Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Milo dan Silo
3
Suka
1,032
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Pukul 02.15 pagi di kamar ini, mata sipitku masih terbuka, keduanya sedang menelusuri barisan teks yang berdesakkan, berusaha membuatku paham. Sementara ia di sana, tertidur dengan posisi tengkurap dan dengkur yang riuh. Lalu esok, dengan santainya ia bicara materi diskusi yang susah payah aku pelajari hingga pagi buta. Otak Celeron-ku pun mengalah pada gen otaknya yang encer.

“Ya itu dia, Sil! Tujuan mitos kan memang menyediakan model logis untuk mengatasi kontradiksi!” Ia menempelkan punggung kurusnya ke senderan.

“Aku tahu, aku tahu… itu menurut…." potongku, mencoba mengingat isi teks yang dijejal paksakan semalam, tapi yang kulihat hanya deretan huruf yang tak sanggup mengurai arti dengan sempurna.

“Levi-Strauss… tahun 1968. Dia bilang semua mitos punya fungsi sosio-kultural yang sama dalam masyarakat. Makanya semua harusnya bisa dijelaskan secara logis, agar dunia ini layak untuk dihuni.” Dengan enteng ia bergumam, memainkan ujung pensil di sela mulutnya.

Ingin rasanya aku robek bibir pemuda di sebelahku ini, yang berceloteh tentang strukturalisme dan mitos dengan acuhnya. Sementara aku mati-matian belajar, hingga otak dan mataku hampir mencelat keluar.

“Sil? Kok, diam?”

“Terserah kamu, deh Mil, aku nyerah!”

“Hei? Nyerah apanya? Siapa yang lagi bertaruh?”

“Aku. Dan masa depan hidupku yang cuma seuprit ini,” dengkusku.

Ia diam, mencoreti kertasnya dengan tulisan-tulisan rumit yang ia bilang puisi. “Nih! Buat kamu!”

“Lho? Mau kemana?”

“Cabut.”

Aku terkesiap, tubuh kurusnya tiba-tiba memelesat keluar. Sebelum mencapai pintu, ia berbalik dan menyeringai. “Biar kamu dikasih kesempatan dapet A.”

“Sialan!” umpatku. Tak ayal, kepergiannya menyisakan satu bangku kosong, dan ruang penasaran di kepalaku. Si Milo sontoloyo!

***

Entah kenapa, kromosom yang membentuk genku ini tak kuasa untuk membuatku terlahir jadi manusia pandai, salahkan DNA jika otakku memang diciptakan pas-pasan. Namun, kehadiran Milo, si manusia flamboyan berambut nyentrik itu sanggup membumihanguskan kebencianku pada buku. Ia mendedah habis semua jurnal filsafat, teori sosial dan segala teks cultural studies, lalu memuntahkannya kembali di hadapanku menjadi serangkaian kata-kata yang sanggup kupahami. Milo menularkan kecintaannya terhadap buku padaku.

Ada satu kelemahan besarnya yang kerap membuatku benci, Milo sering lupa akan janji. Ia membuatku menunggu lama, berjam-jam hingga bisa menemukan lagi batang hidungnya, tak jarang meninggalkanku hingga berhari-hari.

“Maaf, ya, Sil,“ ucapnya lemah. Ada sembilu di balik urat matanya yang memerah. “Aku salah, bikin kamu nunggu. Maaf.”

Dahiku mengerut, menyisakan rasa geli di pangkal hidung. “Empat jam, Mil. Lama-lama, pantatku bisa nyaman bersahabat sama bangku taman ini,” candaku. Yang hanya ia tanggapi dengan kedut di ujung alis. 

“Mil? Nggak apa-apa?”

Ia menundukkan separuh tubuhnya menggapai lantai, menyelipkan kepalanya di antara lutut, mengacak rambutnya yang mulai panjang. “Capek, Sil.”

“Capek?”

Ia mengangguk. “Capek, lelah, suntuk….”

Dari banyaknya kalimat-kalimat yang biasa ia rangkai untuk memahamkanku akan beragam fenomena, ia memilih hari ini untuk membuatku merasa cukup pandai untuk mencerna. Aku tahu, ketika “kecemasan” tengah memburu nalar seseorang, dan membuatnya bertekuk lutut hingga merasa letih. Milo-ku tengah diserang pasukan overwhelming.

“Nggak semua literasi yang kupunya bisa menjawab yang ada di sini,” tunjuknya dengan satu jari, tepat di dada. “Kenapa, ya? Aku sedih, sedih sekali.”

