tentunya.
Kamu masih ingat pasangan Mbah Ganang? Salah satu tetangga yang rumahnya berjarak dua rumah ke arah belakang? Iya, itu. Kamu juga pasti sudah tahu kan, kalau ada satu rumah lagi yang tepat berada di sampingnya. Dua di kiri dan satu di kanan. Bisa dibilang rumah pasangan lansia ini terapit. Tapi pasti kamu belum tahu ya, kalau ketiga rumah yang mengapit itu ialah milik anak-anaknya. Iya, kan?
Entah mengapa mereka masih sering menawar-nawarkan tundunan pisang yang belum terlalu tua untuk diperam. Atau menawarkan jasa tuanya untuk pekerjaan yang sepadan dengan tenaga dan upah tak seberapa. Itu mereka lakukan demi bisa membeli beras dan kebutuhan lainnya. Bahkan untuk sekedar membeli obat sakit kepala atau cairan kental untuk menolak masuk angin. Dari sini kamu pasti sudah paham apa maksudku. Untuk ukuran dua lambung manusia tua yang sudah mengkerut saja, masa tidak bisa diganjal oleh ketiga anaknya. Kebangetan.
Jadi sekali lagi aku tegaskan, putriku memang tiada dua dan bandingnya. Cahya bak pualam. Aku tak mengizinkannya retak. Dia utuh dan tidak tersentuh. Aku tidak ingin siapapun ada yang menyakitinya. Meskipun pada kenyataannya tangan tua ini tidak bisa secara langsung mengelus kepala dan memijit tubuhnya ketika dia terbaring sakit. Ya, seperti yang telah aku jelaskan padamu sebelumnya. Cahya berada di tanah rantauan sebelum akhirnya kami datang menyusul.
Sebagai ganti, yang aku yakini khasiatnya melebihi mantra sakti, doa-doa kepada Sang Maha Suci seakan memenuhi isi bumi. Aku seorang ibu, doaku senantiasa pasti. Bahwa ia akan berubah menjadi perisai yang tak tertembus guna melindungi putri kecil kami. Hingga suatu hari, ketika suamiku sakit dan meminta dipijit, dia mengucapkan sesuatu yang meremukkan jiwa. Mengacak-acak pandanganku yang begitu kukuh.
"Sampai kapan Cahya akan terus hidup sendiri?" Begitu kalimat pembukanya. Ke luar dari mulutnya yang kering dan berhawa panas. Belum lagi batuk-batuk yang menyiksa dada. Satu kalimat saja seperti akan memutus nyawa. "Kita sudah tua. Terutama aku. Dalam mimpi, aku beberapa kali bertemu dengan anggota keluarga yang sudah tidak ada. Bagaimana kalau aku pergi pada saat Cahya masih saja sendiri? Siapa yang akan menjaganya nanti, Mak?"
Aku terhenyak cukup lama. Seakan ucapannya yang panjang dan dipaksakan pada kondisi lemah telah memukul ingatanku yang turut uzur. Berulang kali dan acapkali aku seperti dibuat lupa bahwa malaikat kecil kami, gadis tercantik di muka bumi itu tidaklah sebelia seperti dalam ingatanku. Dia sudah dewasa. Sudah seharusnya menikah. Tapi aku ... aku hanyalah seorang wanita renta yang begitu takut kehilangan.
Kamu tahu, di balik tatapan tajamnya, Cahyaku kerap menyembunyikan kesenduan hatinya. Di antara senyum yang terukir di bibirnya yang mungil, ada kepedihan yang sengaja disamarkan. Dan, di balik sikapnya yang tegas, dia tetaplah wanita lemah yang butuh perhatian dan perlindungan. Sungguh, mentari hidupku tidaklah sekuat itu. Aku ibunya, oleh karenanya sangat paham.
Jadi, apa yang aku banggakan darinya di atas hanyalah bualan? Oh, tidak! Dia memang begitu. Sempurna tanpa cela. Meski begitu aku takut kalau dia sampai jatuh ke pelukan yang salah. Sehingga menghancurkan dirinya yang sudah tertata rapi dan apik. Lalu ....
