Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Mesin Tik Tua
3
Suka
50
Dibaca

Bantu aku temukan kata itu.

Kata yang begitu tulus.

Jika kau bantu aku, aku akan bantu dia

 

Kata-kata itu tertulis pada kertas mesin tik tua yang tergeletak bak pajangan museum. Mesin itu berdebu di perpustakaan SMA Antara. Tak ada yang menyentuhnya, sampai tibalah seorang cowok. Jeran bersumpah baru saja melihat mesin itu mengetik sendiri. Ia melihat huruf ‘a’ timbul begitu saja kendati tak ada yang menyentuh, ibarat ikan marlin yang melompat keluar dari laut.

Namanya Jeran, 16 tahun, masih tidak berpacar. Masa SMA kejam. Jeran punya pujaan hati, seseorang yang membuatnya kagum. Itu Kak Natasha. Ia primadona, banyak yang mengincar karena wajah dan gelagatnya yang lucu. Jika ada dia, suasana serasa teduh, adem. Seolah kalimatnya cukup untuk membuatmu merasa bahagia hidup di dunia.

Sayangnya, tadi ia ditembak oleh Kak Jason Simatupang, blasteran Chindo-Batak. Satu marga dengan Jeran, namun nasibnya sungguh berbeda. Mereka ibarat selokan dan Mars. Anak band itu terkenal tampan dan bertalenta. Banyak gadis yang tergila-gila padanya, apalagi saat jari-jarinya bergerak lincah pada tuts keyboard. Jeran tak peduli lagi apakah ia diterima atau tidak. Ia sudah tahu saat melihat kedekatan mereka: itulah akhir dari kisah cinta diam-diamnya dengan Kak Natasha. Ia tahu, ia memang pecundang.

Jeran yang ingin menyendiri, inisiatif mengeksplorasi perpustakaan walau ia jarang baca buku. Ia membuka ruangan terbengkalai di perpustakaan itu.

Berbekal perasaan sedih, lelaki kurus itu menatap kosong pada ruangan yang sama kosongnya dengan hatinya. Ada gudang yang dipenuhi buku dan barang-barang tak berguna lainnya. Ya, ini tempat yang cocok baginya bercokol.

Tik.

Suara. Ia segera memalingkan wajah ke belakang.

Serangkaian kalimat yang sepertinya tadi tidak ada, sekarang terlihat. Diperhatikannya lamat-lamat mesin tik tersebut.

“Astaga, ya Tuhan!” Jeran terperanjat.

Ia sangka itu halusinasi siang hari akibat panas dan patah hati. Ternyata memang betul, mesin tik itu mengetik sendiri. Ia mengingat film horror pertama dan terakhir yang ia tonton, Pet Semetary. Ia takut jika ia keluar ruangan sekarang, akan muncul mayat kucing hitam berjalan menghampirinya. Didorong rasa takut, Jeran memberanikan diri mengetik sesuatu. Apa mungkin ini sudah rusak ya?

“Halo?”

Jeran duduk mematung sejenak, barang semenit menunggu.

Hening. Tak ada yang berubah.

“Heh, sepertinya hanya perasaanku sa-“

Belum tuntas kalimat itu, ia melempar tangan ke udara. Mesin itu bergerak lagi.

Suaranya terdengar jelas, tombol-tombol huruf bergerak cepat.

“Halo juga.”

“Apa-apaan ini?” Amel berlindung di balik selimut. Kamarnya memang pakai AC, tapi tidak dingin. Ia bersumpah mesin tik ini baru saja menyapanya.

“Haduh, kenapa aku malah ngetik halo juga?” Ia bergidik ketakutan.

Suara merdu Ari Lasso menyanyikan lagu Kangen, tak bisa mengusir kekalutannya.

“Harusnya aku percaya kata Oma. Jangan beli yang ini!” Amel berujar berkali-kali.

