Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Menjemput Jiwa
3
Suka
6,910
Dibaca

Nauli menggeser gerbang rumahnya. Ia bertemu pembantu rumah tangganya, Kak Santi yang sedang menyiram bunga.

“Kok sudah pulang, Li?” tanya Kak Santi.

“Ada rapat guru. Jadi kita disuruh pulang.”

Nauli membuka sepatu sebelum masuk ke rumah. Dengan kaos kaki yang masih terpasang, langkah kaki gadis yang masih berusia 16 tahun itu menjadi selembut langkah kucing. Nauli setengah berlari menuju kamarnya di lantai dua.

Mata Nauli membulat ketika menyadari ada orang lain di kamarnya. “Sedang apa?” tanya gadis berambut panjang itu.

Nauli tidak sabar menunggu sosok yang masuk ke kamarnya dengan cara diam-diam itu menoleh. Nauli mendatanginya lebih dekat. Ia terperangah melihat buku yang ada di tangan tamu tidak diundang tersebut. Itu buku hariannya!

Kulit Nauli diterpa rasa panas yang menjalar sampai ke seluruh tubuh. Wajahnya memerah. “Kau nggak berhak.”

“Maaf, Nauli. Tapi, sebagai ibumu, Ibu boleh saja….”

“Kau bukan ibuku.”

Nauli berusaha meredakan kemarahannya. Seperti yang pernah diajarkan oleh guru olahraganya, ia mengambil napas dari hidung dan membuangnya lewat mulut. Hatinya meradang luar biasa. Nauli menjauh dari kamar tidurnya.

“Nauli!” Wanita yang menyebut diri sebagai ibunya memanggil.

Nauli mengabaikannya. Tapi, tidak lama. Kira-kira lima menit kemudian, Nauli sudah berada di depan pintu kamarnya lagi.

Setitik cahaya memantul dari sebilah pisau yang dipegang Nauli. Ia mengangkat tangan kanannya. “Mati kau!”

***

Kejadian seminggu lalu itu menyebabkan Nauli harus menjalani sesi terapi bersama psikolog. Padahal, menurut Nauli, tidak ada yang harus diributkan dan diperpanjang dari peristiwa itu.

Nauli marah luar biasa karena buku hariannya dibaca tanpa izin. Bagaimana tidak? Di buku hariannya itulah ia menulis semua perasaan terdalamnya dan kegelisahan hatinya terhadap semua hal. Tidak boleh ada seorang pun yang mengetahuinya. Apabila ada yang mengintip isi diari itu, orang tersebut harus mati.

Nauli tersenyum mengingat peristiwa tersebut. Ia tidak benar-benar berniat membunuh wanita itu. Ia hanya menakut-nakutinya agar lain kali peraturannya tidak dilanggar. Nauli memang mengambil pisau dari dapur. Ia juga mengangkatnya. Tapi, ia berhenti. Ia tidak menurunkan posisi pisau sedikit pun. Itu karena ia membatalkan niat untuk menghunjamkan pisau ke badan wanita itu.

“Kau rindu dengan ibumu, Nauli?”

Mendengar pertanyaan psikolog itu, pikiran Nauli tersentak ke masa kini. Ia berhenti memainkan stress ball dan meletakkannya di ata meja. Untuk menjawab pertanyaan psikolog, Nauli harus memundurkan ingatannya jauh ke belakang.

Pada saat ia berusia 11 tahun, Mama dan Bapak pergi ke rumah Ompung di Bakara. Nauli tidak diajak walaupun ia sudah menangis meminta ikut pergi ke sana. Dari Medan, kedua orangtuanya berangkat pagi-pagi sekali. Perjalanan yang menempuh jarak sekitar 300 kilometer itu diperkirakan berlangsung selama tujuh jam dengan mengendarai mobil. Tapi, tidak sampai lima jam kemudian, datang kabar yang menyatakan Mama dan Bapak mengalami kecelakaan di Parapat. Bapak selamat sedangkan Mama meninggal dunia setelah koma selama 12 jam.

