Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku, berdiri di depan cermin, menatap pantulan wajahku yang semakin hari semakin asing.
Usia tiga puluh tahun, seharusnya menjadi gerbang menuju kematangan dan kebahagiaan, tapi yang kulihat hanyalah seorang wanita yang terperangkap dalam sangkar bernama "kehidupan rumah tangga".
Lingkaran hitam di bawah mata semakin kentara, senyumku terasa seperti topeng yang kupaksakan setiap hari, dan bahuku terasa remuk redam memikul beban tak kasatmata yang bernama "tuntutan".
Setiap pagi, ritual ini adalah pengingat pahit akan pertempuran tanpa akhir yang harus kuhadapi.
Bukan pertempuran fisik melawan musuh yang terlihat, melainkan perang psikologis melawan racun-racun halus yang menetes setiap hari, meracuni setiap aspek kehidupanku, mulai dari peran sebagai istri, ibu, hingga menantu.
Pagi selalu dimulai dengan simfoni rengekan Rania, si bungsu berusia tujuh tahun, yang selalu berhasil menguji kesabaranku.
"Mamaaa, pensil warnaku hilang! Padahal Rania mau gambar!" teriaknya dari kamar, memecah keheningan pagi yang baru saja kurajut.
Aku menghela napas panjang, meninggalkan secangkir kopi yang masih mengepul di meja makan, dan bergegas mencari pensil warna yang entah diselipkan di mana.
Tak lama kemudian, Rama, anak sulungku yang sudah remaja, muncul dengan wajah datar tanpa ekspresi. "Ma, sepatu basketku belum dicuci," ucapnya datar, tanpa sedikit pun nada meminta maaf atau menawarkan bantuan.
Hanya pernyataan fakta yang menusuk, seolah aku adalah robot tanpa perasaan yang diprogram untuk melayani semua kebutuhannya tanpa kecuali.
Rudi, suamiku, adalah pria yang baik, setia, dan bertanggung jawab. Ia selalu pulang tepat waktu, tidak pernah bermain judi atau melirik wanita lain.
Namun, kesetiaannya itu terasa hambar ketika dihadapkan pada racun-racun yang lebih halus dan menyakitkan.
"Sabar ya, Ma. Namanya juga anak-anak, memang lagi masa pertumbuhan," ujarnya setiap kali aku mengeluh tentang Rania yang selalu membuat rumah berantakan dengan mainannya, atau Rama yang tidak pernah berinisiatif membantu pekerjaan rumah.
"Banyak bersyukur, Ma. Di luar sana banyak yang lebih susah dari kita. Kita masih punya rumah, anak-anak sehat, kamu juga nggak kekurangan apa-apa."
Kata-kata itu, yang seharusnya menjadi pelipur lara, justru terasa seperti tamparan keras yang membungkam semua keluh kesahku.
Seolah-olah semua perasaan lelah, jenuh, dan tidak bahagiaku adalah bentuk ketidakberterimaan atas nikmat yang telah diberikan Tuhan.
Racun paling mematikan, yang selalu berhasil membuatku merasa kecil dan tidak berharga, datang dari Ibu Mertua, Bu Marni.
Beliau tinggal di seberang jalan, dan hampir setiap hari ada saja alasan untuk berkunjung, entah itu sekadar mengantar gorengan atau meminjam gunting.
Namun, di balik kunjungan-kunjungan itu, selalu terselip komentar-komentar pedas yang mengiris hatiku.
"Rima, sambal terasimu ini kok kurang pedas? Coba deh kamu belajar lagi sama Mirna. Dia itu kalau bikin sambal, semua orang langsung keringatan," komentarnya suatu siang, saat aku menyajikan makan siang sederhana.
Mirna, adik iparku, anak bungsu kesayangan Bu Marni, selalu menjadi standar emas yang tak mungkin kuraih. "Kamu itu kalau pakai baju jangan yang warna gelap terus, Rima. Lihat Mirna, selalu cerah dan modis. Kalau kamu, jadi kelihatan tua dan kusam."
Setiap detail kecil dalam hidupku, mulai dari masakan, penampilan, hingga cara mendidik anak, tak luput dari perbandingan yang menyakitkan.
Aku hanya bisa tersenyum getir, menelan ludah yang terasa pahit, dan berpura-pura tidak mendengar, meski dalam hati aku menjerit, "Kenapa aku selalu salah di mata Ibu?"
