Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bagi Marwan, setiap rentetan kenangan indah yang pernah ia lukiskan bersama cucunya seolah tidak ada artinya. Pada akhirnya, semua kenangan indah itu tertutupi sepenuhnya oleh satu kenangan buruk.
Hanif, cucunya, meninggal dalam sebuah kecelakaan tragis, tepat di depan matanya.
Tragedi sepuluh tahun silam itu masih terekam jelas diingatan Marwan, walau umurnya kini sudah menginjak 68 tahun. Wajah mungil Hanif yang selalu dihiasi senyuman polos dan tawa riang, harus berakhir dalam baluran darah yang begitu merah dan pekat.
“Ayo Kek, main lagi. Anip mobil kodok, Kakek mobil monyet ya.” Suara cucunya itu begitu lembut di telinga Marwan, membuatnya tak pernah sekalipun mengatakan “tidak” pada makhluk lugu itu.
Hanif baru saja pulang dari TK sebelum akhirnya mampir ke rumah kakek dan neneknya seperti biasanya. Rumah itu menyatu dengan perabot yang ada di depannya, sebuah gudang tempat Marwan biasa memproduksi beraneka perabotan rumah tangga seperti meja, kursi, dan lemari bersama beberapa orang yang dipekerjakannya. Dia dan cucunya sering memainkan permainan favorit mereka, menghitung jumlah mobil yang lewat di depan perabot sambil bercengkrama di bangku depan, di area parkir yang sejajar trotoar. Letaknya yang persis di sisi jalan utama membuatnya selalu ramai dilalui beragam jenis kendaraan. Salah duanya mobil kodok dan mobil monyet, sebutan mereka untuk mobil VW Beetle dan VW T2.
Masih kental di ingatan Marwan ketika pertama kali cucunya mendengar nama mobil monyet, dia terkekeh cukup lama.
“Hahahaha… Uuk.. Aaa… Uuk… Aaa...” Anak itu menatap kakeknya sesaat, menunggu respon orang yang baru saja ia coba jahili, kemudian tertawa kembali penuh kegirangan bersama-sama.
Dalam permainan itu, mereka menghitung setiap kali ada mobil kodok atau mobil monyet yang lewat. Siapapun yang berhasil memperoleh jumlah yang lebih banyak boleh meminta apapun yang diinginkan. Perintah, hadiah, atau apapun yang menyenangkan mereka.
Permainannya dimenangkan oleh Hanif. Tak perlu berpikir lama baginya untuk dapat menentukan hadiahnya.
“Kek, Anip mau kelereng boleh?” Pintanya pada kakeknya dengan senyuman polos khasnya. Marwan mengangguk tanpa bantahan dan langsung bangkit dari posisinya.
Sebenarnya hadiah itu sudah disiapkan, seolah dia sudah meramal kejadiaan yang akan datang. Makanya saat itu, sang kakek dengan percaya diri dan sumringah memberi isyarat kepada cucunya untuk menunggu di bangkunya, sembari mengambil hadiah yang sudah dipersiapkannya.
Namun ternyata, Marwan tak pernah benar-benar meramalkan kejadian hari itu sepenuhnya. Dia tidak pernah menyangka bahwa akan ada petaka yang memisahkan mereka, membentuk satu garis takdir pemisah yang tak bisa dihapus. Kekalahan Marwan di hari itu dari cucunya, juga menjadi kekalahan terbesarnya dari kehidupan yang selama ini ia anggap selalu berpihak padanya.
Langkah Marwan terseret. Kelereng dalam genggamannya jatuh berhamburan ke segala penjuru. Ia melihat cucunya tengah berjalan ke jalan raya. Marwan panik. Ia berlari tergopoh-gopoh, memaksakan kakinya yang pincang untuk meraih anak itu. Namun ia kalah cepat. Sedetik kemudian, Marwan hanya bisa menyaksikan pilu ketika salah satu mobil monyet di jalanan itu mematahkan tulang-tulang cucunya yang masih rapuh, membenturkan kepala mungil itu ke sisi aspal yang kasar. Tubuh Hanif terkapar di tengah jalan dalam keadaan memeluk seekor anak kucing liar.
