Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Sekarang hari apa ya?” tanyaku dalam hati sembari meraih ponsel yang tergeletak di atas kasur.
Mukenah hitam masih ku kenakan—baru selesai berkomunikasi dengan Sang Pencipta di waktu subuh. Aku mencoba bersandar di dinding kamar saat menunggu ponselku menyala, maklum ponsel itu ku beli empat tahun yang lalu sebelum berstatus menjadi mahasiswi. Sedangkan sekarang aku tengah berjuang keras melepas status mahasiswi itu, dalam jenjang strata maksudnya, jadi jangan berasumsi bahwa aku tak suka berkuliah, ya!
Rabu, 20 November 2024.
“Apa saja agendaku hari ini?” tanyaku lagi.
Aku adalah manusia yang tak pernah kehabisan pertanyaan dalam menjalani hidup, untungnya Tuhanku selalu menolongku menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan itu. Entah itu pertanyaan konyol sampai serius, Allah—Tuhanku, selalu menunjukkan jalan padaku untuk menemukan jawaban di waktu yang tepat.
“Ah.. hari ini cukup padat, ada dua teman yang meminta bantuan padaku untuk menjadi notulen sidang skripsi dan seminar proposalnya, hari ini juga aku sebaiknya mengirim draft proposalku kalau ingin bimbingan dengan dospem dua kamis besok, duh.. tapi aku belum selesai membedah sub bab sociocultural practice Norman Fairclough, huh!”
Semua pemikiran di atas adalah bentuk percakapan aku dengan aku, monolog yang sering kali ku lakukan, ciri khas ‘orang pendiam’ bukan? Berisik kepalanya, sunyi suaranya.
Aku memutuskan untuk membuka laptop dan kembali membaca buku Analisis Wacana: pengantar analisis teks media yang ditulis oleh Eriyanto. Aku meminjam buku itu dari Adel, satu diantara beberapa temanku yang juga menulis skripsi menggunakan pendekatan Analisis Wacana Kritis. Bukunya bagus, aku sampai membeli juga buku itu namun belum sampai, aku ingin mempunyai sendiri buku itu sebab aku kenal sekali bagaimana gilanya aku saat belajar. Bisa jadi buku itu akan penuh dengan warna-warni highlighter dan catatan kecilku, ‘tidak beretika rasanya kalau aku mencorat-coret buku yang bukan milikku’, jadi sekarang aku memilih untuk mengelaborasikan aktivitas membaca itu dengan mencatat, supaya lebih mudah paham dan lebih lama ingat.
“Nanti kalau sudah jam tujuh atau delapan aku baru akan bersiap-siap, sekarang aku harus belajar dulu, setidaknya targetku hari ini selesai merangkum pemikiran Fairclough yang cukup panjang ini!” seruku, tetap dalam hati karena kalau aku lafalkan teman sekamarku mungkin akan menatapku sejenak dan berpikir bahwa aku sudah betul-betul gila karena skripsi.
Tetapi, aku terhenti beberapa detik seakan melupakan suatu hal yang penting namun susah sekali mengingatnya.
“Ah.. hari ini Nuha ulang tahun!” ingatku.
Aku tak lagi bergumam saat mengingat hal penting yang hampir ku lupakan itu, aku bersuara walau sedikit berbisik sebab ada dua pengungsi yang belum bangun di kamarku, takutnya mereka terganggu dengan pergerakanku di pagi hari yang masih gulita ini.
Buku yang sedang terbuka di halaman 288 di atas meja akhirnya kalah menarik dengan bangkitnya ingatanku akan ulang tahun Nuha—teman ‘baru’ pertamaku saat SMA. Dia adalah orang yang cukup banyak berkontribusi dalam berbagai fase putih abu-abuku hingga masa patah hati dan jatuh cinta lagi di akhir tahun lalu. Rasanya, mau sejarang apapun kami berkabar, jika sudah bertemu tak bisa aku sembunyikan cerita-cerita hidupku darinya. Ia pandai betul menuntutku bercerita walau hanya bermodal tatapan dan senyuman, aku kan mudah luluh dengan dua hal itu.
Belum lagi ia sangatlah paham bagaimana cara membahagiakanku, ah sudahlah aku bukan ingin membuat novel untuknya, sedangkan jika ku sebut semua hal baik dalam dirinya butuh novel trilogi agaknya baru bisa tersebut semuanya.