Nauli mengangguk.

“Kalau begitu, kau bisa meminta Bapak mengantar ke makam ibumu.”

Nauli menjawab pertanyaan psikolog, “Mama nggak ada di situ.”

***

Nauli menempelkan telinganya di lubang kunci. Ia berusaha mencuri dengar pembicaraan yang terjadi di ruang kerja Bapak. Untungnya, Nauli tidak memerlukan pendengaran supersonik karena volume suara khas orang Batak yang kencang mampu menembus pintu. Ia tahu Bapak, wanita itu, dan tantenya yang ia panggil dengan sebutan Inangtua ada di sana.

“Bawalah dia ke Bakara, Saut!” Dari nada suaranya, Nauli hapal bahwa ini Inangtuanya yang sedang berbicara kepada Bapak.

“Nggak perlulah, Kak. Kita sudah carikan psikolog untuk dia.”

“Mau kali kalian dibohongi psikolog. Sudah berapa bulan dia ke sana, nggak sembuh-sembuh juga, kan?”

“Memang perlu proses, Kak. Nggak bisa instan.”

“Aku sudah tanya ke Datu di sana. Katanya, kita harus mengadakan upacara Mangalap Tondi.”

“Ah, Kakak ini. Masih saja percaya mitos seperti itu.”

“Benar yang aku bilang, Ut. Si Nauli itu berubah karena sudah tak ada tondi di badannya. Makanya perlu dijemput, ditarik kembali.”

“Kenapa harus ke Bakara, Kak? Memangnya nggak bisa di sini saja?”

“Menurut Datu, tondinya ada di Bakara. Jadi, perlulah kalian ke sana.”

“Nggak perlu orang pintar buat melihat Nauli itu cuma cari perhatian, Kak. Biasa, dia masih remaja.”

“Ah, kau ini tak pernah menuruti kata-kata orang tua. Waktu menikah lagi pun, tak ada pun tutur katamu kepada keluarga kami.”

Dari balik pintu, Nauli tidak mendengar suara apa-apa lagi. Kalimat dari Inangtuanya itu mampu mendiamkan Bapak.

Kira-kira lima menit kemudian, telinga Nauli menangkap rentetan kata dari dalam. Ia semakin merapatkan telinganya di lubang kunci. “Nggak ada salahnya kita coba!” adalah kalimat terakhir yang ia dengar dari ruangan itu.

***

Nauli memasukkan tas yang berisi pakaiannya ke bagasi mobil. Rencananya, setelah sarapan ia akan pergi dengan ayahnya. Tujuan mereka adalah Bakara, desa kelahiran ibunya.

Nauli sudah naik ke kursi penumpang depan ketika Wanita Itu memberikan satu botol termos ke ayahnya yang duduk di tempat duduk pengemudi.

“Ini kopinya, Pak.”

“Buatku mana?” tanya Nauli.

“Bukannya kamu tidak suka kopi, Uli?”

“Aku juga mau kopi,” kata Nauli menjawab pertanyaan ibu tirinya.

“Sebentar ya, Uli.”

Nauli melihat ibu tirinya tersenyum. Ia ikut menyunggingkan senyum tipis. Ia tahu pasti kalau wanita itu senang luar biasa karena merasa dibutuhkan oleh Nauli. Untuk sementara, biarlah Nauli beramah-tamah dengannya. Nanti ketika ibu tirinya itu merasa di atas angin, Nauli akan membalasnya dengan serangan baru.

“Sudahlah. Nanti Bapak bagi kopinya. Kita sudah kesiangan.”

Nauli melirik Bapaknya marah. Tapi, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Bapak adalah laki-laki paling kuat yang pernah ia tahu. Ayah bisa mengatasi serangannya dengan gampang. Nauli tidak mau menghabiskan energinya secara sia-sia.

