Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku duduk di kursi kayu yang sudah mulai lapuk, di teras rumah yang menghadap ke ladang jagung. Udara pagi yang lembab masuk lewat sela-sela pintu, membawa bau tanah basah yang khas. Di kejauhan, burung gereja terbang berkelompok, berputar-putar di atas sawah yang baru saja dipanen. Telingaku menangkap suara jangkrik yang berderik keras, namun seiring berjalannya waktu, suara itu mulai hilang perlahan, digantikan dengan bisu yang menenangkan.
Panas matahari sudah mulai menyengat, namun masih ada semilir angin yang sesekali menyapu wajahku, menyegarkan kulit yang mulai kering. Di meja kayu yang sudah usang, sebatang rokok yang hampir habis sudah kupasang di asbak, tinggal menunggu waktu untuk habis sendiri.
Aku meraih bungkus mie instan yang tergeletak di dekat pintu, mengoyak plastiknya dengan gerakan lambat. Tidak ada suara lain selain gesekan tepung yang menjadi adonan lalu dicetak dengan lembar-lembar tipis, lalu dipotong oleh mesin yang halus. Tak ada yang terlalu berarti, tetapi tak ada juga yang ingin kutinggalkan.
Di luar, bayang-bayang mendung mulai menyelimuti langit, bergerak perlahan, seolah hendak menyampaikan sesuatu. Kabar bahwa semua orang seharusnya tidak pergi keluar dan berlindung di rumah masing-masing.
Tiba-tiba, langit yang tadinya biru cerah kini memucat, berubah menjadi abu-abu tipis, seolah diselimuti kabut. Angin yang semula lembut kini mulai berbisik lebih keras, mengusir debu-debu kering yang terperangkap di sela-sela jendela. Suara dedaunan yang bergoyang terdengar lebih jelas, bergemuruh seperti ada sesuatu yang hendak datang.
Aku sudah menduga, ini adalah waktu yang tepat untuk memasaknya. Tak ku kira akan secepat ini sejak aku membelinya beberapa bungkus kemarin dari warung Bu Jum. Aku membeli mie berbagai macam merek dan rasa. Aku menyukai mie kuah, jadi aku membeli lebih banyak mie kuah dari pada mie goreng.
Aku menoleh ke arah ladang jagung, melihat batang-batang tanaman yang mulai bergoyang tak teratur, seakan saling berbisik satu sama lain. Di kejauhan, seekor ayam jantan berkokok beberapa kali, berusaha bertahan melawan perubahan mendadak itu.
Lalu, tetes pertama jatuh, pelan di permukaan tanah. Kemudian, seperti lupa menahan diri, hujan mulai turun dengan derasnya, menghantam atap rumah dengan bunyi yang berulang-ulang. Tetes-tetesnya memercik di atas tanah yang kering, menciptakan kabut tipis yang mengarah ke udara. Bau tanah yang segar menyebar, begitu kuat dan menenangkan.
Aku memandang ke luar, menahan nafas, dan menghirup udara dingin sebanyak mungkin ke dalam dadaku. Memaksa diri untuk rileks dari kesibukan dunia yang sekarang terhenti karena alam berkehendak untuk diam.
Aku membuka bungkus mie dengan hati-hati, menikmati suara plastik yang terkoyak. Wangi bumbu yang kuat langsung menyeruak, mengingatkanku pada masa-masa ketika hidup terasa lebih sederhana. Perlahan, aku menuangkan air ke dalam panci, mendengarkan suara gemericik air yang mengalir ke dalamnya, seperti bisikan yang meminta kesabaran. Kali ini, aku memasak mie kuah, jadi aku memasak air lebih banyak daripada biasanya.
Sementara menunggu air mendidih, aku menatap luar jendela, memperhatikan butiran hujan yang kini semakin deras. Hujan menari-nari di atas tanah yang gelap, menciptakan percikan kecil yang membias di udara. Kembali aku menoleh ke panci. Air dalam panci mulai bergelembung, memecah keheningan, menandakan bahwa aku harus segera bertindak.
