Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Cahaya redup dari televisi membentuk bayangan-bayangan bergerak di sudut ruangan. Para penari Jaipong di layar meliuk dengan anggun, seirama dengan dentingan gamelan yang menggema di udara.
Mataku terpaku ke layar, tapi bukan penari itu yang kulihat-melainkan diriku. Dulu, aku bisa menari dengan ringan, seakan kakiku tidak pernah menyentuh tanah. Jemariku secara refleks bergerak, ingin mengikuti gerakan mereka.
Namun, begitu aku mencoba sedikit mengangkat kakiku... nyeri itu kembali menjalar.
Aku menggigit bibir, lalu menarik napas dalam. Rindu ini... nyaris menyakitkan.
Sejak kecil, aku selalu menyukai tarian tradisional. Namun, setelah kecelakaan tabrak lari saat pulang sekolah setahun lalu, kakiku tak lagi bisa menari dengan gemulai. Aku bahkan harus berhati-hati setiap kali melangkah.
"Risa, kamu nggak mau ikut kakakmu ke desa sebelah? Di sana ada pasar malam," tanya Ibu lembut.
Aku menggeleng pelan. "Nggak, Bu. Aku masih malu. Kakiku belum sembuh total."
Ibu menepuk tanganku lembut. "Husst, jangan bilang begitu. Kamu sudah jauh lebih baik dari bulan lalu."
Aku mengangguk, walau di dalam hati aku masih ragu.
"Bu, boleh nggak aku pakai uang dari Ayah buat beli kalung? Aku pengen beli di pasar malam."
Ibu tersenyum dan mengangguk. "Tentu boleh. Itu dari Ayah buatmu, sebagai hadiah karena kamu sudah berjuang untuk sembuh."
Aku menggenggam uang itu erat. Entah kenapa, rasanya seperti panggilan. Seakan aku harus ke pasar malam, malam ini.
Tak lama, Kakak keluar dari kamar. Ia mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana jeans, rambutnya yang tersisir rapi membuatnya tampak lebih dewasa.
"Ayo, Dek, jadi ikut atau Mas jalan sama pacar Mas aja?" godanya dengan senyum usil.
"Halah, jangan, Mas! Aku ikut!" sahutku cepat. Ibu hanya tersenyum melihat kami.
Di halaman depan, sepeda ontel sudah terparkir rapi. Aku menatapnya sejenak, merasa rindu pada sepedaku sendiri-yang dulu sering kupakai ke mana-mana. Tapi sekarang, sepeda itu lebih sering digunakan Mas untuk mengantarku. Kakiku belum cukup kuat untuk mengayuh sendiri.
"Bu, kami berangkat ya!" ujar Mas Cakra sambil menggenggam stang sepeda. Aku sudah siap duduk di boncengan.
"Hati-hati. Jangan pulang terlalu malam," pesan Ibu lembut, melambaikan tangan.
Aku membalas lambaian itu sebelum menggenggam ujung baju Mas Cakra erat-erat, bersiap menikmati perjalanan malam ini.
Setibanya di pasar malam, suasana begitu ramai dan meriah.
Lampu warna-warni berkedip seperti bintang jatuh. Aroma sate dan gula kapas bercampur di udara. Suara pedagang dan tawa anak-anak membaur dengan dentingan lagu dari wahana bianglala.
"Mas, aku mau cari pedagang barang antik, mau beli kalung," kataku sambil menoleh ke arah ujung pasar.
"Boleh. Mas keliling dulu, kebetulan ada teman Mas di sini," jawab Mas Cakra.
"Iya, Mas." Aku berjalan perlahan dengan tongkat kayu buatan Ayah yang membantuku melangkah lebih stabil.
Di sudut paling gelap pasar, aku menemukannya.
Sebuah meja kayu tua. Tak banyak lampu di sekitarnya, hanya cahaya redup dari obor minyak yang berkedip-kedip. Di belakang meja, duduk seorang pria tua. Udeng hitam di kepalanya kontras dengan wajahnya yang dipenuhi kerutan. Sorot matanya tajam, seolah sudah menungguku sejak lama.
Aku menelan ludah.
"Silakan lihat, Dek," suaranya serak, tapi lembut.
Mataku tertuju pada sebuah kalung-rantai emas tua dengan liontin batu biru yang jernih. Anehnya, ada sesuatu di dalamnya... seperti bayangan samar yang bergerak. Sejenak, aku merasa melihat siluet seseorang di dalamnya, tapi saat aku berkedip, itu menghilang.
Aku merinding.
"Aku boleh lihat ini, Mbah?" tanyaku.
Mbah itu hanya mengangguk pelan, senyumnya makin lebar.
Saat jemariku menyentuh liontin itu, jantungku berdetak lebih cepat. Rasanya dingin. Tapi bukan dingin biasa-lebih seperti hawa yang menyelinap ke tulang, menusuk hingga ke dalam.
Dari ekor mataku, aku merasa melihat sesuatu di pantulan batu itu. Seperti... sepasang mata yang mengawasi.
Aku berkedip cepat. Tidak ada apa-apa.
"Aku mau yang ini, Mbah," kataku cepat, ingin menghilangkan rasa aneh di dadaku.
Mbah itu membungkus kalung dalam kain kecil dan menyerahkannya padaku. Tapi sebelum aku pergi, dia berbisik,
"Jangan sampai diberikan ke orang yang salah."
Aku ingin bertanya maksudnya, tapi entah kenapa lidahku kelu.
