Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Gamuda Naklua bukanlah seseorang yang mudah bergaul. Ia merasa dunia ini dipenuhi oleh orang-orang bodoh yang tidak tahu aturan, kecuali dirinya sendiri. Segala sesuatu yang dilakukan orang lain selalu salah di matanya.
Jika ada tamu yang mengetuk pintu rumahnya, ia pura-pura tidak mendengar. Bukan karena ia sibuk, tetapi karena ia merasa tamu itu pasti hanya akan merepotkannya.
"Kenapa mereka harus datang? Mereka pasti hanya ingin meminta sesuatu," pikirnya.
Pintu rumahnya selalu tertutup rapat, seolah-olah menandakan bahwa rumah itu bukan tempat untuk dikunjungi.
Baginya, dunia luar penuh dengan gangguan yang tidak perlu. Ia lebih suka menikmati hidup dalam kesendiriannya, dengan aturan-aturan yang ia buat sendiri. Namun, semakin lama, dunia yang ia bangun mulai terasa sempit.
Hari-harinya dihabiskan dengan rutinitas yang monoton. Bangun pagi, merapikan rumahnya yang sudah berdebu—walaupun hanya sedikit—kemudian duduk di kursi favoritnya sambil menyeruput teh pahit yang ia buat sendiri.
Ia jarang sekali keluar rumah, kecuali benar-benar diperlukan, seperti membeli bahan makanan di pasar yang lokasinya tidak jauh dari rumahnya. Bahkan di pasar pun, ia menghindari berbicara terlalu banyak dengan pedagang.
Jika ada yang mencoba menyapanya, ia hanya mengangguk singkat, lalu pergi secepat mungkin.
Tak hanya itu, Gamuda Naklua juga punya kebiasaan aneh dalam menilai sesuatu. Jika seseorang memakai parfum, ia akan mencibir, "Aduh, baunya busuk sekali! Seperti sampah busuk di pasar!"
Padahal, parfumnya sendiri beraroma aneh, menyerupai bau kotoran kucing yang dibiarkan terlalu lama. Namun, di pikirannya, hanya dia yang benar. Hanya seleranya yang bisa diterima.
Suatu hari, adiknya datang berkunjung. Dengan wajah lelah dan pakaian yang tampak kusut, adiknya mengetuk pintu beberapa kali. Namun, Gamuda Naklua hanya melihat dari balik jendela, mempertimbangkan apakah ia harus membuka pintu atau tidak. Akhirnya, ia memutuskan untuk membuka pintu, tetapi hanya sedikit.
"Apa yang kau lakukan di sini? Ada perlu apa?" tanyanya dengan nada ketus. Bukannya mengajak adiknya masuk atau memberikan segelas air, ia malah memandang rendah kehadiran saudaranya sendiri.
"Jangan bawa kotoran ke rumahku!" ucapnya dengan sinis.
Sementara itu, ia sendiri tidak sadar bahwa rumahnya berdebu, penuh sarang laba-laba, dan berbau pengap karena jarang dibuka serta pintu , jendela dan ventilasi tertutup gorden semua. Panas.
Adiknya hanya menatapnya, lalu menghela napas panjang. "Aku hanya ingin mengunjungimu, Kak," katanya dengan suara pelan. "Kau sudah lama tidak datang ke rumah siapa pun. Kami semua merindukanmu."
Namun, Gamuda Naklua tetap bersikeras bahwa ia baik-baik saja. Ia menutup pintu dengan cepat tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi.
Suatu hari, Gamuda Naklua harus pergi mengunjungi kakaknya di kota lain. Dengan berat hati, ia menaiki bus dan menempuh perjalanan panjang. Ia sudah membayangkan betapa berbedanya kehidupan kakaknya yang lebih mapan dibanding dirinya.
Begitu tiba, ia mengetuk pintu dan menunggu. Lima menit berlalu, tak ada jawaban. Sepuluh menit, masih tak ada sahutan. Hingga lebih dari setengah jam, barulah kakaknya membuka pintu.
"Maaf, tadi aku di belakang," kata sang kakak. Namun, Gamuda Naklua sudah terlanjur kesal. "Ini rumah macam apa? Menunggu tamu di luar seperti gelandangan! Aku hampir mati kepanasan!" omelnya tanpa henti.
Saat ia masuk, kakaknya menyajikan sepiring kue. Gamuda Naklua mengambil satu potong dan menggigitnya. Seketika wajahnya berubah. "Kue macam apa ini? Sudah demun! Tidak enak sama sekali! Apa kau ingin meracuni aku?" teriaknya.
Kakaknya menghela napas. "Maaf, mungkin aku salah memilih kue. Tapi, kau ingat? Aku pernah datang ke rumahmu dan kau bahkan tidak membiarkanku masuk. Kau bahkan tidak peduli aku lapar atau tidak."
