Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1: Ruang Sunyi Berdebu
Udara di Perpustakaan Daerah Mandaraka selalu memiliki aroma khas yang disukai Ardan: campuran kertas tua, debu yang mengendap di sela rak, dan bau kayu lapuk yang samar-samar, seperti napas waktu yang terperangkap dalam serat-serat buku. Aroma itu bukan sekadar bau; ia adalah sebuah kenangan purba yang menenangkan, sebuah napas dari masa lalu yang berbisik lembut di antara lorong-lorong sunyi. Bagi Ardan, seorang pemuda berusia dua puluh enam tahun dengan kecenderungan introvert yang kuat, perpustakaan ini adalah rumah. Bukan rumah fisik yang ia tinggali, melainkan rumah bagi jiwanya yang selalu haus akan cerita dan keheningan. Ia tidak pernah merasa senyaman ini di keramaian, di antara tawa dan obrolan yang riuh. Baginya, keheningan adalah melodi terindah, dan bisikan halaman yang dibalik adalah simfoni yang sempurna.
Sejak kecil, Ardan telah menemukan pelipur lara dalam tumpukan buku. Sementara anak-anak lain sibuk berlarian di luar, ia sering meringkuk di sudut kamar, tenggelam dalam dunia imajinasi yang diciptakan oleh kata-kata. Ia belajar lebih banyak dari kisah-kisah di buku daripada dari interaksi sosial yang canggung baginya. Oleh karena itu, ketika surat penerimaan dari Dinas Perpustakaan tiba di mejanya, hati Ardan berdesir seperti daun kering yang jatuh dari ranting di musim gugur—pelan, namun penuh makna, membawa serta janji akan ketenangan dan penemuan. Ia diterima sebagai pustakawan di Mandaraka, sebuah bangunan yang lebih mirip museum kolonial daripada perpustakaan modern. Dinding-dindingnya tinggi dan kokoh, dibangun dengan batu bata merah tua yang seolah menyimpan sejarah di setiap pori-porinya. Jendela-jendela lengkung besar dihiasi kaca patri kusam, menyaring cahaya matahari menjadi bintik-bintik oranye dan ungu yang menari-nari di lantai marmer dingin. Rak-rak kayu jati yang menjulang tinggi, gelap karena usia, penuh sesak dengan buku-buku yang tampaknya sudah menghabiskan seabad di sana. Beberapa masih terbungkus plastik kusam, menanti sentuhan tangan pertama setelah puluhan tahun.
Ardan melangkah ke dalam perpustakaan itu pada hari pertamanya bekerja dengan perasaan gembira yang langka. Punggung tangannya terasa dingin saat menyentuh pegangan pintu kuningan yang berat, diukir dengan detail rumit yang sudah pudar. Suara denting kecil terdengar saat ia melangkah masuk, seolah perpustakaan itu menyambut kedatangannya dengan bisikan rahasia. Kepala Perpustakaan, Bapak Rahmat, seorang pria tua dengan kacamata berbingkai tanduk dan kumis tebal yang sudah memutih, menyambutnya dengan senyum hangat namun agak lelah. Matanya yang keruh seolah telah melihat begitu banyak pergantian generasi, dan setiap kerutan di wajahnya adalah peta dari pengalaman panjang.
"Ardan, selamat datang di Mandaraka," katanya, suaranya sedikit serak namun ramah, bergema pelan di aula yang luas. "Kami sudah menunggu Anda. Ada banyak pekerjaan di sini, terutama di ruang arsip lama. Kamu sepertinya cocok untuk itu. Kamu terlihat seperti jiwa tua yang mencintai buku."
Ardan mengangguk pelan, rasa hormat menyelimuti dirinya. Ia telah membaca tentang sejarah Mandaraka. Didirikan di era kolonial Belanda, dulunya adalah rumah seorang jenderal VOC yang terkenal kejam, Jenderal Karel van der Voerman, sebelum akhirnya dihibahkan kepada pemerintah daerah sebagai perpustakaan pada awal abad ke-20. Konon, ada lorong-lorong rahasia dan ruang bawah tanah yang dulunya digunakan untuk menyimpan barang-barang berharga, atau mungkin, rahasia-rahasia gelap keluarga Voerman. Sebuah aura misteri selalu menyelubungi bangunan ini, menarik para sejarawan lokal dan pencari cerita.
Pekerjaan Ardan sebagian besar melibatkan penataan kembali ruang arsip lama. Ruangan itu terletak di bagian belakang perpustakaan, tersembunyi di balik sebuah pintu kayu ek yang tebal dan kokoh, dihiasi ukiran naga yang tampak mengerikan, seolah bertugas menjaga sesuatu di dalamnya. Saat pintu itu terbuka, dengan engselnya yang berdecit pelan, aroma debu yang lebih pekat menyeruak, menusuk hidung Ardan hingga ia bersin. Lampu pijar kuning yang redup di langit-langit tinggi, tertutup sarang laba-laba, hanya sedikit menerangi kekacauan rak-rak baja yang berkarat dan tumpukan kotak-kotak karton yang menjulang tak beraturan hingga hampir menyentuh plafon.
"Di...