Nauli menyalakan radio dan mengatur pengeras suara sekencang yang ia mau.

“Kecilkan suaranya, Nauli!” perintah Bapak.

Nauli cemberut. Tapi, tetap mematuhi permintaan Bapak.

Sebelum ibunya meninggal, hubungan Nauli dan ayahnya sangat dekat. Sepulang sekolah, ia sering mengunjungi Bapak di kantor. Ia selalu mengerjakan PR di ruang kerja Bapak. Mereka berdua akan pulang ke rumah bersama-sama. Di rumah, Mama sudah menyiapkan makan malam enak, yaitu ikan bakar dan sayur daun singkong santan. Khusus untuk Bapak, Mama tidak lupa meletakkan sambal mentah yang diulek sendiri. Mama juga memanjakan Nauli dengan memberikan dua potong semangka kesukaannya. Terakhir, Mama menyeduh kopi bercampur susu untuk dirinya sendiri.

Setelah Mama meninggal, Bapak tidak lagi menjadi sosok orangtua yang dibanggakan Nauli. Ia tahu kalau ayahnya itu pasti merasakan kesedihan yang luar biasa. Tapi, Bapak tidak boleh terus-terusan bersikap seperti itu. Masih ada Nauli yang memerlukan perawatan dan kasih sayang dari orangtua.

Sayang sekali, kewajiban mengurus anak diterjemahkan Bapak sebagai kebutuhan untuk menikah lagi. Padahal, tidak seperti pendapat ayahnya, Nauli yakin mereka tidak memerlukan pengganti Mama. Nauli sudah cukup umur untuk mengurus dirinya sendiri. Nauli sering mendengar alasan Bapak mencari sosok ibu baru adalah demi dirinya. Tapi, Nauli yakin alasan sebenarnya adalah demi Bapak sendiri yang tidak sanggup hidup tanpa ditemani oleh wanita.

Dari berbagai kandidat yang disodorkan para saudara, Bapak memilih wanita itu menjadi ibu tirinya. Nama wanita itu Elisa. Nauli pernah mendengar bahwa Elisa adalah sahabat Mama saat kuliah di Institut Teknologi Bandung dulu. Nauli percaya Mama pasti tidak pernah menyangka nasib membawa sahabatnya sendiri menjadi pengganti dirinya. Bapak dan Elisa menikah setelah setahun Mama meninggal karena kecelakaan lalu lintas.

Kasihan Mama, pikir Nauli dalam hati. Nauli harus membela kehormatan ibu kandungnya. Oleh sebab itu, ia tidak mau memberikan hati kepada wanita yang dinikahi ayahnya itu. Nauli harus membuat ibu tirinya tidak betah di rumah mereka sehingga keluarga mereka bisa utuh lagi.

Tidak terasa sudah hampir lima jam Nauli berkendara bersama ayahnya. Bapak membuka sedikit jendela mobilnya. Udara dingin Parapat langsung menyelimuti mereka.

Dari mobil yang melaju di jalan raya, Nauli bisa melihat Danau Toba. Danau ini tercipta akibat letusan gunung supervolcano yang terjadi puluhan ribu tahun yang lalu. Danau ini disebut-sebut sebagai danau terbesar di Indonesia dengan panjang 100 kilometer dan lebar 30 kilometer.

Nauli membayangkan Mama duduk di jok belakang mobil dan bercerita tentang tempat ibunya dibesarkan ini.

Tiba-tiba, Nauli melihat sosok seperti ibunya di pinggir jalan. “Mama!”

Ia mengucek matanya tidak percaya. Benar itu ibunya. Wanita yang ia lihat memakai kebaya berwarna ungu favorit sang ibu dengan rambut yang disanggul sederhana. Wanita itu tersenyum dan melambaikan tangannya.

“Stop mobilnya, Pak. Itu Mama!”

