Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1: Titik Jenuh
Hawa Makassar di pertengahan tahun selalu sama: lembap, lengket, dan membawa aroma asin laut yang samar bercampur asap kendaraan. Dr. Anya Paramita menarik napas dalam-dalam, mencoba mengisi paru-parunya dengan udara yang terasa berat itu. Pukul setengah delapan pagi, namun sinar matahari sudah terasa menyengat di kulit. Gedung tinggi tempat Rumah Sakit Jiwa Paramarta berdiri megah, seolah menjadi mercusuar ketenangan di tengah hiruk pikuk kota. Sebuah ironi, pikir Anya, mengingat betapa seringnya ia merasa badai justru bergejolak di dalam dinding-dinding itu, bahkan di dalam dirinya sendiri.
Usianya baru menginjak tiga puluh dua tahun, namun lingkaran gelap di bawah matanya dan sorot lelah di balik kacamata berlensa tipisnya menceritakan kisah yang lebih tua. Anya adalah psikiater yang cemerlang. Lulusan terbaik dari fakultas kedokteran bergengsi, dengan spesialisasi psikiatri yang ia tekuni dengan sepenuh hati. Empatinya tinggi, ia bisa merasakan beban emosional pasien-pasiennya seolah itu miliknya sendiri. Kecerdasannya di atas rata-rata, memungkinkannya menganalisis kasus-kasus paling rumit dengan presisi tajam. Dedikasinya? Tak perlu diragukan. Ia mencintai pekerjaannya, meyakini bahwa menyembuhkan jiwa adalah panggilan mulia.
Namun, cinta itu perlahan mulai mengikisnya. Enam tahun berkarier di Paramarta, menangani kasus-kasus yang paling menantang: skizofrenia akut yang membuat pasien berhalusinasi mengerikan, depresi berat yang merenggut semangat hidup, gangguan bipolar yang membolak-balik dunia pasien antara euforia dan jurang keputusasaan. Ia tak hanya mengobati, ia mendampingi. Ia harus mendengar kisah-kisah hidup yang dipenuhi trauma, kekerasan, kehilangan, dan keputusasaan. Ia harus menjadi tonggak bagi mereka yang rapuh, wadah bagi emosi yang meluap, dan harapan bagi jiwa yang hancur.
Jam kerjanya seringkali tak kenal waktu. Sesi terapi individu bisa berlangsung berjam-jam, diikuti dengan rapat tim medis, kunjungan keluarga, dan tumpukan rekam medis yang harus ia baca dan analisis. Pasien-pasiennya, dan bahkan kerabat mereka, seringkali menghubunginya di luar jam kerja, menumpahkan kecemasan, meminta nasihat, atau sekadar berbagi kabar buruk. Anya, dengan sifatnya yang tak tegaan, selalu berusaha melayani. Ia tahu betapa putus asanya mereka.
Belakangan ini, batas antara profesionalitas dan pribadi terasa semakin kabur. Kisah tragis pasien-pasiennya mulai meresap ke dalam kehidupannya sendiri. Ia seringkali mendapati dirinya merenung tentang nasib buruk mereka saat sedang memasak di dapur apartemennya yang sepi, atau bahkan saat mencoba bersantai menonton televisi. Kebahagiaan kecil yang dulu mudah ia dapatkan kini terasa tumpul, tertutupi awan kelabu.
Malam-malamnya diisi mimpi buruk. Bukan tentang monster atau kejadian aneh, melainkan potongan-potongan dari kisah pasien yang paling mengerikan. Ia sering terbangun dengan napas terengah-engah, mengingat jeritan pasien dalam episode psikotik, atau wajah putus asa seorang ibu yang kehilangan anaknya karena depresi.
Suatu pagi, saat ia sedang meregangkan otot di ruang kerjanya sebelum sesi pertama, ia melihat pantulan dirinya di jendela kaca. Wajahnya tampak lebih tirus, tulang pipinya menonjol. Matanya menunjukkan kelelahan yang mendalam, bahkan setelah ia yakin sudah tidur delapan jam penuh semalam. Rambut hitam sebahu yang biasanya rapi, kini tampak sedikit berantakan, seolah ia baru saja bangkit dari ranjang.
"Stres," gumamnya pada diri sendiri, mencoba meyakinkan. "Hanya stres."
Ia menyalakan komputer, membuka file rekam medis pasien pertamanya hari itu, seorang pria muda bernama Rio yang menderita skizofrenia. Rio adalah kasus yang kompleks. Ia sering berhalusinasi visual dan auditori, meyakini bahwa ada entitas jahat yang mengikutinya. Anya telah menghabiskan berbulan-bulan untuk menstabilkan kondisi Rio, dan kemajuannya sangat lambat. Beban kasus seperti Rio adalah salah satu yang paling menguras tenaganya.
Saat ia membaca laporan kemajuan Rio, tiba-tiba sebuah sensasi aneh melingkupinya. Bukan pusing, bukan mual. Lebih seperti gelombang dingin yang merambat dari tengkuk hingga ke ujung jarinya. Ruangan kerjanya yang biasa hening, kini terasa lebih hening, seolah udara di sekitarnya menjadi lebih padat.
Dan kemudian, ia mendengarnya.
Bisikan samar. Sangat lirih, seperti hembusan angin yang nyaris tak terdengar. Dari sudut ruangan, di dekat lemari arsip tua yang penuh tumpukan berkas. Anya meno...