“Hadiah apa ya?”
Aku tidak benar-benar bingung memikirkan hadiahnya, sebab aku lagi-lagi sudah kenal dengan kebiasanku dalam menghadiahi orang-orang yang ku sayangi, sudah ada rumusnya tinggal pengaplikasiannya saja, tentunya rumus itu tak akan ku bongkar dalam tulisan ini, agar terasa spesial saja jika tidak banyak yang tahu bagaimana aku merumuskan hadiah yang ku jamin tak bisa didapatkan selain dariku, hadiah mahal karena hanya ada satu di dunia.
Yang ku lakukan saat ini hanyalah menulis apapun yang aku pikirkan. Aku sempat berpikir, “Pasti menyenangkan jika sekarang aku sedang berdomisili di Jawa, mau itu sedang di Jakarta pasti aku bisa saja nekat membeli tiket kereta api yang melesat ke Bandung untuk merayakan harinya Nuha.”
Bukan tanpa sebab aku berpikir demikian, akhir tahun lalu itulah yang terjadi, di akhir pekan aku menghindari—menolak sebetulnya, ajakan salah satu laki-laki yang baru ku kenal saat magang, ia mengajakku bermain ke Perpustakaan Cikini dan berkeliling malam mingguan di area salah satu instansi pendidikan di Jakarta, jujur aku yang sangat hobi berkelana ini hampir menerima tawaran itu sampai akhirnya aku di serang oleh pikiran skeptis yang terlintas dalam kepalaku, “Kenapa kau cepat sekali percaya dengan orang yang baru kau kenal itu? Kemana Firlia yang selalu berhati-hati dalam bertindak itu? Dia bukan perempuan, kau bisa saja menjaga hati dalam pertemuan itu, tapi perasaan orang lain mana bisa kau kontrol?!”
Akhirnya setelah berperang dengan isi kepala yang dikompori api-api trauma masa lalu, akhir tahun lalu aku memutuskan kembali menghubungi Nuha saja, setelah sekian purnama tak pernah berkomunikasi. Singkatnya aku bilang pada perempuan lemah lembut itu bahwa aku mau mengunjunginya ke Bandung. Walau tiba-tiba tapi ia menerima kunjunganku itu, malah ia mengabari kunjungan itu pada teman-teman SMA ku yang lain.
Baik sekali!
Jujur aku merasa tak begitu punya banyak teman saat SMA, itu alasannya kenapa aku hanya terpikir untuk mengunjungi Nuha saat itu. Tapi, Nuha dari dulu selalu punya banyak teman, banyak orang yang betah berteman dengannya, kurang lebih itu penilaianku, masalah benar atau tidaknya aku mana tahu?
Berkat Nuha akhir tahun lalu aku kembali merasakan hangatnya berkumpul dengan teman-teman SMA cabang Telkom University. Bahkan mereka bilang baru kali itu mereka kumpul full team, entah itu hanya karena di depanku atau memang itulah kenyataannya, tapi aku merasa terharu mendengarnya. Canggung yang aku perkirakan juga tak terjadi, mereka terlihat antusias dengan gayanya masing-masing, ada yang ditumbalkan untuk bernyanyi di kafe tempat kami berkumpul, ada yang saling bertukar suka-duka kehidupan, ada yang menceritakan proses bertumbuh dan kabar kehidupannya sekarang, aku rasa itu salah satu momen terbaik yang terjadi dalam hidupku di tahun 2023.
Dan yang menjembatani aku bertemu pada momen itu adalah Nuha.
Nuha tak hanya mempertemukanku pada teman-teman SMA, ia juga menampung kedatanganku dari Jakarta yang sangat tiba-tiba itu. Selama di Bandung aku menginap di kosan Nuha, terlelap bersama di ranjang mungil dan kamar minimalisnya setelah deeptalk sebelum tidur. Kemudian, esoknya dibawanya lagi aku berkelana menyusuri jalanan Telkom University di pagi hari akhir pekan, mampir ke warung Bubur Cianjur rekomendasinya. Saat itu aku akhirnya menemukan lagi ‘tim makan bubur tidak diaduk’.
