Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kun sebenarnya pria biasa-biasa saja, tak ada yang terlalu istimewa dalam dirinya. Tapi kebetulan nasib baik selalu berpihak padanya.
Pas lagi bingung cari kerja, ketemu teman menawarkan kerjaan, pas lagi perlu jabatan mampir ke kantor teman ditawari jabatan. Meski semuanya juga berkat kerja keras, pertemanan, dan kemampuannya.
Perlahan tapi pasti hidupnya membaik. Roda berputar ke atas. Meskipun bukan keturunan saudagar besar, tapi darah pedagang dari kakek neneknya yang sekadar membuka warung kecil di pasar.
Dengan berbagai keberuntungan yang selalu datang tepat waktu, Kun bisa punya rumah besar, bisnis yang lumayan, dan, tentu saja, keluarga kecil yang bahagia. Istrinya, Rani, adalah perempuan yang penuh kasih dan sederhana, baik dan tidak sombong, menjadi perisai hatinya ketika apa pun yang terjadi.
Pokoknya hidupnya dalam takaran yang pas meski tidak sempurna, dan Kun merasakan dirinya menjadi pria paling beruntung di dunia.“Tak semua bisa dibeli dengan uang,” begitu pikirnya.
Tapi namanya manusia, Kun juga punya salah—arah hidupnya mulai berubah. Semakin besar keberuntungannya, rasa syukurnya memudar, hidupnya mulai boros.
Kun mulai menghamburkan uang untuk hal-hal yang tak perlu. Termasuk bisnis yang asal-asalan tata kelolanya. Teman-temannya seringkali menyindir, “Kun, bisnis itu harus untung jangan jadi spekulan” tapi Kun hanya tertawa dan menjalani semuanya sesantainya.
Rani, meski tak pernah menentang, beberapa kali mencoba mengingatkan Kun. Ada satu hal yang Kun lupakan, roda nasib bisa berputar, dan arah putaran itu tak bisa dikendalikan.
Hutang dan bisnis gagal dua mata uang yang mulai membuatnya jatuh. Keberuntungan sepertinya juga mulai menjauh darinya. Tangan midasnya hilang, sentuhannya tak lagi ajaib.Bisnis yang ia bangun dengan susah payah mulai hancur, dan tak satu pun dari investasinya menghasilkan apa-apa. Semua seperti hilang tanpa jejak.
Dimulai dari mobilnya yang ditarik leasing, hingga yang tersisa rumah dalam status gadai dan untungnya masih ada Rani serta anak-anak mereka, yang setia meski hidup mulai berubah drastis.
“Aku berharap bisa mengulang semuanya,” ucapnya suatu malam dengan suara parau.
“Jika ada mesin waktu, aku akan mengulang semuanya dari nol, ” ujar Kun, meski terdengar getir Rani tersenyum juga.
***
Kun mendapati dirinya dalam ruang gelap, asing, seolah tidak lagi berada di rumahnya lagi. Hanya detik yang berdentum tanpa henti, mengalir seperti lautan waktu yang tidak berhenti.
Di hadapannya, berdiri mesin besar dengan tombol-tombol bersinar yang memanggil namanya, seolah memintanya mendekat.
Kun, yang biasanya penuh perhitungan, tidak tahu bagaimana bisa tiba di sana. Tapi ia berusaha mendekat ke mesin itu, lalu satu tombol di depannya berpendar terang, menuntunnya untuk menekannya. Seperti terhipnotis, tangannya bergerak menekan tombol itu, dan seketika tubuhnya tersedot ke dalam pusaran cahaya, menghempaskannya ke ruang yang penuh kepingan memori—memori hidupnya sendiri.
Kun tersentak, karena kini mendapati dirinya berada di dalam sebuah ruangan, berdiri di belakang seorang lelaki.Butuh beberapa detik hingga ia sadar karena ternyata lelaki itu adalah dirinya sendiri, hanya lebih muda.
Ia menyaksikan dirinya bercakap-cakap dengan Rani di dapur rumah kecil mereka. Wajahnya berbinar, mengisyaratkan kebahagiaan yang begitu tulus saat menceritakan rencana-rencananya untuk membuka bisnis kecil.
"Ini peluang besar, Rani. Kalau kita berhasil, hidup kita akan berubah selamanya."
Rani tersenyum, mendorong dan mendukung sepenuhnya impian suaminya, walau wajahnya penuh kekhawatiran.
“Aku percaya padamu, ” ujarnya dengan lembut. “Hanya, tetaplah berhati-hati.”
Kun melihat dirinya tersenyum penuh percaya diri, penuh harapan akan masa depan. Di momen itu, Kun merasa hatinya seakan berdesir—betapa lamanya ia tidak merasakan rasa optimis semurni itu.
Pusaran waktu menyeretnya lagi. Kali ini, ia melihat dirinya beberapa tahun kemudian, duduk di kursi kantor yang mewah, mengenakan jas, wajahnya penuh kepuasan setelah menutup kontrak besar.
Rani masuk ke ruangan, membawa setumpuk dokumen yang menuntut persetujuan Kun. Dia menatap Kun, tetapi kali ini dengan tatapan resah, lalu dengan suara bergetar, ia berkata, “Kun, apakah kau tidak terlalu terburu-buru? Bisnis-bisnis ini berkembang begitu cepat, tapi kau terlalu banyak mengambil risiko.”
Kun muda dalam adegan itu menepis kekhawatirannya dengan tawa ringan.
“Rani, risiko adalah bagian dari kesuksesan. Kita harus berani, bukan?”
Kun yang berada di luar adegan melihat dirinya di masa lalu dengan tatapan penuh penyesalan.
