Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Menyatukan Dua Keluarga
0
Suka
120
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

 

Rico menghela napas panjang sambil memandang istrinya, Anisa, yang tengah sibuk menata meja makan. Kedua besan mereka beserta rombongan, yaitu anak mereka dan anak mereka yang lain serta cucu mereka baru saja tiba di kota untuk menemani menantu mereka melahirkan.

Seharusnya ini menjadi momen bahagia, tetapi yang terjadi justru penuh dengan tantangan. Karena selain besan mereka suami istri, anak dan menantu mereka serta anak mereka yang lainnya, juga ikut beberapa keponakan besan mereka dengan alasan sedang liburan.

"Mas, ini baru hari pertama, ya. Kita harus sabar," bisik Anisa saat Rico menatap meja makan dengan cemas.

Beberapa saat kemudian, di hadapannya, sudah hadir mertua anak mereka, Pak Rasyid dan Bu Halimah, sedang duduk berdampingan. Di meja, hidangan sudah tersaji, termasuk sayur yang tampak begitu berminyak dan asin, hasil masakan Bu Halimah.

"Silakan makan, ini masakan khas daerah kami," kata Bu Halimah dengan senyum bangga.

Bu Anisa mengambil sendok dan mencicipi sedikit, kemudian tersenyum canggung. "Oh... enak, ya... hmm... unik sekali rasanya."

Rico menelan ludah. Ia tahu istrinya bukan orang yang suka makanan terlalu asin. Dirinya sebenarnya juga enggan menyentuhnya.

Sementara itu, cucu bu Halimah, Dani, yang baru berusia delapan tahun, sudah mulai mengaduk-aduk sayur dengan sendoknya, mencelupkan sendoknya yang sudah masuk ke mulut, lalu mengaduknya lagi tanpa peduli orang lain belum makan.

Anisa menatap Rico dengan gelisah. Ia ingin menegur, tetapi tahu kalau di keluarga besarnya, menegur anak dianggap tidak sopan.

Menantu Rico, Putri, akhirnya berdehem. "Dani, kalau mau ambil sayur, ambil saja dengan sendok sayurnya ya."

Bu Halimah tersenyum dan menepuk tangan anaknya. "Ah, tidak apa-apa, Nong. Namanya juga anak-anak, biarkan saja."

Rico menghela napas dan melirik Anisa. Ini baru awal.

Malamnya, setelah makan malam yang cukup penuh dengan situasi canggung, Rico dan Anisa bersiap mencuci piring di dapur. Namun, keduluan oleh para cucu Bu Halimah mencuci piring, Anisa kembali dibuat gelisah.

Sisa minyak dan sisa makanan masih menempel di piring, tetapi piring-piring itu sudah ditumpuk untuk dikeringkan.

"Nak, ini kayaknya masih berminyak, deh..." ujar Anisa dengan hati-hati.

"Ah, tidak apa-apa, Nak. Nanti juga kering sendiri. Pakai sabun terlalu banyak itu juga tidak baik, nanti tangannya kasar," jawab Bu Halimah santai.

Anisa menggigit bibirnya. Ia melirik Rico, yang hanya bisa mengangguk, memberi isyarat untuk membiarkan saja.

Bukan hanya itu saja, kebiasaan mereka memakai minyak goreng juga membuat Rico dan Anisa geleng-geleng kepala. Kalau Rico dan Anisa memakai minyak sebanyak dua liter selama tiga bulan, kedua besannya itu dua liter hanya selama tiga hari.

Keesokan harinya, sewaktu sore hari, Anisa membantu menjemur pakaian di halaman belakang rumah. Namun, Bu Halimah yang melihatnya langsung menegur dengan wajah cemas.

"Bu Anisa, jangan jemur pakaian di malam hari, nanti dipakai jin!" katanya dengan nada serius.

Bu Anisa terdiam sejenak, lalu tersenyum. "Oh, begitu ya? Saya baru tahu."

"Iya, nanti kalau ada yang pakai, bisa kena gangguan."

Rico dan Anisa hanya bisa saling pandang. Di keluarganya, kepercayaan seperti itu tidak ada, tetapi mereka tidak ingin memicu perdebatan.