Marwan menghampiri cucunya yang sudah tak bergerak. Diangkatnya tubuh itu dengan hati-hati. Kaki Marwan tergetar hebat. Bulir air matanya keluar perlahan. Suaranya seperti tertahan. Degup jantung anak itu sudah tak bisa lagi dirasakannya. Benturan di kepala Hanif terlalu keras hingga membentuk beberapa garis tegas dan lebar yang terus mengeluarkan cairan merah pekat. Cairan yang menghapus segala kenangan indah yang selama ini telah mereka lukis.
Kenangan bersama cucunya di hari itu menjelma menjadi luka yang tidak akan pernah bisa disembuhkan Marwan. Selamanya akan terus menganga dan terasa amat perih.
Selain kehilangan cucunya, Marwan juga harus kehilangan anaknya, Irfan. Anak laki satu-satunya itu menganggap ayahnya telah lalai dalam mengawasi cucunya. Sikap Irfan berubah drastis sejak saat itu. Wajahnya yang dulu penuh keteduhan mendadak diletupi oleh amarah yang tidak bisa dikendalikannya, membuat jarak yang cukup lebar antara ayah dan anak. Bahkan ia melarang Marwan untuk mengantarkan cucunya ke peristirahatan terakhirnya.
Marwan menyadari kesalahan yang timbul akibat kelalaiannya. Dia pun mencoba menemui Irfan beberapa hari setelah cucunya dimakamkan. Namun pintu rumah itu seakan sudah terkunci rapat baginya. Bahkan saat mendengar kabar Irfan telah dikaruniai buah hati lagi, dia kembali mencoba untuk memperbaiki hubungan mereka yang tak lagi akur. Usahanya lagi-lagi gagal. Jiwa Marwan pun perlahan ikut tergerus oleh sikap anaknya yang selalu menolaknya dan bahkan memusuhinya, seolah-olah dia adalah seorang pembunuh yang sadis.
Sepuluh tahun pun telah berlalu sejak peristiwa nahas itu, namun kehidupan Marwan tak pernah lagi sama. Garis di antara bibirnya selalu datar. Pria itu berubah menjadi seorang pemurung. Kesehariannya hanya berdiam diri di kamar atau duduk di bangku depan perabot sambil menatap kosong ke jalan raya. Setiap detik ia habiskan hanya untuk meratapi satu kesalahan terbesar dalam hidupnya itu. Mengabadikan kenangan buruk tentang tragedi yang memilukan secara terus menerus. Membuatnya semakin tenggelam dalam keterasingan.
Bagi Irfan, kehilangan seorang anak bukanlah perkara yang mudah, terlebih dengan cara yang tak pernah ia bayangkan. Setiap kali dia melewati rumah orang tuanya, bayangan rupa terakhir Hanif selalu menghantuinya. Wajah yang dulunya begitu lugu berubah menjadi menyakitkan untuk dikenang dan meninggalkan banyak luka bagi dia dan istrinya.
Sejak kejadian itu, Irfan tidak pernah lagi mampu untuk mampir ke rumah orang tuanya. Tidak untuk mengunjungi ibunya, apalagi ayahnya yang sejak saat itu telah ia musuhi. Irfan memang masih menemui ibunya, tapi itu hanya terjadi ketika ibunya berkunjung ke rumahnya saja. Tak sanggup rasanya kalau harus bertemu ayahnya dan mengorek kembali luka lama yang sampai sekarang belum benar-benar kering.
Harus menunggu beberapa tahun hingga kehidupan Irfan berangsur membaik, walau masih tak sepenuhnya. Dia dan istrinya akhirnya dikaruniai lagi seorang anak laki-laki yang mereka namai Ian. Wajahnya terlihat begitu mirip dengan Hanif. Umurnya sekarang juga sama seperti ketika abangnya dulu pergi meninggalkan mereka. Setidaknya kehadiran Ian bisa menjadi obat di kehidupan mereka walau harus menunggu sampai lima tahun lamanya.
Irfan tak pernah berniat mengenalkan Ian pada Marwan. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak akan mengijinkan anak keduanya ini bertemu kakeknya, walaupun ibunya pernah beberapa kali momohon kepadanya. Dia tak ingin mengulang kesalahan yang sama. Baginya, kehilangan anak terasa sangat menyayat hati. Dia takut kejadian serupa akan menimpa Ian.