Menikah? Satu kata yang begitu aku takutkan. Masih begitu sulit untuk kuterima. Merinding tatkala membayangkan sebuah prosesi sakral akan serah terima hak kepemilikan. Atau lebih tepatnya merebut!
Lantas, siapakah lelaki yang akan menjadi pendampingnya? Baikkah? Bagaimana kalau tidak? Akankah dia menyayangi alih-alih mencaci maki? Apakah dia akan memukulnya hanya karena satu atau dua kesalahan yang tanpa sengaja diperbuat? Akankah dia disayangi oleh keluarga suaminya dan tidak dipandang sebelah mata? Apakah dia sosok yang rajin bekerja alih-alih si tukang bangik tak tahu malu alias pemalas? Akankah putriku hanya berujung jadi pembantu gratisan, pemuas napsu dan mesin pembuat anak belaka? Akankah ...?
Usut punya usut, ternyata memang begitulah kehidupan ketiga anak Mbah Ganang. Yang pertama bisa dibilang peduli, tapi lumayan peritungan. Apa-apa dicatat dan selalu diingatkan. Yang kedua juga lumayan peduli, tapi ekonomi sendiri tak kurang runyam. Suami pergi merantau, pulang tak pasti, apalagi soal transferan. Nihil. Yang ada malah meminta kiriman dari istrinya. Pernah suatu hari ketika pulang dari warung dan melewati rumahnya, terdengar riuh tangis kedua anaknya yang masih kecil. Kudengar pula makian dari mulutnya yang berbaur dengan isak tangis. Emang anjing kamu, Bambang! Setahuku Bambang itu nama suaminya. Sedangkan yang ketiga terbilang mapan ketimbang dua saudara lainnya. Tapi sikapnya sendiri pada orangtua dan saudara bak orang asing. Sungguh, hidup diapit oleh anak-anak tak lantas menjamin kesejahteraan. Dan sekali lagi, ya begitulah.
Membicarakan soal lelaki, Cahyaku bak madu. Sedari SMP sudah banyak yang mengejarnya, bahkan memintanya dijadikan calon menantu atau calon istri setelah lulus nanti. Tentu saja aku menahan. Enak saja! Jangankan dulu, sekarang saja ketika usianya sudah menginjak kepala tiga, aku belum merelakannya. Karena sampai kapanpun dia akan tetap menjadi putri kecilku yang tertatih dalam prosesnya belajar berjalan.
Hanya karena dia berbeda dari sifat dan dalam bersikap, terbilang istimewa dan menggiurkan, tak lantas membuatku silau oleh iming-iming. Tergoda oleh pujian. Aku memang bangga telah berhasil mendidiknya dengan baik. Tapi keikhlasan untuk melepasnya bak kemelut yang mengungkung sukma ini sendiri. Terlebih setiap orang yang ingin menarik sang pujaan hati pasti akan menunjukkan hal-hal baik. Entah itu benar-benar baik atau cuma sekedar modus belaka. Dan, sebagai ibunya - belahan jiwanya sampai alam baka, nurani yang digarami kelatnya pengalaman ini, aku dapat merasakan adanya hawa persandiwaraan.
"Nanti kalau kita sudah menikah, apapun yang adek inginkan pasti akan mamas turuti."
Dari ruang TV aku dapat mendengar dengan jelas pembicaraan di ruang tamu. Seorang pemuda yang tengah mendekati putriku tercinta, yang umurnya terpaut enam tahun di bawah Cahya. Seorang pemuda ingusan dan masih begitu hijau akan pengalaman. Bahkan kencing saja belum lurus. Berani-beraninya mendekati putriku dan ingin mengajaknya menikah. Terus, apa tadi katanya? Apapun yang diinginkan oleh putriku akan dipenuhi? Taik kucing!
"Kalau mamas sih, memang begini orangnya. Kalau adek mau menerima mamas apa adanya, mau diajak susah ya, ayo kita menikah!"
