Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Rumah itu selalu sepi, meskipun didalamnya tinggal tiga orang yang seharusnya saling melengkapi, diantaranya ada Arsen, seorang dokter yang terhormat. Christin, istri yang cantik dan usianya lebih muda dari Arsen. Clara, putri kecil mereka yang imut dan cantik seperti ibunya.
Bagi tetangganya, keluarga itu terlihat sempurna. Tapi dibalik pintu yang tertutup rapat, ada rahasia kelam yang perlahan menggerogoti kebahagiaan mereka.
Christin menikah bukan karena cinta, saat berusia Sembilan belas tahun ia dipaksa menikah oleh kedua orang tuanya dengan Arsen seorang pria mapan yang berusia tiga puluh enam tahun. Malam pertama mereka bukannya bahagia justru menjadi malam yang penuh amarah.
“ Dasar pria tua!!” bentak Christin dengan mata yang berkaca-kaca.
Arsen terdiam, hatinya seperti di tikam namun ia memilih tidak merespon makian istrinya. Sejak hari itu ia bersumpah hanya membalas kebencian istrinya dengan kesabaran.
Dua tahun lamanya sejak menikah, Christin memperlakukan Arsen seakan dia tidak ada. Rumah yang mereka diami itu bagi Christin seperti penjara, ia sering keluar malam, jarang pulang, dan hampir tak pernah memberikan senyum sama sekali pada Arsen.
Namun semuanya berubah ketika Clara lahir, tangisan bayi mungil itu membuat Christin yang dingin perlahan melunak, senyum kecilnya mulai sering terlihat, ia tak lagi selalu marah meski tatapannya pada Arsen tetap penuh jarak.
Bagi Arsen, itu sudah lebih dari cukup. Senyuman kecil dari Christin adalah hadiah terbesar setelah bertahun-tahun ia hanya menerima cacian.
Saat berusia enam tahun, Clara tumbuh menjadi gadis kecil yang ceria, pintar, manis dan selalu menciptakan suasana manis di rumah.
Dibalik keceriaannya, Arsen paham dan mengetahui sesuatu yang berbeda dari Clara. Kadang-kadang anaknya itu menatap kosong ke arah sudut ruangan, seperti melihat sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain.
“ Mama, ada tante di situ…” bisik Clara sambil menunjuk sebuah lemari tua dikamarnya.
Crhistin hanya menepuk bahu Clara, “ Itu cuma bayangan aja sayang.”
Bagi Arsen, ia yang sudah terbiasa menghadapi pasien dengan gangguan saraf merasa ada yang lebih dari sekedar bayangan yang dilihat anaknya.
Malam itu Arsen duduk lama di teras, menatap langit gelap. Angin dingin menusuk tulang, ia teringat bagaimana hidupnya berubah sejak Clara lahir, Clara adalah segalanya bagi Arsen. Ia merasakan dibalik kebahagiaan ini ada sesuatu yang disembunyikan oleh istrinya.
Hari-hari telah berlalu, Arsen semakin sibuk di rumah sakit. Sementara Christin kerap pulang kerja larut malam dengan alasan lembur.
“ Sayang, jangan terlalu sering pulang malam. Aku takut kamu nanti sakit. ” ucap Arsen di suatu pagi.
Christin hanya tersenyum tipis, lalu menepuk tangan suaminya. “ Aku baik-baik saja kok.”
Tapi hati Arsen tetap tak merasa tenang, saat ini ia melihat bagaimana istrinya kerap menatap ponselnya dengan senyum yang bukan ditujukan padanya.
Clara pun sering sakit, demam, batuk dan tubuhnya sering melemah tanpa penyebab yang jelas. Arsen yang seorang dokter mencoba menanganinya, terkadang penyakitnya hilang tapi tetap kembali muncul. Seperti ada sesuatu yang menggerogoti pada anaknya.
Suatu malam, Clara mengalami demam tinggi. Arsen panik sementara Christin sulit yang dihubungi, dengan keadaan tergesa Arsen membawa anaknya kerumah sakit tempat ia bekerja.
Carl, sahabatnya yang juga seorang dokter. Ikut membantu dan memeriksa Clara.
“ Secara medis semuanya normal, tapi ada yang aneh..” kata Carl sambil menatap hasil tes laboratorium.
“ Apa maksudmu? ” tanya Arsen dengan penuh khawatir.
Carl menghela nafas, “ aku menemukan zat asing di tubuhnya. Bentuknya seperti jamur mikroskopis, sangat kecil tapi berkembang perlahan, seperti sengaja ditanam untuk menggerogoti dari dalam.”
Arsen terdiam, seakan dunianya runtuh.
Malam itu juga, ia meminta Carl melakukan tes DNA dengan anaknya. Hatinya bergetar hebat tapi ia harus tahu.
Keesokan paginya, hasilnya keluar. Clara bukan darah dagingnya.
Tubuh Arsen yang mendengarnya hampir roboh, semua cinta, pengorbanan dan kesabarannya untuk Clara ternyata kosong. Ia bukan pemilik yang sebenarnya.
