Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
MENTARI GADIS DESA
*
*
*
Di sebuah pedesaan terdapat seorang gadis cantik jelita bernama mentari. Mentari memiliki wajah dan badan yang sangat proposional untuk usia nya yang menginjak 17tahun .
Sejak kecil diasuh oleh sang nenek hingga saat ini. Ia tinggal di sebuah rumah yang sudah sangat tidak pantas di huni manusia.
Nenek mentari mengalami kecekaan saat sedang berjualan di pinggir jalan raya, ia dinyatakan kakinya lumpuh permanen karena terkena benturan keras dari mobil yang menabraknya. Saat itu, mentari berusia 15tahun . Namun ia harus bersekolah, menjaga neneknya yang sakit, serta melanjutkan jualan sang nenek.
***
POV MENTARI
Hidupku mungkin tidak seindah gadis lain seusia ku, tapi aku percaya, mentari selalu bersinar, bahkan di balik awan yang paling gelap sekalipun.
Pagi itu, aku duduk di samping nenekku yang sedang terbaring di dipan kayu tua. Matanya menyiratkan kelelahan, namun senyum yang selalu ia ukir memberiku kekuatan. Setiap hari aku merawatnya, memastikan ia makan cukup, meminum obat, dan mendengarkan ceritanya tentang masa mudanya. Tapi, di balik semua itu, ada beban berat yang selalu menggantung di pikiranku.
Rumah kami sudah reyot. Atap bocor, dinding kayu yang sudah keropos, dan lantai tanah yang selalu basah jika hujan datang. Namun, aku tetap bersyukur. Aku memiliki nenekku. Ia adalah satu-satunya keluarga yang aku miliki.
Setelah memastikan nenek baik-baik saja, aku bersiap-siap pergi ke sekolah. Tapi, sebelum itu, aku harus menata dagangan di keranjang kecil yang biasa nenek pakai dulu. Aku meneruskan usahanya, berjualan kue di pinggir jalan sebelum masuk sekolah. Setiap kali aku berjalan melewati rumah-rumah megah di desa, aku bertanya-tanya, seperti apa rasanya tinggal di tempat seperti itu? Namun, segera aku menepis pikiran itu. Hidupku mungkin sederhana, tapi aku masih punya mimpi.
Aku bermimpi menjadi seorang guru. Aku ingin menginspirasi anak-anak di desa ini, seperti guru-guru yang pernah menginspirasiku. Tapi untuk saat ini, aku tahu prioritas utamaku adalah nenekku.
Hari itu terasa panjang. Sekolah selesai, aku kembali ke rumah dengan lelah, namun hatiku hangat saat melihat nenek tersenyum menyambutku.
“Apa hari ini banyak yang beli, Mentari?” tanyanya dengan suara lembut.
Aku mengangguk dan menunjukkan uang hasil jualan. Ia menggenggam tanganku dan berkata, “Kamu adalah sinar terangku, nak. Jangan pernah menyerah.”
Kata-katanya adalah pengingat bahwa aku harus tetap kuat. Hidup memang penuh tantangan, tapi aku percaya, seperti namaku, aku harus terus bersinar.
Malam itu, setelah makan malam sederhana bersama nenek, aku duduk di sampingnya sambil memijat kakinya yang kini lumpuh. Kadang, saat aku sendiri, aku menangis memikirkan betapa berat hidup kami. Tapi di hadapan nenek, aku berusaha kuat. Aku tak ingin ia merasa bersalah atas keadaannya.
“Nek, kalau Mentari bisa jadi guru suatu hari nanti, Nenek mau tinggal di rumah besar yang nyaman ya,” ucapku sambil tersenyum.
Nenek hanya tertawa kecil. “Cita-citamu itu indah sekali, nak. Tapi jangan terlalu memaksakan diri. Jangan lupa, kesehatanmu juga penting.”
Aku hanya mengangguk. Dalam hatiku, aku berjanji akan mewujudkan mimpi itu, tidak peduli seberapa sulit jalannya.
Keesokan harinya, aku bangun lebih awal. Hujan deras mengguyur desa sepanjang malam, dan aku khawatir daganganku tidak laku karena cuaca. Namun, aku tidak punya pilihan. Setelah memastikan nenek aman, aku mengambil payung tua dan membawa keranjang berisi kue-kue ke pasar.
Di jalan, aku bertemu dengan Pak Ramli, seorang pria paruh baya yang sering membeli kueku.
“Mentari, kamu ini luar biasa. Pagi-pagi sudah jualan. Tidak capek?” tanyanya ramah.
Aku tersenyum kecil. “Sudah biasa, Pak. Kalau tidak begini, siapa lagi yang akan menjaga nenek dan membiayai sekolah?”
Pak Ramli mengangguk, terlihat kagum. “Kamu anak yang hebat. Kalau butuh bantuan, jangan ragu bilang ke saya, ya.”
Ucapan itu menghangatkan hatiku. Kadang, kebaikan kecil dari orang lain adalah pengingat bahwa aku tidak sendirian.