Pemuda itu terus melanjutkan, sedangkan Cahya masih belum terdengar membuka suara. Jujur, aku sampai dibuat harap-harap cemas oleh jawaban putri ayuku. Apakah dia akan dengan mudah menerima tawaran itu? Sedang kata suamiku, lebih baik kita tidak usah ikut campur. Kita lihat dan perhatikan. Barangkali dia membutuhkan pendapat, yang penting kita sudah siap.
Aish, Pak! Tak tahukah kamu kalau pemuda itu datang dengan berbalut muslihat? Modus dalam rangka mempersiapkan panggungnya sendiri bersama putri kita sebagai pendamping. Sedangkan kita hanya akan berakhir sebagai penonton yang sesekali diajak berinteraksi. Seperti tawanan sosok psikopat yang kedua tangannya diikat ke belakang. Kita hanya bisa melihat proses pembantaian di depan mata tanpa bisa melakukan apa-apa. Putri kita dalam bahaya, Pak! Kita harus menyelamatkannya.
"Nduk?'
"Dalem, Mak?"
Aku diam sejenak. Bibir tua ini meringis dan tidak lagi memperlihatkan gigi-gigi utuh nan bersih. Tulang penggerus itu sudah lama aus, menandakan betapa sudah tuanya aku. Bahkan hanya untuk mengecap kembali rasanya kacang goreng, aku harus menguleknya lebih dulu di atas lemper dan menaburinya dengan gula pasir. Barulah kusendok sedikit, memasukkannya ke mulut dan mengemutnya begitu perlahan. Membiarkannya lumer sembari membayangkan ketika masih pada masa jayanya.
"Ada apa, Mak? Kok, malah diam?" Cahya bertanya dengan suara halus. Sedangkan tangan kanannya masih sibuk mengerik punggungku.
"Bagaimana keputusanmu?"
Kini giliran Cahya yang diam. Entah apa yang dipikirkannya bersama gerakan tangan yang berhenti mengerik.
"Kalau kamu menikah nanti, apa kamu masih ingat sama mamak, Nduk?"
"Ya, tentu masih, Mak." Cahya bergetar. Tapi aku yakin, dia tidak akan semudah itu untuk menitikkan airmata. Entah mengapa dia begitu kuat. Sesuai dengan pikir dan hatinya yang begitu keras. Sesosok paket komplit yang tidak mungkin bisa ditelateni pemuda ingusan bau kencur sepertinya.
Sebagai orangtua tentu saja aku tidak tinggal diam saat anakku didekati oleh seorang lelaki. Apalagi sampai berani mengajaknya menikah segala. Semua upaya akan aku lakukan, termasuk mencari tahu silsilah dan segala macamnya. Barangkali aku bisa membuka topengnya jika dia memang mengenakannya ketika berhadapan dengan Cahya. Dan ya, pemuda yang memenuhi bibirnya dengan janji-janji manis itu memang memakainya. Meskipun tanpa dia sadari, janji manis itu berseberangan dengan prinsipnya sendiri. Karena keluarganya masih teritung tetangga, tepatnya dari gang sebelah - sekitar lima menit jalan kaki, jadi tidak sulit bagiku untuk mencari berbagai informasi. Sungguh, dia bukan lelaki yang baik. Setidaknya untuk putriku. Tidak untuk malaikatku!
"Ya, siapa tahu."
Aku harap, Cahya bisa menangkap pesan dari jiwa keibuanku yang sesunguhnya bergejolak. Bahwa aku ingin dia menilik lebih jauh lagi soal kepribadian si pemuda yang mendekati. Karena aku tidak bisa mengatakannya secara gamblang. Pertama karena larangan dari suamiku. Sedang yang kedua karena memang aku kesulitan untuk mengutarakannya. Di sisi lain aku yakin kalau Cahya tidaklah sebodoh itu. Namun di sisi lainnya lagi, aku tetap khawatir jika rasa cinta akan membutakannya. Yang membuatku sedikit lebih tenang ialah Cahya bukan tipikal seseorang yang mudah jatuh cinta.