“Sejak kapan?”

“Tadi malem.”

Aku cuma bisa manggut-manggut. Pengetahuanku tentang emosi manusia tak sedalam itu, tapi aku tahu rasa tidak nyaman yang ditimbulkan perasaan semacam ini. Mungkin Milo sedang didera rasa cemas, yang kadarnya berlipat-lipat dibanding orang lain.

“Mungkin karena, too peopley out here, Mil.”

“Silo, please, Peopley itu apa?”

Aku mengedikkan bahu. “Charlie Brown kadang bilang gitu, ‘I’m staying in bed, it’s too peopley out there’.”

“Sil, serius? Kamu mau membandingkan aku sama kartun?”

“Hei! Filosofinya sama, kerumunan emang bikin nggak nyaman,” protesku. Kembali melirik rautnya yang mulai sedikit berwarna, tapi mendung masih tebal di dahi yang biasanya licin, seperti siap menenggelamkan Milo dalam kekhawatiran yang sahut menyahut tak berkesudahan.

Ceruk di keningnya kembali dalam. Ia mengamati telapak tangannya yang gemetar. “Aku kadang lupa, apa yang akan aku lakukan hari ini. Aku buat janji dengan banyak orang, dalam kondisi serba cepat, lalu lupa memenuhi janjiku sama mereka. Karena di sini itu, rasanya ruwet.” Ia menyentuh pelipisnya dengan ujung jari.

“Itu kenapa, aku nggak punya banyak teman. Cuma kamu yang tahan.” Susah payah ia menjelaskan pergulatannya dalam bentuk bahasa, kemungkinan karena takut aku tak bisa paham.

“Milo, aku nggak ambil pusing dengan sikap kamu selama ini. Buatku, menunggu kamu meskipun lama, adalah bagian dari kesepakatan kita sebagai sahabat. Yang penting kamu ada.”

“Sahabat nggak akan membiarkanmu menunggu lama.”

“Jika memang layak untuk ditunggu, kenapa nggak?” sanggahku lagi.

Setiap kepala, memiliki jaringan, rancangan, dan isi yang berbeda. Konstruksi di dalamnya memiliki ketahanan yang rupa-rupa, salah satunya ketika ia dihadapkan pada konsekuensi sebagai makhluk sosial. Kini aku paham, seperti layaknya layangan, Milo adalah manusia tarik-ulur pertama dalam hidupku, yang sulit untuk dipindai rute terbangnya.

Kadang ia lupa, dunia tak melulu ruang kedap udara yang ia tempati sendirian, tak hanya rasa sunyi yang menggulung dan mencekiknya hingga tak punya teman. Ada aku, yang menunggu dengan harap-harap cemas, apakah ia akan kembali menapaki bumi, dan membagi pengetahuannya bersamaku lagi. Di kelas ini, tempat kita berbagi nilai ujian yang berkejar-kejaran. Aku takut, ia lepas dari genggaman.

***

Hari yang dinanti-nantikan oleh warga kelas kami sudah tiba, pengumuman beasiswa studi ke Malaysia akhirnya datang. Tatapku tertuju ke pintu, berharap manusia kurus itu berhasil menyeret tubuhnya hadir di ruangan. Ia yang dulu begitu berbinar menanti kabar gembira ini. Berharap pemikirannya akan memberi warna di arena pergulatan ilmu yang mendunia, berbagi tentang banyak hal pada sesamanya.

“Milo kemana?”

“Saya nggak tahu, Pak. HP-nya mati, rumahnya gelap,” jawabku apa adanya.

Sampai satu jam berlalu, ia memilih tak hadir. Meski, nama itu berulang-ulang dikumandangkan ketua jurusan kami dengan bangga, karena Milo berhasil mengungguli banyak mahasiswa, dengan esai jeniusnya tentang: Kecantikan Perempuan Melayu yang Menjadi Komoditas Industri Kosmetik.

Milo tak kunjung datang. Ia memilih bersembunyi di balik kamar sunyinya untuk menyepi.

***

Keresahan jiwa akan bersua dengan jiwa lain yang bergerak searah, terbang bersama manusia dengan kecenderungan yang sama. Aku tahu, rentannya kondisiku, suatu saat akan jadi batu sandungan untuknya. Kedamaian yang ia butuhkan perlu jeda, bukan hubungan dua manusia yang saling mencekik dengan rasa kepemilikan yang posesif. Sahabat pun butuh diberi ruang untuk bernapas. Lalu aku tak menemuinya lagi, hingga beberapa tahun berselang.