“Nauli, jangan mengarang cerita!”

“Benar. Itu Mama!”

Nauli mencoba meraih setir mobil. Ia tidak berhasil karena Bapak sigap menepis tangan Nauli. Tapi, di luar dugaan Nauli, Bapak menghentikan mobil di depan sebuah warung makan di pinggir jalan di Parapat.

“Kenapa selalu menyusahkan Bapak, Nauli?”

Nauli tidak tahu kalimat apa yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu.

“Kenapa kamu selalu berbohong?”

Kalau yang ini, Nauli bisa menjawabnya. “Aku nggak bohong, Pak.”

“Tadi kau mengaku melihat Mama. Sudah jelas itu bohong.”

“Aku memang melihat Mama.”

Nauli menundukkan kepala tidak berani berpandangan mata dengan ayahnya.

“Demi Tuhan, Mama sudah meninggal.”

“Tapi, tadi itu memang Mama.”

Nauli memberanikan diri mengangkat dagunya. Ia melirik wajah Bapak. Mata Bapak memerah. Mukanya berminyak. Dahinya berkerut. Bapak memijit kepalanya.

Pelayan datang menanyakan pesanan mereka.

“Boleh tolong Mi Goreng kalau ada,” kata Bapak.

“Aku juga mau,” Nauli mengikuti ayahnya.

“Kalau minumnya, dua kopi. Satu yang hitam pekat. Satu lagi yang banyak susu dan krimnya.”

“Kopinya untuk siapa, Pak?” tanya Nauli.

“Untukmu. Tadi, kan, sebelum kita berangkat, kamu minta dibuatkan kopi.”

“Aku nggak suka kopi.”

Nauli membalas pandangan Bapak yang menatapnya aneh.

“Bapak kan tahu aku nggak minum kopi karena bikin aku sakit perut.”

Nauli diam saja ketika Bapak membatalkan pesanan mereka. Bapak menarik tangan Nauli dan membimbingnya masuk kembali ke mobil. Pergelangan Nauli sampai sakit karena pegangan Bapak yang begitu kencang.

Nauli duduk di jok depan kiri mobil. Ia sedang memasang sabuk pengaman ketika mendengar Bapak berkata, “Sekarang cuma upacara itu satu-satunya harapanku.”

***

Tadi malam, ketika Nauli sampai di Bakara, Inangtua langsung menyambut Nauli dengan pelukan dan ciuman di pipi. Nauli menganggap ekspresi Inangtua berlebihan karena baru sebulan lalu mereka bertemu. Kedatangan Nauli dan Bapak ke Huta Bakara ini pun atas permohonan Inangtua ketika mengunjungi keluarga mereka di Medan. Nauli masih ingat dengan percakapan antara Bapak dan Inangtua yang ia curi dengar. Mangalap tondi. Sampai sekarang pun ia tidak tahu apa arti kata-kata itu.

“Ayo, habiskan sarapanmu, Nauli. Kita harus pergi.”

Nauli meminum air banyak-banyak agar makanan yang tersangkut di kerongkongannya bisa meluncur ke lambung dengan cepat. Ia menggandeng tangan dan menyandarkan kepalanya di bahu Inangtua.

Inangtua tersenyum. “Mama kau dulu pun sering begini, Nauli.”

Nauli diajak bertemu dengan Datu, seorang dukun yang diminta memimpin jalannya upacara. Ia dibawa ke Batu Siungkap-ungkapon. Tujuannya, meminta petunjuk atas masalah yang dihadapi oleh Nauli dan keluarganya. Di batu ini, Datu meletakkan sesajen.

