Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Sebentar lagi akan tiba waktunya, tak inginkah kalian berbagi kisah hidup?” tanya si pria muda berambut cepak acak-acakan yang duduk bersandar di jeruji, ia tersenyum ramah walau matanya terlihat suram.
Semua terdiam sejenak, mereka saling memandang hingga salah seorang wanita bertato mulai bersuara, “Kalau begitu kau duluan.”
Namun sebelumnya, bicara soal sel sempit tersebut hanya terdiri satu sisi bagian terbuka yaitu pintu jeruji besi yang disandarinya. Mereka berkumpul dalam satu sel, tidak laki-laki tidak perempuan. Di sana hanya ada satu tempat duduk panjang yang terbuat dari batu bata dan semen, jika tak kebagian tempat duduk maka mereka akan berhimpitan di lantai. Satu jalan terbaik untuk keluar adalah mati.
Di sana ada lima orang yang sedang menunggu untuk dihukum. Yang pertama, seorang ibu-ibu berambut pendek yang bertubuh kurus dan berwajah sayu. Satu lagi seorang lelaki tua berpeci hitam. Kemudian pemuda tinggi dengan tubuh ideal yang terlihat dari wajahnya memang masih remaja, ia nampak ketakutan. Lalu wanita cantik yang bertato mawar dilehernya. Dan yang terakhir ada pria muda yang tampak biasa saja dari luar. Dua orang yang duduk di atas hanya si pria muda dan wanita bertato saja, sisanya terduduk di lantai.
“Baik kalau begitu perkenalkan nama saya Jon, semua masalah saya ini berasal dari satu peristiwa besar, memang sederhana, harta warisan.” Ia berhenti sebentar, “saya mulai meracuni kerabat dan saudara kandung saya, mereka meninggal dalam sebuah jamuan makan di rumah saya. Kemudian, saya mengubur mereka di halaman belakang, semua terbongkar dan untuk pertama kali saya menginap di hotel prodeo, lalu setelah bebas saya menuju ke kejahatan baru, bisnis kecil yang bisa membuat saya kaya raya …”
Si wanita bertato memutus kalimat Jon, “Biar kutebak, narkoba?”
“Salah, saya hanya menjadi pembunuh bayaran. Tertangkap pula. Tapi itu cuma kasus kedua.”
“Jadi, sekarang karena apa Anda dihukum?” tanya si wajah ibu yang mulai tertarik.
“Pertanyaan bagus, tapi saya belum selesai, kemudian masalah berlanjut, saya membunuh orang yang salah, dia ternyata adalah orang terdekat klien saya, dia kemudian memenjarakan saya, dan itulah kasus kedua saya.”
“Langsung saja waktu terus berjalan, jangan sampai kau bercerita sambil menjadi mayat!” Seru wanita bertato yang tak sabaran dengan tatapan galak tertuju kepada Jon.
Jon tersenyum sambil mengangkat tangannya, “Tenang-tenang ini hampir berakhir. Masih banyak kejahatan saya, tapi itu saja yang mau saya ceritakan.”
“Menarik.” Ujar Pak Tua, “Kamu tidak terlihat seperti penjahat kalau dari luarnya saja.”
“Lalu siapa lagi?” tanya si wanita bertato.
“Hei Nak, kenapa kau diam saja?” Tanya si Ibu bermata sayu.
“Berceritalah nak.” Sambung Pak Tua.
Ia menatap semua orang lalu mulai berceita, “nama saya Andre umur saya enam belas tahun, semua bermula disaat ayah saya membeli kucing ketika saya berumur delapan tahun, awalnya hanya binatang peliharaan, tapi ayah terlalu menyayanginya, saya gelap mata dan cemburu lalu saya mengubur kucing itu hidup-hidup.”
Semua terdiam sampai Pak Tua berbicara, “teruskan ceritamu.”
Ia menunduk, “ayah saya tahu, kemudian saya diusir, saya hidup di jalan selama dua bulan, saya mulai melakukan kejahatan, mencopet, mengutil, dan lain sebagainya.”
“Kemudian saya ditampung di panti asuhan, saya kabur pada malam kedua, kemudian saya bertemu orang tua angkat saya, mereka baik, mereka punya rumah besar, saya ada di sana selaama lima tahun, kemudian mereka meninggal dalam sebuah kecelakaan, saya tidak tahu harus kemana, kerabat mereka mengusir saya, lalu saya ditampung lagi.”
