Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku kembali menginjakkan kaki di sini. Pelabuhan yang menjadi titik terakhir aku benar-benar meninggalkan tempat kelahiranku tiga tahun yang lalu. Demi mewujudkan impian yang selalu ingin aku raih, lewat kuliah. Udara asin yang khas langsung menerpa wajahku, aroma ikan dan lumpur yang dulu ingin kutinggalkan kini terasa seperti sambutan hangat. Dermaga kayu yang sudah lapuk ini, tempat perahu-perahu nelayan bersandar, adalah gerbang antara duniaku yang dulu dan duniaku yang baru.
Tiga tahun. Waktu yang cukup untuk mengubah seorang gadis desa penakut menjadi Salwa, seorang mahasiswi keperawatan semester akhir di salah satu universitas ternama di kota metropolitan. Aku kembali bukan karena menyerah, melainkan karena tugas praktik lapangan akhir yang membawa takdirku kembali ke desa ini, ke Puskesmas kecil yang berjarak beberapa jam perjalanan darat dari pelabuhan.
Jiwaku bergetar, separuh senang, separuh gentar. Senang karena sebentar lagi aku akan memeluk Ibu dan melihat senyum Ayah. Gentar karena di balik deburan ombak yang tenang, suara-suara sumbang dari kampung masih terngiang jelas di telingaku, seolah-olah mereka baru saja berbisik kemarin.
Masyarakat di kampungku, sebuah komunitas yang menjunjung tinggi adat dan tradisi, memiliki pandangan yang kaku tentang peran perempuan. Jati diri seorang perempuan dianggap sempurna apabila ia sudah mahir memasak, mengurus rumah, dan yang paling utama cepat menikah setelah lulus SMA.
Aku ingat betul saat pengumuman kelulusanku diterima di jurusan Keperawatan. Bukannya ucapan selamat, yang kudapat justru tatapan kasihan dan nasihat yang menusuk.
"Untuk apa anak perempuan sekolah jauh-jauh, Wa? Apalagi jurusan perawat, nanti hanya mengurus orang sakit. Ujung-ujungnya kembali ke dapur juga. Waktu dan uangnya sia-sia," ujar salah seorang tetangga dengan nada meremehkan.
"Pendidikan tinggi itu hanya membuat perempuan susah jodoh, Salwa. Pria-pria di sini maunya istri yang sederhana, tidak lebih pintar darinya. Mau jadi perawan tua kau?" sahut yang lain, suaranya lantang seolah itu adalah kebenaran.
Mereka menuding bahwa ilmu yang kukejar akan menjadi beban, bukan bekal. Sebuah kesia-siaan yang akan membuatku menjadi sosok asing di rumah sendiri. Namun, aku tak pernah menggubris. Sebab, sejak kecil, aku melihat sendiri bagaimana Ibu, dan perempuan-perempuan lain di desa, harus menanggung derita karena ketidaktahuan.
Ketika demam tinggi menyerang adikku, atau saat Nenek harus menunggu berjam-jam untuk dirujuk ke kota karena tidak ada tenaga kesehatan yang kompeten. Aku ingin menjadi jembatan itu. Aku ingin menjadi perempuan yang, dengan pengetahuannya, dapat membuat perubahan nyata.
Tiga tahun di kota adalah sebuah perjuangan. Kota besar dengan segala hiruk pikuknya hampir menenggelamkanku. Aku beradaptasi dengan materi kuliah yang berat, mempelajari anatomi manusia yang rumit, farmakologi yang memusingkan, dan teknik keperawatan klinis. Aku sering menangis di balik bantal, merindukan bau tanah basah di kampung. Tapi setiap kali keraguan datang, aku mengingat kata-kata meremehkan itu. Aku akan buktikan bahwa pendidikan tinggiku, sebagai calon perawat, akan sangat berguna.
Aku belajar keras, bukan hanya untuk nilai, tapi untuk skill. Di rumah sakit kampus, aku menghadapi pasien-pasien dari berbagai latar belakang, dari penyakit kronis hingga kasus gawat darurat. Aku belajar bahwa keperawatan bukan sekadar memberi obat, tapi tentang memberi perhatian holistik, baik fisik maupun psikologis. Aku unggul dalam praktik komunikasi terapeutik. Aku sadar, inilah yang paling dibutuhkan masyarakat desaku, bukan hanya pengobatan, tapi juga pemahaman.