Kemudian pikirannya berputar ke saat siang tadi. Amel sangat ngotot untuk membawa pulang mesin tik yang ini, dari toko loak dekat rumahnya. Walau Oma sudah bilang jangan, ia tetap bersikeras karena ini warnanya merah tua: beda sendiri dari yang lain. Akhirnya dibawalah mesin ini. Amel dan segudang egonya untuk jadi penulis puisi, merasa bukanlah hal yang keren jika mengatakan pada Oma bahwa ada hantu pada mesin tik ini.

“Seenggaknya kucoba dulu deh,” Amel memberanikan diri.

——

Di sisi lain, Jeran terheran-heran. Ia berdiri jauh-jauh di pojok ruangan, tak berani mendekat.

“Sial! Dia gerak lagi woi!” Jeran makin menempel dengan tembok. Cicak di sebelah menjulurkan lidah menerka kadal jenis apa yang ada di sebelahnya ini.

Seperti orang normal pada umumnya, Jeran keluar dari ruangan. Ia izin sakit pada Bu Eti, kemudian langsung pulang. Sampai besok dia masih tidak masuk. Di kamar ia bergidik ngeri. Kepalanya terus menodong, bagaimana kalau ternyata hantu mesin tik itu malah mengikutinya?

Amel di sisi lain, memilih cuek. Ia janji mau produktif menulis. Tangannya terus bergerak menulis puisi perlawanan. Tahun 98, anak SMA sepertinya memang punya banyak aspirasi. Mereka ingin keren seperti kakak-kakak mahasiswa yang berjuang dalam demo berjilid-jilid dan serasa tak pernah berakhir.

Malam-malam, Amel bosan menulis. Ia menonton kembali film Titanic hasil rental DVD. Di adegan menggambar Rose, Amel mematikan televisi dan merasa malu. Jantungnya berdegup kencang. Kemudian lembaran-lembaran akhir dalam puisinya, Amel menulis tentang yang lain:

Renjana yang memulai kita.

Renjana juga yang menenun kita.

Renjana juga yang akan mengakhirinya.

Ia tak banyak bicara.

Ia sesederhana selalu merasa.

Ia tetap di sana.

Terjaga dalam perasaan yang membakar dirinya sendiri.

Cinta sejati adalah mereka yang mengabu dalam diam,

Namun memilih untuk tetap menunggu.

Itulah renjana kita.

Jeran memerhatikan kalimat-kalimat itu. Siapa gerangan yang menulis?

Setelah sehari tak masuk, Jeran yang penasaran, kembali lagi ke gudang itu. Kalimat-kalimat itu menggugah sesuatu dalam hatinya. Ada yang berkobar, perasaan yang tak bisa ia katakan pada siapapun.

Lalu bermodalkan kalimat itu, ia menulis lagi.

Siapa namamu?

Mesin tik itu menjawab, “Amel.”

Jeran bisa mengontrol diri, tidak sekaget kemarin. Ia yakin hantu ini tidak jahat, sebab selama satu hari kemarin ia tidak dijahili.

Aku Jeran. Salam kenal.

Hari-hari berikutnya, Jeran melipir ke perpustakaan setiap istirahat makan siang. Ia punya teman, tapi mereka kurang asik diajak bergaul. Sedangkan Amel adalah siswa homeschooling, karena kondisi. Kalimat-kalimat pendek berubah menjadi panjang. Kalimat panjang berangsur berubah menjadi percakapan. Percakapan berubah menjadi sesi-sesi cerita yang lebih panjang lagi.

Jeran dan Amel sama-sama tahu bahwa lawan bicara mereka adalah orang yang masih hidup. Bukan hantu, bukan roh yang hinggap di mesin tik.

Tahu-tahu, Jeran menghabiskan banyak uang jajannya untuk membeli kertas. Amel sering terdengar tertawa sendiri dari dalam kamar. Hari keempat, pertanyaan menjadi lebih realistis.

Jadi kamu tinggal dimana sekarang? Kita nggak mau ketemuan?”

Amel tidak langsung menjawab. Ia diam beberapa detik.

Aku belum bisa keluar rumah.”

Jeran menaikkan satu alis. Jadi ia sudah ditolak. Pun ia berani bertanya.