Remaja itu terdiam lalu melanjutkannya dengan nada takut, “lalu saya dipungut seorang wanita tua, dia jahat, saya dipaksa bekerja mencari uang, saya kabur dan hidup di jalan lagi, saya menjadi semakin liar, saya tidak hanya mengutil saja saya juga merampok untuk makan, satu bulan lalu adalah kejahatan terakhir saya, saya juga membunuh pemilik rumah yang saya rampok, parahnya itu adalah rumah seorang pejabat penting, saya tidak tahu itu, saya tidak pernah nonton tv, itulah akhir kisahnya.”
Semua terdiam. Jon sampai mengubah gestur badannya, yang tadinya ia agak congkak dengan kaki satu diangkat kemudian diturunkannya dengan sopan, sepertinya ia nampak malu dengan remaja polos tersebut. Tak sampai ada cerita berikutnya, Andre telah dijemput. Tidak ada ucapan selamat tinggal kecuali dari tatapannya. Jeruju besi itupun tertutup kembali, dan dalam diam kepala mereka tertunduk. Perasaan mereka mulai gelisah karena tidak ada pengumuman siapa yang akan dieksekusi berikutnya.
“Selanjutnya saya.” Ujar Pak Tua.
“Berceritalah.” Jawab Jon.
Ia memposisikan punggungnya di tembok senyaman mungkin, lalu mulutnya mulai bercerita, “nama saya Suyadi, saya berumur lima puluh dua tahun, saya sulung dari sembilan bersaudara, ayah saya meninggal saat umur saya dua puluh satu tahun, mulai saat itu saya semakin bekerja keras, saya hanya sekolah sampai kelas enam sd, kejahatan saya yang pertama adalah suatu pelecehan yang tidak saya sengaja, saya tidak sengaja menyentuh bagian tubuh wanita di bis, wanita itu memukuli saya, saya tidak tahu jika dia anak sorang pejabat, jadilah saya masuk penjara.”
Sedetik kemudian, si wanita bertato seperti menahan tawanya, “kayaknya Anda bohong ya?”
Si Pak Tua berhenti sebentar untuk menarik napas, wajahnya panik tetapi kembali datar, kemuidian ia melanjutkan, “waktunya tidak banyak saya singkat saja, saya hidup selama dua puluh tahun lebih dengan penuh kejahatan, tidak bisa dimaafkan memang, tapi, lebih kejam mana saya ataukah para tikus kantor itu?”
Mendengar kata tikus kantor, semua orang berdecak dan seakan setuju ucapannya. Seburuk apa pun kejahatan warga sipil, tak akan seburuk mereka yang merugikan negara.
“Anda sebenarnya orang baik.” Ujar si ibu-ibu berwajah sayu tersebut.
“Kita sebenarnya orang baik, hanya kita telah ternoda.” Sambung si wanita bertato, meski terlihat ia tetap mencemooh si Pak Tua dari matanya.
Semua hening, kemudian terdengar suara senapan di luar. Pasti Anrdre sudah mati sekarang. Seisi ruangan menjadi dingin. Untuk inikah mereka hidup? Tentu. Apa yang kita lakukan setelah hidup pastilah mati.
“Jika kita mati sia-sia seperti ini, saya akan hidup untuk mencari kebaikan.” Ujar Jon.
“Terlambat.” Jawab pak tua Suyadi.
“Kita selalu menyadari bahwa hidup ini singkat, kenapa masih berlaku bejat?” si wajah ibu menunduk.
“Bocah yang malang.” Si wanita bertato mulai berkaca-kaca.
“Masih bisa menangis? Bagus, beraarti anda memang bukan iblis.” Kata si wajah ibu.
“Saya tidak pernah mengaku iblis sejak pertama kita di sini.” Jawabnya.
Namun, sebelum sempat bercerita, pintu jeruji kembali terbuka lagi, sipir yang sama datang menunjuk seseorang. Si wanita bertato hendak berdiri, tetapi mendadak Jon bertanya, “apa kesalahan Anda sehingga ada di sini?”
