Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Regi memarkirkan motor dengan terburu-buru. Jam praktik dokter tinggal lima menit lagi. Dia tadi tidak segera berangkat karena menuruti moodnya yang lagi jelek.
Memasuki gedung megah rumah sakit elit itu, Regi mengernyitkan dahi. Suasana tampak aneh. Lobi rumah sakit yang biasanya ramai sekarang terlihat sepi dan suram. Hanya ada seorang satpam yang sedang khusyuk dengan gawainya. Juga ada seorang resepsionis yang melayani pasien yang sedang registrasi.
Regi bergidik ngeri. Suasana rumah sakit ini terlalu aneh. Pasien yang menunggu di depan resepsionis juga hanya ada dua orang. Tidak mau terlarut dengan suasana suram lobby, dia bergegas menuju poli mata, Ruang 115.
Nampak beberapa orang sudah antri. Melirik kertas registrasi, Regi mendapati angka 005. Alhamdulillah, masih ada waktu.
Di depan ruang poli, Regi celingukan mencari tempat duduk yang kosong. Masih ada satu kursi kosong diantara seorang ibu-ibu berbaju hitam dan seorang remaja putri yang berkacamata.
“Permisi,” kata Regi.
Tidak ada yang merespon. Keduanya sedang asyik dengan HP masing-masing. Akhirnya Regi duduk, meskipun hatinya agak kurang nyaman.
Biasanya Regi juga akan segera asyik dengan HP saat menunggu begini. Tapi kali ini ada yang beda. Dia melihat sekeliling. Semua orang sedang merunduk, asyik dengan gawai masing-masing. Tidak ada yang bercakap-cakap sama sekali.
Regi terperanjat saat menyadari sesuatu yang aneh. Tak sengaja dia melihat kaki orang-orang mulai transparan. Diawali dari kaki seorang gadis berkacamata yang duduk di sebelahnya. Mulanya hanya ujung sepatu yang menghilang, makin lama merambat ke atas. Semakin banyak kakinya yang tidak terlihat.
Regi gemetar. Dia lihat kakinya, tidak ada apapun yang terjadi. Kembali dia mengamati sekitarnya. Ibu berbaju hitam di sebelah kanannya tidak mengalami apapun. Kakinya utuh. Beliau sedang berbincang dengan suaminya.
Seorang wanita paruh baya berambut ikal yang ada di depannya, lebih aneh lagi. Awalnya, kakinya mulai transparan. Tiba-tiba, kakinya kembali terlihat. Semua orang yang duduk di deretan belakang juga mengalami hal yang sama. Bahkan ada yang sudah sampai perut tidak kelihatan. Apa yang sesungguhnya terjadi. Revi mulai bingung.
Dia melirik ke kiri. Gadis itu begitu khusyuk memegang HP. Dia seperti tidak menyadari, bahwa kakinya mulai menghilang. Sedangkan ibu berbaju hitam di sebelah kanan tetap tidak mengalami apapun. Dilihatnya beliau tidak memegang HP setelah bercakap-cakap dengan suaminya.
Regi mulai menyimpulkan sesuatu. “Apa yang pegang HP saja yang kakinya hilang?”
Tapi ibu itu juga pegang HP. Mengapa tadinya kakinya bilang sekarang sudah tidak lagi. Regi ingin bicara pada orang-orang, tetapi dia ragu. Akhirnya dia memberanikan diri bertanya pada sebelahnya.
“Mohon maaf, Bu.”
“Iya, ada apa, Mbak?”
“Itu kenapa, ada yang kakinya transparan?”
”Maksudnya?”
“Itu, apa Ibu tidak melihat? Sebelah saya ini kakinya mulai hilang. Terus dua anak di depan itu juga. Kalau ibu-ibu sebelahnya tadi sempat hilang tapi terus ada lagi.”
“Mana, sih. Mereka enggak apa-apa gitu, kok.”
Regi kebingungan. Jelas-jelas semua orang mulai kehilangan kaki mereka. Mengapa ibu itu tidak melihatnya. Regi kembali terdiam. Dia mengamati sekitarnya. Penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa hanya dia yang melihat keanehan itu.
Diam-diam Regi mencermati situasi lagi. Ibu berambut ikal mengajak dua anak yang sepertinya masih seusia SD kelas 6 dan SMP. Mereka asyik bercerita sebentar. Lambat laun, kaki kedua anak itu kembali terlihat.
Tiba-tiba perawat memanggil, “Atas nama Liliana …!”
Gadis berkacamata berdiri menuju pintu ruang poli.
Regi terbelalak. Kaki gadis itu kembali kelihatan utuh hingga ujung sepatu. Regi mulai mengerti. Dia berlari ke arah belakang. Beberapa orang tidak terlihat kakinya, namun ada yang sudah tidak terlihat hingga dada.
“Bapak, Ibu, Mbak, Mas, …” Regi mengguncang tubuh orang-orang itu, sambil berteriak memanggil.