Aku kecilkan api di kompor dan menyiapkan mangkuk untuk menampung sebagian air yang kini bergelembung lebih kecil dan jernih. Aku angkat panci itu dengan satu tangan dan menuangkan air yang terus menguap itu dalam mangkuk kaca hingga memenuhi setengah bagiannya. Setelah merasa cukup, aku letakkan kembali panci tersebut di atas api biru kemudian memperbesar nyalanya melalui knop hitam yang terselimuti minyak.
Aku memasukkan mie dengan hati-hati, seperti menaruh sesuatu yang berharga. Setiap helai mie terendam dalam air yang mendidih, menyerap panasnya dengan perlahan. Aku mengaduknya dengan sendok kayu, memutar-mutar mie yang melingkar, melihat mereka berubah bentuk dari kekakuan menjadi lembut yang siap untuk disantap.
Adonan kuning itu melepaskan aroma yang semakin menggoda. Ketika mie sudah mengapung, aku mematikan kompor dan membiarkannya dingin untuk sementara. Selagi menunggu proses perubahan itu, aku menyobek wadah bumbu dan minyak, lalu menuangkannya secara bersamaan di atas air bening yang sudah aku sisihkan sejak awal.
Aroma kuah yang sudah bercampur dengan bumbu itu merasuki perasaku. Mulut dan hidung sudah bisa merasakan bagaimana nikmatnya makanan yang ada di depannya, meskipun ia belum merasakan segigit pun santapan tersebut.
Merasa susah puas menikmati aromanya, aku tiriskan mie dari air bekas masaknya yang ada di panci dengan saringan besi. Aku pastikan tidak ada sehelai pun mie yang terlepas dari saringan itu. Selanjutnya aku masukkan mie dalam air kuah yang beraroma kuat.
Aku duduk di meja makan, mengangkat mangkuk, dan menciumnya sejenak. Panasnya mengepul ke udara, menenangkan. Dengan sendok di tangan, aku menyesap mie perlahan, menikmati setiap suapan yang masuk, memberi waktu untuk rasa dan tekstur mie mengalir di lidahku. Setiap gigitan seperti menarikku lebih dalam ke dalam momen ini—tanpa suara lain selain denting sendok dan hujan yang tak berhenti.
Hujan mulai mereda, tetes-tetesnya semakin jarang, hanya menyisakan rintik halus di atas daun-daun yang gemetar. Di luar, langit masih kelabu, tetapi warnanya sudah lebih lembut, seolah dunia sedang menarik nafas panjang. Aku menatap mangkuk kosong di tanganku, masih ada sedikit rasa hangat yang tertinggal di bibir. Aku tak terburu-buru meletakkan sendok; sejenak, aku hanya memandang hening, membiarkan waktu mengalir begitu saja.
Suara hujan yang mulai mereda itu seperti sebuah penutupan yang sempurna, menggantikan segala kebisingan yang biasanya memenuhi pikiranku. Tidak ada yang perlu dikejar, tidak ada yang perlu ditunggu. Semua yang aku butuhkan ada di sini, dalam kesederhanaan—di rumah yang tenang, di hujan yang baru saja berlalu, dan dalam satu mangkuk mie yang telah habis kutelan.
Aku tersenyum pelan, merasa ringan. Mungkin ini yang selama ini kucari—bukan di tempat yang jauh, bukan dalam ambisi besar. Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang harus dicapai, melainkan dirasakan, tepat di sini, dalam momen yang sederhana. Terkadang, hanya dengan duduk, meresapi detik demi detik, kita sudah cukup. Tidak perlu mengejar sesuatu, tidak perlu khawatir tentang yang akan datang.
Aku bangkit dari kursi, melangkah menuju pintu. Di luar, udara segar menyapu wajahku, membawa bau tanah basah yang menenangkan. Aku menghirupnya dalam-dalam, merasa hidup ini begitu penuh, begitu nyata. Tidak ada yang lebih penting selain berada di sini, sekarang—tanpa kekhawatiran, tanpa ambisi. Hanya aku, hujan yang reda, dan dunia yang sedang berputar dengan tenangnya.
Di saat seperti inilah aku merasa bersyukur aku masih hidup.