Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Sejarah
MERAH TERAKHIR
1
Suka
29
Dibaca

MAK tetap pergi. Meski telah kucegah berkali-kali. Jika Mak sudah berkehendak, tak ada yang bisa menghalangi. Bahkan meski sekujur badan lebam dan nyeri.

Kali ini Mak mengenakan blouse brokat dan celana kulot tiga perempat. Semuanya hitam pekat. Termasuk tas, sepatu, bandana, kalung, dan segala apa yang melekat.

“Mak, sekali ini saja. Tolong dengarkan saya,” kataku. Lirih dan kaku. Berdiri di ambang pintu.

“Bukan Mak tidak mau mendengarmu, tapi Mak juga harus terus bersuara sampai mereka mau mendengar dan melakukan sesuatu.”

“Sampai kapan, Mak? Sudah belasan tahun Mak pergi, sudah berkali-kali presiden berganti, tetap tidak ada jawaban. Tidak ada penyidikan. Tidak ada keadilan.”

“Justru itu. Mak dan yang lain selalu menuntut saja, tidak ada hasilnya. Apalagi jika kami diam?”

Kini Mak meraih poster dari bawah tumpukan baju. Sengaja disimpan bersama sertifikat tanah dan berkas lain, sebab poster itu tak kalah penting. Jauh lebih penting dariku, anak yang tak pernah merasakan kehangatan kasih ibu.

“Mak kan sedang sakit. Mak dengar kan dokter bilang harus istirahat dulu? Absen sekali saja tidak apa-apa, bukan berarti Mak berhenti berjuang. Yang lain juga pasti memaklumi.” Mak diam. Tangannya dengan tangkas menggulung beberapa lembar poster, lalu memasukkannya ke tas.

“Mak di rumah saja, biar saya yang gantikan ke sana, ya?” Mak masih tetap diam. Tangannya meraih minyak oles dari atas lemari, kemudian memasukkannya ke tas.

“Kita pergi sama-sama ya, Mak?” Akhirnya, aku menyerah. Mencoba memberi penawaran paling setimpal. Tapi Mak seolah tak mengerti perasaanku. Kecemasanku. Ketakutanku.

“Tenang, ada banyak teman Mak di sana. Kamu di rumah saja, stand by. Siapa tahu masmu pulang.”

Siapa tahu masmu pulang.

Siapa tahu masmu pulang?

Siapa tahu masmu pulang....

Dan akibat dari keras kepala Mak, kini aku harus menyapa malam dalam gelisah. Menyeka peluh di dahi yang seluruhnya telah basah. Membayangkan Mas pulang dengan bersimbah darah, atau barangkali berupa arwah. Atau Mas yang telah menyerah.

Mas, kapankah kamu pulang?

Mas, akankah kamu pulang?

Sejak kanak-kanak aku selalu cemburu, sebab Mak terlalu mencintaimu. Ya, seluruh cinta Mak tercurah kepada masku. Habis tak bersisa, bahkan untuk diriku. Anak perempuan bungsu, yang menurut dugaan orang-orang hidupku akan dicurahi sayang dan cumbu.

Aku harus pintar seperti Mas—walau dia sering bertengkar dengan teman sekelas. Aku harus rajin mengaji seperti Mas—walau tetangga pernah protes karena susu anak gadisnya konon diremas Mas. Aku harus pintar bicara di depan orang seperti Mas—walau keberaniannya itu kini menenggelamkan Mak (dan aku) ke dalam kubang cemas.

Mak marah jika aku bangun siang, Mak akan melarang jika Mas bangun kepagian. Mak marah jika aku pilih-pilih makanan, Mak dengan sadar memberikan Mas pilihan sarapan. Mak marah saat aku pamit ke perantauan, Mak rela berhutang ke orang-orang demi membiayai Mas ke pulau seberang.

Mak selalu mengomel jika aku tak becus menyelesaikan pekerjaan rumah. Terutama jika rumah tak bersih sempurna dan masakan tak jelas rasa. Memalukan, katanya. Nanti dimusuhi mertua dan suami akan mendua. Namun, ketika Mas baru saja memegang gagang sapu, segera ditepis dan dicegah. Pamali, katanya. Jika Mas tetap menyapu dan lantai masih bertabur debu, tidak apa-apa. Jangan ditegur, nanti terluka hatinya.

Semua itu kutelan sendiri. Padahal konon, anak perempuan adalah puteri di rumah sendiri. Ya sudahlah. Buat apa pula aku berkeluh kesah? Toh, Mas sudah tidak pernah kembali ke rumah. Namun, bahkan dalam ketiadaannya pun, ia tetap membuatku tersisih. Tak pernah merasakan cinta kasih. Seolah anak yang tak terpilih.