Nety, sepupuku yang bekerja di bank, juga tak kalah menyumbangkan racun. Ia selalu tampil sempurna dengan riasan tebal, pakaian bermerek, dan tas branded yang harganya selangit.
Setiap kali ia mampir sepulang kerja, ia selalu memulai percakapan dengan keluhan tentang betapa sibuknya ia.
"Aduh, aku capek banget hari ini, Rima. Meeting dari pagi sampai malam, belum lagi harus kejar target. Tapi ya, demi karir dan masa depan," ujarnya sambil mengipasi wajahnya yang berkeringat.
Lalu, ia akan melirikku yang masih mengenakan daster lusuh, dengan rambut dicepol asal-asalan. "Kamu enak ya, Rima, di rumah aja. Bisa santai-santai, nggak perlu mikirin cicilan atau kenaikan jabatan."
Aku mencoba tersenyum, meski hatiku perih. "Ya, begini lah, Net. Namanya juga ibu rumah tangga," jawabku lirih. Ia hanya tersenyum sinis. "Ibu rumah tangga juga harus produktif dong, Rima. Jangan cuma ngandelin suami."
Aku terdiam, merasa seperti ditampar. Kata-katanya menyiratkan bahwa hidupku, sebagai ibu rumah tangga, adalah hidup yang tidak berguna dan tidak berarti. Ia selalu merasa lebih unggul, karena ia memiliki "pekerjaan" dan menghasilkan uang sendiri.
Belum lagi para tetangga yang budiman, yang selalu punya waktu untuk mengomentari hidupku.
Mereka menganggapku aneh karena aku jarang ikut arisan atau kumpul-kumpul di teras rumah. Aku yang lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca buku atau berkebun di halaman belakang.
Akibatnya, aku menjadi bahan gunjingan yang tak pernah ada habisnya. "Rima itu sombong ya? Mentang-mentang anaknya pintar, jadi nggak mau bergaul sama kita," bisik Bu RT suatu hari, saat aku lewat di depan rumahnya.
Aku hanya bisa menunduk, mencoba mengabaikan bisikan-bisikan itu. "Anak-anaknya juga kurang sosialisasi. Nggak kayak anak-anakku, aktif ikut kegiatan di kampung."
Aku merasa seperti orang asing di kampung halamanku sendiri. Aku merasa tidak diterima, tidak dihargai, dan tidak dipahami.
Racun-racun itu menetes setiap hari, perlahan tapi pasti, menggerogoti harga diriku, mengikis kepercayaan diriku, dan memadamkan semangat hidupku.
Aku merasa terperangkap dalam labirin tanpa jalan keluar, seperti ada beban berat yang terus menekanku ke dasar jurang. Aku merasa tidak berdaya, tidak berguna, dan tidak dicintai.
Puncaknya terjadi pada suatu siang yang terik, saat aku sedang mencuci piring setelah makan siang.
Tiba-tiba, air mataku tumpah tanpa bisa kubendung. Bukan hanya setetes dua tetes, melainkan banjir air mata yang membasahi wajahku dan menetes ke dalam air sabun.
Aku terisak-isak dalam diam, bahuku berguncang hebat. Aku merasa hancur, remuk redam, dan tidak mampu lagi menahan semua beban yang selama ini kupikul.
Saat itu, aku merasa seperti berada di titik terendah dalam hidupku. Aku menatap pantulan diriku di jendela dapur yang buram.
Aku melihat seorang wanita yang lelah, putus asa, dan kehilangan harapan. Aku bertanya pada diriku sendiri, "Apakah ini akhir dari segalanya? Apakah aku akan terus hidup seperti ini, terperangkap dalam lingkaran setan yang tak berujung?"
Beberapa hari setelah kejadian itu, aku merasa hampa dan mati rasa. Aku melakukan semua rutinitas seperti biasa, namun hatiku kosong dan pikiranku melayang entah ke mana.
Aku tidak lagi merasakan apa-apa, kecuali kehampaan dan kepedihan yang mendalam.
Suatu malam, saat aku sedang menjelajahi internet tanpa tujuan yang jelas, sebuah artikel menarik perhatianku. Artikel itu bercerita tentang seorang wanita yang sukses mengubah hidupnya melalui rajutan.
Wanita itu dulunya adalah seorang ibu rumah tangga biasa yang merasa tertekan, tidak bahagia, dan kehilangan jati diri.