Entah ... entah mengapa pergolakan demi pergolakan terus mengikis kewarasanku. Aku benar-benar tidak sudi putriku diambil oleh pemuda itu. Bisa jadi oleh lelaki manapun. Termasuk kamu jika kamu seorang lelaki. Apakah kamu sudah becus dalam mengurus hidupmu? Maka, jangan bermimpi untuk mendapatkan putriku! Aku benar-benar belum siap. Bagaimana kalau dia benar-benar melupakanku setelah menikah nanti? Mengabaikan dan tidak menginginkanku lagi? Seperti halnya putri dari tetanggaku yang lain.
Ialah rumah bergaya minimalis yang terletak tiga rumah ke samping kiri. Karena mereka teritung orang baru, aku yakin kamu pasti belum banyak tahu. Yang jelas dia telah menikah dengan lelaki tidak berotak. Apalagi yang namanya perasaan.
"Coba lihat, Mbah, apa nggak bikin eneg lihat orang yang nggak bisa ngapa-ngapain, tapi mulut masih bisa ngunyah!"
Tentu aku bisa melihatnya. Seorang lelaki bertubuh kurus sedang duduk di kursi yang diletakkan di bawah pohon jambu jamaika. Tengah menikmati sarapannya dengan tangan kiri yang gemetar. Sampai membuat beberapa bulir nasi dan kuahnya berhamburan di kursi dan bajunya. Dengar-dengar tubuh bagian kanannya telah lumpuh akibat dihajar stroke. Sebuah kondisi membumi bagi lansia yang tidak ingin aku alami sama sekali. Amit-amit.
"Mbah sih, masih mending. Walau udah tua masih bisa usaha sendiri. Nah, itu ...." Lelaki berotak landak itu menunjuk si lelaki tua dengan dagu dan mencibir. "... Bisanya cuma bikin yang muda susah!"
Aku masih melihatnya, si lelaki tua yang berusaha keras untuk menghabiskan sarapannya yang berceceran. Seolah tak mendengar apa yang si lelaki dajjal itu katakan. Padahal aku yakin kalau beliau pasti mendengarnya. Kedua matanya yang berkaca-kaca tidak bisa luput dari perhatianku. Sedangkan putrinya hanya diam dan tidak mengatakan apapun. Membantu ayahnya makan atau sekedar menyapu dagunya yang basah oleh guyuran kuah santan pun tidak. Mungkin dilarang oleh suaminya. Atau ... atau mungkin juga telah menjelma kegelapan dalam sanubarinya seperti hati sang imam?
Aku pernah dengar, dulu si lelaki tua ialah orang kaya. Sehingga kemudian seiring tubuh yang renta, beliau sengaja membagi-bagikan harta kekayaan pada putra-putrinya. Sebagai jaminan bahwa beliau bisa dirawat salah satunya dengan layak sembari menunggu sang maut menjemput. Tapi kenyataannya, beliau hanya dilempar ke sana kemari dengan alasan anak-anaknya yang dulu begitu beliau banggakan tidak sanggup lagi mengurus.
Aku pun yakin, jika lelaki yang menjadi suami putrinya itu, dulu juga datang secara baik-baik dan memperlihatkan yang baik-baik. Terlepas dia mengenakan topeng modusnya atau tidak. Namun, beliau sepertinya telah merelakan bahwa lebih baik dirinya yang tersakiti. Asalkan jangan putrinya.
Entah ke putra atau putri mana lagi beliau akan dilempar dan berakhir menemui ajal, asal anak-anaknya tidak merana. Sedangkan bagaimana hatinya merasa sudah tidak perlu lagi ditanya. Karena hari demi hari setelah ini hanyalah berisi harapan agar segera bertemu Sang Kuasa. Tentu, tentu saja berpulang tidak dalam perasaan dendam. Bukan dengan harapan jika kelak sang anak akan mendapat karmanya. Diperlakukan sedemikian rupa ketika telah tua. Sakit, sengsara, merasa tak berguna dan diabaikan.