Kenapa, Mak? Kenapa, Mas?

Pintu diketuk dari luar. Aroma kecut menguar hingga ke kamar. Segera aku berlari dan mendapati seorang lelaki bertubuh sekurus ikan pari. Biasanya aku akan terpesona, jantung berdegup penuh irama, membayangkan wajah anak-anak yang lahir dan tumbuh dengan ia sebagai ayahnya. Namun, kali ini lain. Tangannya yang gepeng menangkup tubuh Mak yang ringkih. Meringkuk dan merintih. Mak menggenggam minyak kayu putih.

“Mak pingsan tadi, tapi lekas siuman kok. Mau kami bawa ke klinik, tapi Mak menolak,” katanya setelah merebahkan Mak di sofa.

“Bukan Mak namanya jika tidak menolak.” Kuusap dahi Mak yang telah keriput, menyeka sisa keringat yang membasuh rambut. Mendengar ucapanku, Mak sedikit cemberut.

Lalu aku beralih menatapnya. Ia yang dikenalkan oleh Mak sebagai lelaki muda yang selalu siaga. Yang selalu sayang Mak selama bertahun-tahun menunggu di depan istana. Yang menurut Mak seusia dengan Mas. Katanya, Mak akan sangat senang jika ia bisa menjadi anaknya—aku juga.

“Terima kasih. Maaf kami selalu merepotkan.”

“Bukan masalah. Aku yakin masmu akan melakukan hal yang sama—jika dia ada di sini.” Kalimat terakhir itu ia ucapkan pelan dan hati-hati.

“Jika Mas ada di sini, Mak tidak perlu repot begini.” Kutelan ludah demi mengusir getir.

Mak yang semula ringkih dalam diam, kini melirikku tajam. Sedangkan dia, lelaki itu, berdeham dengan santun dan pamit pulang, tak ingin ikut campur masalah kami terlalu dalam. Meski sebetulnya ia tahu betul sekelumit perasaan yang kupaksa terus bersemayam sebab ia juga yang menemaniku menangisi hidup saban malam. Dan agaknya, itu juga alasan ia setia turun ke jalan meski telah lama lulus dan tak lagi menjabat ketua BEM: agar bisa menjaga sisa-sisa harapan Mak—dan menyalakan harapanku yang mati-matian kupadamkan. Sebab segala tentang Mas, selalu membuatku marah, asing, muram—bahkan ketika ia telah hilang.

Setelah ia keluar teratur, Mak memintaku memapahnya ke kasur. Mak menatap jendela yang tak pernah dibuka selama bertahun-tahun, matanya yang uzur menatap sawang dan diam terpekur. Aku beranjak mengambil air ke dapur. Saat aku kembali, rambut Mak telah tergerai bagaikan sulur panjang. Surai yang tak pernah ia potong dan keramasi sebelum Mas pulang, seolah Mak ini Drupadi yang malang.

Mak menelan dua teguk air. Dan seolah energinya telah kembali hadir, ia melepas satu per satu kancing blouse secara lekas dan mahir. Lalu menanggalkan bra pembungkus payudara yang telah kusur bergelambir. Menampakkan tulang-tulang yang menonjol di sebalik kulitnya yang setipis nadir. Betapa Mak berusah-payah agar senantiasa tampak kuat meski telah dikoyak-koyak oleh takdir.

Mak memintaku mengambil sarung di lemari. Hanya ada satu sarung, warnanya yang merah sangat kontras dengan kain lain. Sejak Mas pergi dan tak kembali, segala yang berwarna disimpan oleh Mak. Hari-harinya hanya memakai hitam dan putih. Seperti mimik mukanya yang selalu muram dan pedih. Yang membuatku terbayang sosok Mas yang selalu muda, tapi telah bersimbah lebam dan getih, menunggu pertolongan Mak di sembarang entah sambil melolong dan merintih.

“Hanya ada sarung merah, Mak. Sarung milik Mas.”

“Ya, ambilkan.”

Mak meraih sarung itu, lalu membungkuskannya ke bagian depan tubuh. Ia membuka laci di nakas, mengambil minya kayu putih yang hanya sisa separuh. Juga uang koin seribu rupiah berwarna emas-perak bergambar nyiur.

“Tolong kerikkan leher dan punggungku.”

Aku berdecak. “Sudah berapa kali saya bilang, Mak, kerikan itu berbahaya. Ini hanya sugesti, tidak membikin Mak sembuh betulan.”

“Biarlah.”

“Mak tidak pernah mau mendengarkan saya.”

