Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Self Improvement
Merakit Aku
0
Suka
69
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Renjana menyentuh batu nisan yang dingin. Namanya terukir jelas: Suwarti. Air matanya kembali tumpah, hangat membasahi pipi yang kini terasa begitu lelah. Di tangannya tergenggam sebuket bunga melati, harumnya samar tertiup angin senja yang murung. Bibirnya bergetar. "Nek, Renjana rindu," bisiknya, suara parau nyaris tak terdengar.

Ia memejamkan mata, membiarkan ingatannya melayang jauh ke belakang—ke masa-masa tergelap yang membentuk dirinya kini. Masa ketika suara serak neneknya adalah satu-satunya penenang di tengah badai.

"Hujan dan petir datang bukan untuk hal yang sia-sia, Renjana." Suara itu seolah kembali terdengar. Parau, serak oleh usia, namun sarat kehangatan yang membalut segala resah.

Neneknya berdiri tak jauh darinya—punggung sedikit membungkuk, rambut memutih disanggul sederhana di bawah kerudung putih yang telah lusuh. Di luar jendela, petir bersahutan, mengguncang atap seng rumah reot mereka. Renjana kecil menggigil, menatap cemas ke luar.

Kaca jendela terasa dingin di pipinya, embun tipis terbentuk dari napasnya yang tercekat. Setiap kilatan cahaya di langit seperti mencerminkan kekacauan jiwanya, seolah masa depan yang kelam menari di balik hujan.

"Kenapa hujan yang tenang datang beriringan dengan petir yang menakutkan?" gumamnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri.

Nenek Suwarti mendekat, langkahnya lambat, namun mantap. Wajah keriputnya tersenyum—senyum yang selalu berhasil menenangkan badai di dalam hati Renjana.

"Petir itu, Nak, itu ujian," ujar nenek lembut. "Ia datang buat menguatkan, bukan menakut-nakuti. Sama kayak masalah hidup. Kadang bikin kamu pengen lari, tapi percayalah… semua itu datang buat merakit kamu jadi pribadi yang lebih kuat."

Renjana terdiam. Kata-kata nenek selalu penuh makna, seolah ia tahu isi hatinya bahkan sebelum ia sempat bercerita. Ingatannya lalu mengarah pada sosok ayah—laki-laki yang seharusnya menjadi pelindung, namun justru menjadi beban paling berat.

Utang menumpuk seperti gunung. Setiap pagi, surat-surat tagihan berserakan di meja. Rentenir datang silih berganti, membawa cacian dan ancaman. Suara mereka menggema seperti guntur dalam rumah kecil itu.

Ibunya, wanita kuat yang tak pernah mengeluh, perlahan-lahan terlihat ringkih. Bahunya melorot, matanya kehilangan cahaya, tapi ia tetap berdiri—demi anak-anaknya. Delapan pasang mata menatap penuh harap, dan Renjana, sebagai yang tertua, memikul beban paling berat. Rasanya seperti dunia menghimpit pundaknya. Bahkan bernapas pun terasa menyakitkan.

Suatu malam, setelah ancaman rentenir terdengar seperti pisau di leher, Renjana memergoki ibunya menangis diam-diam di dapur. Bahunya bergetar, memeluk lutut sendiri. ""Ibu..." lirih Renjana, suara serak oleh tangis yang tak tumpah. Ia memeluk ibunya perlahan, takut pelukan itu tak cukup mengobati luka yang dalam.

"Aku belum tahu caranya keluar dari semua ini. Tapi aku janji, Bu... aku akan belajar jadi kuat. Buat Ibu, buat kita."Itulah janji yang ia genggam, meski dunia terasa terlalu berat untuk gadis remaja berusia tujuh belas tahun.

***

Pagi itu, udara menusuk hingga ke tulang. Tak ada lagi kehangatan. Semalam, pertengkaran ayah dan ibu mencapai puncaknya. Piring pecah, teriakan dan tangisan menjadi nyanyian malam. Ayah menyalahkan ibu, menyebutnya boros, tak pandai mengatur uang. Padahal, ibunya sudah mencurahkan segalanya untuk bertahan. Renjana mendengar semuanya dari balik pintu kamar reyotnya. Ia meringkuk, gemetar. Usianya terlalu muda untuk semua ini.

Ia menatap adik-adiknya—mata polos, wajah bingung. Ia ingin menyelamatkan mereka. Tapi bagaimana? Sekolahnya pun terancam. Cita-cita menjadi guru terasa menjauh, terkubur bersama surat utang dan suara ancaman. Dalam malam-malam gelap itu, nenek Aminah menjadi satu-satunya pelita. Ia sering memeluk Renjana erat, mengusap punggungnya yang gemetar.