Kenapa?”

“Takut. Kalau mereka melihatku, aku bisa …,” Amel tidak melanjutkan.

Ia berhenti mengetik beberapa saat. Lalu kertas bergerak menyamping, saat ia lanjut.

Jemari Amel lincah mengetik, “kamu tahu ‘kan apa yang terjadi sekarang di Indonesia?”

Jeran heran. Tentu ia tahu. Sekolahnya asynchronous selama satu minggu, minggu lalu.

Banyak demo. Kamu betul. Banyak orang tua murid di sekolahku yang khawatir kerusuhan 1998 akan keulang lagi.”

Kertas itu berhenti bergerak. Jeran menanti jawaban. Namun tak ada yang bergerak. Amel terlalu takut. Takut jika Jeran benar. Takut jika ia akan memicu seauatu jika percakapan dilanjutkan.

Amel berbaring di atas kasurnya, menatap foto orang tuanya yang kabur ke Singapura dua minggu lalu. Ia ditinggal karena saat itu masih ada di sekolah. Tapi seorang oma-oma dan gadis SMA tidak akan bisa melindungi diri terus seperti ini. Mereka cuma beruntung punya tetangga yang baik.

Jeran,” Amel memberanikan dirinya untuk lanjut mengetik.

Aku hidup di tahun 98.”

Jeran, seorang pribumi di tengah murid-murid Tionghoa, tidak bisa mengerti mengapa ada orang-orang yang mau menyakiti Amel. Pun begitu, ia harus bisa melakukan sesuatu.

Amel sekarang berada di akhir bulan April. Situasi Indonesia saat itu tidak bisa terprediksi. Apakah mungkin ada alasan tertentu dibalik keberadaan mesin tik ini?

Aku harap kamu baik di sana.”

“Aku masih aman. Tapi situasi sedang kacau balau.”

“Tenang saja. Kuyakin kamu akan selamat dan bertemu orang tuamu lagi nanti.”

Amel berbaring di tempat tidurnya, menatap pada mesin tik berwarna merah itu. Siapapun Jeran, ia adalah seorang cowok yang bisa membuatnya hangat di tengah dinginnya keadaan malam Jakarta.

Jeran,” Amel mengetik lagi.

Di sekolah Jeran, hari sudah menggelap. Ia harus pulang segera. Namun ia mau tinggal lebih lama lagi, entah untuk alasan apa. Mungkin karena ia masih mau berlama-lama terlibat dalam percakapan dengan gadis di sisi dunia lain itu, yang wajahnya belum dikenalnya. Tapi pikiran dan hatinya seluas samudera.

Jika kita bisa bertemu di dunia nyata, aku ingin bisa memelukmu.”

Itu adalah kalimat terakhir dari Amel, tertanggal 9 Mei 1998. Amel tidak membalas lagi sejak empat hari lalu. Dua puluh tujuh tahun yang lalu, sebuah kerusuhan terjadi. Orang-orang mulai menargetkan ras Tionghoa.

Ini membuat Jeran khawatir. Sangat khawatir.

Apa jadinya jika Amel menjadi salah satu korban? Ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.

Pun begitu, apa yang bisa ia lakukan? Mereka berbeda waktu. Situasi ini terlalu konyol. Tidak masuk akal. Sekalipun Jeran bisa bertanya pada AI tercerdas, tidak akan ada jawaban yang bisa diberikan. Karena siapa yang pernah menjelajah waktu?

Jeran mengetik, terus mengetik bertanya keadaan Amel di sana.

Jeran menghabiskan waktunya termenung di gudang berdebu itu. Ia tidak pulang ke rumah. Satpam sekolah juga bahkan tidak tahu keberadaannya. Besok hari libur, tidak ada yang masuk. Jeran izin kepada orang tuanya ia akan main ke rumah temannya, menginap.

Kertas demi kertas berguliran. Ruangan gudang itu berubah menjadi seperti rumah seorang gembel dengan banyaknya kertas yang tersebar di mana-mana.