“Kalau tidak mau, ya sudah. Mak kerik sendiri saja walau susah.”

Selalu begitu. Meski Mak lebih dan sangat menyayangi Mas, ia tak pernah sekalipun marah kepadaku. Namun, tuturnya yang lembut itu justru membuatku makin pilu. Amarah yang diredam dalam santun—apalagi sudah dapat dipastikan setelah ini Mak akan diam berlarut-larut—malah membalikkan keadaan dan membuatku merasa bersalah. Padahal, siapa yang salah? Ya, tentu saja aku. Sebab Mak tak pernah salah. Mak tak pernah keliru.

Maka, dengan setengah hati, kuambil alih minyak kayu putih dan koin butek dari tangan Mak. Duduk di belakangnya, menghirup aroma tubuhnya yang telah usang dan selalu asing. Kukerik pelan, sangat pelan, sebab takut kulitnya yang rentan itu terkelupas.

“Kenapa sih Mak tidak mau mendengarkan saya? Saya bicara kan ada ilmunya, Mak, bukan sembarangan. Bukan untuk menyakiti Mak atau sengaja membangkang.”

“Dulu Mak selalu mendengar dan menuruti kata Masmu, tapi karena itulah sekarang ia menghilang dan tidak pernah pulang.”

“Saya sedang membahas tentang saya loh, Mak. Boleh tidak, jangan bawa-bawa Mas?”

Mak hanya diam. Napasnya terasa lebih cepat dan memburu. Namun, tak sepatah kata pun keluar.

“Mas yang selalu Mak banggakan itu, akhirnya cuma bikin kita susah.”

“Mak tidak merasa susah dan ini belum berakhir.”

“Mau sampai kapan?” Aku hentikan gerakan tangan agar tak khilaf dan mengerik terlampau keras. “Mau sampai kapan Mak membohongi diri sendiri? Mas yang bikin Mak berhutang ke sana-sini demi membiayai pendidikannya—akhirnya saya juga yang harus melunasi, padahal saya tidak diizinkan tahu rasanya kuliah. Mas yang membikin kita didatangi orang asing, diteror, difitnah, dilanda insomnia karena takut ditembak sewaktu-waktu. Padahal mereka mencari Mas. Mas yang sok-sokan mengkritik pemerintah, Mas yang sok-sokan membela rakyat lemah, Mas yang jiwanya selalu terbakar amarah. Mas yang selalu mementingkan semua tentang dia dan orang lain, tapi sama sekali tidak pernah peduli dengan Mak dan saya!”

Dari celah antara pundak dan telinga kirinya, kulihat kedua tangan Mak mencengkeram sarung merah. Tak terlalu kuat sebab kain itu masih rapi, tapi perasaanku yang dibikin kusut. Aku tak melihat keadaan Mak sekarang, tapi aku yakin ia sedang menangis dalam diam. Entah karena ucapanku atau kerinduannya kepada masku. Atau keduanya. Atau entah apa.

“Kau mungkin menganggapnya bukan orang baik.” Lihatlah, Mak bahkan tak sudi memberi label buruk kepada Mas walau hanya sebatas kemungkinan. “Tapi biar bagaimanapun dia tetaplah anakku. Anak lanangku.”

“Lalu saya?”

“Kamu bisa membencinya, menghardiknya, menganggap dia telah tiada. Tapi Mak tidak akan sanggup.” Mak seolah tak mengindahkan pertanyaanku—segala tentangku. “Aku telah yatim piatu sejak kanak-kanak, kehilangan orang tua karena mereka dianggap sebagai pengkhianat negara, padahal mereka hanya menari dalam Lekra. Lalu aku jadi janda karena suamiku mati di Buru, kena malaria, padahal ia hanya menulis dan bersastra. Sekarang...,”

Mak berhenti beberapa saat, cukup lama. Bahunya terguncang. Tangisnya meledak, menyayat, melesat menembus malam yang hening dan suram. Kemudian, “Sekarang, aku ini apa? Tidak ada sebutan yang pantas untuk menyebut ibu yang kehilangan anaknya. Tidak ada yang bisa memahami kekosongan hati ibu yang mencoba menjaga nyala api harapan, bahwa anaknya masih bernyawa, entah di mana.”

Aku sadar air mataku ikut runtuh. Meluluhlantakkan amarah yang sejak siang terbendung. Namun, air mata yang asin itu menetes menembus batas biologis. Menyelinap ke dalam hati dan mengiris-iris kepekaanku ysng yang teramat tipis. Hatiku pedih bagaikan luka yang dikucuri jeruk nipis. Menghadirkan kembali sesak dan sesal yang selama ini selalu kucoba tepis.