“Ini Batu Pemberi Petunjuk, Nauli. Dulu, sebelum menanam padi, wajib diadakan upacara di sini. Kalau dari Batu Siungkap-ungkapon keluar semut merah, artinya sebagian tanah tidak akan menghasilkan panen berlimpah. Itu tandanya masyarakat harus menanam jenis palawija lain di beberapa bagian tanahnya. Kalau yang keluar semut dengan telur putih, hasil panen padi akan berlimpah. Sekarang, batu ini selalu dimanfaatkan untuk membaca doa-doa dan meminta keberuntungan. Datu perlu datang ke sini sebelum memulai upacara.”

Setelah urusan di Batu Siungkap-ungkapon selesai, Inangtua mengajak Nauli berkunjung ke makam ibunya. Mereka pergi berdua saja karena Datu kembali ke rumah untuk menyiapkan keperluan upacara Mangalap Tondi.

Mangalap Tondi itu apa, Inangtua?”

“Menjemput roh atau jiwa. Orang Batak percaya setiap manusia yang lahir ke dunia, selalu didampingi tondi. Kalau tondi meninggalkan tubuh, manusia yang ditinggal akan mengalami kemalangan. Makanya perlu dipanggil dan dikuatkan kembali.”

“Kok Bapak nggak pernah cerita?”

“Ah, Bapakmu itu Batak palsu. Dia sudah tak mau lagi percaya sama kata-kata leluhur. Apalagi sejak kawin lagi sama si Boru Jawa.”

“Terus, kita ke sini mau menjemput roh Mama?” tanya Nauli ketika melihat nama yang tertulis di batu nisan ibunya.

Nauli susah mendeskripsikan air muka Inangtua ketika mendengar pertanyaan Nauli. Sebagai jawaban, tantenya itu hanya memeluk bahunya erat-erat.

Pulang ke rumah yang ditempati keluarga ibunya, Nauli diminta mengganti pakaiannya dengan baju bermotif merah, hitam, dan putih. Ia juga disuruh duduk di tengah-tengah tamu. Nauli melihat Bapak ada di antara mereka.

Datu membuka upacara dengan doa-doa, terutama untuk memanggil roh. Nauli tidak mengerti sama sekali kalimat yang keluar dari mulut dukun tersebut. Tapi, semua penduduk kampung menyimak dengan sungguh-sungguh. Sesekali mereka berteriak penuh semangat dan mengomentari doa yang terdengar.

Gendang sudah dibunyikan. Taganing, yaitu seperangkat gendang berbentuk silinder dipukul dengan kayu. Pemain gordang memberikan variasi ritme lewat gendang besar. Alat musik sarune ditiup dalam waktu yang tepat. Gong berbagai ukuran yang disebut oloanihutanpanggora dan doal melengkapi keseluruhan irama. Hesek menyempurnakannya sehingga musik mampu membius pengunjung yang hadir.

Nauli melihat sosok yang ia kenal di antara peserta upacara. Ia menghampiri sosok itu.

“Mama?”

Sosok itu memang ibunya. Mama berkebaya ungu dipadu dengan bawahan kain merah lengkap dengan ulos berwarna senada. Mama tersenyum. Nauli ikut tersenyum. Mama memanggilnya. Nauli menghampiri. Mama meraih tangannya. Nauli menyentuh telapak tangan ibunya yang lembut.

Dengan bimbingan Mama, Nauli mengangkat tangannya perlahan-lahan. Kakinya ikut berjinjit-jinjit. Gerakan tangan dan kaki itu ia lakukan berulang-ulang. Berdua Mama, Nauli melakukan Tari Tor-tor.

Dari ekor matanya, Nauli menyaksikan wajah Inangtua yang pucat seputih kapas. Inangtua mengucapkan sesuatu kepada Datu. Nauli tidak mendengar dengan jelas kalimat yang disampaikan Inangtua. Tapi, itu bikin Nauli marah.

Gemuruh angin menyertai upacara. Pohon kelapa yang terletak di dekat lokasi upacara meliuk-liuk terbawa angin. Gerakan Tari Tor-tor yang dibawakan Nauli semakin liar. Sayup-sayup ia mendengar, “Mari ma ho, tondi ni si Nauli.” Kembalilah kau, tondinya si Nauli.