Bukan hanya itu, Rico kan punya kebiasaan bangun jam 3-4 subuh, karena dia harus mengarang. Sebelum bekerja dengan latopnya yang untuk sementara di pindahkan ke lantai dua, dia membuat kopi di lantai bawah.

Siangnya besan perempuannya mengatakan dia melihat mahkluk tinggi besar ada lewat, dia menayakan Rico, apakah ada memelihara mahluk halus. Rico tersenyum saja, karena dia yakin dirinyalah yang di maksud.

Sementara itu, keponakan Anisa, Dani, kembali membuat ulah. Seharian ia hanya mengurung diri di kamar, bermain ponsel tanpa menghiraukan siapa pun. Ketika Anisa mencoba berbicara dengan besannya tentang perilaku Dani, ia hanya mendapat jawaban singkat.

"Ah, biarkan saja. Anak zaman sekarang memang begitu. Daripada main di luar, kan lebih aman di rumah."

Anisa hanya bisa menghela napas panjang.

Anisa memijat pelipisnya yang berdenyut. Dia dan suaminya Rico suatu saat berusaha tidur siang. Dia naik ke tingkat atas, karena kamar mereka di tingkt bawah di pakai anaknya dan menantunya, Putri.

Mereka tidak mau tidur di tingkat atas, karena ndak sanggup turun naik serta terasa panas. Rico memang tidak mau memasang AC, karena ventilasi rumah mereka di buatnya sepanjang dinding rumah, dengan ukuran sebesar 60 cm.

Dia mau angin yang alami, bukan dari AC.

Tiba-tiba terdengar suara teriakan dan tawa anak-anak bercampur dengan dentingan benda jatuh di lantai baawah. Rumah yang biasanya tenang kini berubah seperti pasar malam.

“Rico, sampai kapan kita harus bertahan seperti ini?” bisik Anisa kepada suaminya yang berbaring di sampingnya.

Rico menoleh dan menghela napas. “Aku juga bingung, Nis. Mereka keluarga besan kita, tak mungkin kita mengusir mereka begitu saja.”

Belum sempat Anisa menjawab, suara barang jatuh dari kamar tamu membuatnya terlonjak dan duduk.

Ia kemudian dengan cepat keluar kamar dan menuruni tangga, ia melangkah ke sana dan mendapati anak-anak besannya tengah membongkar lemari, menarik-narik baju di mesin jahitnya dan pernak-perniknya tanpa rasa bersalah.

“Anak-anak! Apa yang kalian lakukan?” ujarnya halus. “Itu barang Tante, bukan mainan, ya anak-anak!” seru Anisa perlahan sambil berusaha menahan rasa dongkolnya.

Seorang bocah menoleh dengan wajah tanpa dosa. “Aku hanya mencari sesuatu yang menarik, Tante.”

Anisa menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Tak lama, ibunya anak-anak itu, bu Halimah, muncul di pintu dengan senyum santai.

“Aduh, maaf ya, bu Anisa. Anak-anak memang aktif. Biar nanti aku bereskan,” katanya tanpa rasa bersalah.

Anisa menggigit bibirnya, menahan kekesalan. Dia tersenyum sambil diam-diam menahan rasa dongkolnya. Tetapi bagaimana pun, dia tidak mau bertengkar.

“Saya naik dulu, ya San,” ujarnya permisi dan naik lagi ke lantai dua dengan perasaan dongkol yang di tekan.

Anisa masuk kamar kerja Rico yang dijadikan kamar tidur sementara, ia melirik Rico yang hanya mengangkat bahu, seolah menyerahkan semuanya padanya. Dalam hati, ia tahu, ia harus segera mencari cara agar ketenangan rumahnya kembali.

Hari semakin berlalu, dan tantangan demi tantangan terus datang. Suatu hari, Bu Halimah mengajak Anisa berjalan-jalan ke tempat wisata, meskipun jalanan licin akibat hujan semalam.

Yang membuat Anisa gaduh adalah keikut sertaan Putri yang tinggal menunggu hari untuk melahirkan. “Apakah Putri sebaiknya tidak ikut?” tanya Anisa penuh ke kewatiran.

Tetapi Bu Halimah tetap bersikeras.

"Tidak apa-apa, orang hamil itu harus banyak gerak biar lahirannya lancar!"

"Tapi, Bu, jalanannya licin, bahaya kalau jatuh," Anisa mencoba beralasan.