Saat ia menatap Clara yang tertidur lemah, air matanya jatuh. Membuatnya tak peduli akan hasil tes itu, baginya Clara tetap anaknya. Putrinya.
Beberapa hari kemudian, ketika membeli obat di apotek, Arsen melihat sesuatu yang menghancurkan hatinya. Christin masuk ke sebuah penginapan bersama pria asing. Mereka tertawa, bergandengan tangan seperti pasangan bahagia.
Arsen berdiri terpaku. Rasanya napasnya terhenti. Ia pulang dengan tubuh lemas, duduk di ruang tamu, menangis dalam sepi.
Saat itu terdengar batuk keras dari kamar Clara. Dengan sisa tenaga, Arsen berlari, menggendong putrinya, membawanya kembali ke rumah sakit.
Di sela keputusasaan, amarah, dan cintanya pada Clara, muncul sesuatu yang gelap di dalam dirinya.
Arsen mulai memperhatikan pola makan Clara. Ia teringat bahwa Christin sering menyiapkan sarapan berbahan jamur beberapa minggu terakhir.
Jamur, lalu zat asing yang ditemukan Carl. Apakah itu kebetulan?
Hatinya teriris, istrinya sendiri mencoba membunuh anak mereka. Anak yang bahkan bukan darah dagingnya, secara perlahan, seolah ingin menyiksa, bukan sekadar menghabisi.
Arsen menahan amarahnya, ia tetap bersikap lembut pada Christin. Saat wanita itu akhirnya pulang setelah berhari-hari menghilang.
“Sayang, kau terlihat lelah. Minumlah vitamin yang kusiapkan,” ucap Arsen sambil menyodorkan kapsul kecil.
Christin menerimanya tanpa curiga. Ia meneguknya, lalu pamit kembali pergi.
Arsen menatap punggungnya dengan tatapan dingin. Senyum samar muncul di wajahnya.
Seminggu kemudian, Clara pulih sepenuhnya. Arsen memutuskan membawa putrinya jauh dari rumah mereka.
Sementara itu, Christin kembali bersama selingkuhannya. Di ruang tamu, mereka menemukan surat cerai di atas meja.
Christin terkekeh. “Akhirnya dia menyerah juga.”
Pria di sampingnya, Van, ikut tertawa. “Kalau saja dia tahu Clara adalah anakku, bukan anaknya…”
Mereka berdua tertawa, lalu bercumbu di kamar.
Namun beberapa menit kemudian, tubuh Christin terasa aneh. Gatal menjalar di kulitnya, lalu dari balik pori-porinya muncul serangga hitam kecil. Ia menjerit, mencakar tubuhnya sendiri. Van mencoba menolong, tapi hal serupa terjadi padanya.
Tubuh mereka dipenuhi serangga yang keluar dari dalam, menggigit, merobek, merayap keluar melalui mata, hidung, dan mulut.
Jeritan mereka memenuhi malam, lalu sunyi.
Beberapa hari kemudian, bau busuk menusuk hidung para tetangga. Polisi mendobrak pintu rumah, mereka menemukan jasad Christin dan Van yang membusuk, dikerubungi ratusan belatung dan serangga yang entah dari mana asalnya.
Semua yang melihatnya menutup mulut, menahan muntah. Itu bukan kematian wajar. Itu kutukan.
Di tempat yang jauh, Arsen duduk di taman bersama Clara. Gadis kecil itu tertawa sambil berlari mengejar kupu-kupu.
Arsen menatapnya dengan senyum hangat, meski di dalam hatinya ada lubang yang takkan pernah tertutup.
“Mungkin sudah saatnya telur-telur itu menetas,” gumamnya pelan.
Clara menoleh. “Ayah bilang apa?”
Arsen menggeleng, lalu meraih pundak putrinya. “Tidak apa-apa, Sayang. Yang penting, sekarang kita hanya berdua. Tidak ada lagi pengkhianat di antara kita.”
Di matanya ada cinta yang dalam, tapi juga kegelapan yang tak bisa dijelaskan. Cinta dan dendam telah menyatu, meninggalkan luka abadi.
Rumah lama mereka kini kosong. Tetangga yang lewat masih sering mendengar suara tangisan dari dalam, meski rumah itu sudah disegel polisi.
Konon, pada malam tertentu, bayangan Christin sering terlihat di jendela, tubuhnya masih dipenuhi serangga yang merayap.
Sementara itu, di suatu tempat yang jauh, Arsen membesarkan Clara dengan penuh kasih. Ia tahu gadis kecil itu bukan darah dagingnya. Tapi ia juga tahu, cinta tak selalu membutuhkan hubungan darah.
Namun di balik cinta itu, selalu ada bisikan gelap yang menemaninya.
“Clara… milikku. Hanya milikku.”
Nb : Jangan lupa Like, Komen, dan Follownya ya guys.
biar mimin semangat updatenya.