Meski begitu, ibunya tak pernah terlihat putus asa. Dia yakin hubungan suami dan anaknya itu akan membaik seiring waktu. Keyakinan itu membuatnya kerap kali berkunjung ke rumah Irfan, berusaha meyakinkan anaknya dengan pelan bahwa kematian adalah garis takdir yang tidak dapat dibelokkan oleh siapapun. Semuanya sudah ditulis jelas oleh Tuhan. Tak ada kuasa ayahnya untuk mencegahnya. Tetapi respon Irfan selalu saja dingin ketika ibunya mencoba membahas tentang kejadian itu, seolah tak ingin melanjutkan. Sikapnya bulat. Baginya kematian Hanif adalah akibat kesalahan ayahnya dan dia belum bisa memaafkannya.
Sore itu ibunya kembali berkunjung ke rumah Irfan, rutin seperti biasanya dalam sepekan. Di sana ia disambut oleh cucu dan menantunya. Pada kunjungan kali ini ibunya tak hendak berlama-lama. Ia tampak lelah dan terlihat seperti kehilangan semangat. Agendanya kali ini hanya untuk menemui anaknya, tak berharap banyak. Dia merasa ada hal yang perlu disampaikan kepada anak semata wayangnya itu.
Ibu dan anak itu beradu pandang. Keduanya hening ketika ibunya mulai menasihatinya seperti biasa. Baginya, selama ini nasihat itu hanya sepintas lewat. Tak dapat juga menghidupkan kembali anaknya yang telah meninggal.
Tapi emosi yang ditampilkan ibunya kali ini berbeda dari biasanya. Tidak pernah ia melihat ibunya sesendu itu sejak kejadian Hanif, berbicara dengan nada pelan dan menahan sesak yang begitu kuat di dadanya.
“Mungkin ayahmu memang lalai, tapi dia bukan pembunuh. Tak perlu kamu musuhi dia!” Ibunya menghela napas panjang, mencoba memilih kata-kata yang tepat untuk disampaikan. “Langkah mungil anakmu yang tanpa dosa itu telah membawanya pada takdir terbaiknya, menyelamatkan satu nyawa yang mungkin tidak berarti bagi kita. Jika anakmu yang polos itu mampu menyelamatkan makhluk itu yang bukan siapa-siapanya, mengapa kamu harus membunuh ayahmu dengan rasa bersalahnya?”
Irfan ingin menyela tapi tertahan, kemudian memilih mendengarkan tanpa bereaksi.
“Dia sudah terlalu menderita karena kehilangan cucunya dengan segala rasa bersalahnya. Tolong jangan biarkan dia menderita lagi karena harus kehilangan anak satu-satunya juga.” Air mata ibunya mulai mengalir tipis.
Irfan sebenarnya tidak tega. Dia ingin mendekap ibunya, tapi masih ragu-ragu dan memilih bertahan pada posisi duduknya.
“Jangan sampai kamu menyesal dikemudian hari. Seperti ibu ketika mengabaikan Mimi, nenek buyutmu. Waktu itu ibu masih kecil. Mimi memanggil ibu beberapa kali, tapi tak sekalipun ibu hiraukan karena terlalu larut bermain. Mimi lalu dengan suara lesunya membalas abaian ibu dengan kalimat yang masih ibu ingat sampai sekarang. ‘Neuneuk lupa dia sama Mimi kalau lagi ada kawan, padahal biasanya selalu gak boleh jauh dari miminya.’
“Tidak lama setelah itu, Mimi meninggal. Mungkin pada saat itu Mimi rindu sama ibu, sekedar ingin peluk atau cium ibu. Tapi ibu abaikan. Ibu baru memahami bagaimana rasanya ketika ibu sudah dewasa. Kenangan terakhir itu membuat luka yang sangat tegas di hati ibu, mengaburkan semua bentuk kenangan indah yang lainnya, seolah cuma itu satu-satunya kenangan yang kami punya. Mungkin sepele, tapi bagi ibu itu menyakitkan. Ibu hanya tidak mau kamu merasakan apa yang ibu rasakan.”
Irfan menghampiri sosok yang kini terduduk lesu dan berderai air mata. Ia memeluknya erat sebelum akhirnya ibunya meminta pamit.