“Lantas, saya ini apa, Mak? Apa sebutan yang pantas untuk saya yang tidak pernah mengenal ayahnya, yang hidup dalam cemburu karena kasih sayang Maknya hanya tercurah kepada kakaknya, yang kini harus hidup terseok dan terjerembab setelah kepergian Masnya? Saya bahkan tidak tahu siapa saya di keluarga ini, selain sebagai anak yang harus kuat menghadapi dan menjadi sandaran Mak selama ini—Mak yang tidak pernah menganggap saya ada dan berarti.”

Mak tak menjawab, apalagi menjelaskan, apalagi meminta maaf. Kuhapus ingus yang meleleh di atas bibir, lalu kembali mengerik pundak Mak sembari berzikir. Satu-satunya cara untuk menenangkan batinku yang tak pernah tenang. Sebab, kepada siapa lagi aku bergantung selain kepada-Nya? Meski terkadang aku marah kepada Dia yang telah menyuruhku lahir hanya untuk menelan segala penderitaan ini.

Kubasuh mataku yang tertutup air mata, menghapus buram dan panas yang menjalar hingga ke amigdala. Kukedipkan kelopak berkali-kali demi memastikan, garis-garis yang telah kulukis di leher dan pundak Mak sepenuhnya hilang. Tak bersisa tak berjejak, hanya menguarkan aroma kayu putih bercampur kecut keringat Mak.

Kucoba menggoreskan koin lagi. Merah. Pudar. Hilang. Kugores lebih keras. Merah. Pudar. Hilang. Kugosok lebih kencang. Merah. Pudar. Hilang. Kuguncangkan tubuh mungil Mak yang terapit di antara lututku, tak ada jawaban.

“Mak?”

Tak ada jawaban.

“Mak!”

Tak ada gerakan.

“Mas!”

Barangkali Mak akan tertipu dan kembali sadar—tapi Mak tak sadar. Tubuhnya tersungkur, duduk membungkuk, mencium sarung merah Mas yang apak. Kini kutekuk lututku lebih dekat, kupeluk diri sendiri erar-erat. Tubuh Mak terkulai sebab tak lagi terapit. Mak pergi tanpa maaf, tanpa pamit. Tanpa tanda, tanpa sakit. Meninggalkanku dalam raung yang malang. Yang tak sempat menorehkan merah yang terakhir. Bahkan tubuh Mak tak sudi diberi warna demi menunaikan sumpahnya yang tak ingin menghadirkan warna lain sebelum Mas pulang. Dan akhirnya, Mas tidak pernah pulang, tapi Mak yang “pulang”. [•]

🌹

Kendal, 12 Oktober 2025

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Sejarah
Cerpen
MERAH TERAKHIR
Rizky Anna
Novel
Meluruh
Louis Sabin
Novel
Bronze
Tarka Sengkalan & Simbol Masa 1997/98
RK Awan
Novel
Gudang Ketawa: Tiga Teknisi, Satu Kantor, Banyak Cerita
Muhammad Agra Pratama Putra
Novel
Gold
Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto
Mizan Publishing
Flash
Bronze
Seratus Tahun Kemudian
Afri Meldam
Novel
Gold
From Zero to Zero
Noura Publishing
Novel
Malam Kunang-Kunang di Desa Masa Kecilku
Rafael Yanuar
Cerpen
Bronze
Selamat Tinggal Tanah Kelahiranku
Anggrek Handayani
Novel
PENGARUNG WAKTU: 21 Tahun Mencari Abimanyu
Braindito
Cerpen
Bronze
Penerbang yang Tak Pernah Jetlag
Silvarani
Cerpen
Bronze
REFERENDUM
Yasin Yusuf
Flash
Bronze
#2. Langit Berbintang dan Rasa Takdir
Tourtaleslights
Cerpen
Bronze
Ibu Perbu
Listian Nova
Novel
Bronze
Juni Berdarah Pasca-Reformasi
Hariyadi Eko Priatmono
Rekomendasi
Cerpen
MERAH TERAKHIR
Rizky Anna
Cerpen
Keras Kepala
Rizky Anna
Cerpen
SEPOTONG DASIMAH
Rizky Anna
Novel
JEGAL
Rizky Anna
Cerpen
LALI
Rizky Anna
Cerpen
Wani Wedi
Rizky Anna
Novel
SARU [Kumpulan Cerita]
Rizky Anna
Flash
GERHANA
Rizky Anna
Cerpen
Bakso Madura
Rizky Anna
Cerpen
Manusia Berjantung Pisang
Rizky Anna