Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
MENUJU JALAN SETAPAK
2
Suka
36
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Dari barat Bima, di antara nyiur yang melambai dan kabut pagi yang lembut membalut lembah, terhampar sebuah desa kecil yang seolah berdetak serentak dengan nadi bumi. Desa itu sunyi, tetapi tak pernah sepi dari harapan. Di setiap sudutnya, ada ketabahan yang tak terucapkan, dan di setiap embusan angin, terselip bisik nama Indonesia yang abadi.

Di sinilah kisah Sem bermula seorang anak muda yang lahir dari rahim tanah perjuangan, dibesarkan dalam pelukan kasih sayang dan doa tanpa jeda. Ia adalah sulur yang tumbuh di antara bebatuan keras, bunga yang mekar dalam dingin tanpa pelita. Desa itu, yang terletak di puncak perbukitan, begitu dingin hingga tulang pun serasa retak oleh gigilnya. Ketika malam tiba dan angin menggila dari lereng, tubuh bukan lagi milik sendiri, tapi milik alam yang sedang menguji. Dan di ujian itulah Sem dibentuk.

Oktober 2001, menjelang subuh, saat ayam kampung berkokok saling sahut, di sebuah rumah panggung yang bertiang sembilan, dikelilingi pohon nangka yang rimbun dan harum, lahirlah Sem. Waktu berjalan, dan kini ia telah beranjak dewasa. Ia adalah mahasiswa Universitas Mataram kampus impian dari ribuan anak muda yang menggantungkan harapan pada pendidikan. Ia mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, menulis tak hanya dengan tinta, tetapi dengan luka dan doa.

Namun tidak semua ditakdirkan dengan mudah. Dua tahun lamanya ia menganggur, bertanya-tanya dalam diam, apakah dunia akan membuka pintu atau menguncinya rapat. Tapi doa ibunya adalah kunci yang tak pernah berkarat. Ia terngiang kata-kata sang ibu: "Yang diniatkan dengan tulus, akan Allah mudahkan, Nak. Jangan gentar walau gelombang menggulung. Belajarlah terus, meski harus merangkak di tanah berkerikil."

Baginya, berjuang sambil terseok adalah kehormatan. Ia tahu, cahaya di ujung terowongan bukan mitos, tapi hadiah bagi mereka yang bertahan. Dulu, sebelum dunia akademik memeluknya, Sem hanyalah remaja bingung di persimpangan hidup. Ia dan teman-temannya sering nongkrong di gubuk tua yang nyaris roboh, di sanalah suara tawa dan resah berpadu, menyatu dalam mimpi-mimpi kecil yang tak berani tumbuh. Mereka berbicara tentang masa depan seolah-olah hidup adalah lelucon yang bisa diputar ulang, padahal sesungguhnya, waktu tak pernah mau menoleh ke belakang.

"Apa cita-cita kalian?" tanya Tangker, sambil menyulut kretek dari bungkus kuning yang lusuh.

Tawa mendadak lenyap. Sunyi menjalar. Sem menunduk sejenak, lalu menjawab lirih, "Aku tak tahu."

"TNI? Polisi?" sambung Tangker, masih dengan nada menggoda, namun di matanya ada sinar ingin tahu yang tulus.

Sem bungkam. Dalam dadanya, gemuruh kebingungan tak kunjung reda. Setiap hari, pikirannya berkelindan dalam awan kelabu. Keluarganya pun bertanya hal serupa. Harapan orang-orang seperti tali yang melilit, menuntutnya untuk segera memilih arah. Namun arah itu kabur, seperti jalan yang ditutup kabut di pagi buta. Ia sering merasa seperti daun kering yang terombang-ambing di sungai kehidupan, hanyut tapi tak pernah tahu ke mana akan bermuara.

Hingga suatu sore, di dapur beraroma tumisan bawang dan kayu bakar yang masih menyala redup, ia berbicara kepada ibunya:

"Mah... aku bingung. Antara kuliah atau ikut TNI."

Sang ibu tersenyum, selembut mentari pagi yang menembus celah jendela. "Nak, pilihlah dengan hatimu. Mama tak ingin kamu hidup dari suara orang lain. Tapi kalau boleh menyarankan, cobalah ikut tes TNI dengan kembaranmu. Siapa tahu kalian sukses lewat jalur sana."

Sem tak membantah. Tahun itu, ia tetap tinggal di kampung, membantu memanen jagung dan padi, mencumbui tanah seperti leluhur mereka, menyatu dengan aroma lumpur sawah dan bisikan angin ladang. Pagi-paginya diisi dengan embun dan tanah basah, sorenya dengan nyanyian burung yang mengendap pulang. Baru pada Agustus 2021, ia berangkat ke Balikpapan bersama kembarannya, Detelet. Mereka menumpang di asrama sepupu yang seorang prajurit. Dua bulan lamanya mereka menanti waktu, menyiapkan fisik, membungkam ragu, memeluk harapan. Hari-hari mereka penuh dengan peluh dan semangat, tetapi di balik itu terselip keraguan yang tak mampu mereka hapus sepenuhnya.

