Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hujan rintik-rintik mengguyur kota kecil itu ketika Reza melangkahkan kakinya keluar dari stasiun kereta. Dulu, tempat ini pernah menjadi rumahnya, tempat dimana banyak kenangan yang tersisa. Sudah sepuluh tahun lebih sejak terakhir kali ia berada di sini, namun setiap sudut kota masih terasa akrab. Aroma hujan, jalanan basah, dan deretan pohon rindang di pinggir trotoar mengingatkannya pada masa kecil yang pernah ia tinggalkan selama 10 tahun demi mengejar mimpi di kota besar.
Tetapi sekarang, ia kembali dengan perasaan yang bercampur aduk. Kejayaan yang dulu ia bangun perlahan pudar bersama kegagalan bisnisnya di ibu kota. Reza mencoba menghibur dirinya bahwa ini hanya sebuah kesempatan baru, sebuah permulaan yang dimana ia harus mencoba lagi bangkit setelah jatuh. Namun, di balik optimisme yang ia paksa muncul, ada kesedihan, kerinduan dan luka yang belum benar-benar pulih.
Tanpa tujuan yang pasti, Reza memutuskan untuk berjalan-jalan mengelilingi kota ini. Udara dingin membuatnya menarik mantel lebih rapat, sementara matanya menatap jalanan yang dulu sering ia lewati. Hingga akhirnya, langkahnya membawanya ke sebuah kafe kecil di sudut jalan, tempat favoritnya dulu dan tempat kenangan itu masih tersimpan.
Di kafe itu, ternyata ada Arum sedang duduk sendirian, tenggelam dalam pikirannya sambil menyeruput secangkir teh hangat. Ia mengenakan sweater abu-abu dan syal rajut yang melilit lehernya, membuatnya terlihat hangat dan tenang. Arum tidak menyadari kehadiran Reza yang tengah berdiri di depan pintu, memandangi dirinya dengan tatapan yang sulit diartikan.
Bagi Reza, Arum tak banyak berubah. Wajah yang ia kenal sejak kecil itu tetap sama—terlihat manis, tulus, lembut, dengan tatapan mata yang selalu mampu menenangkannya. Saat Arum mengangkat pandangannya, kedua mata mereka bertemu. Keduanya terdiam, membiarkan momen itu berbicara.
"Reza?" Arum berbisik nyaris tak percaya. "Kamu... benar-benar kembali?"
Reza tersenyum kecil, mengangguk pelan. "Aku pulang, Arum."
Keduanya duduk berhadapan, mencoba mencairkan suasana yang terasa asing namun juga akrab. Arum, yang tak menyangka akan bertemu lagi dengan sahabat masa kecilnya ini, merasa canggung. Reza, di sisi lain, merasa nyaman dengan kehadiran Arum, meski ada jarak yang tak terkatakan di antara mereka.
Percakapan mereka mengalir, dan perlahan-lahan perasaan nyaman mulai kembali. Arum tertawa mendengar kisah-kisah Reza di kota besar, bagaimana ia jatuh bangun mengejar impiannya, sementara Reza mendengarkan cerita Arum yang kini bekerja sebagai penulis lepas dan mengelola toko buku kecil di kota itu. Keduanya larut dalam obrolan tentang masa lalu—tentang pohon tua di taman yang dulu sering mereka naiki, tentang permainan petak umpet di lapangan, dan berbicara banyak hal tentang impian-impian yang dulu mereka miliki.
Di tengah obrolan, Arum menatap Reza. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan, sebuah perasaan yang ia simpan bertahun-tahun. Namun, Arum ragu, karena takut kenangan indah ini justru berubah jadi luka baru.
"Kenapa kamu kembali, Za?" Arum akhirnya bertanya dengan suara pelan, hampir berbisik.
Reza terdiam, menghela napas panjang. Ia tahu Arum selalu bisa membaca hatinya, meski ia tak ingin mengungkapkan semuanya. "Aku... hanya butuh tempat untuk pulih," jawab Reza, berusaha tersenyum. "Dan kota ini selalu terasa rumah bagiku. Aku merasa nyaman disini, Arum."
Dalam hati Arum, ia merasa ada sesuatu yang masih tersembunyi di balik jawaban Reza. Tetapi ia memilih diam. Ada ketakutan dalam dirinya untuk berharap lebih, untuk kembali terikat pada seseorang yang mungkin akan pergi lagi.