Dia mengantarkan ibunya hingga ke pintu depan. Tiba-tiba saja langkah pelan wanita tua itu terhenti, sekali lagi menatap pada buah hatinya dan tersenyum tulus, penuh harap sebelum menyampaikan sesuatu untuk terakhir kalinya.
“Kalau kamu masih belum ikhlas, setidaknya ijinkan Ian bertemu dengan kakeknya sekali saja. Sebentar saja tak apa. Ibu janji akan jaga Ian seperti ibu dan ayah jaga kamu dulu.”
Irfan merenungi setiap kalimat yang baru saja ia terima. Kunjungan ibunya barusan memutar kembali sebuah kenangan 35 tahun lalu ketika dia baru berusia lima tahun. Peristiwa itu terproyeksi jelas di ingatannya ketika ayahnya menggendongnya menuju Vespa putih yang sudah berumur. Dia berdiri di depan ayahnya, persis di belakang setang kemudi. Wajahnya mendongak kebelakang dan menatap ayahnya sejenak sebelum berangkat.
“Kita mau ke mana Ayah?”
“Ke Toko Ika,” terlihat senyum ayahnya yang begitu mengembang.
Irfan kegirangan. Kedua tangannya direntangkan ke udara disertai lompatan kecil yang tidak begitu terasa. Dia sangat bersemangat di hari itu, berburu mainan baru bersama ayahnya.
Mereka bertolak ke tempat tujuan dalam laju yang santai. Menikmati setiap putaran roda sebagai momen kebersamaan antara ayah dan anak. Sepanjang jalan Irfan terlihat mengoceh dan mulai kebingungan dalam menentukan pilihan warnanya. Dia sudah membayangkan akan seperti apa serunya punya mainan baru yang dibelinya bersama ayah.
Toko Ika terletak persis di pinggir jalan. Tidak seperti perabot tempat ayahnya bekerja, tempat ini dibatasi sepenuhnya oleh trotoar yang lumayan lebar.
“Ituuu!” Irfan menujuk pada kumpulan mobil-mobilan beraneka warna yang terpajang di toko.
Ayahnya meraih mobil-mobilan itu dan menyerahkannya kepadanya. Irfan menyambar dengan cepat. Saat itu, lagi-lagi dia menyaksikan senyuman yang lebar dari wajah ayahnya.
Saking bersemangatnya, Irfan kecil langsung berlari meninggalkan ayahnya menuju Vespa yang diparkirkan persis di sisi trotoar. Dia kelihatan tidak sabar untuk bisa memainkannya. Dengan segera ia mengambil posisi siap, berdiri di belakang setang kemudi sambil memandang takjub pada mainannya tanpa mempedulikan sekitar.
Dari sisi trotoar, Irfan melihat ayahnya berlari ke arahnya. Dia melambai seraya melombat kegirangan. Dia tidak menyadari ada sebuah becak dayung yang melaju kencang ke arahnya. Hitungan detik, tubuhnya sudah diangkat oleh ayahnya tanpa aba-aba. Barulah dia sadar sebuah becak dayung telah menabrak Vespa dan membuat mereka tersungkur. Wajahnya terlindungi sepenuhnya oleh lengan ayahnya yang lebar. Terlihat ayahnya yang begitu panik mengusap kepalanya, memastikan anaknya baik-baik saja tanpa menyadari kakinya sendiri telah terhimpit diantara badan Vespa dan trotoar. Dan sejak hari itu, langkah kaki ayahnya tak pernah lagi sama.
Kenangan tentang ayahnya barusan berhasil membuatnya menghela napas panjang.
Irfan kemudian menyadari bahwa ibunya masih berdiri di depan pagar rumahnya, tampaknya wanita itu begitu kesusahan membuka pintu pagar besi yang mulai dipenuhi karat. Dia lalu memanggil dan memberikan isyarat kepada ibu untuk menunggunya sebentar. Kemudian ia berbalik ke dalam rumah dan menghampiri Ian yang sedari tadi tengah asyik bermain sendirian.
“Ikut ayah yuk. Kita antarin Nenek!”
Ajakan itu disambut girang oleh Ian yang akan ke rumah neneknya untuk pertama kalinya.