“Jangan biarin masalah ngeremukin kamu," bisik nenek. "Hidup ini kayak tanah liat. Kalo kamu kuat, kamu bisa ngebentuknya jadi apa pun yang kamu mau. Jangan biarin ia ngebentuk kamu jadi rapuh."

Dengan tangan keriputnya, Nenek Suwarti mengajari Renjana menenun. "Ini keahlian, Nak. Nggak ada yang bisa nyita ini. Rentenir bisa ambil rumah, bisa ambil uang, tapi nggak bisa ambil kemampuanmu."

Renjana belajar, meski benang sering kusut, jari sering melepuh. Tapi ia bertahan. Kain-kain itu perlahan membentuk pola. Dari benang kusut, lahir keindahan. Seperti hidupnya, yang perlahan ia tenun kembali.

Renjana lahir bukan dari rahim keberuntungan, melainkan dari luka-luka yang diwariskan generasi. Perkenalannya dengan kepahitan hidup dimulai jauh sebelum utang ayahnya menumpuk, jauh sebelum suara rentenir mengetuk pintu rumah saban pagi dengan nada teror. Bahkan sebelum ia benar-benar memahami bahwa kemiskinan bisa diwariskan layaknya nama keluarga, dunia sudah menggoreskan guratan luka di hati kecilnya.

Ia belajar tentang rasa sakit pertama kali di usia lima tahun, saat melihat ibunya diseret keluar rumah kontrakan oleh pemiliknya yang marah karena tak mampu membayar sewa. Renjana kecil hanya bisa memeluk boneka lusuh—hadiah terakhir dari neneknya saat ulang tahun—sambil bertanya-tanya kenapa orang dewasa tega membentak perempuan yang paling ia cintai.

Ia tak tahu apa itu "tagihan", "kontrak sewa", atau "cicilan motor"—kata-kata asing yang sering jadi alasan ayahnya pulang larut dengan wajah murung dan tangan kosong. Yang ia tahu hanyalah ibunya menangis, ayahnya pergi tanpa jejak, dan malam itu mereka harus tidur di rumah nenek, beralaskan tikar, berteman suara tikus di plafon dan cahaya redup dari lampu minyak.

Sejak malam itu, dunia memperkenalkannya pada kehilangan yang nyata dan kejam. Kehilangan rumah. Kehilangan rasa aman. Kehilangan masa kecil yang seharusnya penuh tawa.

Namun, ada satu tempat yang selalu menjadi pelariannya—sekolah. Di balik seragam usang dan sepatu bolong, Renjana menemukan ruang bernapas dalam buku-buku perpustakaan. Ia jatuh cinta pada kata-kata. Dunia fiksi membuka jendela ke realitas lain, tempat ia bisa menjadi siapa saja: penyihir di kerajaan tersembunyi, pahlawan yang menyelamatkan kota, atau bahkan gadis biasa yang tidak harus lapar. Dalam halaman-halaman itulah ia menemukan versi lain dari dirinya—yang kuat, yang tidak takut, yang bisa menang.

Namun, kenyataan selalu menamparnya usai bel terakhir berbunyi. Ketika semua temannya dijemput dengan motor matic dan senyum hangat dari ibu mereka, Renjana harus berjalan kaki sejauh dua kilometer melewati deretan rumah mewah yang kontras dengan tempat tinggalnya. Ketika teman-temannya membicarakan liburan ke luar kota, ia sibuk memikirkan beras yang tinggal segenggam dan obat untuk ibunya yang habis.

"Anak miskin, gaya sok rajin." Itu pernah diucapkan teman sekelasnya, dengan tawa mengejek dan tatapan menghina. Renjana hanya tersenyum kecil, pahit, menunduk tanpa kata. Mereka tidak tahu bahwa ia belajar bukan demi nilai tinggi semata, tapi demi harapan—bahwa mungkin, suatu hari, ia bisa keluar dari lingkaran gelap yang menjebak keluarganya.

“Belajar itu satu-satunya jalan keluar dari kubangan ini, Jan.” Begitu kata neneknya. Dan ia percaya. Sepenuh hati. Namun dunia kembali menghantamnya tanpa peringatan.

***

Suatu sore di kelas 10, saat pulang sekolah, rumah terasa terlalu sunyi. Tak ada aroma masakan ibu. Tak ada suara nenek memanggil namanya. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia meletakkan tas, lalu bergegas menyusuri setiap ruangan.

“Nek?” panggilnya dengan suara gemetar. Tak ada jawaban. Hanya sunyi. Mencekam. Ia menemukannya di kamar. Terbaring diam. Mata tertutup. Wajah tenang—terlalu tenang. Tubuhnya dingin. Terlalu dingin. Dunia Renjana runtuh dalam sekejap.