Hari-hari berlalu, dan pertemuan mereka pun menjadi lebih sering. Arum dan Reza mulai kembali menikmati kebersamaan yang pernah mereka rasakan dulu. Mereka berjalan di taman, menyusuri jalanan kota kecil yang sudah berubah namun tetap terasa sama. Setiap obrolan kecil, setiap tawa, setiap senyum yang mereka bagikan perlahan membawa mereka pada perasaan yang pernah terkubur—perasaan yang dulu tidak pernah mereka ungkapkan, perasaan yang selama ini mereka pendam karena khawatir akan merusak kenyamanan yang ada dan memberikan luka baru.
Di suatu senja, saat matahari mulai tenggelam dan langit berubah oranye, Reza menatap Arum dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ia tahu, ada sesuatu di dalam dirinya yang selalu tertinggal di kota kecil ini. Sesuatu yang bahkan bertahun-tahun ia coba hindari namun tak bisa ia hilangkan.
"Arum," ucap Reza sambil menatap lurus ke arah mata Arum. "Aku selalu memikirkannya selama ini, dan aku tak bisa menahannya lagi. Aku benar-benar ingin tahu... apa kamu pernah memikirkan tentang kita?"
Arum terkejut mendengar pertanyaan itu, namun ia berusaha menenangkan diri. "Maksudmu?"
"Ya, tentang kita. Tentang kemungkinan kita mungkin... bisa bersama."
Pertanyaan itu menggantung di udara, membuat jantung Arum berdebar lebih cepat. Ia tidak pernah berpikir bahwa Reza akan membicarakan ini. Selama ini, ia selalu menganggap bahwa mereka hanyalah sahabat yang tak akan pernah lebih dari itu. Namun, perlahan ia mulai menyadarinya bahwa semua yang ia rasakan mengenai Reza lebih dari sekedar sahabat.
Di tengah kebersamaan yang mulai terasa lebih dari sekadar teman, tiba-tiba Reza mendapat tawaran dari perusahaan besar di ibu kota. Tawaran itu datang dari seorang teman lamanya yang ingin mengajak Reza untuk kembali dan memulai bisnis baru bersama. Bagi Reza, ini adalah kesempatan emas untuk bangkit dari kegagalan yang pernah ia alami. Namun, di sisi lain, ia tahu bahwa ini berarti meninggalkan Arum dan segala kenangan yang perlahan mulai menjadi kenyataan.
Arum pun harus menghadapi ketakutannya. Ia tahu bahwa dirinya sudah benar-benar jatuh cinta lagi pada Reza, tetapi ia tidak ingin menahan Reza dari mimpinya hanya demi perasaannya. Arum menyadari bahwa cinta bukan berarti memiliki, tetapi membiarkan orang yang dicintainya untuk terbang setinggi mungkin. Namun, dalam hatinya, ada rasa perih yang perlahan mulai terasa saat ia membayangkan harus kembali menjalani hidup tanpa Reza. Bagi Arum, tak kan terasa mudah untuk membiasakan diri tanpa Reza.
Dalam keputusasaan dan kebingungan, Reza menyadari bahwa kebahagiaan sejatinya bukan pada pencapaian besar di kota, melainkan pada cinta dan ketulusan yang selama ini telah ia abaikan. Ia kembali ke kafe kecil tempat pertama kali ia bertemu dengan Arum setelah bertahun-tahun, berharap Arum akan datang.
Saat Arum tiba, Reza mengutarakan perasaannya dengan tulus. "Arum, dengarkan aku. Jujur aku sudah lelah mengejar mimpi yang tak pasti. Aku merasa bahwa ibu kota mungkin tak cocok denganku dan aku merasa lebih nyaman berada disini, lebih tepatnya berada disisimu. Aku akan berhenti mengejar mimpi yang tak pasti itu dan berfokus mengejar mimpi sejatiku. Mungkin mimpi sejati itu adalah bersamamu."
Arum menangis, bukan karena sedih, tetapi karena bahagia akhirnya bisa memiliki Reza tanpa perlu takut kehilangan. Mereka saling menggenggam tangan, berjanji untuk bersama dan menjalani hidup yang sederhana namun penuh cinta dan makna.