Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Mimpi Penari di Kolong Jembatan
0
Suka
256
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Ratri, seorang gadis cilik berusia 25 tahun, sedang melamun di depan gubug reyotnya di tepi jembatan layang. Matanya nampak berkaca-kaca. Baru saja dia melepas Kak Widya, seorang relawan yang selalu mengajarinya menari.

Ratri memang suka menari. Bahkan tanpa fasilitas apapun, gadis cilik gelandangan itu terus saja memupuk harapannya untuk bisa menari di panggung suatu hari nanti. Dengan kostum gemerlap dan riasan wajah yang cantik, dia ingin sekali menghibur penonton dengan gerak tubuhnya yang luwes diiringi gendhing Jawa yang melantun syahdu.

Impian itu mulai terwujud saat ada seorang mahasiswa relawan yang mengajarinya menari dengan iringan musik dari YouTube. Kebetulan Widya adalah mahasiswa Jurusan Sendratasik. Dia bersama beberapa mahasiswa memang sedang bertugas sebagai relawan pengajar anak-anak gelandangan di sekitar daerah ini.

“Beneran Kak Widya mau ngajari aku nari?” Berbinar mata indah Ratri saat Widya menyampaikan rencananya mengajar tari.

“Tentu saja. Yang sungguh-sungguh, ya!”

“Pasti, Kak. Kapan kita mulai? Sekarang?” Ratri sungguh tidak sabar.

“Ya bisa, yuk kita kesana. Tempatnya lebih longgar.”

Sejak saat itu, Ratri dan dua orang kawannya mulai belajar menari. Entah mengapa dia sangat ingin bisa menguasai tarian tradisional Jawa.

Dia melihat sepotong foto ibunya yang sudah kusut, sedang menari di pendopo kraton. Ibu difoto saat mengayunkan tangan dengan gemulai. Sungguh cantik dan megah. Ratri ingin seperti itu.

Setelah itu Ratri selalu giat berlatih. Pun ketika sudah ada di rumah, dia terus melatih gerakan tanpa musik. Hanya dengan hitungan saja. Ibunya yang hanya bisa duduk di tepi ranjang, melihat kesungguhan pada diri Ratri. Sebisanya dia membetulkan gerakan Ratri yang dirasa kurang pas. Ratri sungguh bahagia. Nampak secercah harapan untuk mewujudkan mimpinya.

Namun, sebulan kemudian, Widya harus kembali ke kampus. Tugasnya sudah selesai. Tentu saja Ratri sangat kecewa. Dia baru bisa menghafal satu tari. Dia ingin belajar banyak tarian.

Tapi Ratri hanya bisa pasrah. Kehidupannya memang tidak mudah. Jangankan belajar di sanggar tari, bahkan dia sudah tidak lagi sekolah semenjak ayahnya tiada dan sang ibu menjadi lumpuh. Ratri menunduk sedih.

Hari berlalu. Ratri tetap berlatih. Bahkan dia tidak menjual tisue seperti biasanya di perempatan. Dia malah fokus menari tanpa musik. Terkadang satu dua orang melemparkan koin padanya. Meskipun tidak sebanyak saat menjual tisue, dia merasa puas bisa menari di sana. 

Suatu hari, di lampu perempatan dekat kolong jembatan itu, seorang gadis muda berhijab pink menghentikan laju mobilnya karena lampu merah. Linggar, gadis itu, mengumpat panjang pendek sambil memukul setir.

“Pusing banget, sumpah. Kenapa sih, waktu cepet banget berlalu? Mana belum dapet penari, lagi. Huuhh, bisa gila aku kalau kayak gini.”

Dia membayangkan wajah tanpa ekspresi bosnya yang menyebalkan. Lamunannya buyar ketika dia melihat seorang anak gadis cilik, berbaju kumal sedang melenggak-lenggok di pinggir jalan. Tanpa musik. Tetapi sungguh indah. Gerakannya seperti penari terlatih. Linggar terpana. Dia seperti melihat penari keraton dalam versi kecil. Gerakan kepala, tangan dan kakinya sungguh sangat selaras. Belum lagi gerakan tubuhnya yang lemah gemulai. Tidak berlebihan nampun luwes dan anggun. 

Cukup lama Linggar memperhatikan gadis itu menari, hingga bunyi klakson bersahutan. Linggar tersentak kaget. Ternyata lampu sudah berubah hijau. Perlahan dia melajukan mobil, sambil berusaha melirik sang gadis.

Tak sabar, Linggar segera mencari jalan untuk putar balik. Sayang, gadis itu sudah tidak ada. Hanya ada beberapa pedagang kaki lima yang sedang istirahat di depan emper toko.

“Maaf, dik. Apakah kamu kenal gadis yang tadi menari di situ?” Linggar bertanya sambil menunjuk lampu lalu lintas yang silih berganti berubah warna. Tadi dia lupa mengambil gambarnya.

“Oo, maksudnya Mbak Ratri?” Anak kecil berbaju kumal itu balik bertanya.