Mereka bergeming, ada yang hanya melirik tajam, lalu kembali tenggelam dalam dunia mereka sendiri.
Tubuh mereka makin lama makin hilang. Bahkan ada yang sudah benar-benar lenyap. Regi benar-benar panik. Sepertinya usaha membangunkan orang-orang menjadi sia-sia. Dia tidak tahu apalagi yang harus dilakukan.
Di tengah kepanikan yang melanda, terdengar suara ramah memanggil.
“Atas nama Nona Regi …!”
Regi ngeblank sejenak. Detik berikutnya dia tersadar, dan gegas menuju ruang rawat.
“Bu Dokter, tolong …!”
Regi duduk sambil mengatur nafasnya.
“Kenapa Mbak?” Bu Dokter yang masih muda itu tersenyum manis. Sungguh menenangkan.
“Ehm, anu …, anu …, itu orang-orang di depan. Tolong …!” Regi bingung bagaimana menjelaskan apa yang terjadi.
Tadi saja, wanita yang duduk di sebelahnya tidak melihat apa yang dilihatnya.
“Kenapa, Mbak? Lihat apa tadi?” Sang Dokter tiba-tiba menyeringai dengan misterius. Senyum teduhnya sudah hilang berganti ekspresi yang kaku dan menakutkan. Regi bergidik ngeri.
“Jangan coba-coba bicara dengan siapapun. Selesaikan urusanmu di sini, lalu pulanglah!” Perawat yang semula ramah juga mulai bicara tegas.
Regi tidak menjawab. Dia hanya menurut saja menjalani semua pemeriksaan. Tanpa banyak bicara, dia keluar ruangan dengan pikiran berkecamuk.
Regi keluar ruangan seperti orang linglung. Dia tidak lagi menoleh kepada orang-orang yang ada di ruang tunggu. Kakinya terus melangkah menuju bagian farmasi untuk menebus obat. Dia bahkan tidak peduli lagi tentang keadaan di sekitarnya.
Regi terus melamun. Tiba-tiba dia melihat ujung jarinya mulai hilang. Dia berteriak kuat-kuat, “Aaa …, Mama …, toloonggg …!”
Dia menerobos deretan orang yang mengantri, lalu berlari ke tempat parkir dan melajukan motor matic kesayangannya secepat mungkin.
Sesampainya di rumah, Regi memarkirkan motor sembarangan lalu masuk rumah sambil berteriak, “Mamaaa …!”
Regi berlari ke kamar Mama. Tidak sabar, dia membuka kamar Mama yang terlihat masih tidur.
“Mama …, tolong Regi!”
Mama terperanjat saat Regi menubruk dan memeluknya erat.
“Hei, kamu kenapa, Regi. Coba tenang dulu!” Mama berusaha menenangkan Regi yang terlihat gemetar dengan wajah pucat pasi.
“Regi, kamu kenapa. Kayak dikejar setan,” tanya Mama.
“Ma …, Regi …, Regi …, huuuu, maafkan Regi, Ma.”
“Lah kenapa minta maaf. Memangnya ada apa.”
“Regi, enggak mau lagi main HP lama-lama. Regi enggak mau hilang di rumah sakit.”
Mama semakin bingung. Pelan-pelan diusapnya punggung Regi. Setelah agak tenang, Mama mengajak Regi duduk di tepi kasur. Kemudian Mama memberikan segelas air minum yang selalu tersedia di nakas.
“Sudah tenang? Coba sekarang Regi cerita. Memangnya kenapa tadi di rumah sakit?”
Regi menceritakan semua yang dialaminya tadi di depan poli mata dengan terbata-bata.
“Kayaknya itu gara-gara mereka kelamaan pegang HP, Ma. Regi takut. Mereka sekarang gimana ya, nasibnya. Tadi Regi tinggal masuk ruang. Dokter dan perawatnya aneh. Regi jadi takut lihat sekitar. Huuu …, Regi dosa enggak, ya, Ma. Tadi mereka enggak Regi tolong …,” Regi bercerita dengan nafas tersengal.
“Sudah, sudah …, sekarang Regi tenang dulu. Mama yakin mereka enggak kenapa-napa. Kamu hebat sudah mau berusaha membantu.”
“Tapi Ma …, “ Regi masih terlihat syok dan bingung.
“Sudah, bersyukur kamu selamat sampai rumah. Dan yang penting, Mama senang kalau kamu tidak pengen lagi tergantung sama HP. Gunakan seperlunya, ya.”
“Iya, Ma. Terus, Regi enggak mau lagi periksa mata di sana. Hiiy, serem, Ma …,” tambah Regi. Dia benar-benar trauma.
Mama hanya tersenyum. “Terserah kamu, deh.”
Regi memeluk Mama erat-erat. Dia berjanji akan terus mematuhi nasehat Mama. Terutama terkait HP.