Apakah ... apakah nasibku akan seperti itu juga kelak? Apakah ... apakah putriku, mentariku, Cahyaku juga akan menjelma begitu? Apakah aku juga akan berakhir terabaikan seperti para tetanggaku? Didera sakit berkepanjangan, tidak bisa apa-apa, bisanya hanya membenani dan tak kunjung mati-mati? Sedangkan suratan Ilahi - yang menggariskan hati ini sebagai orangtua-orangtua sejati, sungguh tak akan mengungkit apa yang telah kami beri. Seperti halnya tetanggaku yang lain, yang belum lama ini meninggal dunia karena sakit tak terperi.
"Sudah. Sudah! Nggak usah ditangisi mayat bapakmu!" Seorang wanita tua, tapi tak serenta diriku menyabetkan kerudungnya. Mengusir kepala-kepala tertunduk yang tengah menangis tersedu-sedu di sekitar tubuh suaminya yang telah terbujur kaku. "Dulu masih hidup aja nggak ada yang mau ngobatin. Sekarang udah mati ditangisi. Percuma. Bapakmu udah mati!"
Ya, Ilahi!
Aku benar-benar didera ketakutan yang teramat sangat. Bagaimana melihat orangtua-orangtua sepertiku di sekelilingku - para tetanggaku, harus menjalani hari tua dengan cara begitu. Terlebih ketika aku bercermin - sesuatu hal yang sudah lama sekali tidak aku lakukan. Melihat wajahku yang seperti bukan manusia lagi. Lebih seperti menyerupai bongkahan tanah yang telah berubah menjadi lumpur kering. Rambutku yang sepenuhnya telah memutih dengan mata yang begitu sayu. Tinggal berapa lama lagikah aku hidup? Sungguh, aku lebih bersyukur jika tiba-tiba langsung mati tanpa sakit berkepanjangan lebih dulu. Jadi tidak akan merepotkan putriku kelak. Tidak perlu melihatnya berubah dan mengabaikanku.
Segala pikiran itu, kecemasan itu telah menghajarku sedemikian rupa. Membuatku kesulitan memejamkan mata dan beristirahat sejenak pada setiap malamnya. Sehingga tubuh renta ini sudah tidak mampu lagi mengimbangi pikiran yang begitu tinggi dan perasaan yang begitu dalam. Aku jatuh sakit dan masih belum juga bisa mengungkapkan kekhawatiranku pada Cahyaku. Sedangkan suamiku terus menemani dan mengatakan berbagai kalimat penyulut semangat.
"Sembuhlah, Mak. Ayo, semangat! Supaya kita bisa melihat putri kita menikah sama-sama. Menggendong cucu kita."
Aku hanya menggeleng lemah. Bujuk rayu suamiku terasa hambar dalam hati. Terlebih ketika melihatnya sakit dan semangatnya melemah seperti tempo hari. Aku begitu takut akan ditinggal mati lebih dulu olehnya. Kemudian menjalani hari-hari yang begitu menyiksa sendirian. Menyaksikan bagaimana kehidupan baru telah merenggut kelembutan malaikat kecilku. Yang menatapku jijik seumpama mayat hidup yang masih butuh makan, tapi sudah tidak bisa mengurus tahi sendiri. Dia, Cahyaku tidak lagi menjadi putriku. Sungguh, segala ketakutan itu telah mengungkungku jauh dari keinginan untuk sembuh.
Tentu saja Cahya selalu merawatku dengan telaten. Sama persis seperti pada saat suamiku yang sakit. Bahkan dia sampai rela mengambil cuti panjang untuk mengurus kami. Dia juga selalu menanyakan apa yang kuinginkan, yang hanya aku jawab dengan senyum dan gelengan. Setidaknya, wajah ayu dan sorot matanya yang belum berubah masih sanggup menyokong jiwaku untuk tetap tinggal. Baik ditinggalkan maupun meninggalkan sama-sama berat bagiku. Namun, aku akhirnya paham bahwa harus secepatnya mengikhlaskan.
"Menikahlah, Nduk," aku berbisik di telinganya dengan bulir-bulir hangat yang meluncur dari ekor mata. "Siapapun pilihanmu, doa dari mamak akan selalu menyertai."