“Mmm, aku enggak ngerti namanya, sih.” 

“Iya, yang bisa menari hanya mbak Ratri.”

“Oh, ok. Sekarang dia dimana? Kamu tahu rumahnya, enggak? Bisa tolong anterin? Eh, namamu siapa?” Longgar memberondong anak itu dengan pertanyaan bertubi-tubi.

Bocah kecil penjual tisue itu bengong sesaat. Sepertinya dia bingung dengan banyaknya pertanyaan Linggar.

“Hehe…, satu-satu, dong, Mbak. Mana dulu yang mau dijawab?” sahut si bocah sambil nyengir.

“Mbak Ratri, kalau jam segini pulang.”

“Hah, kenapa? Eh, maksudnya, rumahnya mana?”

“Rumahnya di sana. Di bawah kolong jembatan layang.”

“O iya. Bisa dianterin enggak, dek …, siapa namanya?”

“Aku Lutfi, Kak. Nama kakak siapa?”

“Oh, aku Linggar.”

“Teman Kak Widya, bukan?”

“Hah, Widya siapa?”

“Itu, Kak Widya yang suka ngajarin kami, mbawain jajan, sama yang latih tari Kak Ratri juga.”

“Ooh, …” Linggar manggut-manggut.

“Ya, udah. Yuk, kak.” Lutfi berjalan pelan menyusuri trotoar. 

Setelah memastikan mobilnya terparkir rapi dan terkunci, Linggar mengikuti langkah Lutfi. Berjalan selama 10 menit, mereka sampai di sebuah rumah, atau gubuk lebih tepatnya. Dengan dinding kardus dan juga tempelan papan ala kadarnya, gubug ini sudah terlihat miring.

“Ini, Kak, rumahnya Kak Ratri.” Lutfi berdiri di depan pintu yang kondisinya sama mengenaskan.

“Assalamualaikum, permisi …,” Linggar mengetuk pintu.

“Waalaikumsalam.” Terdengar jawaban lirih dari dalam rumah. Seraut wajah ayu muncul dari balik pintu.

“Emm, mencari siapa, Kak?”

“Ini Ratri, kan? Perkenalkan saya Linggar. Boleh saya masuk?”

“Oh, silahkan, Kak. Tapi maaf, tempatnya sempit.”

Lutfi menyela, “Kak, aku balik dulu, ya.”

“Oiya, makasih Lutfi.”

Lutfi menggangguk dan berlalu pergi. Sementara itu Linggar masuk dan melihat Ratri meneruskan kegiatannya menyuapi sang ibu dengan telaten.

“Ibu, dek Ratri, perkenalkan saya Linggar. Ehm, boleh saya tahu, apakah dek Ratri sudah lama belajar menari?”

Ratri terkejut dengan pertanyaan itu. 

“Emm, baru sebulan, sih, Kak. Memangnya kenapa?”

“Serius, baru sebulan?” Linggar sungguh tidak percaya. Gerakan Ratri saat menari sudah benar-benar bagus. Jika dilatih sedikit lagi, Linggar yakin dia akan menjadi penari utama nanti.

“Iya, Kak. Sebulan kemarin, ada Kak Widya yang ngajarin. Terus di rumah dilatih lagi sama Ibu.”

Ratri menceritakan prosesnya latihan dan Linggar menanggapi dengan serius. Terkadang Ibu juga ikut menimpali. Linggar jadi tahu kalau Ibu Ratri adalah mantan penari keraton. Tapi setelah menikah dan mengadu nasib di Jakarta, kehidupannya menjadi seperti ini. Suaminya meninggal dan dia sendiri lumpuh tidak bisa kemana-mana. Sehari-hari hanya mengandalkan Ratri mencari uang dengan berbagai cara.

Tak terasa, sudah hampir satu jam mereka mengobrol. Ratri tersadar akan satu hal. Dia tidak punya apa-apa untuk tamunya itu.

“Eh, maaf Kak. Tidak kami suguhi apa-apa.”

“Ah, tidak apa-apa. Oh ya, Ratri, kamu mau ikut kakak, enggak. Kita belajar di sanggar tari.”

Ratri mengerjapkan mata tidak percaya.

“M-maksudnya, Kak?”

“Gini. Kakak kan ada sanggar tari. Kemarin cari satu penari lagi buat festival bulan depan, tapi belum dapat. Lalu tadi aku lihat kamu menari di perempatan sana. Kayaknya kamu bisa gabung, deh. Gimana? Mau ya?”

“Emm, gimana ya, Kak. Itu .., anu, ... emm, b-biayanya gimana, Kak. Terus ..., aku kesananya juga gimana?” Ratri tampak ragu menerima ajakan Linggar. 

“Tidak usah khawatir, kamu nanti bisa tinggal di kamar belakang sanggar. Terus tidak usah bayar juga. Nanti kalau sukses, malah kamu bisa dapat uang.”