Ia menjerit. Memeluk tubuh renta itu. Menangis seperti anak kecil yang kehilangan arah. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia merasa benar-benar sendiri. Nenek adalah rumah. Satu-satunya orang yang percaya padanya bahkan sebelum ia belajar percaya pada dirinya sendiri.

Pemakaman itu berlangsung sederhana. Tanpa tenda. Tanpa tahlilan mewah. Hanya beberapa tetangga, keluarga, dan guru sekolah yang peduli datang mengantar. Hujan turun. Langit pun seolah turut berduka.

Sejak itu, semuanya berubah. Ibunya makin sering sakit, lebih banyak berbaring daripada berbicara. Ayahnya? Nyaris tak pernah pulang. Renjana menjadi tulang punggung rumah tangga di usia belasan. Ia mengajar les anak tetangga, menjual hasil kerajinan tangan ke pasar, bahkan pernah menjual tulisan untuk teman-teman yang ingin mengirim surat cinta tapi tak tahu cara merangkai kata. Ia lakukan apa saja—asal halal. Asal bisa bantu Ibu. Asal adik-adiknya bisa makan nasi, bukan sekadar air gula.

Tapi beban itu tak pernah menjatuhkannya. Karena di benaknya, suara nenek terus hidup: “Kamu bukan korban. Kamu pejuang.” Dan ia pun berjuang. Meski letih. Meski sendiri.

Hingga pada suatu hari yang tampak biasa, pintu kecil harapan terbuka. Bu Yuni, guru Bahasa Indonesia-nya, memanggilnya setelah jam pelajaran. “Renjana, Ibu suka banget tulisan kamu minggu lalu. Kamu pernah kepikiran ikut lomba menulis?”

Renjana tertawa pelan. “Mau, Bu. Tapi nulisnya aja pakai HP pinjeman. Laptop nggak punya.”

Bu Yuni hanya tersenyum. “Kalau Ibu pinjemin laptop, kamu mau coba?”

Ia diam. Bingung. Tapi dalam diam itu, ada nyala kecil yang tumbuh. Dan untuk pertama kalinya, ia mengiyakan. Lomba cerpen pertamanya… ia menang. Juara dua. Hadiahnya tak besar, dua ratus ribu dan selembar sertifikat. Tapi saat ia pulang dan menyerahkan itu pada ibunya, wanita itu menangis. Bukan karena uangnya. Tapi karena harapan yang kembali menyala.

Itu adalah titik balik hidupnya. Sejak hari itu, Renjana terus menulis. Lomba demi lomba ia ikuti. Kadang menang. Kadang kalah. Tapi ia tak pernah berhenti. Ia menulis tentang kemiskinan, tentang ketidakadilan, tentang luka yang tak terlihat, tentang perempuan yang bertahan dalam gelap. Ia menulis dengan jujur, dengan hati, dengan air mata. Tulisan-tulisannya menyebar. Ia diundang sebagai narasumber sebagai pengisi materi di komunitas literasi dan psikologi, baik online maupun offline.

***

Sore itu, Renjana berdiri di depan makam nenek. Langit mulai berwarna emas. Hujan rintik jatuh pelan. Tangannya gemetar, tapi matanya penuh cahaya. Ia letakkan buket melati di atas nisan, lalu mengeluarkan selembar kertas dari sakunya.

"Ini… cerpen yang baru aja menang lomba tingkat nasional, Nek. Judulnya Tanah Liat. Tentang aku. Tentang kita. Tentang bagaimana aku belajar bertahan dan membentuk diriku dari tanah yang pernah diinjak."

Ia tersenyum sambil menahan air mata. “Terima kasih, Nek. Karena udah percaya sama aku, bahkan sebelum aku sendiri tau apa artinya percaya.”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Self Improvement
Cerpen
Merakit Aku
Shelomita Rosyada
Novel
berharap pada siapa??
hendidesfian
Novel
Bronze
Heartless
Aylanna N. Arcelia
Cerpen
Bronze
Kisah Simsim yang Pemarah
Lia
Flash
Bronze
Dunia Tidak Berpihak Kepadaku
Ika nurpitasari
Flash
Bisakah Aku Jadi Dewasa?
lidia afrianti
Cerpen
Bronze
Bukan Pencuri
Titin Widyawati
Flash
A PIECE OF LIFE ABOUT ME
Kimijuliaaa
Cerpen
Neraka bagi Sang Munafik
Yovinus
Flash
JANGAN JADI GURU!
Hans Wysiwyg
Cerpen
Bronze
Bunga Busuk yang Mekar di Bibirmu
Titin Widyawati
Cerpen
Kehilangan Diri
Fata Raya
Flash
Bronze
Pengecut yang disukai Tuhan
K. Istiana
Flash
Kelakar Radith
T. Filla
Cerpen
Bronze
Memahami
Daud Farma
Rekomendasi
Cerpen
Merakit Aku
Shelomita Rosyada