Ayahku adalah sosok yang keras dan penuh prinsip. Ia menyayangi, tapi cara ia menunjukkan kasih sayangnya adalah dengan diam. Ketika Ibu menangis membelaku, Ayah hanya duduk di kursi rotan sambil menghisap rokoknya, tak berkomentar. Sikapnya itu membuatku berpikir bahwa ia juga meragukanku.
Saat aku pamit di pelabuhan tiga tahun lalu, Ayah hanya menyerahkan tas ranselku. "Jaga diri. Jangan buat malu," katanya datar, tanpa pelukan, tanpa senyum.
Namun, yang tidak diketahui banyak orang, dan yang baru aku sadari setelah aku jauh, adalah bahasa cintanya yang tersembunyi, yang selalu terangkai dalam ritual telepon malam Minggu.
Panggilan telepon selalu dibuka dengan suara Ibu yang ceria. Lalu, Ibu akan berkata, "Salwa, itu bapakmu di samping," sebelum Ayah mengambil alih ponsel.
"Gimana di sana? Sehat?" Suaranya berat, singkat, seolah setiap kata adalah emas.
"Sehat, Ayah. Alhamdulillah. Gimana Ayah sama Ibu?"
"Sehat. Sudah. Belajar yang benar. Jangan lupa makan. Ibu bilang kau sering sakit," titahnya.
Hanya tiga atau empat kalimat. Namun, Ibu pernah membocorkan rahasia yang menghangatkan hatiku.
Setiap minggu, Ayah yang meminta Ibu meneleponku. Ayah bahkan membeli pulsa data lebih banyak agar Ibu bisa melakukan panggilan video, meski ia sendiri tak pernah mau menampakkan wajahnya. Ia hanya akan duduk di samping Ibu, pura-pura membaca koran atau mengurus tali pancingnya. Tapi, Ibu bilang, mata Ayah tak pernah lepas dari layar ponsel, mengamati setiap gerakanku, mencermati apakah aku terlihat kurus atau lelah.
Suatu kali, aku menelepon pulang sambil menangis setelah gagal dalam ujian praktikum sulit di rumah sakit. Ayah tidak tahu, tapi Ibu bercerita kepadanya. Keesokan harinya, tanpa sepengetahuanku, Ayah pergi ke kota. Ia tidak menemuiku, karena takut mengganggu konsentrasiku.
Ayah hanya menitipkan amplop tebal berisi uang saku ekstra kepada temannya di kota, disertai pesan singkat di secarik kertas "Jangan menyerah. Ujian itu hanya batu kerikil. Tapi jangan bilang pada Ibumu aku ke kota."
Ketika Ibu menceritakan ini, air mataku tumpah. Ayah tidak meragukan keputusanku. Ia hanya meragukan kemampuanku bertahan di kerasnya kota sendirian. Ia tahu risiko peranku, dan ia memilih untuk mendukungku dalam diam, tanpa perlu kata-kata manis yang menurutnya hanya akan melemahkan semangatku. Ayah percaya bahwa anak perempuannya harus kuat, dan ia memilih menjadi benteng rahasia, bukan pelukan terbuka.
Kepulangan dan praktikku di Puskesmas desa adalah panggung pembuktian. Puskesmas ini adalah cerminan masalah kesehatan di desaku.nkurangnya edukasi dan praktik pengobatan tradisional yang salah.
Pada minggu pertamaku, terjadi kasus yang membuatku harus melawan tradisi. Seorang bayi berumur enam bulan dibawa dengan demam tinggi. Ketika kuperiksa, kulitnya terdapat ruam merah dan luka bakar ringan. Ibu si bayi menjelaskan bahwa ia baru saja melakukan 'obat kerik' untuk mengeluarkan 'angin jahat' dari tubuh bayinya, mengikuti saran dari seorang dukun beranak.
"Jangan digaruk, Bu. Ini bisa infeksi," kataku lembut.
"Ini demam karena virus, bukan angin. Tindakan dikerik justru berbahaya. Ini bisa menyebabkan iritasi dan infeksi. Bayi rentan sekali. Saya sudah pelajari ini di kampus. Ada cara yang lebih aman."
