Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Misteri
Misteri gerbag tua
0
Suka
7
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Udara malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut turun perlahan, menghalangi pandangan siapa pun yang berani berjalan di luar rumah. Namun Sarah tak peduli. Di ujung desa, ada sesuatu yang menariknya. Sesuatu yang selama ini hanya menjadi bisikan di kalangan penduduk, menjadi bayangan dalam mimpi buruknya. Gerbang tua yang berdiri di tengah hutan belantara, sudah puluhan tahun tidak ada yang berani mendekat.

Angin mengibaskan rambutnya ketika ia berdiri di depan gerbang berkarat itu, memandangi dengan mata yang penuh keingintahuan dan ketakutan yang samar. “Kita seharusnya tidak di sini,” suara Iqbal terdengar dari belakangnya. Dia sudah mengatakan itu sejak mereka meninggalkan rumah, tetapi Sarah tak pernah mendengarkan.

“Ada sesuatu di sini, Bal. Sesuatu yang harus kita temukan,” jawab Sarah, matanya tetap terpaku pada gerbang itu. Di balik gerbang itu, hutan yang gelap dan sunyi menyebar seperti kanvas hitam, siap menelan siapa saja yang melangkah masuk.

Iqbal menelan ludah. "Apa kamu tidak pernah mendengar cerita tentang tempat ini? Orang-orang bilang gerbang ini adalah pintu menuju dunia lain."

"Dan mungkin itu hanya cerita," Sarah menjawab. "Tapi kalau pun itu benar, bukankah kita ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di baliknya?"

Gerbang tua itu berdiri, tinggi dan kokoh meski berkarat di beberapa bagian. Sarah mendekat, menyentuh logam dingin yang terasa seolah berdenyut di bawah jarinya. “Lihat ini,” katanya pelan. "Ada sesuatu di sini, Bal."

Iqbal melangkah mundur, matanya menyipit di tengah gelap. “Aku tidak suka ini, Sarah. Tempat ini… terasa salah.”

Namun, sebelum ia sempat melanjutkan, gerbang tua itu berderit. Suaranya menusuk sunyi malam, seperti lonceng kematian yang memanggil. Pintu itu terbuka perlahan, seolah merespons keberadaan mereka. Di baliknya, angin dingin berembus, membawa aroma tanah basah dan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Seperti bau api yang pernah terbakar namun kini hanya tersisa abu.

Mereka saling bertatapan. Mata Sarah penuh tekad, sementara Iqbal diliputi oleh rasa takut yang semakin mendalam.

"Kamu gila!" seru Iqbal akhirnya. "Kita tidak tahu apa yang ada di dalam sana."

"Tepat," balas Sarah, suaranya pelan namun tegas. "Dan itulah kenapa kita harus masuk."

Mereka melangkah melewati gerbang itu, dan begitu melewatinya, udara seolah berubah. Dunia di dalam gerbang berbeda dari yang pernah mereka kenal. Pohon-pohon besar dengan batang hitam menjulang, daunnya berkilauan seolah terbuat dari kaca. Cahaya rembulan tidak bisa menembus kanopi tebal di atas mereka, dan hanya samar-samar terlihat jalan setapak yang mengarah ke dalam hutan.

“Ini… aneh,” Iqbal berbisik, suaranya menggema di tengah sunyi.

“Ini bukan hanya aneh, Bal. Ini nyata.”

Langkah-langkah mereka semakin dalam, semakin jauh. Setiap bunyi ranting yang patah di bawah kaki terasa seperti jeritan dalam kesunyian malam. Sarah terus berjalan tanpa ragu, sementara Iqbal mengikuti dengan gelisah, pandangannya terus beralih ke kanan dan kiri, seolah mengharapkan sesuatu untuk muncul dari kegelapan.

Di kejauhan, sebuah bayangan bergerak cepat. Iqbal tertegun, matanya terbuka lebar. “Ada sesuatu di sana!”

Sarah berhenti, menajamkan pandangannya. Namun tidak ada yang terlihat. Hanya kabut tebal yang melayang di antara pepohonan.

“Kita harus kembali,” desaknya lagi. “Tempat ini… tidak normal.”