Sepanjang perjalanan pulang, aku bercengkerama dengan Mas Cakra. Kami memang dekat, meski sering kali dia suka menggodaku sampai aku kesal dan hampir menangis. Baginya, aku hanyalah gadis mungil yang keras kepala. Padahal, aku hanya berusaha mempertahankan apa yang kuinginkan.
"Dek, menurutmu pacar Mas cantik nggak?" tanyanya tiba-tiba.
Aku mendengus. "Biasa aja, Mas."
"Kok biasa aja? Pacar Mas itu disebut gadis tercantik di desa sebelah, lho. Banyak yang suka, tapi Mas yang menang," katanya, mengayuh sepeda dengan santai.
Aku mendengus lagi, kali ini lebih keras. "Cantikan aku, Mas! Aku kembang desa di sini!"
"Iya, tapi pacar Mas kembang desa di sana. Beda pasar, Dek," ujarnya, terkekeh jahil.
"Beda apanya? Buktinya aku yang terpilih jadi penari Jaipong di desa. Pacar Mas nggak," ujarku, membela diri.
Mas Cakra menggeleng sambil tersenyum. "Ya pacar Mas nggak suka nari kayak kamu, Dek. Lagian, masa kecantikan cewek diukur dari bisa nari atau nggak?" godanya.
Aku langsung cemberut. "Pokoknya tetap aku yang paling cantik! Bukan pacar Mas Cakra!" seruku kesal, lalu mencubit pinggangnya.
"Aduuuh, sakit, Dek!" keluhnya, sementara sepedanya sempat oleng sebelum kembali seimbang.
Aku hanya mendengus, masih sebal. "Pokoknya, aku tetap lebih cantik dari pacar Mas Cakra!"
"Iya... iya... adik Mas memang paling cantik," jawabnya, terkekeh.
Sejenak, percakapan kami terhenti.
"Gimana, Dek? Udah kamu beli kalungnya?" tanya Mas Cakra, memecah keheningan.
"Udah, Mas. Kalungnya bagus. Liontinnya cantik, warnanya biru," jawabku, memuji.
"Wah, bagus tuh."
Aku menggigit bibir, ragu-ragu sebelum akhirnya berkata, "Tapi, Mas... Aku ngerasa kalung itu agak aneh."
Mas Cakra menoleh, keningnya berkerut. "Aneh gimana?"
Aku mencoba merangkai kata. "Ya... aneh aja. Ada sesuatu yang bikin aku nggak nyaman."
Mas Cakra menoleh sejenak sebelum tertawa kecil. "Aneh karena nggak cocok kamu pakai atau gimana? Hmm... Kalau menurutmu aneh, kasih aja buat pacar Mas. Dengan senang hati, loh, Mas nerima," godanya, menyeringai.
Aku langsung mendelik. "Ya nggak bisa, Mas! Itu punyaku!" protesku cepat.
Mas Cakra hanya tertawa, sementara aku masih memeluk kalung itu erat-erat di genggamanku.
Setibanya di rumah, aku masuk ke kamar dan duduk di tepi ranjang. Tanganku merogoh kantong kecil tempat kalung itu kusimpan, lalu menggenggamnya erat.
Logamnya terasa dingin di telapak tangan, permukaannya halus, dan rantainya beradu, mengeluarkan suara lirih yang nyaris tak terdengar.
Ruangan terasa lebih dingin dari biasanya. Aku menarik selimut, mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba muncul. Mataku mulai berat.
Aku hampir terlelap.
Lalu aku mendengarnya.
Bukan suara angin. Bukan suara jam dinding. Sesuatu yang lebih pelan. Lebih dekat.
Aku menoleh ke meja kecil di samping ranjang. Kantong kain itu... sedikit terbuka. Seolah ada yang baru saja menyentuhnya.
Jantungku berdegup kencang. Aku menatap meja itu lekat-lekat. Lampu tidurku yang tadinya terang kini berpendar redup, seakan ada sesuatu yang menyerap cahayanya.
Dari sudut mataku, aku melihatnya.
Bayangan.
Awalnya hanya kabut tipis di udara. Tapi perlahan, ia membentuk sosok. Seorang perempuan.
Mahkota kecil bertengger di kepalanya. Selendang kebiruan melilit pinggang rampingnya. Gaunnya berkilauan dalam cahaya redup, seperti seorang penari yang baru saja turun dari panggung.
Matanya seperti danau dalam-tenang, tapi menyimpan sesuatu yang gelap di dasarnya. Senyumnya samar, seolah dia tahu sesuatu yang tidak aku ketahui.
Aku ingin berteriak. Tapi suara itu lebih dulu datang.
"Risa..."
Dia memanggilku.
Aku tercekat. Tubuhku kaku. Lalu aku teringat perkataan Mbah si penjual kalung.
"Dia akan datang. Dia adalah Putri Kemanyu Dwi Anjani."
Aku ingin membuang kalung itu. Tapi sebelum aku sempat bergerak, terdengar bisikan di telingaku.
"Jangan takut, Risa... sekarang kamu temanku."
Ruangan tiba-tiba gelap.
Ketika aku membuka mata, aku masih berada di kamarku.
Tapi tidak ada cermin di dinding.
Hanya bayangan samar yang menatapku dari balik kaca jendela.
Aku mendekat, dan yang kulihat di balik kaca... adalah diriku.
Tapi bukan aku.
Dia tersenyum.
Lalu berbisik.
"Sekarang, giliranmu."
Setelah Risa melihat bayangan dirinya di kaca, dia merasa ada yang aneh di tubuhnya-jari-jarinya lebih panjang, atau dia mulai mengingat sesuatu yang bukan miliknya.
***