Hari itu, daganganku tidak terlalu laku karena hujan terus turun. Namun, aku tetap pergi ke sekolah dengan semangat. Di kelas, aku selalu berusaha menjadi yang terbaik. Aku tahu, pendidikan adalah satu-satunya jalan keluar dari kemiskinan.
Ketika pulang, aku menemukan nenek sedang berbicara dengan seorang wanita muda yang berpakaian rapi. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Bu Ayu, seorang pekerja sosial yang datang ke desa untuk membantu keluarga kurang mampu.
“Mentari, nenekmu menceritakan semuanya. Kami ingin membantu. Mungkin tidak banyak, tapi setidaknya rumah ini bisa direnovasi agar lebih layak huni,” katanya dengan senyum lembut.
Aku terkejut, mataku berkaca-kaca. Bantuan itu adalah harapan baru bagi kami.
Namun, aku tahu, perjuanganku belum selesai. Aku masih harus menjaga nenek, menyelesaikan sekolah, dan mengejar mimpiku. Tapi setidaknya, malam itu aku tidur dengan hati yang lebih ringan, percaya bahwa kehidupan bisa berubah, asalkan kita tidak pernah berhenti berusaha.
Malam itu, setelah Bu Ayu pergi, aku memandangi langit yang cerah dari celah-celah atap rumah kami. Aku merasa beban yang selama ini menghimpit perlahan mulai terangkat. Mungkin Tuhan sedang menunjukkan jalan bagi kami.
Hari-hari berikutnya terasa berbeda. Tim dari organisasi Bu Ayu datang untuk memulai renovasi rumah kami. Meski sederhana, dinding yang kokoh dan atap yang tak lagi bocor sudah lebih dari cukup bagi kami. Melihat nenek tersenyum bahagia saat memandang rumah baru kami membuat semua perjuanganku terasa berarti.
Di tengah itu semua, aku tetap berjualan dan bersekolah. Aku semakin rajin belajar, karena aku tahu pendidikan adalah kunci. Guru-guruku di sekolah mulai menyadari potensiku, terutama Bu Rina, guru matematika yang sering memujiku.
“Mentari, kamu punya bakat besar. Pernah terpikir untuk ikut beasiswa?” tanyanya suatu hari.
Aku terdiam sejenak. Beasiswa? Itu terdengar seperti mimpi yang jauh. Tapi aku ingin mencoba. Dengan bantuan Bu Rina, aku mulai mempersiapkan diri.
Setelah berbulan-bulan belajar keras, hari pengumuman beasiswa pun tiba. Aku duduk di ruang tamu kecil kami, menggenggam tangan nenek erat-erat. Jantungku berdegup kencang saat Bu Rina menelepon.
“Mentari, selamat! Kamu diterima di program beasiswa sekolah unggulan di kota!”
Aku tak mampu menahan air mata. Aku memeluk nenek, yang juga terharu. Namun, kebahagiaan itu bercampur dengan rasa takut. Bagaimana aku bisa meninggalkan nenek di desa?
“Nek, Mentari nggak mau pergi kalau nenek sendirian,” ucapku dengan suara bergetar.
Nenek tersenyum dan mengelus kepalaku. “Nak, ini adalah kesempatanmu. Jangan khawatirkan nenek. Nenek akan baik-baik saja di sini. Pergilah, raih mimpimu.”
Meski berat, aku akhirnya memutuskan untuk menerima beasiswa itu. Sebelum berangkat, aku memastikan nenek akan dirawat oleh tetangga kami yang baik hati, Bu Siti. Aku berjanji akan sering pulang untuk menjenguknya.
Di kota, hidup tidak mudah. Aku harus beradaptasi dengan lingkungan baru, bersaing dengan teman-teman yang jauh lebih beruntung dariku. Namun, setiap kali aku merasa lelah atau ingin menyerah, aku selalu ingat wajah nenek dan perjuangan kami di desa. Itu menjadi sumber kekuatanku.
Dua tahun berlalu, aku berhasil menyelesaikan sekolah dengan nilai terbaik. Tak lama kemudian, aku diterima di universitas untuk jurusan pendidikan, berkat beasiswa penuh. Hari kelulusan itu, aku kembali ke desa, membawa kabar baik untuk nenek.
“Nek, Mentari sekarang sudah resmi jadi mahasiswa. Satu langkah lagi menuju mimpi jadi guru,” kataku dengan senyum lebar.
Nenek memelukku erat. “Mentari, kamu adalah kebanggaan nenek. Jangan pernah berhenti bersinar.”
Bertahun-tahun kemudian, mimpiku akhirnya terwujud. Aku menjadi seorang guru di desa kami, membawa ilmu dan harapan untuk anak-anak di sana. Rumah nenek kini bukan hanya tempat tinggal kami, tetapi juga pusat belajar bagi anak-anak yang kurang mampu.
Hidup memang penuh rintangan, tapi aku belajar bahwa dengan tekad, cinta, serta doa, tidak ada mimpi yang terlalu tinggi untuk digapai.
---