Namun, setelah menemukan rajutan, ia menemukan kembali passion-nya, membangun bisnis yang sukses, dan menginspirasi banyak orang di sekitarnya.
Aku tertegun membaca artikel itu. Aku merasa seperti ada secercah harapan yang tiba-tiba muncul di tengah kegelapan yang selama ini menyelimutiku.
Aku teringat akan masa laluku, saat aku masih kuliah dan aktif di klub merajut. Aku sangat menikmati kegiatan itu, namun setelah menikah dan memiliki anak, aku melupakan hobi itu dan tenggelam dalam rutinitas yang membosankan.
Tanpa pikir panjang, aku membongkar gudang yang berdebu dan mencari kotak berisi benang-benang dan jarum rajutku yang sudah lama tersimpan.
Kotak itu tampak usang dan kusam, namun saat kubuka, aku merasakan getaran aneh di hatiku. Warna-warni benang itu seolah memanggilku, mengajakku untuk kembali ke masa lalu yang penuh dengan kreativitas dan kebahagiaan.
Aku mulai merajut. Awalnya, jemariku terasa kaku dan canggung. Aku lupa bagaimana caranya membuat simpul yang benar dan membaca pola yang rumit.
Namun, perlahan tapi pasti, ingatanku kembali. Aku mulai merasakan ritme gerakan jarum rajut, merasakan kelembutan benang di tanganku, dan merasakan kedamaian yang merasuk ke dalam jiwaku.
Merajut menjadi pelarianku, oase di tengah gurun pasir kehidupan yang penuh dengan tekanan dan tuntutan. Saat jemariku bergerak lincah, pikiranku terasa lebih jernih dan hatiku terasa lebih ringan. Aku melupakan semua masalah dan tekanan yang menghantuiku. Aku hanya fokus pada rajutanku, menciptakan sesuatu yang indah dan bermanfaat dari benang-benang yang kusut dan tak beraturan.
Merajut bukan hanya sekadar mengisi waktu luang. Lebih dari itu, merajut adalah terapi bagiku.
Setiap tusukan jarum, setiap lilitan benang, adalah afirmasi bahwa aku sedang menciptakan sesuatu yang indah dan berharga.
Di tengah kesunyian rumah, hanya ada suara jarum rajut yang beradu, menciptakan melodi yang menenangkan.
Saat itulah, aku mulai mencari teman dalam kesendirianku. Aku menemukan mereka dalam bentuk podcast motivasi yang kuputar melalui ponselku.
Awalnya, aku hanya iseng mendengarkan. Namun, lama kelamaan, kata-kata dari para motivator itu mulai meresap ke dalam hatiku.
Aku belajar tentang self-love, konsep yang terasa asing bagiku selama ini. Bagaimana mungkin aku bisa mencintai diri sendiri, sementara setiap hari aku hanya mendengar kritikan dan perbandingan?
Namun, para motivator itu meyakinkanku bahwa aku berhak untuk mencintai diriku apa adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang kumiliki.
Aku mulai mencoba mempraktikkan self-love dengan hal-hal kecil, seperti memanjakan diri dengan masker wajah atau sekadar menikmati secangkir teh hangat tanpa gangguan.
Aku juga belajar tentang mindfulness, seni untuk hadir sepenuhnya dalam momen saat ini. Selama ini, pikiranku selalu dipenuhi dengan kekhawatiran tentang masa depan dan penyesalan tentang masa lalu.
Aku jarang sekali menikmati momen saat ini, momen di mana aku bisa merasakan kebahagiaan sederhana. Dengan mindfulness, aku belajar untuk fokus pada setiap gerakan jarum rajut, pada setiap warna benang yang kurajut, pada setiap napas yang kuambil. Aku belajar untuk menghargai keindahan dalam kesederhanaan.
Selain itu, aku juga belajar tentang positive thinking, cara untuk melihat sisi baik dari setiap situasi. Selama ini, aku selalu terjebak dalam pola pikir negatif, selalu melihat masalah dalam setiap kesempatan.
Dengan positive thinking, aku belajar untuk mengubah perspektifku, untuk melihat kesempatan dalam setiap masalah.
Aku mulai mencoba mencari hikmah dari setiap kejadian yang menimpaku, bahkan dari kritikan-kritikan pedas yang dilontarkan oleh Bu Marni atau Nety.