Sambil tersenyum, ia tidak menoleh ke belakang, wanita bertato tersebut menjawab, “saya cuma simpanan saja.”
Singkat, tetapi mampu menjelaskan semuanya. Ia pun diseret keluar dan pintu ditutup kembali. Semua terdiam dan tidak berani berkomentar lebih banyak. Dosa perselingkuhan, mau sebaik apa pun ia pasti akan dihukum berat. Semua orang di sana semakin tak karuan hatinya, kini mereka tinggal menghitung masa saja sebelum dipanggil acak. Sekarang tinggal si ibu saja yang belum bercerita.
“Giliran anda.” Kata Jon.
Ia mulai menitikkan air mata, “Saya Mira, umur saya tiga puluh lima tahun. Selama ini saya belum melakukan kejahatan, hanya satu dan itu yang terakhir. Saya dan suami saya sangat menginginkan anak, saya sering keguguran, karena itu saya diceraikan, hanya saja suami saya tidak tahu jika saya sedang mengandung.”
Kakinya bergerak gelisah dan matanya menatap ke sana ke mari dengan ketakutan, sesekali ia menengok ke arah penjaga yang sedari tadi menatap mereka, “saya hidup sendirian, kemudian saya melahirkan, saya tak ingin sendirian, jadi saya bunuh bayi saya, saya awetkan dia selama empat tahun di lemari pendingin, jika saya rindu saya akan peluk dia, saya tidak peduli walau tubuhnya sangat dingin. Kemudian semua ini diketahui, saya dituntut oleh mantan suami saya, jadilah saya di sini, saya melakukan kejahatan demi bisa bersama anak saya, itu salah?”
“Cukup menyedihkan, tapi sifat anda terlalu psikopat.” Ujar Jon mengomentari sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, seolah tidak bersimpati.
“Ia melakukannya dengan terpaksa agar ia tidak ditinggal mati anaknya suatu saat nanti.” Si Pak Tua berusaha membela Mira si ibu wajah sayu.
“Baik saya memang paling buruk diantara kalian semua.” Jawab Jon mengalah.
Tak butuh waktu lama, suasana makin mencekam tatkala suara peluru terdengar dari luar. Satu per satu tahanan telah dipanggil. Akhirnya tinggalah Jon sendiri. Ia merasa paling buruk. Ia takut, mengapa ia baru sadar bahwa ia salah? Jon menggigit kerahnya.
Dalam situasi ini, kau, si penjaga berdiri dari kursimu dan melihat pintu jeruji besi telah dibuka untuk orang terakhir. Maka berakhirlah tugasmu menjaga para tahanan. Kau sudah bosan mendengar berbagai cerita tak penting dari orang-orang yang akan dieksekusi, terutama orang yang mengenalkan dirinya sebagai Jon. Namun, mulutmu hanya terdiam tak menjawab segala ocehannya yang mengajak para penjaga bicara. Katanya itu akan jadi percakapan terakhirnya jika uang tak menyelamatkannya di detik-detik terakhir.
Tibalah saat dimana pria muda bernama Jon digiring ke arah tiang penuh darah dan diikat di sana. Matamu mengedar dan memandang lapangan tempat eksekusi yang luas tetapi hanya sedikit bagian yang dipakai. Kau melihat pria itu berdiri dengan mata tertutup, mulutnya meringis dan terlihat badannya bergetar. Namun, kau hanya terdiam sambil memperhatikannya sama seperti yang lain.
“Adakah kata terakhir saudara Jon?” Tanya sang algojo.
Jon mendongak, bibirnya tersenyum pasrah, “saya akan bertaubat kepada Tuhan!”
Suara senapan menggelegar tiga kali ke arah jantunnya. Nampaknya sudah cukup untuk membuatnya tidak bergerak lagi. Kau melihat kepala Jon terjatuh pelan di sana. Para dokter telah memastikan bahwa ia tak bernapas lagi. Kau kembali untuk membereskan semua kekacauan yang ada bersama kawan-kawanmu. Kau menunjukkan ekspresi datarmu seperti biasa, tidak ada keraguan atau ketakutan begitu melihat mayat-mayat mereka.
Kau berkata dalam hatimu, “aku rindu tugasku menjadi algojo seperti dulu.”
Tamat