Gamuda Naklua terdiam sejenak, namun dengan cepat ia menyangkal. "Itu berbeda! Aku punya aturan sendiri di rumahku!"
Kakaknya tersenyum pahit. "Itulah masalahmu. Kau selalu merasa benar dan menyalahkan orang lain. Kau tak pernah melihat kesalahanmu sendiri. Jika orang lain bersikap buruk, kau mencela. Tapi saat kau melakukan hal yang sama, kau anggap itu benar."
Kakaknya juga menegurnya masalah hubungan dengan beberapa puluh laki-laki di luar suaminya. Karena orang-orang di sekitarnya sering bercerita kepada kakaknya bahwa dirinya sering di pakai terutama oleh orang yang lebih muda.
Gamuda Naklua hendak membantah, karena dia tahu juga kakaknya itu juga jago bermain laki-laki. Bahkan dirinya mencontoh kakaknya yang berganti gilir pasangan, meskipun sudah mempunyai suami yang sah.
Bahkan dirinya sendiripun pernah merasakan keperkasaan suami kakaknya ini, karena dirinya pun ingin merasakan banyak lelaki. Karena dia asyik merasakan berbagai macam ukuran dan semangat serta teknik bermain yang membuatnya puas.
Suami kakaknya tidak marah dengan kelakuan istrinya, karena pernah sekali dia marah yang membuat mereka selama berbulan-bulan hubungannya tidak harmonis. Akhirnya suami kakaknya diam saja, tetapi sebaliknya menjadikan dirinya liar dengan ratusan wanita.
Gamuda Naklua diam saja, dia tidak mau menanggapi omelan kakaknya tentang seleranya dengan laki-laki, karena kakaknya pun hanya pandai mengkritik, tetapi kelakuan dirinya malahan lebih dari itu. Dia telah berhubungan dengan ratusan laki-laki.
Sebenarnya kelakuan mereka ini dikarenakan suaminya dan suami kakaknya bertugas di kota lain, sehingga untuk memenuhi libido mereka yang tinggi, mereka terpaksa memuaskan diri mereka dengan siapa saja yang mau Giving and receiving without charge .
Cuma kata-kata kakaknya tentang perangainya yang selalu merasa benar dan menutup diri itu itu menancap dalam di pikirannya. Kemudian dia pulang dengan perasaan tak nyaman. Sesampainya di rumah, ia menatap pintu rumahnya yang tertutup rapat.
Tiba-tiba, ia sadar betapa sepinya hidupnya. Tidak ada tamu, tidak ada kehangatan, hanya kesunyian yang semakin mengingatkan betapa selama ini ia menutup dirinya dari dunia.
Hari demi hari berlalu, dan Gamuda Naklua mulai memperhatikan betapa hampa rumahnya. Tumpukan debu di sudut ruangan, jendela yang jarang dibuka, serta keheningan yang menusuk.
Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa kesendiriannya bukanlah kebahagiaan, melainkan hukuman yang ia ciptakan sendiri.
Ia mulai mengenang masa-masa di mana ia dulu masih sering berinteraksi dengan orang lain. Ketika kecil, ia adalah anak yang ceria, suka bermain dengan teman-temannya di lapangan dekat rumah.
Namun, entah sejak kapan, ia mulai menjauh dari dunia luar. Ia mulai membangun tembok di sekeliling dirinya, percaya bahwa hanya dirinya yang paling benar.
Suatu sore, ia berdiri di depan cermin. Wajahnya tampak lebih tua dari usianya, sorot matanya redup, dan ada kesan kesepian yang begitu dalam. Ia menghela napas panjang. Mungkin kakaknya benar. Mungkin ia memang terlalu sombong untuk mengakui kesalahannya.
Keesokan harinya, ketika seorang tetangga mengetuk pintunya, Gamuda Naklua ragu sejenak sebelum akhirnya membuka pintu. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia membiarkan seseorang masuk ke dalam dunianya. Ia tidak tahu apakah ini awal dari perubahan, tapi setidaknya, ia telah membuat langkah pertama.
Tetangga itu, seorang ibu tua yang sering mengantarkan makanan ke rumah-rumah di sekitar, tersenyum padanya. "Aku hanya ingin mengantarkan sup hangat untukmu, Nak. Aku tahu kau jarang keluar rumah, jadi mungkin kau butuh sesuatu yang hangat."
Gamuda Naklua tidak tahu harus berkata apa. Ia menerima sup itu dengan tangan gemetar, lalu mengangguk kecil. "Terima kasih," gumamnya.
Sang ibu tersenyum dan pergi, meninggalkan Gamuda Naklua yang masih berdiri di ambang pintu. Ia menatap mangkuk sup itu, lalu menutup pintu dengan hati yang terasa sedikit lebih ringan.
Namun, apakah ia benar-benar akan berubah? Itu pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh dirinya sendiri.
***
Sebuah khayalan liar sedikit nakal yang tidak pantas di tiru …