Namun Sarah tidak bergeming. Dia tahu, jauh di dalam hatinya, ada sesuatu yang menunggu di ujung jalan ini. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar ketakutan. Mungkin jawaban yang selama ini ia cari, atau mungkin sesuatu yang seharusnya tetap tersembunyi.

Langkah mereka membawa mereka ke sebuah bangunan besar yang berdiri di tengah hutan, seakan bangunan itu telah ada di sana sejak dunia ini ada. Dindingnya terbuat dari batu hitam yang berdenyut, seperti sesuatu yang hidup. Pintu besarnya berdiri di depan mereka, tinggi dan kokoh, dengan simbol-simbol aneh yang terukir di atasnya.

Iqbal menahan napas. "Tempat ini... bagaimana bisa ada di sini?"

Sarah hanya menggeleng, tidak mampu menjawab. Dia melangkah maju, merasakan sesuatu yang kuat menariknya masuk. Tangan gemetarnya menyentuh pintu, dan seketika, pintu itu terbuka, mengungkapkan kegelapan pekat di dalamnya.

"Apa yang akan kita temukan di dalam?" tanya Iqbal, suaranya penuh ketakutan.

Sarah menatapnya, matanya bersinar dengan tekad yang tak tergoyahkan. “Kebenaran, Bal. Kebenaran tentang siapa kita dan dunia ini.”

Di dalam bangunan itu, ruangannya luas dan gelap. Dinding-dindingnya seolah-olah menyerap setiap suara, menjadikannya terasa semakin sunyi. Langkah kaki mereka bergema, tapi tidak ada pantulan suara, hanya keheningan yang semakin menekan. Di ujung ruangan, sebuah altar besar berdiri, dipenuhi dengan lilin-lilin yang menyala dengan api biru, seolah-olah waktu tidak berlaku di tempat ini.

Namun, sebelum mereka sempat mendekat, suara berat terdengar dari kegelapan. “Kalian datang… untuk jawaban… atau untuk kehancuran?”

Sarah terkejut, namun suaranya tidak bergetar saat ia menjawab, “Kami datang untuk tahu. Siapa kamu? Apa ini tempat?”

Sosok besar muncul dari bayang-bayang, lebih tinggi dan lebih besar dari manusia biasa. Tubuhnya diselimuti jubah hitam, dan wajahnya tersembunyi di balik kegelapan. “Aku adalah penjaga pintu antara dunia. Apa yang kalian cari, kalian akan temukan. Tapi, kalian harus siap dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.”

Iqbal gemetar. “Kita tidak seharusnya di sini, Sarah. Ayo pergi.”

Namun Sarah menggeleng, tatapannya tidak lepas dari sosok besar itu. "Kami tidak bisa kembali sekarang. Tidak setelah sejauh ini."

Penjaga itu melangkah mendekat, dan dengan suara yang dalam, ia berkata, "Setiap langkah menuju kebenaran selalu dibayar dengan harga. Apakah kalian siap membayarnya?"

Sarah menelan ludah, lalu mengangguk.

Sarah menatap sosok penjaga itu tanpa gentar. Di dalam hatinya, rasa takut masih berkecamuk, tetapi rasa penasaran yang menggerakkannya lebih kuat. Ada sesuatu yang menariknya lebih dalam ke tempat ini, dan ia tahu bahwa apa pun risikonya, dia harus mengetahuinya.

"Kami siap," ulang Sarah, kali ini suaranya lebih mantap.

Penjaga itu memutar tubuhnya, punggungnya yang besar dan hitam menutupi cahaya lilin-lilin biru yang berkedip lemah di sekitarnya. “Jika kalian mencari kebenaran, ikuti aku. Tapi ingat, tidak ada jalan kembali setelah ini.”

Iqbal menelan ludah. "Ini gila, Sarah. Kita tidak seharusnya berada di sini."

Sarah menoleh sejenak, menatap sahabatnya dengan ekspresi keras namun penuh kasih. “Aku tahu ini menakutkan, Bal. Tapi aku merasa, kalau kita tidak mengambil kesempatan ini sekarang, kita akan menyesal selamanya.”