Keesokan harinya saat Jeran membuka matanya perlahan, ia memerhatikan mesin tik yang dipeluknya bergerak sendiri. Ia tersenyum, karena Amel ternyata baik-baik saja di sana.

Namun ada hal yang lain yang timbul selain tinta di kertasnya.

Tetesan air.

Apa ini air mata?

Lalu sebuah kalimat muncul.

Tolong aku.”

Jeran semakin erat memeluk mesin tik itu. Apa yang bisa ia lakukan? Jika ia harus menjual satu organnya demi bisa membantu Amel, ia sudah pasti akan melakukannya. Jika ia harus mencungkil satu mata demi membantu Amel, ia sudah pasti akan menggadaikannya. Namun perjuangannya buntu. Semuanya terasa gelap, berbanding terbalik dengan warna-warna kertas yang ada di ruangan ini.

“Amel, aku harus apa?” Jeran menyentuh kertas itu dengan lembut dan tangan gemetar.

Bajunya sudah kusut karena dipakai seharian. Rambut berantakan, ditambah kantung mata yang tebal. Ia persis seperti gembel.

“Mau sampai kapan berbaring di sana?”

Tiba-tiba ada suara seseorang. Suara itu familiar.

Jeran menegadah, mendapatkan wajah sang empunya suara.

“Jason Simatupang?”

Itu kakak kelas yang baru jadian dengan Natasha, pujaan hatinya dulu.

“Bangunlah. Bantu dia,” Jason mengulurkan tangan.

“Hah?” Jeran semakin bingung.

“Sebentar, apa yang kau tahu tentang kami?”

“Waktumu tidak banyak, ayah,” Jason mengucap lagi.

Jeran rasanya baru saja mendengar kakak kelasnya memanggilnya ayah.

“Siapa ayahmu?”

“Kau,” jawab Jason tanpa berkedip.

Jeran menggeleng, “kau sudah gila. Apa yang kau bicarakan?”

Jason menunduk, menyamakan posisi matanya sejajar dengan Jeran.

“Keberadaanku di sini,” ia menyeringai, “membuktikan bahwa kau berhasil ke sana, menjemput ibu. Kau harus yakin pada dirimu sendiri. Kau yang menyuruhku melakukan semua ini. Mendekati Natasha, menembaknya, membuatmu patah hati, agar kau dan ibu bisa bertemu. Supaya ibu bisa kau tolong dan tarik dari masa lalu. Aku adalah hasil dari cintamu pada ibu. Percayalah, ayah. Kau … adalah seorang penjelajah waktu.”

Jeran menggigit bibirnya. Ia membaca lagi rangkaian kalimat terakhir dari Amel. Ia masih tidak tahu harus mulai darimana. Tapi ia harus mulai. Ya, ia harus yakin.

Ia menatap pada mesin tik dengan hati berkobar. Kertas-kertas di sekeliling mulai bergetar. Kemudian berterbangan dalam putaran angin yang tidak kelihatan, namun nyata.

“Itulah ayahku,” Jason lanjut mengucap.

“Hentikan, itu terdengar aneh,” Jeran menghardik.

“Namun senang bisa berbicara denganmu. Terima kasih, sudah membuatku patah hati,” ujar Jeran sambil tersenyum.

Pusaran angin semakin kencang. Rambut-rambut Jeran dan Jason bergerak-gerak.

Jeran mengetik satu kata pada mesin tik.

Renjana.

Seperti jentik jari, Jeran berpindah saat berkedip. Di depannya, seorang gadis memeluk mesin tik berwarna merah tua. Ia nampak cantik, meski matanya kelelahan dan sembab.

Mata gadis itu membuka perlahan.

“Kamu? Kamu siapa?”

“Jeran. Kamu baik saja, Amel?”

Amel tidak menjawab. Ia meneteskan air mata, menangis terus. Ia tersenyum bahagia.

“Akhirnya … kita bertemu. Jadi seperti ini rupamu. Gagah.”

“Kamu lebih cantik dari yang kubayangkan,” ujar Jeran.