Nauli memberontak. Bila awalnya, tangan Nauli menari Tor-tor dengan penuh gemulai, sekarang gerakannya sudah tidak tentu arah dan tujuannya. Meja perjamuan yang berisi ayam merah dan ayam putih ia gebrak sampai berantakan. Beberapa peserta yang ikut dalam upacara itu mendekati dan memegangi Nauli agar ia tidak menyebabkan kekacauan.

Datu berdiri di depan Nauli.

Ia memandangi Datu. Bola mata Nauli terlihat semakin besar seolah-olah ingin keluar dari matanya. Datu tidak tampak takut dan semakin mengunci tatapan matanya kepada Nauli.

Beta hita muli, adong do ingananmu, adong do amangmu dohot inangmu paololoi ho. Panganonmu pea dong do.” Ayo kita pulang, adanya tempatmu, ada bapak dan ibumu yang menyayangimu. Makananmu pun selalu tersedia.

Perang tatapan mata membuat Nauli menunduk. Ia menggeleng. Ia berteriak-teriak. Terakhir, dengan sisa-sisa tenaganya, Nauli mencari-cari sosok ayahnya di antara para tamu.

“Bapak, tolong aku!” kata Nauli dengan suara merintih.

***

Ada bekas merah di pergelangan tangan Nauli. Tidak hanya itu. Di bagian lengan, ada memar yang berwarna hitam samar. Ia meraih pucuk kepalanya dan menemukan butir beras. Nauli tahu hari ini berlangsung Mangalap Tondi. Tapi, ia tidak ingat apa saja yang terjadi di upacara itu. Ia bangun dari tidurnya.

Tikar lebar sudah digelar di ruang keluarga. Berbagai menu makanan dihidangkan, mulai dari ayam, ikan, sampai kambing. Bahu Nauli bergidik melihat Datu yang duduk di tengah sedang memanjatkan doa dan berkah.

“Nauli, kau sudah merasa sehat?”

Nauli menjawab pertanyaan Inangtua dengan menganggukkan kepalanya.

Inangtua memeluknya. Satu piring penuh nasi, telur bulat, dan Ikan Mas Arsik diserahkan kepadanya. Satu gelas teh panas diletakkan di depannya.

“Aku mau kopi, boleh Inangtua?”

Inangtua mengangguk. “Boleh. Semoga kau tetap sehat, bahagia, dan bersemangat, ya, Nauli.”

“Terima kasih, Inangtua,” jawab Nauli sambil meminum kopi bercampur susu yang disuguhkan tantenya itu.

Setelah perjamuan makan selesai, Nauli mendatangi ayahnya.

“Bapak, aku mau minta maaf karena menyusahkan Bapak selama ini.”

“Tidak apa-apa, Nauli. Yang penting kau sehat dan bahagia.”

***

Tiga bulan kemudian.

“Ibu, kita berenang, yuk!” ajak Nauli seraya menjepit rambutnya.

“Ibu kan nggak bisa berenang, Uli.”

“Pakai ban pelampung, Bu. Nanti aku ajarin, deh.”

“Nggak mau nunggu Bapak dulu dari bengkel?”

“Nanti kesorean. Sudah nggak boleh berenang lagi.”

“Ya, sudah. Sebentar, ya!”

Kesabaran. Kata ini adalah resep manjur Elisa dalam meraih kebahagiaan. Dahulu, ketika masih kuliah di Institut Teknologi Bandung, ia jatuh cinta dengan pemuda asal Medan yang bernama Saut. Sayang sekali, Saut justru menyukai sahabatnya, Tarida. Berasal dari kota yang berdekatan, membuat Saut dan Tarida merasa cocok satu sama lain, sampai berujung ke pernikahan. Tapi, Elisa tidak berkecil hati. Ia tetap bersabar karena ia yakin kebahagiaannya akan datang.