Podcast-podcast itu juga membantuku untuk mengatasi stres yang selama ini membelenggu diriku. Aku belajar tentang teknik-teknik relaksasi, seperti meditasi dan pernapasan dalam.
Aku mulai mempraktikkan meditasi setiap pagi sebelum memulai aktivitas, dan aku merasakan perbedaannya. Pikiranku menjadi lebih tenang, emosiku menjadi lebih stabil, dan energiku menjadi lebih positif.
Yang terpenting, aku belajar untuk membangun kepercayaan diri yang selama ini terkikis oleh racun-racun kehidupan. Aku belajar bahwa aku memiliki potensi yang luar biasa, bahwa aku mampu melakukan hal-hal yang hebat, dan bahwa aku berhak untuk mengejar mimpi-mimpiku.
Aku mulai berani mencoba hal-hal baru, seperti mengikuti workshop merajut online atau menulis blog tentang pengalamanku sebagai ibu rumah tangga. Aku mulai berani keluar dari zona nyamanku dan menjelajahi dunia yang lebih luas.
Aku belajar bahwa kebahagiaan tidak datang dari luar, melainkan dari dalam diriku sendiri. Aku belajar bahwa aku tidak bisa mengendalikan orang lain, tetapi aku bisa mengendalikan diriku sendiri.
Aku belajar bahwa aku berhak untuk bahagia, dan aku berhak untuk menciptakan kebahagiaanku sendiri.
Dengan merajut dan mendengarkan podcast motivasi, aku menemukan jalan keluar dari labirin kehidupan yang selama ini menjebakku.
Aku menemukan cahaya di ujung terowongan yang gelap. Aku menemukan diriku yang hilang. Aku, adalah seorang wanita yang kuat, mandiri, dan bahagia. Aku adalah perajut kehidupan, yang mampu menciptakan keindahan dan kebahagiaan dari benang-benang kusut dan tak beraturan.
Aku juga mulai menulis di aplikasi online. Aku menuangkan semua unek-unek, perasaan, dan pengalaman hidupku dalam bentuk tulisan.
Aku tidak peduli apakah tulisanku bagus atau tidak. Yang penting, aku bisa mengekspresikan diriku, mengeluarkan semua emosi yang selama ini kupendam, dan berbagi cerita dengan orang lain.
Merajut dan menulis menjadi terapi bagiku. Aku merasa seperti dilahirkan kembali, menjadi versi diriku yang lebih baik, lebih kuat, dan lebih bahagia.
Aku menemukan kembali passion-ku, mengembangkan kreativitas-ku, dan membangun kepercayaan diriku yang selama ini terkikis oleh racun-racun kehidupan. Aku merasa lebih hidup, lebih bersemangat, dan lebih berharga.
Namun, racun-racun itu tetap ada. Mereka tidak menghilang begitu saja hanya karena aku mulai merajut dan menulis. Mereka tetap menetes, tetap menyakitkan, dan tetap menguji kesabaranku.
Suatu sore, Bu Marni datang berkunjung dan melihatku sedang merajut sebuah syal berwarna-warni. "Rima, kamu ini ngapain sih? Bukannya urus rumah, malah mainan benang kayak gini!" sindirnya dengan nada merendahkan yang sudah sangat familiar di telingaku.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri dan tidak terpancing emosi. "Bu, saya cuma mengisi waktu luang saja. Lagipula, merajut ini menyenangkan dan bisa menghasilkan uang," jawabku dengan tenang, mencoba menjelaskan bahwa hobiku ini tidak hanya sekadar membuang-buang waktu.
"Menyenangkan apanya? Nggak ada gunanya! Mendingan kamu belajar masak yang benar, biar suamimu betah di rumah dan nggak jajan di luar!" balasnya dengan ketus, tanpa sedikit pun menunjukkan minat untuk memahami apa yang sedang kulakukan.
Aku hanya tersenyum tipis, mencoba mengabaikan komentar pedasnya. "Iya, Bu. Nanti saya belajar masak lagi," jawabku singkat, tidak ingin memperpanjang perdebatan yang tidak akan ada habisnya.
Rudi, suamiku, juga tidak sepenuhnya mendukung hobiku. Ia tidak melarangku merajut, tapi ia juga tidak memberikan pujian atau dukungan yang berarti.
Suatu malam, saat aku sedang asyik merajut di ruang keluarga, ia bertanya dengan nada khawatir, "Ma, benang-benang itu mahal ya? Jangan terlalu banyak beli, nanti uangnya habis buat yang nggak penting."