Aku tahu, menegur tradisi adalah menantang otoritas tak tertulis. Tapi ilmu yang kupunya tak mengizinkanku diam. Aku segera memberikan kompres hangat, memberikan parasetamol dosis anak yang tepat, dan mengajarkan Ibu bayi cara mengamati tanda-tanda dehidrasi dan kejang. Aku juga mencatat edukasi keperawatan ke dalam rekam medis, menekankan pentingnya higiene dan pengobatan medis yang rasional.
Setelah dua hari, bayi itu pulih total. Ibu si bayi datang ke Puskesmas, membawa pisang raja sebagai ucapan terima kasih.
"Terima kasih banyak, Salwa. Saya pikir harus dikerik. Ternyata ilmu Nona Salwa jauh lebih benar. Saya tidak akan ikuti lagi saran yang aneh-aneh. Kami semua butuh anak pintar seperti kamu," ujarnya, matanya berkaca-kaca.Kabar ini menyebar lebih cepat daripada api.
Minggu kedua, giliran Ibu Hajah, sosok yang paling keras menentang kuliahku. Ia terkenal menderita penyakit gula tapi menolak pengobatan modern. Ayah membawanya ke Puskesmas. Ayah memapah Ibu Hajah dan langsung membawanya ke bilik perawatanku.
"Salwa," kata Ayah, memanggilku dengan nada formal yang jarang ia gunakan, "Tolong periksa Ibu Hajah. Katanya kakinya sudah bengkak berhari-hari."
Aku melihat kaki Ibu Hajah. Terdapat luka kehitaman yang tidak kunjung sembuh, bau tidak sedap. Tanda-tanda infeksi diabetik yang parah. Aku harus bertindak cepat.
"Ibu Hajah, luka ini parah sekali. Gula darah Ibu harus segera dikontrol. Kita harus membersihkan luka ini dengan metode steril. Tidak boleh dibiarkan seperti ini," kataku.
Ibu Hajah merengek kesakitan, tapi ia patuh. Aku mencuci lukanya dengan larutan khusus, membuang jaringan mati yang sudah membusuk, dan membalutnya dengan teknik modern yang menjaga kelembapan luka, mempercepat penyembuhan. Aku juga memberikan edukasi nutrisi diabetik, sesuatu yang tidak pernah ia dengar dari tenaga kesehatan sebelumnya.
"Tidak ada pantangan nasi, Bu. Tapi kita ganti karbohidratnya. Dan Ibu harus tahu, perawatan luka itu butuh kesabaran dan kebersihan. Kalau Ibu terus pakai ramuan tradisional di atas luka, ini tidak akan sembuh," jelasku, menggunakan bahasa yang mudah dipahami.
Setelah beberapa hari perawatan, luka Ibu Hajah menunjukkan perbaikan signifikan. Ia terhindar dari amputasi, sesuatu yang bisa terjadi jika ia terlambat. Ibu Hajah, yang dulu mencibirku, kini menjadi juru bicaraku.
"Dulu saya salah sangka pada Salwa. Saya kira perempuan kuliah tinggi hanya buang-buang waktu. Tapi coba lihat, Ia pulang dengan ilmu yang bisa menyelamatkan nyawa dan kaki saya. Salwa ini pahlawan desa kita, jangan lagi ada yang meremehkan ilmu," katanya di pengajian.
Tepat seminggu setelah aku memulai praktik dan setelah kasus Ibu Hajah, Ayah dan Ibu menjemputku.Ayah berjalan di depan, langkahnya tegap seperti biasa. Ibu di belakangnya, wajahnya berseri-seri. Ayah sempat menoleh ke belakang saat kami berpapasan dengan Pak Rahmat, tetangga kami yang paling vokal mengkritik keputusanku kuliah.
"Pak Rahmat," sapa Ayah dengan nada bangga dan tegas.
"Anak saya ini, Salwa, sekarang sudah mau lulus jadi perawat. Katanya kakimu sering sakit, besok bisa ke rumah, biar Salwa yang lihat."
Ayah tidak meminta izin, ia memberi perintah, sebuah penegasan statusku di mata masyarakat. Ayah adalah kepala desa. Ketika ia menegaskan kegunaan ilmuku, tidak ada lagi yang berani membantahnya.
Setelah Pak Rahmat tergagap meminta maaf, Ayah kembali berjalan, namun ia melemparkan senyum kecil, senyum yang nyaris tak terlihat, namun mampu menerangi seluruh hatiku.