Betapa ia menyadari bahwa itulah awal dari keterjerumusan. Saat itu, ia mulai mengabaikan saran Rani, berpikir bahwa ia tak lagi butuh bantuan orang lain dalam membuat keputusan. Ego dan kesombongannya tumbuh seiring dengan jumlah keberhasilan yang ia capai.
Sekali lagi, pusaran waktu berputar.
Kini Kun melihat dirinya dalam pertemuan dengan teman-teman bisnisnya. Mereka menegurnya tentang caranya yang sembrono menginvestasikan uang.
Salah seorang teman menatapnya dengan prihatin. “Kun, bisnis itu harus dikelola, jangan hanya asal masuk uang lalu keluar tanpa rencana. Ini bukan sekedar permainan.”
“Ah, kalian terlalu khawatir. Aku tahu apa yang aku lakukan!”
Kun muda itu menjawab dengan acuh, matanya menyala penuh semangat yang buta arah. Ia yakin bahwa keberuntungannya akan selalu membawanya selamat.
Kun yang menyaksikan dari luar adegan ini mulai merasa dadanya sesak. Ia ingin berteriak dan memperingatkan dirinya sendiri.
Ia ingin meneriakkan bahwa keberuntungannya ada batasnya, bahwa ia akan kehilangan segalanya jika terus bermain-main dengan hidup seperti ini. Namun suaranya tercekik dalam kekosongan ruang.
Lalu, adegan berganti lagi, kini menuju momen di mana segalanya mulai hancur. Kun melihat dirinya sedang duduk di meja kerja, memegang kepala, tenggelam dalam angka-angka merah yang menghiasi laporan keuangannya.
Setiap bisnis yang ia bangun mulai terpuruk, uang yang ia keluarkan tak lagi kembali, hutang mulai menumpuk. Ia memandang ke sekitar ruangan yang dulunya penuh sesak dengan orang-orang, namun sekarang kosong, sepi, bahkan kesuksesannya terasa palsu. Tidak ada yang tersisa selain kesedihan yang ia tumpuk sendiri.
Rani muncul di ambang pintu, menatapnya dengan penuh simpati dan kasih. Dengan suara pelan, ia berkata, “Tak apa, Kun. Kita akan lalui ini bersama.”
Kun yang menyaksikan ini merasa seolah ditampar. Walaupun saat itu ia sedang berada di titik terendah, Rani masih mendukungnya, mengingatkannya bahwa ia tidak sendirian. Ia merasa tersentuh oleh cinta istrinya, yang tetap setia meski ia telah begitu banyak melakukan kesalahan.
Tiba-tiba, sebuah kilatan cahaya menyambar. Kun terseret lagi, lebih dalam ke dalam pusaran waktu, namun kali ini ia tidak lagi hanya menyaksikan—ia terjebak dalam adegan itu.
Tubuhnya merasa berat, jantungnya berdetak cepat saat ia melihat ke sekeliling. Ia berdiri di tengah ruang kantornya yang kosong, yang pernah ia banggakan namun kini hampa. Setiap sudutnya terlihat menyedihkan, menampakkan kehancuran yang nyata.
Dalam ketakutan dan kepasrahan, Kun berteriak, “Aku ingin mengulang semuanya! Tuhan, beri aku satu kesempatan untuk memperbaiki semua ini!”
Suara serak dari dalam diri, seperti suara dirinya yang tua dan lelah, terdengar berbisik.
“Kesempatan kedua tidak datang dari mesin waktu, Kun. Tapi dari keputusanmu untuk belajar.”
Saat itulah Kun tersadar dari pusaran waktu, dadanya naik-turun dengan cepat, keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Ternyata ia berada di tempat tidur, di samping Rani yang masih terlelap, tidak menyadari gejolak yang baru saja dialami suaminya.
Semua yang ia alami dalam pusaran waktu itu, semua ingatan yang dilihatnya, hanyalah mimpi—namun terasa begitu nyata, seolah-olah ia benar-benar menyaksikan kehidupan dan kesalahan-kesalahannya sendiri dari perspektif yang tak pernah ia pahami sebelumnya.
Kun duduk di tepi tempat tidur, memandangi Rani yang begitu tenang di sampingnya.
Rasa syukur tiba-tiba memenuhi dadanya, bercampur dengan rasa bersalah yang mendalam. Kini ia menyadari bahwa selama ini ia telah begitu sombong, begitu yakin bahwa hidup akan selalu berpihak padanya, padahal ia sudah diberikan semua yang ia butuhkan untuk hidup bahagia.
Pagi itu, Kun bertekad untuk berubah, bukan karena ia berharap mesin waktu akan membantunya memperbaiki kesalahan, tetapi karena ia sadar bahwa kesempatan untuk berubah ada di hadapannya—di sini dan sekarang.
Ia bersumpah pada dirinya sendiri bahwa ia akan menjadi suami yang lebih baik, ayah yang lebih peduli, dan pria yang tidak lagi mengejar keberuntungan, tetapi menghargai apa yang telah ia miliki.
Roda kehidupan tidak pernah berputar ke belakang, namun Kun tahu bahwa ia masih memiliki kesempatan untuk memutarnya ke depan.
***
“Mana ada mesin waktu, anggap itu pertanda Tuhan masih mengingat kita memberi waktu belajar dari kesalahan masa lalu. Anggap saja ujian, supaya kita ingat.” ujar Rani istrinya suatu ketika seolah ia juga hadir dalam pusaran lorong waktu bersama Kun.
"Setidaknya masih ada harapan tersisa. Meski roda kehidupan tak bisa berputar mundur, roda itu masih bisa berputar ke depan."