Milo yang kini bertumbuh jadi manusia baru, bergerak di dunia penuh warna. Ia memilih dunia fotografi sebagai kanvas karyanya. Seperti dia pernah bilang padaku, Tuhan menganugerahkan banyak sekali kemampuan untuk mereka dengan jiwa-jiwa yang rapuh. Tangan ajaibnya menyentuh alat, mata elangnya meneropong objek, dan hasratnya mencipta karya.

Ia yang berjuang jatuh bangun, bergumul dengan berbagai isu dan diagnosa, akhirnya sanggup melawan dan berupaya menjadi manusia yang utuh, tanpa perlu berbaur dengan kebanyakan. Milo keluar dari kegelapan itu.

Ia mampu memvisualkan ceritanya, memperjuangkan kesetaraan di akar rumput dan keresahan sosial yang kadang tak tersuarakan dengan lantang. Foto-fotonya punya kisah yang perlu disampaikan pada khalayak ramai. Karyanya punya misi yang mulia.

Seperti Milo selalu bilang: “Silo, kalau kata-kata seringkali membuat kita muak dan makin tak mengerti. Cobalah bentuk okuler yang lebih punya warna, mungkin mata bisa lebih mendengar dibanding telinga. Manusia selalu perlu bentuk visibel.” Ia memilih bentuk optisnya untuk menyulam cerita.

***

Kami merangkai karya menjadi sebuah magnum opus, aku berkata-kata, dia menangkap cahaya. Bersama menjadi penyihir lintas rasa dan karsa, membangun peradaban dengan banyak sekali harap dan dera kecemasan. Tapi kami yakin, setiap karya punya daya sihir-nya sendiri-sendiri.

Semoga kali ini, pasukan kecemasan tak membunuh daya kreativitasmu yang tinggi, hingga mati di pojokan.

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@carsun18106 : This one is my real 'ohrwurm' Teh. Kadang sahabat itu memang nggak harus selalu ada, tapi dia selalu jadi penanda di setiap babak kehidupan. Seperti pembatas buku kita. Yes, Mylo Xyloto is one of my lifetime playlist 🩵🩷
This one hits somehow hard...milo dan silo ini...kok seperti diriku dan dirinya, sifat mereka mirip kami berdua tp tercampur aduk...endingnya pun (apakah betul ending??) a bit similar walaupun eksekusi nya beda sih...but yeah...
Hmm mylo xyloto ...
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Milo dan Silo
Foggy F F
Novel
Bronze
Sang SENIMAN
Ign Joko Dwiatmoko
Novel
Bank(rut) Syariah
Dania Oryzana
Cerpen
Bronze
Lentera Jiwa
White Blossom
Novel
Bronze
Literatur Bernyawa
Rainzanov
Flash
Bronze
Mister Jamu
Shabrina Farha Nisa
Novel
Bronze
Sebelum Melihat Langit Prancis
Adiba
Novel
Bronze
MENUNGGU: Akhir Kisah Kita
Nurita
Novel
The mosby
Fahmi Sihab
Novel
Bronze
Solo Balapan
Herman Sim
Novel
Di bawah Standar
Era Chori Christina
Novel
Gold
Senandung Talijiwo
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
Sulur Waktu
Foggy F F
Flash
Sang Penyemir Sepatu
Fitri F. Layla
Cerpen
Cerita Si Bungsu
Al Balinda Ulin Dya
Rekomendasi
Cerpen
Milo dan Silo
Foggy F F
Novel
Bronze
Sulur Waktu
Foggy F F
Cerpen
Bronze
Ohrwurm
Foggy F F
Cerpen
Bronze
Babi Ngepet
Foggy F F
Cerpen
Pesawat Kertas
Foggy F F
Novel
Bronze
Kue Lumpur Kayu Manis dan Rancang Bangun
Foggy F F
Cerpen
Bronze
The Legacy
Foggy F F
Flash
Bronze
Merindu di Safarwadi
Foggy F F
Cerpen
Bronze
CINTA SAJA SEHARUSNYA CUKUP
Foggy F F
Cerpen
Jingga dan Pelangi di Manik Matanya
Foggy F F
Cerpen
Mengadili Sengkuni
Foggy F F
Cerpen
Bronze
Hati
Foggy F F
Flash
Bronze
Laju Lari
Foggy F F
Cerpen
Rawallangi, Si Gadis Angin
Foggy F F
Cerpen
Save the Last Dance
Foggy F F