Seperti biasa, Cahya selalu diam. Menyimpan segala beban beratnya sendiri tanpa perlu menangis. Aku tak bisa menyalahkan. Meskipun aku terbilang cengeng, tapi sama-sama tak mudah dalam mengungkapkan perasaan. Aku yakin, pasti dia seperti berpacu dengan waktu. Khawatir jika nyawaku dicabut sewaktu-waktu dan belum sempat memenuhi keinginan terakhirku. Sedangkan dia sendiri telah menolak pemuda ingusan itu beberapa hari lalu.
"Dia masih begitu muda, Pak. Masih belum siap menikah walaupun ngotot menikah. Masih belum puas pacaran. Belum puas menjelajah. Belum banyak berkenalan dengan gadis-gadis cantik di luar sana. Kalau jadi bajingan sesudah menikah, malah aku dan anakku nanti yang susah." Begitu Cahya beralasan pada bapaknya. Yangmana pada ujung kalimatnya diselipi dengan tawa. "Bapak dan mamak yang sabar, ya. Aku pasti akan menikah."
Hingga pada suatu hari, Cahya masuk ke kamarku dan tidak seorang diri. Dia datang bersama seorang lelaki yang diperkenalkannya sebagai kekasih. Orang pertama, barangkali menjadi satu-satunya dan terakhir yang diakui putriku dengan sebutan manis itu. Lelaki yang begitu beruntung karena telah berhasil menaklukan hati putriku. Dan ajaibnya, begitu pun dengan diriku. Tampaknya aku juga menyukainya. Aku yakin padanya.
Ada perasaan yang begitu sulit untuk dijelaskan tatkala lelaki itu meraih tanganku dan mencium punggungnya. Tak pula kudapati topeng yang menempel di wajahnya sebagai tipu muslihat. Aku menangis, aku terharu. Kali ini telah benar-benar kutemui pengganti untuk melindungi Cahyaku. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, tubuhku yang lemah seketika segar bugar. Entah dorongan dari mana, aku merasa tidak memaksakan diri untuk menyaksikan acara yang paling sakral itu. Ya, aku telah mengikhlaskan putriku menikah dan bersiap mengarungi perjalanan bahteranya sendiri.
Namun semua keajaiban itu tidak berlangsung lama. Segera setelah beberapa hari pesta pernikahan digelar, tubuh rentaku kembali tumbang. Kali ini aku begitu yakin, bahwa ini ialah saat-saat terakhir. Dan orang pertama yang ingin aku sampaikan pesan ialah anak menantu. Bukan putri maupun suamiku.
"Tolong ya, Nak, titip bapak dan Cahya. Tolong jangan sia-siakan mereka."
"Pasti, Mak. Pasti." Lelaki pilihan malaikatku bertatap lurus dengan kedua mataku. Saling bertaut. Begitu dalam. Tiada kusangsikan keyakinan yang berusaha disampaikannya. Sungguh, aku begitu merasa lega.
"Berbahagialah, Nduk."
Berbeda dengan suaminya, Cahyaku tak sanggup untuk menatap dan membalas ucapanku. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku melihatnya menitikkan airmata. Tak apa, Nak. Tak apa. Karena apa-apa yang menghimpitku selama ini telah terangkatkan sepenuhnya. Kecuali satu. Ialah pada lelaki yang selama ini selalu setia menjadi pendamping hidupku.
Ya. Suamiku. Pada akhirnya Tuhan telah mengabulkan segala inginku. Segera mati tanpa sakit berkepanjangan, tidak perlu merasa terabaikan, menyusahkan dan tidak berguna. Termasuk meninggalkan belahan jiwaku lebih dulu.
Maaf ya, Pak. Mamak pamit pergi lebih dulu. Aku tunggu di tempat terindah untuk kita berdua bisa kembali bersama. Jangan takut, Pak! Masa tuamu dan masa depan putri kita telah berada di tangan yang tepat. Kamu dan anakku tidak akan bernasib seperti beberapa tetangga. Sekali lagi, aku pamit. Jaga dirimu baik-baik. Emhh ... Lebih cepat kamu datang, maka lebih baik. Karena aku tetap takut kesepian.