Aku kini berdiri tegak. Sarjana keperawatan yang kubawa pulang bukan hanya ijazah, tapi keberanian untuk melawan pandangan sempit, kemampuan untuk menolong, dan bukti nyata bahwa pendidikan tinggi, terutama untuk seorang perempuan dari desa, tidak pernah, dan tidak akan pernah, sia-sia. Justru, ilmu itulah yang membuatku bisa kembali, tidak sebagai beban, melainkan sebagai penolong bagi kampung halamanku sendiri.
Malam itu, setelah makan malam, aku duduk di teras rumah. Ayah keluar membawa dua cangkir kopi panas. Ia memberikan satu padaku, lalu duduk di kursi rotan yang sama tempat ia biasa merokok sambil mendengar cacian tetangga tentangku.
Keheningan melingkupi kami. Itu adalah keheningan yang nyaman, bukan lagi keheningan yang canggung.
"Ayah." aku memulai.
"Hmm," jawabnya, menyesap kopi.
"Terima kasih. Untuk semuanya. Untuk yang Ayah kirimkan waktu itu di kota," kataku, mengacu pada amplop rahasia dan pesan rahasia itu.
Ayah meletakkan cangkirnya. Ia tidak menatapku. Matanya tertuju pada bintang-bintang di atas pohon kelapa.
"Itu bukan apa-apa," katanya. "Ayah hanya tidak mau anak Ayah kelaparan. Kota itu keras, Wa."
"Ayah tahu? Ayah sebenarnya tidak pernah meragukanku, kan?" Aku memberanikan diri.
Ayah diam lama sekali. Sangat lama, hingga aku mengira ia tidak akan menjawab. Lalu, ia berbalik, menatapku, tatapannya lembut, tapi tegas.
"Ayah tidak pernah meragukan cita-citamu, Salwa. Ayah tahu kau anak yang pintar. Tapi Ayah ragu dengan dunia ini. Ayah tahu apa yang dikatakan orang-orang desa tentang perempuan berpendidikan. Mereka meremehkan. Ayah hanya ingin melindungimu. Ayah takut, kalau Ayah terlalu memuji, kau akan jadi lengah. Kau harus buktikan pada mereka, bukan pada Ayah," jelasnya. Suaranya pecah di akhir kalimat, sesuatu yang belum pernah kudengar.
"Ayah hanya tidak mau ada yang bisa menyakitimu dengan kata-kata. Kalau Ayah bilang Ayah bangga, dan ternyata kau gagal, mereka akan lebih lantang mencibir. Jadi, Ayah biarkan kau buktikan sendiri. Dan kau berhasil, Nak," katanya, dengan nada yang sarat emosi.
Air mataku menetes. "Aku kembali untuk membuktikannya, Ayah. Aku kembali sebagai perawat. Aku bisa mengobati demam, tahu cara memberi napas buatan, aku bisa menolong orang seperti Ibu Hajah. Pendidikan ini tidak sia-sia, Ayah. Aku bisa berguna di sini, di desa kita sendiri."nAyah tersenyum. Senyum itu tidak lagi malu-malu. Itu adalah senyum lega, senyum penerimaan.
"Sejak dulu, Ayah selalu bilang pada Ibumu. 'Anak itu keras kepala, tapi kalau sudah kemauan, pasti jadi.' Ayah hanya bangga melihat kau tidak dengar omongan kosong mereka. Kau dengar kata hatimu sendiri. Itu bagus." Ayah berdiri. Ia berjalan mendekatiku, tangannya terangkat, dan kali ini, tidak ada jarak. Ia meletakkan tangannya di kepalaku, mengusapnya dengan canggung. Sebuah pelukan pertamaku sejak aku kuliah.
"Sekarang kau kembali, bukan sebagai anak yang pergi, tapi sebagai Salwa, perawat yang kami butuhkan. Ilmu yang kau bawa itu tidak akan pernah sia-sia, Nak. Kau adalah masa depan desa ini."
Aku memejamkan mata, membiarkan kehangatan Ayah meresap. Pendidikan tinggiku adalah investasi. Bukan hanya uang dan waktu, tapi juga kepercayaan yang tersembunyi dari seorang Ayah. Dan malam itu, di teras rumah di bawah cahaya bulan, semua bisikan meremehkan itu sirna, tergantikan oleh kata-kata tulus Ayah yang akan menjadi kekuatan terbesarku, selamanya.