Mereka mengikuti penjaga itu menyusuri lorong-lorong gelap yang tampak seperti tak berujung. Setiap langkah mereka menggema, menimbulkan bayangan yang bergerak-gerak di dinding, seolah-olah ada sesuatu yang hidup dalam kegelapan. Bangunan itu terasa lebih besar dari luar, dan rasanya seperti mereka berjalan menuju sesuatu yang tidak mungkin terelakkan.

“Sarah,” Iqbal berbisik, suaranya hampir tenggelam dalam keheningan lorong. “Tempat ini… ini bukan dunia kita lagi.”

Sarah tetap melangkah, tapi dalam hatinya, ia mengakui bahwa Iqbal benar. Segala sesuatu di sini terasa asing—seperti dunia yang menolak kenyataan mereka. Dia tidak tahu berapa lama mereka telah berjalan, tetapi tiba-tiba, mereka tiba di sebuah ruangan besar, jauh lebih terang daripada lorong sebelumnya.

Di tengah ruangan, ada cermin besar yang berdiri tegak, namun cermin itu tidak memantulkan bayangan mereka. Sebaliknya, cermin itu menampilkan dunia yang berbeda, dunia yang seolah berkabut dengan kilatan cahaya di kejauhan. Itu seperti dunia di luar gerbang, tapi lebih... menakutkan.

Penjaga itu berhenti di depan cermin. “Ini adalah pintu menuju kebenaran yang kalian cari,” katanya, suaranya bergema di seluruh ruangan. “Tapi ingat, tidak ada kebenaran tanpa pengorbanan. Kalian harus siap kehilangan sesuatu yang berharga.”

Iqbal mundur, wajahnya pucat pasi. “Apa maksudnya? Apa yang akan kita kehilangan?”

Penjaga itu menggeleng pelan, sorot matanya yang tersembunyi di balik bayangan tampak menghakimi. “Itu tergantung pada apa yang kalian bawa ke sini. Kebenaran selalu menuntut imbalan yang setimpal.”

Sarah menatap cermin itu dengan mata terbelalak. Dalam benaknya, muncul bayangan masa kecilnya—saat dia berlari melalui hutan di dekat desanya, tertawa bersama ayahnya, merasakan angin sejuk dan suara riang dari alam. Itu adalah kenangan yang selama ini dia simpan erat-erat di dalam hatinya. Namun sekarang, ia mulai merasakan ada sesuatu yang menggerogoti ingatan itu, seolah-olah cermin itu mulai menarik bagian dari dirinya.

“Apa yang kita lakukan, Sarah?” bisik Iqbal dengan panik. “Kita tidak tahu apa yang akan terjadi jika kita terus melangkah.”

Namun Sarah hanya terdiam, menatap cermin yang seakan berbicara dalam bahasa yang hanya dia mengerti. “Bal, aku harus tahu. Selama ini, aku selalu merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang belum aku pahami.”

Dengan tekad yang tumbuh semakin kuat, Sarah mendekati cermin itu. Tangannya terangkat, menyentuh permukaan kaca yang dingin. Seketika itu juga, cermin berubah—tidak lagi memantulkan dunia asing, tetapi menampilkan dirinya sendiri, berdiri di antara reruntuhan bangunan yang pernah ia tinggali bersama keluarganya. Di sana, dalam bayangan kaca, dia melihat sosok ibunya yang telah lama meninggal, berdiri di depan pintu rumah.

“Ibu?” suaranya nyaris teredam, bergema lembut di antara dinding ruangan.

Iqbal menyentuh bahunya, mencoba menariknya kembali dari pengaruh cermin itu. “Sarah, ini tidak nyata! Ini hanya ilusi!”

Namun Sarah tetap terpaku. “Itu dia, Bal… aku harus tahu mengapa dia pergi begitu cepat. Kenapa semua terasa tidak adil.”

Penjaga itu mendekat, suaranya seperti bisikan angin dingin. “Itu adalah pengorbananmu, Sarah. Masa lalumu, kenanganmu. Jika kau ingin kebenaran, kau harus menyerahkan apa yang paling kau pegang.”