Senja itu, saat matahari sekarat di ufuk timur dan langit melukiskan warna jingga keemasan di cakrawala, Detelet masuk kamar:

"Sem, kamu masih yakin ikut tes minggu depan?"

Sem menoleh. "Kenapa nanya begitu?"              

"Kesehatanku nggak mendukung. Aku... nggak bisa lanjut."

Sem terdiam. Matanya menatap lemari tua yang kayunya mulai merekah dimakan usia. Perasaannya mengambang, seperti kapal tanpa jangkar. Apa kata dunia jika mereka pulang tanpa membawa hasil? Apa kata kampung? Apa kata harapan yang digantungkan di pundaknya?

Keesokan harinya, suara tangisan ibunya terdengar dari seberang telepon. Detelet menyampaikan keputusan mereka, dan sang ibu hanya berkata, "Tak apa, Nak. Kami tetap bangga."

Air mata menggenang di pelupuk Sem. Seminggu kemudian, mereka pulang. Kampung menyambut mereka dengan pelukan diam, dengan angin yang berembus pelan, seolah memahami getir yang mereka bawa pulang. Mereka menganggur satu tahun lagi. Tapi kali ini, mereka kembali dengan kesadaran baru: jalan hidup bukan garis lurus, melainkan labirin yang mesti ditempuh dengan hati teguh dan langkah yang penuh keberanian.

Juli 2022, mereka mendaftar kuliah. Takdir pun berkata lain. Sem lulus di Universitas Mataram, sementara Detelet diterima di Universitas Muhammadiyah Mataram. Mereka tak lagi berjalan berdampingan, tapi tetap seirama dalam semangat. Dua tubuh yang tumbuh bersama kini menempuh jalan berbeda, namun hatinya tetap berpaut pada satu tujuan: menjadi anak desa yang berguna.

Karena pada akhirnya, hidup adalah perjalanan menuju cahaya yang hanya tampak oleh mereka yang bersedia menempuh gelap. Dan Sem, sang anak kampung yang pernah bimbang di simpang jalan, kini tengah meniti jalan setapaknya sendiri sebuah lorong sunyi yang tidak selalu lurus, tapi penuh warna.

Ia melangkah tak lagi sekadar untuk dirinya, tetapi untuk cinta yang membesarkannya, untuk doa yang diam-diam melilit langkahnya, dan untuk janji-janji kecil yang pernah ia bisikkan di malam penuh bintang. Jalan setapak itu mungkin tak ramai, mungkin berliku dan penuh duri. Namun di sanalah hidup menemukan maknanya: dalam kesunyian, dalam keraguan, dan dalam keberanian seorang anak desa yang tak pernah berhenti berjalan.

Karena sejatinya, bukan tujuan yang memuliakan langkah manusia, melainkan keberanian untuk terus melangkah, bahkan ketika cahaya belum tampak sama sekali. Hidup, bagi Sem, bukanlah perlombaan, tapi sebuah perjalanan panjang dengan peluh dan air mata sebagai bahan bakar, dan harapan sebagai kompas yang tak pernah goyah.

Kini, ia berjalan dengan lebih tenang, meski dunia belum sepenuhnya memeluknya. Ia tahu, selama ia tetap berjalan, langit akan memberinya jalan. Dan di ujung jalan setapak itu, entah kapan dan di mana, ia akan berdiri tegak, menatap kembali perjalanan panjangnya, lalu berkata dalam hati:

“Aku tidak pernah benar-benar sendirian. Karena setiap langkahku telah ditemani oleh restu, cinta, dan kepercayaan.”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
MENUJU JALAN SETAPAK
Septia Arya Nugraha
Cerpen
Anak Asrama Gokil
Sky Melankolia
Cerpen
Bronze
Tukang Tipu
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Bronze
Waktu
precious
Cerpen
Bronze
Sebuah Pilihan untuk Dikenang
I Putu Agus Yoga Permana
Cerpen
Bronze
Kognisi
Arba Sono
Cerpen
Bronze
Senyummu Membuat Ku Bahagia
Liza Pratama
Cerpen
1/2 Nakal & 1/2 Polos (Tetangga Ku)
muhamad fahmi fadillah
Cerpen
Rangkaian Persahabatan
Lavanya Anasera
Cerpen
Kompas
Hai Ra
Cerpen
Guru Honorer Gaji 300k Menghadapi Hidup
Yovinus
Cerpen
Catatan Harian Pak Treng
Rafael Yanuar
Cerpen
Bronze
Transkrip
Muram Batu
Cerpen
Jangan Mati Dulu, Dong, Bruh
Ryan Esa
Cerpen
Menyatukan Dua Keluarga
Yovinus
Rekomendasi
Cerpen
MENUJU JALAN SETAPAK
Septia Arya Nugraha