Nuha juga membawaku ke tempat-tempat yang menyenangkan selama di Bandung, seingatku kami berkelana di jalanan Braga, lalu berjalan ke tempat bersejarah—Gedung Merdeka. Nuha mau menuruti kemauanku yang sangat senang mendokumentasikan kebersamaan di photobox, kami mampir di booth photobox “Filosofi Kopi” sebelum menikmati deretan lukisan yang berjejer di Jalan Braga. Aku pikir suatu saat nanti aku harus mengajak kekasihku untuk menikmati lukisan di sana, tapi itu nanti kalau aku sudah punya kekasih hati yang menemukanku dengan cara baik menurut kepercayaanku.
Sebelum tersihir oleh magisnya lukisan di Jalan Braga, Nuha juga membawaku ke jalanan bandung yang sangat ikonik, yaitu JPO Asia Afrika yang dindingnya bertuliskan kutipan Pidi Baiq: “Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi”
Aku setuju dengan kutipan Pak Pidi.
Puas bermain di Jalan Braga- Jalan Asia Afrika, Nuha menawariku untuk mampir ke “Toko Tahilalats”, sebuah kafe unik yang mengusung tema karakter Tahilalats buatan Nurfadil Mursyid. Di sana cukup ramai pengunjung, sehingga kami harus berdiri lama saat ingin memesan menu. Tak masalah karena kami jadi punya banyak waktu untuk mengobrol di tempat yang adem dan banyak hal menarik yang bisa kami perbincangkan. Kami juga bisa berfoto sebanyak mungkin sebab kafe itu menarik dari segala sisi, mulai dari berfoto di cermin berbingkai stiker khas Tahilalats, berfoto di depan display kaos merchandise karakter Tahilalats, hingga bergaya di depan patung karakter Tahilalats yang sedang menangis lucu. Semua itu kami lakukan untuk mengisi waktu saat mengantri pesanan 2 es krim di Toko Tahilalats.
Memang bermain dengan teman yang tahu bagaimana cara memanusiakan temannya itu sangat mengasyikkan. Nuha adalah satu dari segelintir teman yang ku nilai pandai betul memanusiakanku, yang seringkali dituntut untuk menjadi sempurna ini. ‘Sempurna itu bukan milik manusia, tapi banyak manusia yang menuntut kesempurnaan dari manusia lainnya’, bersama Nuha aku bisa jujur apa adanya, mulai dari berpakaian, berdandan, dan semua yang ku lakukan, tak pernah seingatku Nuha menitipi ekspetasi berlebihan, aku sangat betah menghabiskan waktu bersama Nuha.
Kalau boleh serakah, aku ingin Nuha menjadi temanku selamanya sampai kapan pun. Boleh tidak ya kalau aku menyampaikan ini pada Nuha?
Apakah Nuha juga senang berteman denganku?
Sebab dari dulu Nuha sudah mengetahui banyak sepak terjal aku yang cukup pahit untuk dikenang itu, bahkan juga kelemahan-kelemahanku rasanya Nuha tahu. Tak apa, masalah ini bukan urusanku, saat ini aku cukup mengandalkan kemampuan percaya diriku yang boleh diacungi jempol itu saja untuk menganggap ‘bahwa Nuha juga senang berteman denganku’.
Semoga saja anggapan sepihakku itu tak bertepuk sebelah tangan. Sebab aku sebetulnya sangat perhitungan, sudah menulis seribu empat ratusan kata untuk merayakan Nuha dari jauh, masa yang dirayakan tidak senang berteman dengan orang ‘seperhitungan’ aku?
Sudah ku bilang kemampuan percaya diriku itu boleh diacungi jempol, jangan diragukan lagi!
Aku tak menyangka tulisan tanpa kerangka ini bisa mengalir sangat lancar tanpa hambatan, barangkali ini ekspresi rinduku yang melimpah pada Nuha namun terhalang jarak, terpisah pulau dan dibatasi Selat Sunda. Sudah pukul 8.27 WIB tadi ku bilang harus bersiap-siap untuk menjadi notulen sidang skripsi dan seminar proposal teman kuliahku. Aku pamit. Anggap saja kalimat ini adalah pita diatas sampul kado yang akan aku beri pada Nuha. Cerpen yang sudah tembus seribu lima ratus kata ini adalah hadiah yang ku doakan bisa menambah kebahagian Nuha menyambut bab baru di usia barunya.
Selamat Ulang Tahun Nuha, teman baikku di dunia dan setelahnya!