Mereka berpelukan, setelah Jeran melempar mesin tik yang ada di tengah mereka.

“Apa yang terjadi di sini, Amel?”

“Area ini sudah dipenuhi massa. Aku harus sembunyi di loteng ini. Omaku sakit, dan butuh obat. Tapi aku tidak berani keluar karena mereka. Makanan kami juga habis, air juga. Aku … betul-betul tidak berguna,” Amel menangis lagi.

Jeran berusaha menenangkan.

“Aku bisa belikan. Tenang saja. Mereka tidak akan menyerangku.”

Lalu Amel tersentak, “Jeran. Aku punya pertanyaan,” ia menatap mata laki-laki itu dengan serius. Jeran bersiap-siap merapikan sedikit bajunya sebelum keluar.

“Apa kamu bisa balik ke dunia kamu?”

Jeran tidak menjawab, karena ia sudah bangkit berdiri, bersiap untuk berbelanja makanan.

“Aku tidak terlalu pusing dengan hal itu.”

Amel mengernyitkan dahi.

“Tapi itu artinya, kamu akan tinggal di sini. Terperangkap di zaman ini! Di masa lalu. Bagaimana dengan orang tua kamu? Bagaimana dengan teman-temanmu?”

Jeran tersenyum, mengusap air mata gadis itu yang hangatnya merangsek masuk ke buku-buku jarinya.

“Kamu mau tahu sesuatu?” Jeran mengusap rambut Amel lembut.

Amel menangkup tangan kasar milik pemuda itu.

“Apa?”

“Aku sudah menemukan masa depanku, yakni renjanaku,” Jeran mengecup kening Amel, lembut.

Kemudian semuanya terasa begitu aman dan hangat, seperti kembali pulang ke rumah. Seperti pulih dari sakit. Seperti pernikahan yang digenapkan setelah sepuluh tahun pacaran. Seperti sorakan mahasiswa yang mencapai keadilan. Seperti suara berdenting mesin tik saat mencapai akhir kalimat. Seperti renjana. Amel dan Jeran sama-sama tahu, bahwa beberapa hal tidak bisa diubah.

Tapi mereka tidak pernah menyesalinya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Mesin Tik Tua
Astromancer
Novel
Angkasa
Putri Prasasti
Novel
Bronze
DUNIAKU DUNIAMU
Ika_muntadzirotul
Novel
Bintang di Langit Biru
kare
Skrip Film
Janji Bintang
Hikmasari D.P
Flash
Cinta Sebatas Ombak
Mufidah Raihana
Cerpen
Bronze
RENTANG JIWA
Gie_aja
Novel
Bronze
KATA {Karel Tiara}
A T A M I
Novel
Thank You Dark Time
Nova Fatika Sari
Flash
Kali Pertama
Nurwahiddatur Rohman
Novel
Rewrite the Memories
Sekar Setyaningrum
Novel
Aku Tidak Jatuh Cinta
Nine
Novel
The Last Scene
missminasa
Novel
RUSH ROMANCE
Herlan Herdiana
Novel
Gold
Jungkir Balik Dunia Mel: CLBK niiiih, Cinta Lama Belum Kelar!
Bentang Pustaka
Rekomendasi
Cerpen
Mesin Tik Tua
Astromancer
Cerpen
Cewek itu Gula
Astromancer
Cerpen
Senggol Tonjok
Astromancer
Cerpen
Sedan Lebaran
Astromancer
Skrip Film
-Gelombang-
Astromancer
Flash
Pergumulan Pohon Cemara
Astromancer
Cerpen
Lebih dari Seragam
Astromancer
Cerpen
Masak-masakan
Astromancer
Novel
Gelombang°°
Astromancer
Cerpen
Celana Pensil
Astromancer
Cerpen
Stranger's Jacket
Astromancer
Cerpen
Manusia Bermain Tuhan
Astromancer
Flash
Selamat Natal
Astromancer
Cerpen
Lampu Merah
Astromancer
Cerpen
Panjang Umur Perjuangan
Astromancer