Seketika itu juga, Sarah merasakan sesuatu mencengkeram dadanya. Ingatannya mulai memudar, kabur, seolah disedot oleh cermin yang berdiri di depannya. Kenangan tentang ibunya, momen-momen hangat yang pernah ia rasakan, semuanya perlahan-lahan terhapus, digantikan oleh kekosongan yang menakutkan.

Iqbal, yang melihat sahabatnya hampir hilang, meraih tangannya. “Sarah, hentikan! Kamu tidak perlu melakukan ini!”

Sarah menatapnya, matanya mulai basah oleh air mata. “Aku harus, Bal. Aku harus tahu apa yang ada di balik ini semua.”

Namun, sebelum dia bisa menyerahkan semuanya, Iqbal menariknya dengan kuat, melepaskan genggaman Sarah dari cermin. “Tidak! Kamu tidak perlu mengorbankan dirimu hanya untuk menemukan sesuatu yang seharusnya tetap menjadi misteri.”

Dengan kekuatan yang tidak ia duga, Iqbal berhasil menarik Sarah menjauh dari cermin. Saat itu juga, ruangan bergetar hebat, seakan ada kekuatan besar yang bangkit dari kedalaman tanah. Penjaga itu menatap mereka dengan tatapan tajam. “Kalian menolak kebenaran yang telah kalian cari.”

Iqbal berteriak, “Tidak ada kebenaran yang layak diperjuangkan jika harus mengorbankan diri kita sendiri!”

Mendadak, cermin itu pecah menjadi serpihan kecil yang melayang-layang di udara. Ruangan itu mulai berubah, dinding-dindingnya seakan melarut menjadi bayangan dan debu. Cahaya lilin-lilin biru meredup, dan penjaga itu perlahan-lahan memudar bersama dengan ruangan itu.

Sarah dan Iqbal terjatuh ke tanah, terengah-engah. Ketika mereka bangun, mereka menyadari bahwa mereka kembali berada di luar gerbang, di tengah hutan yang mereka kenal. Kabut tipis menyelimuti pepohonan, dan dunia di sekeliling mereka terasa lebih sunyi daripada sebelumnya.

Sarah memandang gerbang tua itu yang kini tertutup rapat, seolah tidak pernah terbuka. "Kita kembali..." gumamnya, suaranya penuh keheranan.

Iqbal menghela napas panjang, lalu tersenyum kecil. “Kita selamat, Sarah. Kita tidak butuh kebenaran itu. Yang kita butuhkan adalah tetap bersama dan tidak kehilangan diri kita sendiri.”

Sarah menatapnya, tersenyum lelah namun penuh arti. “Kau benar, Bal. Mungkin terkadang, beberapa misteri memang lebih baik dibiarkan tetap menjadi misteri.”

Angin malam kembali berembus, lembut menyapu wajah mereka. Gerbang tua itu berdiri, sunyi, tanpa suara, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Dan mereka tahu, apa pun yang ada di baliknya, akan tetap tersembunyi—setidaknya, sampai ada orang lain yang cukup berani untuk membukanya lagi.

TAMAT

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Misteri
Cerpen
Misteri gerbag tua
Corelitho
Novel
RENTENIR: PEMBURU KEBENARAN
Novi Assyadiyah
Novel
KOMA - Hidup dan Mati
Margo Budy Santoso
Cerpen
Bronze
The Writer
Rama Sudeta A
Flash
Detective Arman : Wanita Yang Jatuh Dari Lantai 19
Bramanditya
Flash
Bronze
Monster school
Eva yunita
Skrip Film
Misteri Gunung Halilintar
Vitri Dwi Mantik
Flash
Gurindam Terakhir
Nunik Farida
Cerpen
Misteri Monster Danau
Arthur William R
Cerpen
PENGAKUANKU
Arthur William R
Skrip Film
INVESTIGATION OF LIARS
Safinatun naja
Flash
Petunjuk
Miss Rain
Flash
Panti Asuhan
Nunik Farida
Cerpen
SIN-TREND
Teguh Santoso
Flash
Truntum
Nunik Farida
Rekomendasi
Cerpen
Misteri gerbag tua
Corelitho
Novel
Bronze
Agnitara
Corelitho
Cerpen
Bronze
Kisah kasih disekolah
Corelitho
Novel
Kesempatan ke dua utk jaeho
Corelitho