Berita kematian Tarida membuat Elisa terbang ke Medan untuk menghibur Saut. Ia bahkan rela meninggalkan pekerjaannya. Ia tulus membantu cinta masa remajanya itu keluar dari kubangan duka. Ia merawat Nauli seperti anaknya sendiri. Saut melihat ketulusan hati Elisa dan mengajaknya menikah. Kesabaran Elisa mewujudkan keinginannya menjadi nyata.

Tapi, Nauli seperti kuda liar yang tidak mau dijinakkan. Setiap saat, anak Tarida satu-satunya ini selalu menguji batas kesabarannya. Nauli tidak mau disuruh-suruh. Nauli tidak mau memakan masakannya. Nauli tidak mau menjawab pertanyaan apapun yang Elisa ajukan. Nauli bahkan mengancam membunuhnya.

Untungnya, ketika sisa kesabaran Elisa semakin menipis, kakak Tarida mengajukan usul yang jauh dari nalarnya. Ia tidak peduli jika cara itu di luar akal sehat Saut, yang penting mereka mau mencobanya. Elisa berdoa dan berharap upacara Mangalap Tondi yang dikatakan oleh keluarga Tarida membuahkan hasil. Jika tidak, ia terpaksa memikirkan pilihan untuk bercerai dengan Saut. Dengan keadaan sudah hamil dua minggu pada waktu itu, ia sangat berharap tidak akan mengambil opsi terakhir ini.

Pulang dari Bakara, Nauli berubah 180 derajat. Anak tirinya itu menjadi lebih periang. Nauli mau menuruti nasihat-nasihat yang Elisa sampaikan. Nauli mulai menganggap Elisa sebagai teman dekatnya. Tingkah lakunya juga menjadi lebih dewasa. Elisa tidak perlu menyuruh Nauli untuk membereskan kamar dan tempat tidurnya dengan rapi. Ia tidak pernah repot-repot memerintahkan anak tirinya itu untuk rajin belajar. Nauli melakukan semuanya sendiri dengan suka rela. Kesabaran mengantarkan Elisa menemui kebahagiaannya.

***

Kesabaran membuat Nauli bisa mewujudkan mimpinya. Berulang-ulang bersikap sangat menyebalkan terhadap Elisa, Bapak akhirnya menyetujui upacara Mangalap Tondi. Setelah upacara tersebut, Nauli akhirnya berubah dan terlihat menerima kehadiran Elisa dalam keluarga mereka. Ia yang tadinya memiliki masalah kepribadian dan tingkah lalu, berubah menjadi anak paling dibanggakan oleh Bapak dan ibu tirinya. Ia bersikap lebih dewasa dengan mau mendengarkan dan mematuhi nasihat kedua orangtuanya.

Nauli memainkan kartunya dengan kesabaran yang tinggi. Ia tidak mau menghabiskan waktu dengan bermain seperti kebanyakan gadis remaja. Ia menjadi anak yang paling rajin belajar. Ia mencatat prestasi sebagai juara kelas di sekolahnya. Nauli menunjukkan buku raport dan meminta hadiah berlibur ke Danau Toba dari Bapak dan Ibu.

Di sinilah mereka sekarang, di pinggir Danau Toba. Nauli memainkan air sampai berkecipak-kecipak dengan kakinya. Tidak jauh dari posisi Nauli saat ini, ada Ibu yang mencoba berenang dengan bantuan ban pelampung. Nauli mendekatinya.

“Ayo, Bu! Kakinya digerak-gerakkan seperti ini.” Nauli memberikan contoh dengan kakinya.

Ibu berusaha mengikuti dengan canggung.

Matahari semakin tenggelam menuju peraduannya. Wisatawan yang bermain air mulai menghentikan aktivitas mereka. Perlahan-lahan, Nauli berenang sambil menggeser ban pelampung semakin ke tengah-tengah.