Pertanyaan itu membuat hatiku mencelos dan semangatku meredup. Aku merasa seperti hobiku ini hanya dianggap sebagai beban tambahan dalam keuangan keluarga, bukan sebagai sesuatu yang positif dan bermanfaat bagi diriku sendiri.
Aku merasa tidak dihargai, tidak didukung, dan tidak dipahami. "Nggak kok, Pa. Aku belinya yang murah-murah aja. Lagipula, aku kan juga jual hasil rajutanku, jadi bisa nutupin biaya benangnya," jawabku dengan nada sedikit kesal, mencoba menjelaskan bahwa aku tidak hanya menghambur-hamburkan uang.
Nety, sepupuku, tentu saja tidak ketinggalan. "Aku sih enggak punya waktu buat mainan gituan, waktuku habis buat cari uang," katanya suatu sore, saat mampir sepulang kerja dan melihat rajutanku yang sudah mulai berbentuk syal.
Aku hanya tersenyum. Aku tidak perlu membandingkan diriku dengannya. Kami memiliki jalan hidup yang berbeda. Aku mencari kebahagiaan, dia mencari uang. Keduanya valid, tapi aku memilih jalanku.
Racun-racun itu memang masih ada. Mereka tidak hilang begitu saja. Tapi kini, aku punya perisai.
Aku punya benang-benang rajutan, podcast, dan tulisan-tulisanku. Aku punya diriku yang baru, yang sedang kuanyam, kuperkuat, dan kujaga.
Aku tidak lagi merasa tenggelam. Aku belajar untuk tidak membiarkan kata-kata mereka meracuni jiwaku.
Aku belajar untuk memfilter, untuk memilih mana yang perlu kudengar dan mana yang harus kubiarkan berlalu.
Rania masih cengeng, Rama masih kurang inisiatif. Bu Marni masih membandingkan, Nety masih meremehkan, dan para tetangga masih bergosip.
Tapi kini, aku melihat mereka dengan cara yang berbeda. Mereka adalah bagian dari duniaku, tapi bukan penentu kebahagiaanku.
Kebahagiaanku, kedamaian batinku, kini kupegang sendiri. Aku yang merajutnya, helai demi helai, dengan kesabaran dan ketekunan.
Suatu hari, aku berhasil menyelesaikan sebuah tas rajutan yang cantik. Aku memandangnya dengan bangga.
Ini bukan hanya tas, ini adalah simbol. Simbol dari diriku yang baru, yang kuat, yang tidak mudah rapuh. Aku tidak lagi mencari pembelaan dari Rudi, atau pengakuan dari Bu Marni, atau pujian dari Nety.
Aku cukup dengan diriku sendiri, dengan rajutanku, dengan tulisan-tulisanku, dengan kedamaian yang kutemukan di tengah kebisingan.
Aku masih Rima, ibu rumah tangga berusia tiga puluh tahun. Tapi kini, aku adalah Rima yang berbeda. Rima yang merajut dirinya sendiri, sehelai demi sehelai, menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih damai, dan lebih mencintai dirinya sendiri.
Racun-racun itu mungkin akan selalu ada, tapi aku sudah punya penawarnya. Penawar itu ada di dalam diriku, hasil dari setiap tusukan jarum rajut, setiap kata yang kutulis, dan setiap pelajaran yang kudengar.
Aku telah menemukan jalanku untuk tetap bernapas, untuk tetap bahagia, di tengah dunia yang kadang terasa begitu pahit. Dan itu, bagiku, adalah kemenangan terbesar.
Aku tahu, perjalananku masih panjang dan penuh dengan tantangan. Racun-racun itu mungkin akan selalu ada, mencoba meruntuhkan benteng yang telah kubangun dengan susah payah. Namun, aku tidak takut. Aku telah menemukan kekuatan dalam diriku sendiri.
Aku telah menemukan cara untuk merajut diri, untuk membangun kembali diriku yang hancur dan berkeping-keping.
Aku, Rima, adalah seorang wanita yang kuat, mandiri, dan bahagia. Aku adalah perajut kehidupan, yang mampu menciptakan keindahan dan kebahagiaan dari benang-benang kusut dan tak beraturan.
Aku akan terus merajut, terus menulis, terus belajar, dan terus berkembang, hingga akhir hayatku.