Namun, Bu Halimah tetap tidak mau mendengar. Terpaksa, mereka tetap pergi, meskipun Putri berjalan hati-hati dan Anisa tetap memegang tangannya dengan Anisa sangat hati-hati.

“Jangan lepaskan tanganmu ya Nong,” ujar Anisa kepada menantunya, istri dari anaknya.

Di sisi lain, masalah pola makan yang disaranakan Bu Halimah juga membuat Rico semakin khawatir. Ia sering menganjurkan agar Putri mengonsumsi makanan manis dan pedas, bahkan pernah minum minyak makan dengan alasan agar persalinan lancar.

"Bu, itu tidak baik untuk kesehatan. Minyak itu bukan untuk diminum," kata Rico.

"Ah, sudah tradisi dari dulu, Nak. Kamu masih muda, belum tahu semuanya."

Rico mengusap wajahnya, mencoba menahan diri. Ia tahu, tidak ada gunanya berdebat.

Meskipun perbedaan-perbedaan ini terus terjadi, Rico dan Anisa berusaha menjaga kedamaian. Mereka sadar bahwa perbedaan budaya adalah hal yang tidak bisa dihindari, tetapi bisa disikapi dengan bijaksana.

Suatu malam, saat Rico duduk di teras lantai dua rumahnya bersama istrinya, Anisa menepuk pundaknya.

"Kadang, kita tidak bisa mengubah orang lain, Rico. Tapi kita bisa memilih bagaimana meresponsnya. Kita harus tetap sabar, keluarga ini akan tetap harmonis."

Rico mengangguk. Ia tahu, ini akan menjadi pengalaman yang melelahkan, tetapi ia juga tahu bahwa keluarga adalah tentang menerima satu sama lain, meskipun berbeda.

 

Dan yang terpenting, ia ingin cucu mereka lahir ke dunia dalam lingkungan yang penuh kasih sayang, bukan pertengkaran.

Malam itu, Rico dan Anisa saling menggenggam tangan, siap menghadapi hari-hari yang akan datang dengan lebih banyak kesabaran dan pengertian.

***

 

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Menyatukan Dua Keluarga
Yovinus
Cerpen
Bronze
Pemimpin Negeri Sipil
spacekantor
Cerpen
Bronze
Pendar
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Dua Jendela
Dhiyaunnisryna
Cerpen
KABULKU
Racelis Iskandar
Cerpen
M2
La Lady Brhamara
Cerpen
Bronze
Bau yang Menyeruak dari Mayat Sahabatku
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Cerita Toko Kopi Padma
Ananda Putri Damayanti
Cerpen
Bronze
SAVITRI
Sri Wintala Achmad
Cerpen
Ibu Jangan Mati
Siti Soleha
Cerpen
Guru Honorer Gaji 300k Menghadapi Hidup
Yovinus
Cerpen
Sebuah kegagalan karena ketidakpedulian kesombongan dan meremehkan perhatian kecil
Andika Prawira
Cerpen
Ssstttt..Jangan Berisik!!!
Khairaniiii savira
Cerpen
Gunung dan Kucingnya
Nidaul Ainiyah
Cerpen
Bronze
Grooming
Alya Nazira
Rekomendasi
Cerpen
Menyatukan Dua Keluarga
Yovinus
Cerpen
Guru Honorer Gaji 300k Menghadapi Hidup
Yovinus
Cerpen
Tutik Sang Maha Benar
Yovinus
Cerpen
Pak Khairul Yang Kharismatik dan Para Ayamnya Yang Usil
Yovinus
Cerpen
Integritas Ketua KPUD
Yovinus
Novel
Orang Orang Di Atas Angin
Yovinus
Cerpen
Akhirnya Terjawab Sudah
Yovinus
Cerpen
Menahan Diri Dari Maksiat
Yovinus
Flash
Melahirkan Di Motor Bandung
Yovinus
Flash
Tukang Emas Jadi Developer
Yovinus
Cerpen
Membeli Mobil Dengan Air Liur
Yovinus
Cerpen
Di Belakang Layar Kekuasaan
Yovinus
Flash
Tempat Cuci Piring
Yovinus
Cerpen
Klitsco vs Ras Terkuat
Yovinus
Cerpen
Kisah Nadira & Harapan Yang Tertinggal
Yovinus