“Ibu nyerah, Nauli. Sepertinya nggak berbakat.”

“Sudah mulai bisa, kok. Ayo, aku pegangin.”

Satu tangan Nauli memegang ban pelampung sementara tangannya yang lain mengayuh agar mereka semakin menjauh dari pinggiran Danau Toba.

Nauli menggerak-gerakkan kakinya agar ia tetap dalam posisi mengambang dan kepalanya di atas air. Ia mengambil jepit rambut. Ia menusukkan jepit rambut ke ban pelampung Ibu. Nauli berputar dan kembali menghunjamkan jepit rambut ke bagian pelampung yang lain. Sedikit demi sedikit, udara dalam ban pelampung berkurang dan menyebabkannya mengempis. Dengan sekuat tenaga, Nauli mendorong ban pelampung semakin ke tengah-tengah Danau Toba.

“Nauli. Tolong Ibu!”

“Aku bukan Nauli, Elisa!”

Tak ada rasa kasihannya saat menyaksikan pupil mata Elisa membesar. Ia yakin tatapan tajam matanya saat itu pasti mengingatkan Elisa kepada sahabatnya dulu. Ya, benar. Yang kau hadapi saat ini adalah Tarida, Elisa.

Kesabaran adalah salah satu faktor penting untuk memastikan sebuah keinginan benar-benar terwujud. Oleh sebab itu, saat ini dengan sabar Nauli memandang seorang wanita yang sedang menghentak-hentakkan kakinya ke segala arah. Tangan wanita yang tidak bisa berenang itu menggapai mencoba mengangkat badan meraih udara untuk bernapas. Nauli menghela napas lega ketika buih air danau di sekitar wanita itu menghilang.

Jiwa yang dijemput telah melaksanakan tugasnya.

***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
Menjemput Jiwa
SURIYANA
Novel
Gold
Fantasteen Ghost`s Whisper
Mizan Publishing
Cerpen
Kamar Mandi
Rapury
Cerpen
Bronze
Hantu di Pondok Tua
Mochammad Ikhsan Maulana
Cerpen
Bronze
Hidup Di Dunia Lain
Christian Shonda Benyamin
Flash
Makam Keluarga
Ahmad R. Madani
Flash
Monster di Dalam Lemari
Nurai Husnayah
Novel
Perawan Tak Boleh Pulang
I. Majid
Skrip Film
DERING KM 16
R Hani Nur'aeni
Novel
Bronze
PELUKAN
Akira Ken Yuri
Cerpen
BONEKA-BONEKA YANG MENARI DI MALAM SEPI
Rian Widagdo
Cerpen
Bronze
Aku Tidak Sakit
Christian Shonda Benyamin
Novel
KUTUKAN SETAN MERAPI
Herman Trisuhandi
Flash
Sang Korban
Ahmad R. Madani
Cerpen
Bronze
Demit Berambut Api
Sulistiyo Suparno
Rekomendasi
Cerpen
Menjemput Jiwa
SURIYANA
Flash
Tidak Hanya Wanita
SURIYANA
Flash
Sang Pengasuh
SURIYANA
Novel
Bronze
Pinjaman Berbunga Cinta
SURIYANA
Cerpen
Ibuku Bukan Ibu-Ibu
SURIYANA
Cerpen
Cinta yang Tersisa
SURIYANA
Flash
Di Bawah Tempat Tidur
SURIYANA
Cerpen
Pashmina Perpisahan
SURIYANA
Flash
Apa Artinya Cinta
SURIYANA
Flash
TERLALU BAIK
SURIYANA
Cerpen
Memori Menari
SURIYANA
Cerpen
Karmini Karmila
SURIYANA
Cerpen
Dear Mima
SURIYANA
Cerpen
Nanti juga Bahagia
SURIYANA
Cerpen
Kembar Satu Jiwa
SURIYANA