“Betulkah, Kak?”

Linggar mengangguk. Dia turut merasakan semangat Ratri.

“Boleh, enggak, Bu?” Ratri ganti menoleh pada ibunya. 

Ibu Ratri tersenyum dan mengangguk. Ratri nampak senang. Akhirnya dia akan berlatih menari lagi.

Sejurus kemudian, Linggar pamit. Dia berjanji besok akan menjemput mereka berdua. Usai mengantarkan Linggar sampai depan rumah, Ratri kembali menemani ibunya. Hingga malam menjelang. Mereka sudah berada di pembaringan sempit dan reot dengan kasur usang. 

“Ndhuk, Ratri. Kamu sungguh-sungguh mau jadi penari?” tanya sang ibu sambil mengelus rambut Ratri yang memeluknya dari samping.

“Iya, Bu. Boleh, kan?”

“Pasti boleh. Hanya saja kamu harus benar-benar siap. Besok kita akan menghadapi situasi baru. Ibu tidak akan bisa selalu mendampingi kamu. Halangan apapun yang kamu temui nanti, kamu harus bisa hadapi dengan baik.”

Ratri hanya mengangguk.

“Menjadi penari itu tidak hanya harus bisa menari saja, Ndhuk. Kamu harus bisa tetap bertindak lemah lembut, sopan, dan berani mengalah. Seperti puteri keraton yang andhap asor. Halus budi pekertinya.”

Ratri memandang wajah ibunya. Entah mengapa, kali ini sang ibu berbicara banyak sekali padanya. Ratri sebenarnya takut. Perasaannya tidak enak. Tetapi dia mencoba tenang dan terus memeluk ibunya sampai terlelap.

Namun siapa sangka, esok hari yang terlihat akan cerah, juga menjadi hari yang gelap bagi Ratri. Ibunya pergi meninggalkannya dengan wajah yang tenang dan senyum yang terlihat damai. Ratri sungguh tidak menyangka. Nasehat panjang ibunya menjelang tidur, akan menjadi percakapannya yang terakhir. Tubuhnya lunglai. Meski tidak ada satupun air mata menetes di pipinya, semua orang tahu luka hati yang diderita Ratri kini. Sorot mata itu seperti kosong. Lalu lalang orang yang akan merawat jenazah sang ibu, sama sekali tidak mampu mengembalikan kesadaran jiwa Ratri. Dia benar-benar sebatang kara kini.

Hanya pelukan Linggar yang sudah datang hendak menjemputnya, yang mampu mengembalikan jiwa Ratri yang sesaat tadi telah pergi.

“Sudah, Ratri. Jangan sedih. Ibu sudah tidak sakit lagi sekarang. Kamu tidak sendiri. Nanti kamu ikut Kakak, ya. Kita wujudkan mimpi kamu dan juga ibu. Jadilah penari yang baik. Buat ibu bangga.” Hibur Linggar lirih sambil mengelus punggung Ratri lembut.

Mendengar kata-kata Linggar, barulah Ratri merespon dengan isakan tangis yang begitu memilukan. Tekadnya semakin bulat sekarang. Dia tidak akan mengecewakan ibu. 

Perlahan dia melepaskan pelukan Linggar, beralih ke jasad ibu yang kini sudah rapi. Dipeluknya tubuh ringkih yang sudah menemaninya belasan tahun ini. Tidak. Ratri tidak menangis. Dia hanya memeluk ibunya dengan erat dan membenamkan seluruh wajahnya dengan bahu yang terguncang. Semua orang ikut meneteskan airmata. 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Semesta
MiiraR
Cerpen
Mimpi Penari di Kolong Jembatan
Alwi Hamida
Novel
Bronze
KALA CINTA
Yeni Lestari
Novel
A Missing Part
Rara Rahmadani
Skrip Film
Back Home
Rifah Khodijah
Skrip Film
BOK*P
Arienal Aji Prasetyo
Novel
Bukan Senja
Laras Frantika Yutama
Novel
Aku Cinta Kamu
Viola khasturi
Novel
Bronze
BUKU HARIAN MINTARSIH
Ac Erri Yurita S
Novel
You sound good
Jonem
Novel
Gold
Metamorfosa
Mizan Publishing
Novel
Manusia Laron
Dewanto Amin Sadono
Komik
Bronze
g punk
Jefrianto
Skrip Film
Adopt
Ricko Maulana
Novel
Bronze
For My Twin
Zcwch9
Rekomendasi
Cerpen
Mimpi Penari di Kolong Jembatan
Alwi Hamida
Cerpen
Bercengkerama dengan Nasib
Alwi Hamida
Cerpen
Misteri Ruang Tunggu 115
Alwi Hamida
Cerpen
Bronze
Fatamorgana
Alwi Hamida
Cerpen
Kakek dan Tasbih Usang
Alwi Hamida
Cerpen
Aku Manusia Perak
Alwi Hamida
Cerpen
Sang "Dermawan"
Alwi Hamida